Rabu, 22 Januari 2020

Pengertian Penduduk: Faktor, Komposisi, dan Populasi Penduduk di Dunia

Di dalam artikel ini dibahas secara ringkas mengenai pengertian penduduk, bagaimana komposisi penduduk, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, serta populasi penduduk di dunia di beberapa negara hingga saat ini.

Pengertian Penduduk
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan penduduk? Secara umum, pengertian penduduk adalah individu atau sekumpulan individu yang berdomisili atau bertempat tinggal di suatu wilayah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.

Pendapat lain menyebutkan arti penduduk adalah semua orang (warga asli maupun warga asing) yang bertempat tinggal di wilayah geografis suatu negara selama kurang lebih enam bulan, dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan namun memiliki tujuan untuk menetap

Dari penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa definsi penduduk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Semua orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu, yaitu warga asli setempat.
2. Semua orang yang secara hukum memiliki hak untuk tinggal di suatu wilayah. Misalnya, mereka yang memiliki surat resmi untuk tinggal di suatu daerah atau wilayah tertentu, meskipun memilih berdomisili di tempat lain. 

Pengertian Penduduk Menurut Para Ahli
Agar lebih memahami apa itu penduduk, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli berikut ini:

Jonny Purba
Menurut Jonny Purba, pengertian penduduk adalah orang yang menjadi dirinya pribadi maupun menjadi anggota keluarga, warga negara maupun anggota masyarakat yang memiliki tempat tinggal di suatu tempat di wilayah negara tertentu dan juga pada waktu tertentu.

A. A. Nurdiaman
Menurut A. A. Nurdiaman, penduduk adalah sekumpulan orang yang tinggal menetap dan juga berdomisili di dalam wilayah suatu negara.

Kartomo Wirosuhardjo
Menurut Kartomo Wirosuhardjo, pengertian penduduk adalah sejumlah orang yang mendiami suatu daerah tertentu. Dengan kata lain, jika suatu daerah didiami oleh banyak orang dan menetap di sana maka itu bisa diartikan bahwa mereka merupakan penduduk, terlepas mereka warga negara ataupun bukan.

P. N. H. Simanjuntak
Menurut P. N. H. Simanjuntak, definisi penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal ataupun yang sedang berdomisili di dalam suatu negara.

Srijanti dan A. Rahman
Menurut Srijanti dan A. Rahman, pengertian penduduk adalah semua orang yang menempati suatu wilayah tertentu tanpa memandang status kewarganegaraannya.

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Penduduk
Pengertian pertumbuhan penduduk adalah besarnya perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada periode waktu tertentu dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Ada tiga faktor utama yang memengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk, berikut penjelasannya:
1. Fertilitas, yaitu angka kelahiran hidup yang dimiliki oleh penduduk di suatu wilayah. 
2. Mortalitas, yaitu angka kematian penduduk yang terjadi di suatu wilayah. 
3. Migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lainnya melampaui batas politik/ negara atau pun batas administratif/ batas bagian dalam suatu negara dengan tujuan untuk menetap atau permanen.

Berdasarkan faktor-faktornya tersebut, proses pertumbuhan penduduk terjadi dalam beberapa periode seperti berikut ini:
→Periode statis, yaitu periode dimana angka kelahiran dan angka kematian sama-sama tinggi.
→Periode pertumbuhan cepat, yaitu periode dimana angka kelahiran tinggi namun angka kematian cenderung menurun.
→Periode pertumbuhan menurun, yaitu periode dimana angka kelahiran mengalami penurunan sedangkan angka kematian stabil hingga mendekati titik terendah.
→Periode stationer, yaitu periode dimana angka kelahiran dan angka kematian mengalami keseimbangan. 

Komposisi Penduduk
Pengertian komposisi penduduk adalah susunan penduduk berdasarkan kriteria tertentu, seperti; usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, dan lain-lain. Dalam hal ini, komposisi penduduk berguna sebagai acuan dasar dalam membuat dan menerapkan kebijakan pembangunan di suatu negara atau wilayah.

1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Gender 
Susunan penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dibuat dalam bentuk grafik batang secara horizontal. Komposisi penduduk (struktur penduduk) berdasarkan usia meliputi:
→Struktur penduduk muda, yaitu kelompok penduduk yang di dalamnya terdapat orang-orang berusia 15 tahun ke bawah lebih dari 35%, sedangkan yang berusia 65 tahun ke atas hanya sekitar 3%.
→Struktur Penduduk tua, yaitu kelompok penduduk yang di dalamnya terdapat orang-orang berusia 65 tahun ke atas lebih dari 35%, sedangkan yang berusia 15 tahun ke bawah hanya sekitar 3%. 

2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Angkatan Kerja
→Struktur penduduk dimana penduduknya sudah aktif melakukan kegiatan ekonomi pada usia 15 tahun, meliputi; penduduk yang bekerja, penduduk yang punya pekerjaan namun tidak bekerja untuk sementara waktu, dan penduduk yang sedang mencari pekerjaan secara aktif.
→Dengan mengetahui Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), rumus:

 
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Ketergantungan
→Angka perbandingan yang menunjukkan besar beban tanggungan kelompok usia produktif terhadap kelompok usia tidak produktif.
→Kelompok usia produktif umunya ada pada usia 15 tahun – 64 tahun, sedangkan kelompok usia tidak produktif yaitu usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.Rumus Rasio Ketergantungan atau Dependency Ratio (DR)

→Komposisi penduduk ini terdiri dari tiga golongan, yaitu golongan rendah (usia < 30), golongan sedang (usia 30 – 40), dan golongan tinggi (usia > 41).

Menurut DSW (Deutsche Stiftung Weltbevoelkerung) sebuah Yayasan untuk Populasi Dunia di Jerman, populasi penduduk di dunia saat ini (akhir 2019) telah mencapai 7,75 miliar jiwa. Masih menurut DSW yang dilansir dari detik.com, peningkatan populasi manusia di dunia bertambah sebanyak 156 orang per menit.

Dari keseluruhan populasi penduduk dunia tersebut, sebagian besar diantaranya merupakan penduduk di kawasan Asia. Berikut ini adalah tabel beberapa negara di dunia berdasarkan jumlah penduduknya:

Itulah penjelasan ringkas mengenai pengertian penduduk, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, komposisinya, serta populasi penduduk di beberapa negara di dunia. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan kamu.

Sumber:
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-penduduk.html/diunduh 1/23/220




Minggu, 19 Januari 2020

DO’A DAN ZIKIR DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSI

Pengantar
Tulisan ini merupakan tulisan dari PSIKIS-jurnal psikologi Islam Vol.2. NO 1. Juni (2016) 29-39 ditulis oleh Harmathilda H. Soleh Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kosentrasi Psikologi Islam  mathilda19@gmail.com.

Dalam Abstraksinya menyatakan bahwa pemahaman kehidupan manusia tidak pernah lepas dari permasalahan dan setiap manusia mengalami proses perkembangan yang terus berlangsung hingga akhir hayat. Ketika manusia menghilangkan kegelisahan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah, di saat itu manusia sering kali mengalami dilematis kecerdasan emosinya. Hati manusia dapat menjadi putus asa, bingung dan bahkan bisa berkembang ke arah yang membahayakan kehidupannya ketika hatinya hampa dari mengingat kepada Allah. Dengan berdoa dan berzikir kecemasan emosi dan kegelisahan hati dapat hilang. Pada saat kita berdzikir, hati mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Berzikir merupakan suatu ibadah untuk terus mengingat Allah. Artinya selalu menyebut nama Allah dan menghayatinya disanubari. Bila ingin lebih dipahami bahwa ada didalam hati manusia suatu celah yang sama sekali tidak bisa disumbat kecuali hanya dengan dzikir.

Ada beberapa kata kunci dalam tulisan ini, meliputi: doa, dzikir, kecerdasan emosi 

Pendahuluan
Pada kehidupan manusia, berbagai masalah hidup selalu dihadapi oleh setiap insan selama mereka masih menghirup udara yang diberikan oleh Allah. Ada beberapa manusia yang memang memiliki sifat tegar dan kuat dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Tipe manusia ini mempercayai bahwa setiap permasalahan selalu ada jalan keluarnya, dan mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki sifat iklas, selalu berusaha berpikir positif dan emosi yang stabil. Namun, ada sebagaian orang yang memiliki ketidakpercayaan diri dan mudah berputus asa dalam melihat setiap permasalahan hidupnya. Mereka ini yang kemudian bersikap tidak memiliki harapan, agresi, mendendam, dan emosi yang tidak stabil.

Menurut S. Wahyu & A. Ilyas (2012), bahwa manusia sepanjang hidupnya mengalami proses perkembangan yang berlangsung sejak masa konsepsi sampai akhir hayatnya. Tohir Hasan Basri (2001) menambahkan bahwa sebagai petunjuk dan pedoman hidup yang sempurna bagi manusia, maka Al-Qur‟an memberi petunjuk tentang seluruh persoalan kehidupan social kemasyarakatan, memberikan pula informasi serta pelajaran–pelajaran tentang ilmu kealaman yang lain sebagai penunjang fungsi pokoknya yaitu sebagai pedoman penyelenggaraan hidup yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. 
 
Berdo‟a dan berzikir kepada Allah semakin diperlukan oleh manusia dengan ikutin semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Erat kaitannya sebab semakin majunya pengetahuan dan teknologi tersebut maka semakin banyak juga peristiwa dan bencana yang terjadi diluar perhitungan manusia, yang terkadang membuat manusia itu sendiri menjadi bimbang dan labil. Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al–Baqarah : 186, “Dan apabila hamba–hamba-Ku bertanya kepada tentang-Ku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo‟a apabila dia berdo‟a kepada-Ku”

Berzikir yang sebenarnya secara harafiah berarti kita selalu menyebut nama Allah dan menghayatinya disanubari. Tidak hanya itu dzikir juga suatu ibadah yang diperkenalkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan berdzikir, kegelisahan hati, kecemasan emosi dan kemarahan dapat hilang dengan sendirinya.

Menghilangkan kerisauan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah. Orang yang lalai tentunya akan dihantui kerisauan antara dirinya dengan Allah, yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dzikir (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2003).

Lebih lanjut Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2003) berpendapat bila lebih dipahami bahwa didalam hati ada suatu celah yang sama sekali tidak bisa disumbat kecuali dengan dzikir. Jika dzikir merupakan semboyan hati dan ia juga mengingatkan jalan yang seharusnya ditempuh, maka inilah dzikir yang disebut dzikir yang dapat menutupi celah sehingga orangnya menjadi kaya bukan karena harta, terpandang bukan karena keturunan, disegani bukan karena kekuasaan. Namun jika ia lalai berdzikir kepada Allah maka keadaanya menjadi sebaliknya, ia miskin sekalipun hartanya banyak, hina sekalipun memegang kekuasaan dan tidak dipandang sekalipun keluarganya mapan.

Banyak untuk mengingat (berzikir) kepada Allah baik di pagi hari, sore hari, dan malam hari atau setelah melakukan sholat fardhu dan sholat sunnah. Zikir dapat dilakukan dengan duduk, berbaring atau berdiri, diucapkan dalam hati atau dengan lisan.Sebagaimana dalam firman Allah surat Al-Ahzab, ayat 41–42, “hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.”

Tidak hanya dengan berdzikir saja, manusia mendapatkan ketenangan batin, namun juga harus disertai dengan do‟a.Berdo‟a tidak hanya ketika manusia berada dalam kesulitan, namun berdo‟a juga ketika manusia dalam keadaan bahagia, dan sehat. Do‟a adalah suatu ibadah yang juga harus dilakukan oleh setiap muslim sebagai penyampaian, mengingat dan bersyukur kepada Allah. Kemudian terdapat juga firman Allah lainnya dalam surat Al-Mukmin (60) mengenai manfaat dari berdo‟a, “Berdo‟alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.

Kata “Do‟a” adalah mashdar dari kata “da‟aa” yang berarti meminta, memohon, memanggil, memuji, dan sebagainya. Secara istilah, pada umumnya orang mengartikan do‟a dengan memohon sesuatu kepada Allah dengan cara–cara tertentu (Syahminan Zaini, 1983).

Sedangkan dalam bahasa sufistik, soal ikhtiar, do‟a dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara hakikat, upaya dan do‟a itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir dan tidak akan mengubah takdir, karena takdir Allah dengan semua ketentuannya telah mendahului ikhtiar dan do‟a kita. Yang artinya

1) do‟a dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir ;
2) Bila Allah hendak memberi anugerah seseorang maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdo‟a dan berikhtiar;
3) Do‟a dan ikhtiar hanyalah tanda–tanda takdir itu sendiri ;
4) Allah memerintahkan kita berupaya dan berdo‟a agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya sehingga do‟a dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdir-Nya ;
5) Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdo‟a karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdo‟a dan berikhtiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaik- Nya. Bukannya berdo‟a untuk memaksaNya mengubah takdir-Nya (Syeikh Ibnu „Athaillah As-Sakandary, 2012).

Dari pengertian dan kriteria yang disebutkan, ada unsur kecerdasan emosi yang merupakan sebagai bagian dari kegiatan berdo‟a dan berdzikir. Menurut James, emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya. Sebagai contoh ketika seseorang diliputi emosi marah, wajahnya memerah, napasnya menjadi sesak, otot–otot tangannya akan menegang, dan energi tubuhnya memuncak (Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2009).

Emosi memberikan makna pada situasi–situasi dalam hidup kita. Emosi bukanlah penganggu atau pengacau, bahkan merupakan sesuatu yang paling penting dalam keberadaana kita, mengisinya dengan kekayaan dan memasok sistem dengan makna dan nilai–nilai yang menentukan apakah hidup dan kerja kita  akan tumbuh berkembang atau akan berhenti dan mati. Emosi pulalah, bukan nalat, yang mendorong kita menjawab pertanyaan– pertanyaan yang mendalam dan paling penting mengenai keberadaan kita (Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, 2002).

Emosi yang tidak terarah, tidak termanajemen dengan baik dan emosi yang meledak tentu akan sangat berakibat buruk. Tidak hanya bagi pribadi sendiri namun juga bagi orang–orang yang berada disekitarnya. Emosi adalah sesuatu rahmat yang diberikan Allah yang diberikan sejak roh ditiupkan pada rahim ibu.Untuk itulah perlu yang kita sebut kecerdasan emosi.

Menurut Muhammad Usman Najati (2005). Terdapat hubungan yang sangat erat antara dorongan dengan emosi, karena dorongan biasanya dibarengi dengan satu suasana emosional. Pada saat dorongan itu kuat, sedangkan ia tidak bias dipenuhi dalam waktu beberapa lama, maka di dalam tubuh akan terjadi ketegangan, dan hal itu biasanya dibarengi dengan suasana emosional yang tidak menyenangkan. Sementara dorongan yang dipenuhi, dibarengi oleh suasana emosional yang menyenangkan.

Sedangkan para ilmuwan mendefinisikan kecerdasan (intelligence) sebagai kemampuan untuk memecahkan problem–problem dan kemampuan untuk menciptakan startegi– strategi atau untuk membuat perangkat– perangkat yang berguna bagi pencapaian tujuan –tujuan (Danah Zohar dan Ian Marshal, 2005).

Lebih lanjut Danah Zohar dan Ian Marshal (2005), mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang terkait dengan yang kita temui. Kita berhubungan dan memahami orang lain dan situasi kemampuan. EQ juga berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri berupa ketakutan, kemarahan, agresi, dan kejengkelan.

Dari pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwa do‟a dilakukan sebagai wujud kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak berdaya. Dikala berada pada peristiwa atau bencana yang terjadi, manusia biasanya baru menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang lemah, dan selalu bersama Allah. Do‟a merupakan permohonan segala sesuatu kebaikan yang diharapkan manusia kepada Allah yang disampaikan dengan segala kerendahan hati, ketidakperdayaan dan ketundukan manusia kepada Allah, dan berdzikir sebagai cara lain dengan mengingat terus Allah. Do‟a dan dzikir merupakan salah satu cara dalam meningkatkan kecerdasan emosi yang pada akhirnya setiap manusia akan memiliki kemampuan untuk belajar dan tegar dalam memahami tujuan hidupnya.

Adapun yang menjadi pertanyaan, adalah (1) Bagaimana pemahaman mengenai kecerdasan emosi? ; (2) Bagaimana pemahaman mengenai keutamaan do‟a dan zikir? ; (3) Apakah yang disebut dengan gangguan kecerdasan emosi dan faktor–faktor apa saja terjadinya gangguan kecerdasan emosi , dan (4) Bagaimana keterkaitan doa & zikir dalam meningkatkan kecerdasan emosi ?

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahannya, sehingga kajian ini dapat sebagai masukan bagi masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan, khususnya pemahaman mengenai kecerdasan emosi, memahami keutamaan dari do‟a dan zikir, faktor–faktor gangguan kecerdasan emosi, dan keterkaitan do\‟a dan zikir dalam meningkatkan kecerdasan emosi.

Landasan Teori
Pemahaman Kecerdasan Emosi
Pada kehidupan manusia, banyak sekali permasalahan dan seringnya kita melihat dipemberitaan mengenai hal–hal negatif akibat tidak dapatnya atau sulitnya manusia menahan emosinya.Emosi yang tidak dapat terkontrol dapat menimbulkan permasalahan yang serius dan rusaknya hubungan baik antar manusia. Untuk itu perlu disadari pemahaman mengenai penguasaan menahan emosi, tidak menunjukkan keadaan emosi secara berlebihan dan akhirnya dapat menimbulkan dampak atau akibat yang dapat merugikan pribadi indivindu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda agar manusia tidak mudah terpancing emosi dalam hadist riwayat Thabrani: “Jangan marah, bagimu surga.”

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari dalam Haryanto, 2009).

Dalam ajaran Islam telah dijelaskan bahwa salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya. Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya,dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai (Ammi Nur Baits, 2013).

Gohn dan Clore menjelaskan bahwa ada empat sifat laten pengalaman emosional ketika kita sedang berada dalam sebuah suasana emosi tertentu. Keempat sifat laten pengalaman emosional ini menurut penelitian mereka ternyata sangat berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, kesehatan mental, kecemasan, dan gaya atribusi kita, yaitu :(Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2009).
  1. Kejelasan (emotional clarity). Dijabarkan sebagai kemampuan seseorang dalam mengidentifikasikan dan membedakan emosi spesifik yang sedang dirasakannya.
  2. Intensitas (emotional intensity). Diartikan seberapa kuat atau besar intensitas emosi spesifik yang dapat dirasakannya.
  3. Perhatian (emotional attention). Dijelaskan sebagai kecenderungan seseorang untuk mampu memahami, menilai dan menghargai emosi spesifik yang sedang dirasakannya.
  4. Ekspresi (emotional expression). Didefinisikan sebagai kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakannya kepada orang lain.
Goleman menjelaskan bahwa perilaku emotional quotient tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi emotional quotient melainkan harus dari satu dimensi atau setiap klusternya. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness), misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientsi pelayanan dan kesadaran akan organisasi (Minto Waluyo, 2013).

Dalam emosi pribadi seseorang telah demikian dipengaruhi hingga individu pada umumnya kurang dapat atau tidak dapat menguasai diri lagi. Tingkah laku perbuatannya tidak lagi memperlihatkan sesuatu norma yang ada dalam hidup bersama, teruji telah memperlihatkan adanya gangguan atau hambatan dalam diri individu. Seseorang yang mengalami emosi sering tidak lagi memperhatikan keadaan sekitarnya sesuatu keaktifan tidak dikerjakan oleh individu pada keadaan emosi.Dengan demikian, maka emosi dipandang sebagai perasaan yang grundal lebih besar kekuatannya (Abdul Rahman Shaleh, 2008).

Adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu akan memiliki kestabilan  emosi. Kestabilan merupakan kemampuan individu dalam memberikan respon yang memuaskan dan kemampuan dalam mengendalikan emosinya sehingga mencapai suatu kematangan perilaku. Seseorang yang memiliki kestabilan emosi akan mempunyai penyesuaian diri yang baik, mampu menghadapi kesukaran dengan cara obyektif serta menikmati kehidupan yang stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja dan berprestasi, mampu memotivasi diri terhadap kritik, tidak melebih–lebihkan kesenangan ataupun kesusahan sehingga ia dapat mengelola kebutuhan–kebutuhan primitif yang lebih banyak dipengaruhi emosi belaka (Reni Hidayati, Yadi Purwanto dan Susantyo Yuwono, 2008).

Dengan kecerdasan emosi yang baik, seseorang dapat memilah antara fakta dan opini yang tidak terpengaruh dengan berita rumor namun disisi lain juga mampu untuk menunjukkan sikap amarahnya jika dirasa benar dan perlu. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi selalu lebih mudah menyesuaikan diri karena menjadi lebih fleksibel dan mudah beradaptasi. Saat orang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan (Minto Waluyo, 2013).

Kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan–keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya, yaitu : kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman, 2009).

Keutamaan Doa & Zikir
Perihal keutamaan zikir, Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 41–43, “Wahai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak–banyaknya; dan sucikanlah Dia diwaktu pagi dan petang. Dialah yang telah menganugerahkan kamu shalawat (karena keimanan yang kamu miliki); dan (Dialah yang telah mengilhami) para Malaikat-Nya agar ber-istighfar (memohon pengampunan dari-Nya) bagi kamu; untuk Dia keluarkan kamu dari segala bentuk kegelapan menuju ke cahaya (ridha-Nya, yang dengannya saja, kamu dapat memperoleh kesuksesan sempurna dan kebahagiaan abadi, yang hanya bakal dapat diraih di kehidupan akhirat nanti); dan (sudah merupakan ketentuan-Nya yang abadi sejak azali, bahwa) Dia adalah penganugerah rahmat khusus kepada orang–orang yang benar–benar beriman.”

Dzikir secara semantik berasal dari bahasa Arab (dzikri) berarti kehadiran sebuah eksistensi yang sudah dikenal dalam diri seseorang. Menurut Abdul Kader S. M Alhabsji, fenomena dari kehadiran tersebut terimplementasi lewat salah satu dari tiga bentuk, yaitu :
→Penghayatan kejiwaan yang berproses dalam hati
→Pengungkapan kata–kata
→Penghayatan kejiwaan yang diaplikasikan lewat ucapan, perbuatan atau tindakan.

Dzikir yang intinya tauhid merupakan sebatang pohon yang membuahkan pengetahuan dan keadaan yang bisa dilalui orang–orang yang menuju kepada Allah. Tidak ada cara untuk mendapatkan buahnya kecuali dari pohon dzikir. Jika pohon itu semakin besar dan kokoh akarnya, maka ia akan banyak menghasilkan buah (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2003).

Perintah untuk berdzikir dan bertasbih amat banyak disebutkan dalam Al-Qur‟an dan Hadist Rasulullah. Namun sayang banyak diantara umat islam yang memandang remeh kegiatan ini. Diantara mereka banyak yang beranggapan bawah kegiatan berdzikir dan bertasbih itu merupakan perbuatan sia sia dan membuang waktu secara percuma. Sementara al Qur‟an menyatakan orang yang enggan berdzikir dan bertasbih termasuk kelompok orang yang lalai. Untuk membangkitkan semangat dan gairah kita berdzikir dan bertasbih mensucikan nama Allah (Fadhil ZA, 2013).

Gangguan Kecerdasan Emosi
Dalam pandangan ahli jiwa, ampunan terhadap dosa dan kesalahan merupakan obat bagi gangguan kejiwaan, karena salah satu penyebab dari gangguan kejiwaan adalah merasa bersalah atau berdosa. Orang akan merasa gelisah dan goncang jiwanya apabila dia merasa bersalah atau berdoa kepada Tuhan (Zakiah Daradjat, 1993).

Sebaliknya tanpa disadari bahwa setiap indivindu dapat mengalami gangguan kecerdasan emosi.Terlihat sepintas indivindu tersebut mungkin tidak Nampak bahwa dia mengalami gangguan kecerdasan emosi. Untuk itu perlu diketahui hal–hal yang merupakan bagian dari gangguan kecerdasan emosi, sebagai berikut :

a. Kemarahan
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menulis tentang pentingnya karakter, kemauan dan penguasaan emosi. Dia membuat perenungan tentang betapa sulit menjadi orang yang mempunyai kecerdasan emosional, yang bisa mengungkapkan perasaan dengan tepat : “siapa pun bisa marah–itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat–ini tidak mudah.” Tantangan ini berubah hanya sedikit sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern ini (Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, 2002).

b. Agresi
Agresi merupakan satu bentuk mekanisme pertahanan diri indivindu terhadap frustasi yang diwujudkan melalui berbagai genjala seperti melakukan penyerangan secara fisik atau verbal terhadap beberapa orang atau obyek. Bentuk dari perilaku ini dapat ditujukan melalui perwujudan melakukan penyerangan terhadap seseorang atau objek yang dirasa sebagai sumber dari frustasi karena hal itu dianggap sebagai suatu hambatan yang sesungguhnya atau agen blockade (Sutarto Wijono, 2012).

Kisah Habil dan Qabil menunjukkan terjadinya sebuah agresivitas, sebuah tindakan yang merugikan bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. (Berkowitz dalam Sarlito W. Sarwono, 2009).

c. Keserakahan
Keserakahan tampil sebagai kegelisahan terus menerus, sebuah perasaan tak pernah berkecukupan, perasaan bahwa selalu saja ada yang harus diingini atau dibutuhkan. Dikendalikan oleh rasa kehampaan dalam diri (kebalikan kekuatan dari dalam), orang–orang ini senantiasa mengadopsi startegi–strategi untuk memperoleh keuntungan. Mereka adalah orang–orang yang serakah, seperti Erisychton, orang yang tidak pernah merasa puas. Kebanyakan dari mereka merasa “berhak untuk mendapatkan”, bahwa ada pihak yang tidak memberi mereka apa yang mereka butuhkan atau tidak pernah memberi mereka kesempatan. Mereka ingin segalanya tetapi sering mereka tidak berpikir bahwa seharusnya mereka membayar untuk mendapatkan itu (Danah Zohar dan Ian Marshal, 2005). 

Keterkaitan doa & Zikir dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi 
Menutut Daniel Goleman (2009), pengendalian diri oleh diri sendiri tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi; ini juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk yang tidak menyenangkan.

Ada beberapa cara dalam mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan emosi sehingga dapat terhindar dari dosa, sebagai berikut :

a. Memohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan setan dengan rasa emosi yang tinggi pada diri kita.Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam H.R Bukhari & Muslim (Ammi Nur Baits, 2014) : “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta‟awudz: A‟-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang.(HR. Bukhari dan Muslim)

b. Pengendalian marah.
Menurut Muhammad Usman Najati (2005) Ketika seseorang sedang marah, juga diliputi perasaan takut dan emosi lainnya. Untuk itu harus disadari adanya penguasaan emosi sangat berguna dari berbagai segi, yaitu :
(1)Orang bisa memelihara kemampuannya untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat sehingga dia terhindar dari perbuatan dan ucapan yang akan membuatnya menyesal dikemudian hari.
(2)Orang dapat menjaga keseimbangan fisiknya sehingga dia tidak mengalami ketegangan fisik yang timbul akibat bertambahnya energi yang disebabkan oleh surplus zat gula yang dikeluarkan oleh hati. Dengan demikian, orang akan menghindarkan diri agar tidak terjerumus dalam melakukan tindak kekerasan, seperti agresi fisik terhadap musuh yang sering terjadi ketika sedang marah.
(3)Mengendalikan emosi marah dan menghindari agresi terhadap orang lain, baik secara fisik maupun ucapan serta tetap memperlakukan mereka secara baik dengan sendirinya akan memberikan ketenangan kepada musuh, dan mendorongnya untuk melakukan intropeksi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan rasa persahabatan dan simpati orang kepadanya serta mendukung terwujudnya hubungan kemanusiaan secara baik. Allah dalam firmannya di surat Asy-Syura (42 : 43), “tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal–hal yang diutamakan”.
(4)Pengendalian emosi marah juga  bermanfaat bagi kesehatan karena menjauhkan seseorang dari penyakit– penyakit fisik yang biasanya timbul akibat emosi yang meluap.

Sebagaiman Allah memberikan panduan dalam menguasai emosi marah, dalam surat Ali „Imran (3 : 133 – 134), “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

c. Berwudhu atau mandi
Fungsi air wudhu akan bersinergi untuk meredam emosi bila wudhu itu dilaksanakan dengan cara duduk sebagai salah satu keutamaan berwudhu. Dengan cara demikian, segala persoalan yang mengganggu keseimbangan emosi dapat “dilaporkan” kepada Allah Subhana wa Ta‟ala melalui dua rakaat sehingga selain meredakan emosi juga menjadi sarana peleburan dosa yang bisa jadi diperbuat ketika marah (Oan Hasanuddin, 2014).

Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin. (Ammi Nur Baits, 2014).Terdapat hadis dari Urwah As-Sa‟di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan :“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)”

Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah
tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.

d. Berdo’a dan berdzikir
Zikir diterjemahkan dengan menyebutkan nama Tuhan. Terjemahan ini sebenarnya kurang tepat karena belum ditemukan arti yang tepat untuk menerjemahkan kata zikir (Mohammad Sholeh, 2009). Sebagaimana dalam firman Allah mengenai pentingnya zikir dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam surat Al-Muzzammil (73 :8), berikut : “Sebutlah nama Tuhanmu dengan penuh ketekunan.” Dalam Al-Qur‟an, kata zikir ditemukan lebih dari 250 kali berikut deruvasinya diantaranya surat Al-Ahzab (33 : 41), surat Thaaha (20 : 124) dan surat Al-Baqarah (2: 152). Secara umum zikir dapat berbentuk kalbu, pikiran, amal atau sikap, dapat pula ayat Al-Qur‟an atau seluruh ayat (Muchtar Adam & Fadlullah Muh.Said, 2009).

Menurut Abdul Kader, S. M Alhabsji, Islam menghendaki agar ibadah kepada Allah, mewarnai semua aktifitas kehidupan seorang muslik. Oleh karena itu dzikir akan menghiasi dan memahkotai seluruh bentuk ibadah formal dan semua kegiatan hidup seorang muslim yang saleh, termasuk didalamnya kebudayaan, adat istiadat dan hobi yang telah diniatkan sebagai sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Penutup
Pada bagian penutup, terdapat dua hal yang dapat disampaikan berdasarkan kajian pembahasan ini, yaitu :

Kesimpulan
Dari hasil–hasil pendahuluan dan pembahasan yang telah disampaikan terlebih dahulu, maka dapat diambil kesimpulan besar. Seorang umat muslim hendaknya selalu memiliki motivasi dan pegangan hidup dengan mengamalkan perintah Nabi Muhammad SAW mengenai zikir dan mendekatkan diri kepada Allah dengan berzikir, munajat dalam mengadukan segala urusannya kepada Allah. Ketika kita menahan diri atau mengendalikan emosi (pemaaf), Allah telah menjanjikan ampunan dari Nya, dan surga. Menjadi orang yang pemaaf, termasuk di antara orang-orang yang bertakwa dan orang yang disukai Allah.

Gangguan kecerdasan emosi yang sering terjadi pada diri manusia, seperti misalnya (1) kemarahan, (2) agresi, dan (3) keserakahan. Pengendalian diri ketika seorang indivindu dalam keadaan emosi dapat dilakukan dengan cara : (1) memohon perlindungan kepada Allah Subhana wa Ta‟ala dari segala godaan setan dengan rasa emosi yang tinggi, (2) pengendalian marah, (3) berwudhu atau mandi, (4) berdo‟a dan berdzikir.

Saran
Selanjutnya saran yang dapat disampaikan, bahwa setiap insan manusia sebaiknya dalam setiap kita memiliki permasalahan hidup, baik itu yang terjadi dalam diri sendiri, antar pribadi, antar kelompok, berdo‟a dan berzikir adalah hal yang harus ditekuni untuk mendapatkan ketenangan hati. Do‟a, obat dari segala kegelisahan hati. Setelah berdo‟a tetaplah dalam keadaan duduk santai “diam”, usahakan tidak bergerak kesana kemari. Mulanya kaki terasa kesemutan tetapi dengan kekuatan hati bila dilakukan, rasa kesemutan atau nyeri akan hilang. Dilanjutkan dengan kosentrasi mata terpejam, lalu masuk ke alam hening, sejuk tidak bewarna dan seakan–akan kita melihat cahaya. Dalam bahasa sufi kondisi ini muncul karena tarikan Tuhan bukan karena diupayakan. Dikondisi inilah penzikir telah membuka pintu hati untuk kehadiran Allah.

Serta perlu adanya pelatihan kematangan jiwa, kematangan emosi dan kematangan mental. Emosi yang terbiasa terlatih untuk selalu stabil atau selalu tenang dalam setiap menghadapi masalah, akan membuat kepribadian seorang indivindu itu menjadi pribadi yang sehat dan islami. Melatih kecerdasan emosi ini memang tidak mudah, namun dengan niat dan kesungguhan, segala sesuatunya menjadi mudah dan terhindar dari segala masalah baru lagi akibat tidak terkontrolnya emosi.

Referensi
Adam, Muchtar Adam & Fadlullah Muh.Said (2009). Ma’rifatullah–Membangun Kecerdasan Spiritual, Intelektual, Emosional, Sosial dan Akhlak Karimah, Bandung : Makrifat Publisher, Cetakan
Keempat.
As-Sakandary, Syeikh Ibnu „Athaillah (2012).Makna dan Hakikat Do’a, Jakarta : Cahaya Sufi , Edisi ke 79. Baits, Ammi Nur Baits, 5 Cara Mengendalikan Emosi dalam Islam (Konsultasi Syariah.com : Nasehat, Kamis, 28 Mei 2013) diakses melalui http://www.konsultasisyariah.com/cara-mengendalikan-emosi-dalam-islam/.
Basri, Tohir Hasan (2001). Memahami Islam dengan Mudah, Jakarta : Karya Abadi, Cetakan Pertama. Cooper, Robert K. & Ayman Sawaf (2002). Executive EQ–Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, terjm. Alex Tri Kantjono Widodo, Judul Asli : Executive EQ–Emotional Intelligence in Leadership and Organizations, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kelima.
Daniel Goleman (2009).Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terjm. Alex Tri Kantjono Widodo, Judul Asli : Working with Emotional Inteligence, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keenam. Daradjat, Zakiah (1993). Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, Jakarta : CV Ruhama, Cetakan Kelima.
Fadhil ZA, Dzikir dan Tasbih Menurut Al- Qur’an dan Hadist (Fadhilza.com : Tadabbur, Jum‟at 6 September 2013) diakses melalui http://www.fadhilza. com/2013/09/tadabbur/dzikir-dan-tasbih-menurut-al-quran-dan-hadist.html.
Haryanto, Pengertian Emosi (Belajar Psikologi.com : Ilmu Psikologi, Minggu, 27 Desember 2009) diakses melalui http://belajarpsikologi.com/pengertian-emosi.
Hasanuddin, Oan,Mukjizat Berwudhu, (books.google.co.id : eBooks, Cetakan Pertama, 2007) diakses melalui http://books.google.co.id/ books?id=yJXeY87x_loC&pg=PA69&lp g=PA69&dq=berwudhu+sebagai+meredam+marah&source=bl&ots=s911VwcJMi &sig=fBJpXafX_V9kMGFaoDZ74BdUo s&hl=en&sa=X&ei=WayjU7vUFIiKuAS Z04CgAg&ved=0CDgQ6AEwAw#v=on epage&q=berwudhu%20sebagai%20mer edam%20marah&f=false.
Kader, Abdul, S. M Alhabsji, Dzikir antara Kemuliaan dan Cinta, Jakarta : Pustaka Afaf.
Minto Waluyo (2013).Psikologi Industri, Jakarta : Akademia Permata.
Najati, Muhammad Usman (2005). Al-Qur’an & Psikologi,terjm. Tb. Ade Asnawi Syihabuddin, Judul Asli : Al-Qur‟an wa Ilm‟an–Nafs, Jakarta : Aras Pustaka, Cetakan Pertama.
Reni Hidayati, Yadi Purwanto dan Susantyo Yuwono (2008).Kecerdasan Emosi, Stress Kerja dan Kinerja Karyawan, Jurnal Psikologi, Volume 2, No. 1.
Safaria, Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra (2009). Manajemen Emosi–Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, Jakarta : PT Bumi Aksara, Cetakan Pertama.
Sarwono, Sarlito W., dkk (2009). Psikologi Sosial, Jakarta : Salemba Humanik. Shaleh, Abdul Rahman Shaleh (2008). Psikologi : Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cetakan ketiga.
Sholeh, Mohammad Sholeh (2009). Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit, Jakarta : PT Mizan Publika, Cetakan Kesepuluh. Sutarto Wijono (2012).Psikologi Industri & Organisasi–Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ketiga.
Syahminan Zaini, Mengapa Kita Harus Berdo’a–Suatu Uraian Tentang Seluk Beluk Berdo’a yang Benar , Surabaya : Al-Ikhlas.
Wahyu, S & A Ilyas, Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS (unp.ac.id: Jurnal ilmiah Konseling, Volume 1, Nomor 1 Januari 2012), diakses melalui http://ejournal.unp.ac.id/
index.php/konselor.
Waluyo, Minto (2013).Psikologi Industri, Jakarta : Akademia Permata, Cetakan Pertama.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2003). Doa & Wirid–Mengobati Guna–guna dan Sihir





Sabtu, 11 Januari 2020

MENGELOLA KERAGAMAN SDM (Diversity)



Pendahuluan
Nurul Ashtri Damayanti  dalam tulisan yang diberi judul PENGELOLAAN KERAGAMAN SDM: DIVERSITI-RELATED ORGANIZATIONAL OUTCOMES. menjelaskan bahwa: Memahami perkembangan SDM dalam era globalisasi memberikan indikasi tentang pentingnya mengelola keragaman (diversity). Keragaman dan globalisasi secara otomatis menciptakan organisasi yang bersifat multikultur. Tim yang multikultur  mampu menciptakan pendekatan inovatif terhadap tantangan organisasional yang kompleks beserta implementasi solusinya (Distefano dan Maznevski, 2000).

Proses identifikasi memainkan peran sentral dalam dinamika yang membuka eksistensi keragaman pada organisasi (Nkomo dan Cox, 1996, dalam pembahasan Brikson, 2000). Pengelolaan diversity yang efektif menjadi perhatian besar dalam hubungannya untuk meningkatkan produktivitas dan efektifitas organisasi, guna memiliki dan meningkatkan competitive advantages. Fokus pengelolaan adalah keragaman mendasar yang melekat pada setiap individu sebagai anggota organisasi, dengan tujuan pencapaian individual  outcomes yang sinergi dengan organizational outcomes yang diharapkan.`Dengan  demikian manajemen sumber daya (SDM) harus menjalankan peran optimal atas program-program pengelolaan diversity untuk memberikan hasil yang maksimal.

Diversity sebagai suatu perspektif. Diversity dapat diartikan secara harfiah adalah sebagai perbedaan. Perbedaan yang sering dibicarakan merupakan perbedaan dalam hal etnik, warna kulit, perbedaan jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Allard (2002) menegaskan dalam arti yang sangat luas, mencakup didalamnya adalah tingkatan sosial, budaya, fisik, dan perbedaan lingkungan diantara banyak orang yang akan mempengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak atau bersikap. Thomas dan Ely (1996), memberikan penegasan pandangan diversity sebagai suatu variasi perspektif dan pendekatan kerja yang dibawa masing-masing individu di dalam menunjukan identitas diri dan kelompoknya (keragaman sudut pandang dan pengetahuan melekat pada setiap individu), bersifat krusial dan relatif relevan terhadap kompleksitas iklim persaingan yang terjadi berkaitan dengan aktualisasi aktivitas kerja. Pengetahuan kerja meliputi pengetahuan terhadap proses desain kerja, tujuan yang ingin dicapai kerangka tugas yang harus dilaksanakan, membangun tim yang efektif dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan ide-ide serta memiliki leadership. Hal tersebut oleh Allard (2002), dikatakan tentang kompleksitas dari budaya yang dapat meningkatkan kesulitan dalam mengolah perbedaan (diversity) ditempat kerja. Karena dalam suatu organisasi relatif terdapat banyak variasi serta perbedaan dalam berbagai hal, kondisi ini dapat mengakibatkan masalah yang sederhana cenderung menjadi kompleks karena perbedaan pandangan dari berbagai latar belakang personal yang berbeda.

Pencapaian kesuksesan dalam team work pada organisasi multikultur, kunci kesuksesan itu tidak pada anggotanya melainkan adanya kreatifitas yang sinergi dalam proses interaksi tim - bagaimana mereka memahami, menggabungkan dan mengangkat perbedaan-perbedaan diantara mereka (Distefano dan Maznevski, 2000). Selain itu, sebuah tim yang merupakan tim kreator berhubungan dengan tiga prinsip mengenai MBI ( mapping, bridging, integrating). Map menggambarkan perbedaan diantara anggota dan berdampak terhadap perbedaan dalam objek yang dapat diukur. Bridge mengkomunikasikan secara eksplisit dalam perbedaan yang ada. Integrating mengarahkan mereka untuk menciptakan ide pada tingkat tim yang dimonitor dengan baik tentang pola partisipasi, pemecahan pendapat yang tidak disetujui, dan menciptakan pandangan baru. Jadi ide-ide dan perspektif dalam memandang segala sesuatu itulah yang dibutuhkan dapat memberikan masukan yang heterogen. Pemahaman ini menunjukan bahwa diversity bukan pemandangan sebatas adanya keragaman yang berhubungan dengan perbedaan ras, suku, ideologi, gender, dan latar belakang kultural, tetapi mencakup keragaman yang lebih mendasar dan luas.

Diversity dan implikasinya dalam persaingan organisasional. Persaingan merupakan suatu kondisi dalam dunia bisnis yang memotivasi para pelaku bisnis untuk dapat menciptakan keunggulan diantara pesaing yang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan persaingan itu sendiri sering diartikan dalam hubungannya dengan kemampuan finansial perusahaan, strategi dan teknologi. Dalam pendapat Ulrich dan Lake (dalam pembahasan Dreher dan Douherty, 2001:4 ), menyatakan, bahwa bagaimanapun juga, untuk bisnis yang kontemporer arti tradisional tersebut (kemampuan finasial perusahaan, strategi dan teknologi), yaitu mencapai competitive adventage, harus dapat didukung oleh organizational capability.

Kemampuan secara organisasional adalah sebuah kemampuan dari organisasi yang dapat mengelolah para anggotanya dalam rangka mencapai competitive advantage tersebut. Adapun empat ciri yang dapat mengidentifikasikan bahwa organisasi itu memiliki competitive advantage adalah adanya potensi sumber daya yang tidak dapat ditiru, langka, bernilai, dan tidak dapat digantikan (Wright, McMahan, dan McWilliams dalam pembahasan oleh Dreher dan Doughherty, 2001).

Strategi yang krusial dalam usaha memenangkan persaingan adalah menciptakan sustainable competitive advantage (SCA), pada praktek manajemen sumber daya manusia dapat mempengaruhi sumber daya kapital perusahaan dan hubungannya dengan sikap terhadap pekerjaan. Hal itu didukung oleh pendapat dari Dyer dan Reees (1995), bahwa sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber keunggulan kompetitif salah satunya adalah sulit ditiru, karena dengan terus menerus terdapat pengembangan kebijakan-kebijakan sepanjang waktu. Artinya, bahwa kebijakan suatu organisasi masa lalu dapat diambil serta diterapkan hingga saat ini namun tetap disesuaikan dengan perkembangan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan organisasi itu. Oleh karena itu pesaing lain tidak dapat meniru begitu saja kebijakan yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain.

Pendekatan Identity Organitations dalam mengelola perbedaan. Orientasi identitas berhubungan dengan motivasi pokok diantara individu, dimana motivasi merupakan pendorong utama kinerja individu dan peningkatannya. Brickson (2000), meghubungkannya dengan motivasi utama yang berupa keinginan meningkatkan diri sendiri (desire to enhance their own), hubungan sebagai partner atau kelompok mereka. Dan juga mendeskripsikan identitas sebagai sesuatu yang terdiri banyak segi (multifaceted), bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh kekuatan dari berbagai level dalam struktur organisasi.

1. Proses Pengidentifikasian
Proses klasifikasi pengidentifikasian yang diajukan oleh Brewer dan Gardner (1996, dalam pembahasan oleh Brickson, 2000), bahwa terdapat tiga self-view, yaitu identitas sebagai:
a. Multifaceted. Terdapat tiga dasar dari self-definition: diri sendiri sebagai individual, interpersonal, dan anggota grup. Ketiga dasar tersebut mempersembahkan sebuah identiry orientation yang masing-masing dengan motivasi sosialnya mencirikan pengetahuannya, dan sumber penghargaan dirinya. Masing-masing orientasi identitas tersebut berhubungan dengan motivasi utama diantara individual. Adanya keinginan untuk meningkatnya hubungan dengan partner, dan keberadaan grupnya. Dan masing-masing dari orientasi identitas berhubungan dengan frame dari referensi dimana individual mengevaluasi penghargaan dirinya.
b. Dynamic. Semua orang mengidentifikasikan dirinya sebagai individual, hubungan partner, dan anggota grup dalam sebuah konteks. Hal tersebut akan mempengaruhi pergerakan/pengaktifan orientasi identitas yang khusus pada waktu tertentu.
c. Influenced by Multi Forces. Ketika orientasi ideentitas secara kolektif diutamakan, orang-orang akan termotivasi untuk meyakinkan kesejahteraan grup mereka, sering berhubungan dengan grup lain. Karakteristik mereka sendiri dalam prototype sebuah grup, dan mereka mencari penghargaan mereka sendiri dengan mengevaluasi bagaimana mereka memperbandingkan dengan grup yang lainnya.

Secara garis besarnya baik dari individu kelompok mayoritas maupun individu kelompok minoritas, berhubungan dengan kesadaran, pengaruh dan perilaku dari anggota setiap grup, seperti halnya diversity dihubungkan terhadap outcomes organisasional.

Uraian di atas dapat dilihat bahwa Brickson menunjukan adanya pengaruh yang signifikan dari orientasi identitas yang terdiri dari personal, relational dan collective identity pada individual dan outcomes organisasional. Dan pergerakan (activation) orientasi identitas anggota (personal, relational dan collective) dipengaruhi oleh struktur organisasi, pekerjaan dan reward. 

Pendekatan orientasi identitas dalam pemaparan Brickson, ditunjukan dengan adanya pengaruh yang kuat dari proses orientasi identitas terhadap individual dan outcomes organisasional secara demografi terhadap diverse setting, menemukan bahwa orgsanisasi yang diarahkan menjadi organisasi yang berorientasi pada relasional akan memberikan keuntungan dan menekan kekurangan dari diversity dalam organisasi secara optimal.

2. SDM dan Perspektif Kultural
Diversity dapat diartikan secara harfiah  adalah sebagai perbedaan Perbedaan yang sering dibicarakan merupakan perbedaan dalam hal etnik, warna kulit, dan perbedaan jenis kelamin. Memang sulit untuk dijawab. Namun oleh Harvey dan Allard (2002), ditegaskan sebagai arti yang sangat luas, mencakup di dalamnya adalah tingkatan sosial, budaya, fisik, dan perbedaan lingkungan diantara banyak orang yang akan mempengaruhi cara mereka beripikir dan bertindak atau bersikap. Pengetahuan kerja meliputi pengetahuan terhadap proses desain kerja, tujuan yang ingin dicapai, kerangka tugas yang harus dilaksanakan, membangun tim yang efektif dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan ide-ide serrta memiliki leadership. Hal tersebut oleh Allard (2002), dikatakan tentang kompleksitas dari budaya yang dapat meningkatkan kesulitan dalam mengelola perbedaan (diversity) di tempat kerja. Karena suatu organisasi dimana akan terdapat banyak variasi serta perbedaan dalam berbagai hal, akan membuat masalah yang sederhana dapat kompleks karena perbedaan pandangan dari berbagai macam manusia yang juga berlatar belakang yang sangat berbeda pula.

Selain itu pula, diversity relatif dipandang sebagai keragaman dalam ras, ideologi, dan lain sebagainya. Namun dalam penerapannya bersifat fleksibel terhadap perubahan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Seperti pendapat Schein (dalam pembahasan oleh Matteson dan Ivancevich, 1999), bahwa kultur merupakan pola dari asumsi dasar yang dicari, digali dan dikembangkan oleh grup itu sendiri sebagai pembelajaran untuk menghadapi masalah internal serta eksternal secara terintegrasi. Pandangan-pandangan individu yang berbeda harus diperhatikan organisasi dalam menetapkan berbagai kebijakan yang akan mempengaruhi tugas, tanggung jawab, struktur organisasi serta sistem penghargaan. Karena berpengaruh pada sikap saat melaksanakan tangung jawab. Sikap yang termotivasi dengan baik sangat diharapkan, hal itu dapat didukung dengan reward  yang dengan hasil kerja. Selain itu, beban tugas disesuaikan kemampuan personal, dan job descriptions yang jelas akan mendukung kinerja yang baik. Pendapat Bowen, Leford, dan Nathan (1991), menyampaikan mengenai the new selection model: hiring for person organization fit, yaitu menilai semua lingkungan kerja, menentukan tipe personal yaang diperlukan, menguji kecocokan individu terhadap kebutuhan organisasi, dan memberdayakan kesesuaaian individu terhadap kebutuhan organisasi. Allen dan Montgomery (2001), menyatakan anggota organisasi itu dapat dipandang atau dibagi sesuai dengan situasi dan keadaan yang sedang mereka lalui saat itu dan berhubungan dengan kesiapan mereka dalam menghadapi diversity, yaitu terdiri dari organisasi yang bersifat monnolithic, pluralistic, dan multiculture,. Jadi untuk penerapannya pada organisasi harus hati-hati karena kegagalan akan sulit diperbaiki dan akan memakan waktu serta biaya.

Pengelolaan Diversity Dan Hubungannya Terhadap Organizational Outcomes. Manajemen SDM secara garis besar dihadapkan pada dua macam keragaman (kultural dan personal), dituntut mampu mengambil keputusan strategik. Brickson (2000), menunjukan organisasi yang berorientasi pada relasional memberikan organizational outcomes yang mampu meminimalkan kekurangan dan memaksimalkan keuntungan adanya diversity, dimana individu serta grup relatif lebih produktif tanpa pengaruh negatif yang sering menyertai keragaman. Ini merupakan hasil pengelolaan terhadap personal yang dijelaskan bahwa struktur organisasi, tugas, dan reward mempengaruhi orientasi identitas (personal, relational, dan collective) yang kemudian memberikan respon yang berupa kesadaran, pengaruh, perilaku dari masing-masing individu baik dari kelompok mayoritas ataupun kelompok minoritas yang saling berinteraksi, dan terakhir merupakan pencapaian outcomes organisasional. Peningkatan efektifitas, pengeloaan diversity dapat dioptimalkan melalui proses seleksi dan rekrutmen yang dilakukan dengan tepat, dengan tidak hanya memperhatikan person job fit yaitu berupa penilaian KSA-knowledge, skill, and ability (Bowen, Leford, dan Nathan, 1991). Selain itu harus mempertimbangkan person organization fit, yang meliputi kesesuaian nilai, tujuan, dan kepribadian karyawan dengan budaya organisasi. Kesalahan-kesalahan yang dapat menghambat dalam rekruimen dan seleksi, seperti yang disebutkan oleh Fernandez-Araoz (1999) sebagai the ten deadlly traps (pendekatan secara reaktif, spesifikasi yang tidak realistik, mengevaluasi orang dengan aturan yang absolut, menerima orang dengan nilai yang terlihat, mempercayai referensi dari orang lain, bias "Just Like Me", pendelegasian yang tidak jelas, wawancara yang tidak terstruktur, dan tekanan politik). Pendapat Bowen, Leford, dan Nathan (1991), merekrut karyawan baru tidak harus memecat karyawan lama namun lebih diberdayakan kualitas maupun kinerjanya. Hal itu juga mendukung pendaapat Schuler (1990), bahwa paradigma lama organisasinya yang dirubah ke arah paradigma baru, bukan dengan cara memecat karyawan lama, melainkan melalui repositioning SDM, yang di dalamnya terdapat empat isu utama, sebagai berikut mengelola kompetensi karyawan, mengolola diversity SDM, mengelola peningkatan kompetitif, dan mengelola tuntutan ke arah globalisasi. Langkah-langkah tersebut di atas mampu menunjang new rules of human resource in flexible organizations (Walker, 1988).

Pengelolaan diversity dalam SDM relatif tergantung pada tingkat penekanan pada diversity, tipe diversity, dan perilaku para manajer terhadap para keragaman SDM (Dass dan Parker, 1999). Lebih lanjut lagi, mereka menggabungkan perspektif diversity dan respon strategik (perspektif penolakan, perspektif diskriminasi dan keadilan, serta perspektif akses dan legitimasi). Pengoptimalan efektifitas pengelolaan manajemen SDM disamping membangun sinergi individual outcomes terhadap organizational outcomes juga untuk menjawab tantangan kopetitif yang meliputi globalisasi, profitabilitas melalui pertumbuhan, teknologi, modal intelektual, dan perubahan yang berkelanjutan (Ulrich, 1998). Selain itu juga diperlukan: dukungan dari para eksekutif serta manajemen senior, waktu yang panjang, mempertimbangkan kekuatan kultur yang dirubah, dan biaya yang relatif banyak.

1. Kegagalan Dalam Kebijakan Pengelolaan Diversitas
Ambisi sebuah organisasi dalam merubah atau menerapkan suatu kebijakan adalah sangat sering terjadi selain itu pula sebagai alasan untuk menerapkan tren yang sedang berkembang saat itu. Dengan kata lain bahwa konsultan menyarankan kebijakan tersebut tanpa melihat terlebih dahulu kemampuan serta kesiapan dari para anggota organisasi tersebut.

Kegagalan penerapan salah satu praktek dalam manajemen sumber daya manusia adalah kebijakan diversity, yaitu gagal dalam membuat transisi atau peralihan dari kerangka organisasi monolothic menuju ke resiko yang berhubungan dengan masyarakat yang serius dan implikasi dasar finasial yang negatif (Allen dan Montgomery, 2001). Diberikan contoh kegagalan tersebut, adalah berupa program spesial yang berkelanjutan serta sering direncanakan secara tidak lengkap serta tidak berkesinambungan di dalam implementasinya.

Mereka berusaha untuk menciptakan lingkungan yang multikultur yang sebenarnya tidak pernah terealisasi karena kadang-kadang adanya usaha berupa outsourcing. Padahal belum tentu tenaga yang disewa dari luar tersebut dapat mengerti masalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh suatu perusahaan. Selain itu pula perlu diperhatikan bahwa kegagalan karena dukungan reward yang kurang mendukung.

Beberapa identifikasi alasan mengapa kebijakan diversity sering gagal:
1) Saat perusahaan akan memulai program tersebut, diversity dipandang sebagai cara terakhir penanganan praktek sumber daya manusia atau karena konsultan dari luar merekomendasikan penerapan program itu, daripada berusaha untuk menciptakan program dari dalam yang sesuai dengan kondisi perusahaan saat itu.
2) Banyak organisasi memilih program berupa an off-the-self atau one-size-fits-all. Jarang memilih program yang berdasarkan pada keunikan kultur organisasi tersebut, kekuatan internal, kelemahan dan kebutuhan serta implementasinya oleh konsultan internal dari organisasi itu sendiri.
3) Selain itu, kegagalan karena hanya sebatas pelatihan saja. Tidak pernah mencapai poin untuk merealisasikan dalam praktek-praktek. Manajemen puncak hanya sebatas janji-janji saja, tidak ada usaha dalam mewujudkan, sehingga karyawan tidak termotivasi dalam mempraktikkan yang didapat dari program pelatihan itu (Allen dan Montgomery, 2001).

2. Penerapan Perubahan Organisasional Dalam Konteks Diversitas
Cox (1991, dalam pembahasan Allen dan Mpntgomery, 2001), mengetengahkan beberapa sikap secara organisasional yang mengarah ke diversity, yaitu: pertama, tentang organisasi monolithic-yang berada pada level pengembangan sedikit akan penghargaan terhadap diversity; kedua, tentang otganisasi pluralistik-merupakan organisasi yang dicirikan dengan lebih banyak perbedaan dalam set/rancangan pegawai karena organisasi dibuat untuk usaha khusus menyewa serta mempromosikan anggota minoritas; dan, yang ketiga adalah organisasi multikultur-mengandalkan nilai diversity yang mereka ciptakan dalam pegawai mereka dan perbedaan anggota digali untuk dapat saling belajar dan mengadopsi norma atau nilai dari group minoritas. Diversity dalam penerapannya di organisasi perlu didukung oleh kondisi lingkungan yang multikultural. Karena diperlukan variasi yang luas dalam penerapan serta pemikiran dari para anggota organisasi yang bersangkutan.

Kemudian dalam mendukung kebijakan dalam organisasi, diajukan teori dari Lewin (Robbins, 1996) tentang penanganan terhadap sikap-sikap penolakan penerapan kebijakan dalam sebuah organisasi,disebut sebagai pendekatan ke pengololaan perubahan organisasional:
1. Unfreezing. Merupakan upaya perubahan untuk mengatasi tekanan-tekanan baik daari keengganan individual maupun kelompok. Pendapat dari allen dan Montgomery (2001), bahwa pelaksanaan program diversity dapat sukses bila ada sikap atau tindakan timbal balik dari pimpinan perusahaan.
2. Moving. Sekali perusahaan mengambil langkah-langkah awal untuk unfreeze suatu kultur, manajemen perusahaan itu harus bergerak melalui beberapa langkah untuk mencapai perubahan kultur organisasi secara komplit. Sebuah tindakan yang sinergi antar praktek dan aplikasi secara pas atau tepat seakan membantu meyakinkan bahwa implementasi diversity yang lebih sukses. Allen dan Montgomery (2001), menambahkan bahwa sebuah tipe organisasi yang multikultur akan menghasilkan lebih baik untuk bersaing dalam peningkatan marketplace yang beraneka ragam.
3. Refreezing. Merupakan tindakan memantapkan suatu intervensi perubahan dengan mempertimbangkan antara kekuatan dorong dan kekuatan tarik. Arti kekuatan ddorong adalah kekuatan yang mengarahkan perilaku menjauhi status quo. Allen dan Montgomery (2001) menambahkan, yaitu tindakan refreezing ditandai dengan penyalarasan kebijakan organisasi, prosedur, dan sistem penghargaan untuk mengekalkan kultur yang baru.

Tingkatan Sosiaal di Lingkungan Kerja. Perilaku orang akan terus berbeda setiap harinya, baik pemikirannya, keputusan pengambilan masalah dan masih banyak lagi. Namun dari cara pandang orang itulah yang perbedaan timbul antara satu orang dengan orang lain. Dinamika ketidaksamaan kualitas seseorang merupakan akar dalam organisasi secara hierarki berdasarkan pada karakteristik staatus (seperti jenis kelamin, umur, penghasilan, atau pendidikan). Perbedaan tersebut yang merupakan karakteristik status dapat dikatakan miik beberapa grup sosial. Evaluasi sosial dari karakteristik status untuk grup/kelompok sosial dalam lingkungan kemasyarakatan memperbolehkan untuk melihat pengaturan secara hierarki mengenai hubungan sosial antar manusiia.

Sedangkan gambaran sikap dari kelas sosial merupakan gambaran yang berdasarkan pada dimensi ekonomi. Seperti penghasilan, jabatan, dan pendidikan yang menyediakan struktur ekonomi dari kelas lingkungan sosial. Jika kelas sosial membentuk sosial kapital dalam lingkungan sosial, dan diharapkan dapat menemukan perbedaan kelas dalam persepsi orang dari tempat kerja. Sedangkan hubungan antara kelas sosial dan tempat kerja juga berperan dalam kehidupan dirumah. Carter (1994, dalam Harvey dan Allard, 2002), mencatat adanya prosedur otomatisasi di tempat kerja berdampak identitas kelas pekerja akan dibawa bersamaan dengan diri atau keberadaan mereka (Aquirre, dalam pembahasan oleh Hervey dan Allard, 2002).

Perlu dicatat adaalah bahwa kelas sosial bukan  merupakan faktor yang dapat men-diversity di tempat kerja. Namun perlu diperhatikan mengenai kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu pertama kelas sosial merupakan dimensi yang dinamis di tempat kerja yang kemudian perlu melihat pengorganisasian ekonomi yang berbeda dari masing-masing didasarkan pada latar belakang kelas pekerja, sedangkan yang kedua adalah perhatian juga pada perubahan demografik dalam lingkungan sosial suatu negara serta dampaknya di tempat kerja (Harvey dan Allard, 2002).

Kebudayaan Versus Diversity dalam Manajemen Sumber Daya Manusia. 
Bergeraknya berbagai hal di era kompetitif secara global, mempengaruhi berbagai bidang kehidupan manusia termasuk salah satunya bisnis dan manajemen yang lebih cepat berkembangnya daripada masa silam. Sedangkan pada tingkat individual, kehidupan yang tadinya berada di linngkungan yang kecil (village) makin berkembang dengan mobilitas internasional dan atau lingkungan cross-cultural dalam tim global secara temporer. Dengan kata lain lebih populer dengan sebutan virtual teams (Allard dan Harvey, 2002).

Terdapat tiga mekanisme yang sifatnya kritikal untuk menjelaskan perbedaan kultur yang orijin, yaitu religion, languange; geographical proximity, oleh Ronen dan Shenkar (1985, pembahasan oleh Rao dalam Harvey dan Allard, 2002). Kultur atau budaya mempunyai tiga layers, yaitu:
1. Layer 1 adalah behavior symbols seperti festival dan cara berpakaian.
2. Later 2 adalah attitude, ritual, dan structure seperti sikap yang mengarah pada wanita di tempat kerja.
3. Layer 3 adalah core value, beliefs seperti etika kerja.

Agama berdampak kuat pada level core value dan kepercayaan. Sebagai contohnya adalah berupa arti dari bekerja dalam kultur yang berbeda, asumsi-asumsi kultur dan etika. Agama membedakan (bertentangan) dalam penekanan mereka pada peraturan kerja di kehidupan. Seperti dalam Agama Protestan mengajarkan bahwa manusia harus bekerja keras di dunia dan kelak akan di surga sebagai penghargaannya. Filosofi Agama Hndu menaawarkan dharma atau tangan sebagai salah satu dari empat keselamatan. Oleh karena itu terdapat hubungan antar agama dan kultur terhadap perkembangan ekonomi. Analisisnya adalah bahwa kultur secara jangka panjang mempunyai nilai ketekunan, menawarkan  relationship, penghematan dan semua mempunyai peran dalam cepatnya pertumbuhan ekonomi.

Selain itu pula bahwa agama secara global mempunyai fokus pada aspek-aspek etika yang berbeda. Seperti dalam lingkungan kehidupan secara Islam memfokuskan pada kesejehteraan semua, dengan kata lain merupakan isu socioeconomic. Kemudian tentang dampak dari adanya kalender, jadwal dan jam kerja yang berbeda karena adanya kultur dan agama atau kepercayaan yang berbeda, harus diperhatikan karena akan mempunyai pengaruh pada pengaturan aktivitas di tempat kerja. Seperti dalam Islam ada bulan puasa selama satu bulan, kemudian dalam Agama Budha ada libur untuk memperingati Hari Waisak dan masih banyak lagi yang lain. Semua itu mempengaruhi aktivitas dalam bekerja. Jadi konflik pun dapat muncul sehingga manajer dituntut dapat secara bijaksana dan mempertimbangkan tren-tren tersebut agar dapat menemukan jalan untuk mengatasi dampak yang negatif tersebut. Karena telah diketahui bahwa agama dan kultur mempunyai banyak layer dan dapat saling mempengaruhi satu orang dengan orang yang lain (Harvey dan Allard, 2002). 

Dampak Pengelolaan Keragaman Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Organisas. 
Salah satu praktek dalam manajemen sumber daya manusia adalah kebijakan penerapan diversity yang sering dilihat sebagai perbedaan dalam bentuk fisik seperti perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, dan perbedaan agama atau kepercayaan. Namun seperti yang telah dibahas di atas yaitu pendapat dari Distefano dan Maznevski serta Harvey dan Allard, bahwa inti dari arti diversity lebih ke arah cara berpikir, perpendapat, bersikap serta bertindak yang heterogen sehingga dapat memandang suatu masalah dari berbagai sudut sehingga beraneka ragam ide serta pemikiran yang berguna untuk kemajuan dan kesejahteraan anggota organisasi.

Seperti yang dicontohkan oleh Johston dan Packer (1987, dalam pembahasan Richard dan Johnson, 2001), bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh para manajer di Amerika adalah mengindentifikasi mengenai integrasi antara para perempuan dan kaum minoritas masuk ke dalam tenaga kerja. Kemudian Richard dan Johnson (2001) mencoba mengetengahkan atribut-atribut organnisasional yang mendukung penerapan diversity dengan menggunakan Strategic Human Resource Management Theory (SHRM). Teori SHRM tersebut mencoba untuk menghubungkan antara kebijakan-kebijakan sumber daya manusia dan hasil atau outcomes organisasional. Prakteknya seperti salah satunya adalah komposisi sumber daya manusia yang dinilai kefektifannya dalam rangka menghadapi strategi bisnis, strategi sumber daya manusia, ketidakpastian lingkungan, dan outcomes organisasi (Wright dan McMahan, 1992, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001).

Diversity dalam Strategi Bisnis 
Kenyataan mengatakan bahwa strategi dalam bisnis akan mempengaruhi atau menggerakkan praktek-praktek pada manajemen sumber daya manusia. Strategi juga merupakan implikasi dari untuk hubungan diversity pada orientasi kinerja. Kemudian Snow dan Miles (1984, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001) mengetengahkan tipologi implikasi dari diversity yaitu designing strategic human resource management systems berupa:
1. Strategi berupa prospectors, tujuan bisnisnya: mengeluarkan produk baru dan peluang pasar, tujuan SDM: menciptakan tempat kerja yang responsif dan sensitif terhadap pasar serta bijaksana dalam mengasumsikan resiko dari inovasi, sedang tujuan diversity: menciptakan tempat kerja yang beraneka ragam dalam berbagai hal untuk menciptakan kreativitas dan responsif.

2. Strateginya: defenders, tujuan bisnisnya: meluaskan market share melalui kestabilan, pengembangan jalur produk secara mantap, volume tinggi dan orientasi pada harga rendah. Tujuan SDM: menciptakan efisiensi dan keefektifan tenaga kerja yang fokus pada produksi produk serta kualitas. Sedang tujuan diversity: manajemen diversity diarahkan pada sosialisasi tenaga kerja ke dalam norma-norma organisasional dan rutinitas.

3. Strateginya berupa: analyzers, tujuan bisnis: kombinasi dari prospectors dan defenders. Menciptakan kestabilan jalur produk dengan identifikasi produk baru dalam jalurnya. Tujuan SDM: menciptakan dan efisiensi serta efektif bagi tenaga kerja yang difokuskan pada produkasi produk dan kualitas yang dapat mengidentifikasi peluang pasar. Dan tentang tujuan diversity: mensosialisasikan tenaga kerja ke dalam rutinitas standar tetapi dengan orientasi grup yang lebih besar dalam mengidentifikasikan peluang pasar dalam pasar tertentu.

Diversity dalam Strategi SDM 
Banyak perusahaan atau organisasi yang berusaha untuk mengadopsi sistem kerja sumber daya manusia. Dalam hal strategi sumber daya manusia, kadang homogenitas lebih dipandang cocok dalam suatu sistem SDM, misalnya untuk pengurangan biaya (Arthur, 1994, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001). Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya kesepakatan dan konsekuensi dari praktek serta penerapan diversity dalam organisasi dan juga merupakan pengelolaan yang terus menerus sepanjang waktu.

Diversity dalam Ketidakpastian Lingkungan 
Pendapat dari Cox dan Blake (1991, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001), mencatat bahwa keefektifan manajemen diversity memajukan fleksibilitas secara organisasional. Karena dengan perbedaan pandangan dari berbagai macam pemikiran maka diharapkan akan lebih fleksibel dan luas variasinya dalam menghadapi permasalahan yang ada. Jadi dengan lingkungan yang tidak menentu, maka organisasi yang fleksibel dapat beradaptasi dengan setiap perubahan yang ada tesebut. Oleh karena itu orientasi pada diversity akan mendukung keadaan seperti tersebut di atas.

SIMPULAN 
Memahami suatu isu strategik, diversity, dalam dunia Manajemen SDM bukan hal yang mudah untuk dapat dipraktekkan dalam sebuah organisasi. Beberapa hal harus dipelajari mulai dari kematangan atau kesiapan personal organisasi itu, lingkungan internal dan eksternal yang mendukung pelaksanaannya, serta sikap dan motivasi dari para eksekutifnya, sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik. Namun, perlu dimengerti bahwa diversity bermula dari para individu yang membawa perbedaaan banyak dalam berbagai hal, bukan keragaman atau perbedaaan yang berasal dari luar untuk diterapkan ke dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, diversity sangat menarik dan penting untuk ditelaah lebih jauh dan dikupas secara mendalam dari berbagai sudut pandang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. S., & Montgomery, K. A., (2001), “Applying an organizational development approach to creating diversity”, Organizational Dynamics, 32 (2) pp. 149-161
Bowen, D. E., Ledford, Jr., G.E., & Nathan, B. R., (1991), “Hiring for the organization, not the job”, Academy of Management Executive, 5 (4) pp.35-51.
Brickson, S., (2000), “The Impact of Identity Orientation on Individual and Organizational Outcomes in Demographically Diverese Settings”, Academy of Management Review, 25 (1) pp.82-101.
Dass, R., & Parker, B., (1999), “Strategies for managing human resources diversity: from resistence to learning”, Academy of Management Executive, 13 (2) pp. 68-80.
Dreher, G. F., & Dougherty, T. W., (2001), Human Resource Strategy: A Behavioral Perspective for the General Manager. McGraw-Hill Irwin.
Distefano, J. J., & Maznevski, M.. L., (2000), “Creating value with diverse teams in global management”, Organizational Dynamics, 29 (1) pp. 45-63.
Dyer, L. D., & Reeves, T., (1995), “Human resource strategies and firm performance: What do we know and where do we go?”, International Journal of Human Resource Management, 6(3) pp.656-670.
Fernandez-Araoz, C., (1999), “Hiring without firing”, Harvard Business Review, July-August pp.109-120.
Harvey, C. P., & Allard, M. J., (2002), Understanding and Managing Diversity. 2nd edition. Prentice Hall.
Ivancevich, J.M.,dan Matteson, M.M., (1999), Organizational Behavior and Management, 5 th edition, McGraw-Hill, Singapore.
Richard, O. C., & Johnson, N. B., (2001), “Understanding the impact of human resource diversity practice on firms performance”, Journal of Management Issues, XIII (2) pp. 177-195, Summers.
Robbins, S. P., (1996), Perilaku Organisasi: Konsep - Kontroversi – Aplikasi. PT. Prenhallindo, Jakarta.
Schuler,R. S., (1990), “Repositioning the human resource function: Transformation or demise?”, Academy of Management Executive. 4 (3) pp.49-60.
Thomas, D. A., & Ely, R. J., (1996), “Making Differences Matter: A New Paradigm for Managing Diversity”, Harvard Business Review. September-October.
Ulrich, D., (1998), “A new mandate for human resource”, Harvard Business Review, January–February pp.124-134.
Walker, J. W., (1988), “Managing human resource in flat, lean and flexible organizations: Trends for the 1990’s”, Human Resource Planning, 11 (2) p.125-132.