Saat aku bertanya tentang sebuah perjumpaan, mungkin sama esensinya saat aku mempertanyakan tentang kelahiranku di alam semesta raya ini. Mengapa aku lahir? Tanpa aku ketahui prosesnya, nyatanya seorang Diana kecil ini telah lahir (feels strange) kemudian di dalam proses pertumbuhannya, ia lalu menyadari, bahwa ia tidak sendiri (feels love). Ada ibu dan bapak. Ada kakek, nenek, dan ternyata ada (banyak) kakak pula, ia juga kemudian mengenal dan berjumpa dengan om, tante, dan seluruh keluarga besarnya.
Sama seperti halnya saat aku mempertanyakan mengapa aku kemudian berjumpa dengan kekasihku yang sangat kucintai, yang sebelumnya sama sekali tidak aku kenal (feel strange). Dirimu teramat asing bagiku. Namun ternyata keasingan itu sendiri yang telah menjembatani antara batinmu dan batinku, berkat kesamaan rasa tanpa rekayasa (feels love).
Aku sangat meyakini bahwa di dunia ini tidak ada acara kebetulan. Di dalam setiap penyelenggaraanNya, terdapat kuasaNya atas diri kita (Tuhan mau apa atas diri ini); atas setiap pribadi ciptaanNya. Inilah yang kusebut sebagai saat-saat sakral itu. Saat peristiwa menyentuh sisi kehidupan sakral kita, tak ada cara lain lagi yang harus dilakukan selain hanya menyambutnya dengan penuh syukur. Seperti halnya saat menyadari kehadiran kita di bumi ini, berjumpa dengan orang-orang yang menyayangi kita; keluarga sebagai basis terkecil dari segala perjalanan hidup kita, sekali lagi kita wajib mensyukurinya melebihi segala cita-cita yang pernah berhasil diraih.
Aku juga kemudian menyadari, bahwa di dalam hidup ini terkadang ada (banyak) hal yang tidak perlu dipertanyakan. Bukan berarti tabu untuk diketahui, namun semakin menyadari bahwa di dalam dimensi kehidupan yang banyak sisi dan luas ini, hendaknya jiwa ini semakin mengerti dan peka. Ternyata ada sisi kesakralan yang (seringkali) menyentuh diri, jiwa, dan kesakralan ini adalah mutlak wewenang dari Sang Maha Wenang. Hanya saja, aku terkadang tidak menyadarinya. Harus ada proses agar aku bisa lebih peka lagi merasakan sentuhan-sentuhan kesakralan ini.
Tak perlu lagi mempertanyakan mengapa aku dilahirkan. Tak perlu lagi mempertanyakan bagaimana prosesnya mengapa aku harus terhubung dengan seseorang yang telah menjadi kekasihku atau dengan siapa saja yang diperkenankanNya berjumpa denganku; entah itu hal yang menyenangkan atau menyedihkan, selalu berusaha memperlakukan semua itu sebagai berkat. Serupa buah-buahan yang telah ranum pada musimnya. Satu yang paling terpenting adalah memetik buah-buahan itu dengan rasa syukur yang berhamburan hingga ke langit. Menikmatinya dengan rasa cinta, doa, dan kekaguman yang tiada hentinya. Sebab, Tuhan tidak akan memberikan sesuatu hal yang sia-sia kepada umatNya.
*Kekasihku, aku memang tidak mengatakan kepadamu bahwa aku tercipta untukmu, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang-orang lain yang sedang jatuh cinta kepada kekasihnya, begitu pun dengan dirimu kepadaku. Aku hanya bisa bersyukur dengan sepenuhnya jiwaku, bahwa aku telah diperkenankanNya untuk menyayangi dan mencintaimu, untuk kemudian sepenuhnya kau bimbing dan kau sayangi dengan segenap waktumu. Saat keajaiban berbicara nyata kepadaku, itulah saat-saat air mataku berlinang.
Rembulanku, bisakah kau bayangkan, berapa liter kubik air mata yang sudah kujatuhkan? Pastinya, ia akan menjadi mata air penuh berkah bagi sungai-sungai yang dialirinya dan bagi makhluk lain yang hidup di sekitarnya. Semoga…
pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2013/05/01/awal-mula-sebuah-perjumpaan-556475.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar