Selasa, 11 Oktober 2016

Kualitas Mengajar



"Kita harus terus mendidik diri kita untuk menjadi pembelajar di pekerjaan kita. Sebab untuk mengasilkan siswa yang berkualitas,  maka kita  kualitaskan dulu pekerjaan kita melalui pembelajaran."  (Sofian)

Minggu, 17 Juli 2016

Jalan Panjang

"Sabar merupakan daya tahan mental. Sebuah daya tahan mental untuk menghindari prilaku budaya jalan pintas pada setiap aspek kehidupan. Sikap sportif yang tertanam dalam mental. Mental yang terus di latih. Duduk di atas batu. Biarkanlah tetesan keringatmu membasahinya"

"Bersama air. Mengalir. Meninggalkan bekas. Dan sebagian menguap. Menjadi awan. Menghujanimu. Lalu, membasahimu. Di perjalanan panjang".

"Nikmatilah perjalanan itu. Semoga selamat sampai di tujuan".

"Jangan lupa minum antimo". 

SABAR 





Sabtu, 16 Juli 2016

Self-transformation

Apabila pikiran Anda mampu dikelola dengan baik, maka dapat memunculkan kekuatan yang sanggup membebaskan Anda dari berbagai masalah. Saat Anda dilanda masalah, sesungguhnya itu berawal dari respons Anda terhadap apa yang pernah Anda lakukan. Artikel ini menjelaskan bagaimana cara membangkitkan kekuatan bawah sadar Anda.

Masalah, hambatan, dan cobaan hidup merupakan energi negatif yang terakumulasi, seringkali bermula dari masalah kecil saja namun dirasakan sebagai suatu kesulitan yang tak mudah dipecahkan. Apabila Anda punya cara pandang yang salah terhadap hambatan dan menjadi suatu ‘gaya hidup’ Anda, maka masalah demi masalah seakan tak jenuh menghampiri. Kondisi ini memicu kerasnya kerja otak dan jantung dan akibatnya Anda bisa kena stres. Segala permasalahan itu muncul lantaran pikiran kita belum diberdayakan.

Usaha memberdayakan pikiran dari berbagai pengamatan para ahli, diketahui ternyata banyak orang belum mengoptimalkan potensi otaknya. Richard Leviton, seorang peneliti otak mencatat, baru sekitar 4 sampai 10 persen saja kapasitas otak yang kita gunakan. Terlebih di zaman kini di mana pekerjaan semakin terspesialisasi kita menjadi terbiasa berpikir sebatas bidang kita saja. Setiap hari kita disibukkan dengan urusan rutin yang cenderung tak memungkinkan kita ‘menjenguk dunia lain’.

Jika kondisi ini terus-menerus berlangsung, tanpa upaya untuk merambah berbagai segi kehidupan yang dapat memperkaya kita, maka lambat laun otak menjadi tumpul. Potensi besarnya cuma mengendap dan tersembunyi di dasar diri. Padahal di situlah terletak kekhasan manusia dibanding makhluk lainnya. Apabila ciri khas itu tak dimanfaatkan, alangkah ruginya!
Dilihat secara garis besar, pikiran manusia dapat dibedakan menjadi dua : Conscious Mind (CM) atau pikiran sadar (12%) dan Subconscious Mind (SCM) atau pikiran bawah sadar (88%). Conscious Mind mampu mengakomodasi segala aktivitas sehari-hari termasuk ilmu pengetahuan (science). Pada pokoknya, conscious mind memakai raga kita sebagai instrumen. la adalah keinginan, desire, merupakan insting, yang meliputi 4 komponen, yaitu rasa ingin makan minum, tidur, rasa takut atau cemas, dan seksualitas. Rangsangan atau impuls yang ditangkap panca indera menimbulkan suatu rasa, lalu keinginan, dan action.

Aktivitas yang rutin dilakukan, juga pola hubungan sosial yang terbentuk hanya memanfaatkan bagian permukaan pikiran (conscious mind) ini. Akibatnya, apabila seseorang terbentur hambatan, acapkali dianggap sebagai masalah, karena pikiran tak lagi mampu mencernanya. Padahal sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya di dunia ini, pikiran manusia tidak hanya sebatas itu. Masih ada  subconscious mind yang jauh lebih besar prosentase dan kemampuannya.

Mengaktifkan Pikiran Bawah Sadar
Subconscious Mind merupakan pikiran bawah sadar di mana segala ingatan, kebiasaan, rencana, dan keinginan tersemai dan tumbuh menjadi kenyataan. Seperti tanah pertanian, apa pun yang ditanam bisa tumbuh subur di sini. Segala yang tertanam di dalam Subconscious Mind merupakan unsur pembangun self  image atau citra diri yang diyakini sebagai kepribadian seseorang.

Citra diri Anda terbangun melalui proses yang dimulai dari pengalaman masa kecil yang tertanam dalam alam bawah sadar, termasuk pula anggapan orang tentang Anda yang secara tak sadar Anda tanamkan dalam diri. Segala hal yang bersifat keindahan atau berintikan ‘rasa’ dioperasikan oleh otak kanan. Sayangnya, seringkali seseorang menyangka bahwa apa yang ada pada diri, citra dirinya, merupakan suatu yang tetap dan tak dapat diubah.

Karena itulah secara tak disadari pula kapasitas Subconscious Mind -nya mengendap dan tersembunyi. Padahal ‘lahan pertanian’ ini dapat diolah dengan cara mengganti ‘tanaman’ yang tak disukai dengan yang disukai saja. Artinya, anggapan yang kurang baik mengenai diri sendiri bisa kita ubah menjadi lebih baik, sesuai keinginan. Prosesnya disebut sebagai subconscious reprogramming. Apapun yang Anda tanam di lahan ini akan tumbuh dan berkembang. Asal bersungguh-sungguh dan cukup sabar, sebab bagaimanapun butuh proses yang tidak sekejap.


Manusia tidak seperti komputer. Kalau komputer mudah saja di-reinstall, program lama di-hapus, selesai. Menghapus program dalam otak manusia yang melekat dalam alam bawah sadar tidaklah mudah. Harus intens, butuh waktu. Inilah yang disebut self-transformation. 

Pustaka:
http://bramardianto.com/bagaimana-cara-membangkitkan-kekuatan-alam-bawah-sadar.html/unduh 17/7/2016


Kamis, 14 Juli 2016

Kinerja Fiskal Sulawesi Tengah Triwulan Pertama 2016

Kinerja Fiskal Sulawesi Tengah Triwulan Pertama 2016 (Tulisan pertama)
Oleh: Ahlis Djirimu
Dosen IESP Untad dan Ekonom Kementrian Keuangan RI


Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pajak Daerah merupakan penerimaan yang dihimpun di Provinsi Sulawesi Tengah, dan pada triwulan I tahun 2016, secara keseluruhan penerimaan pajak daerah mencapai Rp.301,56 milyar atau 23,09 persen dari anggaran PAD tahun 2016 sebesar Rp.1.902,84 milyar. Pajak daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pajak-pajak Daerah. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah pada Trwulan I 2016 secara agregat mencapai Rp.199,27 milyar atau 17,73 persen dari total target sebesar Rp.1.124,01 milyar. Penerimaan pajak daerah terbesar disumbang oleh Provinsi oleh Provinsi Sulawesi Tengah yakni Rp.149,61 milyar, yang kedua Kota Palu sebesar Rp.22,41 milyar dan yang ketiga Kabupaten Banggai sebesar Rp.9,06 milyar dan yang terkecil adalah Kabupaten Banggai Laut dengan hanya mencapai Rp.0,99 milyar. Retribusi Daerah adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Selama Triwulan I 2016, Penerimaan Retribusi Daerah secara keseluruhan mencapai Rp..34,12 milyar atau proporsinya mencapai 23,83 persen dari target. Penerimaan retribusi terbesar disumbangkan oleh Kabupaten Banggai sebesar Rp.15,05 milyar, kemudian Kota Palu sebsar Rp.4,47 milyar dan Kabupaten Tojo Una-Una sebesar Rp. 3,69 milyar. Sedangkan penerimaan Retribusi Daerah terkecil adalah Kabupaten Sigi dengan nilai sebesar Rp.0,51 milyar. Realisasi penerimaan tersebut disumbang dari penerimaan pajak daerah sebesar Rp.199,27 milyar atau proporsinya sebesar 17,73 persen, Retribusi Daerah Rp.34,12 milyar atau 23,83 persen, Kekayaan Daerah yang dipisahkan sebesar Rp.10 juta dan Lain-lain PAD yang sah sebesar Rp.68,15 milyar atau 11,40 persen.

Realisasi Penerimaan Pajak-Pajak Daerah yang hanya mencapai 17,73 persen masih jauh dari target, khususnya Kabupaten Morowali Utara, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan. Sedangkan Pendapatan dari Retribusi Daerah, realisasinya sampai Triwulan I 2016 cukup menggembirakan dengan capaian 23,83 persen dari target. Sementara pendapatan dari Kekayaan Daerah yang dipisahkan sampai Trwulan I 2016 hanya mencapai 0,03 persen, dan pendapatan lain-lain juga baru mencapai 11,40 persen. Patut dicatat bahwa Kabupaten Morowali dan Kabupaten Sigi merupakan penyumbang terkecil dari penerimaan lain-lain pendapatan yang sah..Penerimaan lain-lain PAD yang sah artinya PAD yang tidak dapat digolongkan sebagai perpajakan daerah atau maupun retribusi sampai dengan Triwulan I tahun 2016 Pemda Provinsi Sulawesi Tengah menyumbang PAD terbesar kedua setelah Kota Palu dengan realisasi Rp.16,30 milyar sedangkan Kota palu sebesar Rp.20,59 milyar.

Realisasi Pendapatan Negara Provinsi Sulawesi Tengah pada triwulan I tahun 2016 secara keseluruhan mencapai Rp.561,25 milyar, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp.508,80 milyar, PNBP sebesar Rp.54,45 milyar. Sedangkan realisasi belanja sampai dengan triwulan I tahun 2016 mencapai Rp.4.510,03 milyar atau 25,77 persen dari pagu anggaran Rp.17.510,95 milyar. Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp.840,54 milyar rupiah, transfer ke daerah Rp.3.669,49 milyar. Realisasi Pendapatan Negara Provinsi Sulawesi Tengah pada triwulan I tahun 2016 secara keseluruhan mencapai Rp. 561,25 milyar yang terdiri dari penerimaan perpajan sebesar Rp.508,80 milyar, PNBP sebsar Rp.54,45 milyar. Sedangkan realisasi belanja sampai dengan triwulan I tahun 2016 mencapai Rp.4.510,03 milyar atau 25,77 persen dari pagu anggaran Rp.17.510,95 milyar. Belanja negara ini terdiri dari belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp.840,54 milyar.

Realisasi Belanja Provinsi Sulawesi Tengah pada Triwulan I tahun 2016 secara keseluruhan mencapai 840,54 milyar atau 12,01 persen dari alokasi anggaran belanja 2016. Realisasi Belanja tertinggi dicapai Belanja Pegawai mencapai Rp.376 milyar atau 18 persen dan terendah realisasi adalah belanja bantuan sosial baru mencapai 0,18 persen. Demikian pula Belanja Baarang dan Belanja Modal baru mencapai 9 persen. Hal ini disebabkan belum optimal perencanaan kas yang dilakukan oleh satuan kerja dalam memenuhi kebutuhan institusinya sehingga diperkirakan akan terjadi penumpukan pengajuan realisasi belanja pada triwulan berikutnya. Berdasarkan data pada Kanwil Direktorat Jenderal Perbedaharaan Negara Provinsi Sulawesi Tengah terlihat adanya trend peningkatan realisasi belanja pada bulan-bulan berikutnya. Hal ini sangat baik dan diharapkan terus berlanjut sehingga tidak terjadi penumpukan permintaan realisasi pada akhir tahun.

Realisasi belanja pusat baru mencapai 12,01 persen yang seharusnya minimal telah mencapai 20 persen pada triwulan I 2016. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah khusunya pertumbuhan langsung yakni pertumbuhan yang didorong oleh belanja negara. Untuk itu, Pemda didorong untuk segera mempercepat penyerapan anggaran khusunya pada belanja modal. Sedangkan dari sisi pembiayaan sampai dengan triwulan I 2016 dalam posisi defisit Rp.3.943,76 milyar.

Total dana transfer tahun 2016 mencapai Rp.14,64 triliun, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dengan alokasi tertinggi sebesar Rp.8,65 triliun, kemudian Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sebesar Rp.2,56 triliun, dana alokasi terkecil adalah Dana Otonomi Khusus (DOTSUS) dengan alokasi Rp 0,13 triliun. Pada triwulan I 2016 DAU telah terealisasi sebesar Rp.3,79 triliun. Dari jumlah tersebut, DAU yang digunakan untuk pembayaran gaji dan lain-lain telah terealisasi sebesar Rp.2,85 triliun atau 33 persen dari alokasi. (bersambung).

Sumber:
Radar Sulteng,Selasa 12 Juli 2016, hal 9.    







   

Rabu, 13 Juli 2016

Kinerja Fiskal Sulawesi Tengah Triwulan Pertama 2016

Kinerja Fiskal Sulawesi Tengah Triwulan Pertama 2016 
(Tulisan 2)
Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
(Dosen IESP FE Untad dan Ekonom Kementrian Keuangan RI)


Belanja modal terdiri dari belanja modal jalan, irigasi dan jaringan yakni sebesar Rp. 2.111,12 milyar dengan realisasi pada triwulan ini mencapai Rp. 180,39 milyar. Kemudian belanja gedung dan bangunan mendapat alokasi Rp.258,24 dan realisasi Rp.18,43 milyar.

Selanjutnya, belanja peralatan dan mesin dengan anggaran Rp.171,46 milyar dengan realisasi Rp.27,68 milyar diikuti belanja fisik lainnya dengan alokasi Rp.53,67 milyar. Sedangkan belanja modal untuk pengadaan tanah sebesar Rp.16,56 milyar telah terealisasi Rp.5,56 milyar.

Pengeluaran Pemerintah untuk investasi tersebut antara lain seperti pengadaan tanah dan pembelian meningkatkan stok barang modal (capital stock) secara fisik, dan meningkatkan output di masa-masa mendatang. Investasi produktif yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi dengan berbagai investasi penunjang yang disebut investasi "infrastruktur" ekonomi dan sosial. Investasi penunjang tersebut, antara lain berupa jalan, jaringan irigasi dan sebagainya, yang kesemuanya mutlak diperlukan, yang pada tahun 2016 hanya mendapat alokasi sebesar Rp. 2,55 triliun.

Realisasi Pendapatan Asli Daerah triwulan I Tahun 2016 mencapai 301,66 milyar dari alokasi perkiraan pendapatan sebesar Rp.1.902,84 milyar, realisasi terbesar diperoleh dari penerimaan pajak daerah yakni Rp. 199,27 milyar dari estimasi pendapatan Rp. 1.124,01 milyar, kemudian lain-lain PAD yang sah dengan realisasi Rp. 68,15 milyar dan Retribusi  Rp. 34,12 milyar serta Kekayaan daerah yang dipisahkan.

Secara keseluruhan, target pendapatan daerah yang meliputi 14 kabupaten/kota dan provinsi sebesar Rp. 17.559,97 milyar dan telah terealisasi sebesar Rp. 4.054,50 milyar. Realisasi penerimaan pendapatan terbesar adalah satker dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebesar Rp. 765,17 milyar atau 32,89 persen dari total realisasi.

Alokasi belanja pemerintah daerah tahun 2016 secara keseluruhan dari 14 Kabupaten/kota dan provinsi mencapai Rp. 18.090,94 milyar dan sampai dengan triwulan pertama 2016 telah terealisasi sebesar Rp.1.829,16 milyar atau 10,70 persen. Belanja operasi yang meiliputi pembayaran gaji dan belanja operasional mendapat alokasi terbesar dengan nilai Rp.13.094,36 milyar atau 72,38 persen. Dari pagu belanja Rp.13.094,36 milar, 18,12 persen digunakan untuk pembayaran gaji dan belanja barang keperluan kantor serta perjalanan dinas, 10 persen belanja modal dan sisanya untuk bantuan sosial dan lain-lain.

Pembiayaan pada triwulan I 2016 belum terlalu banyak digunakan karena posisi keuangan masih surplus, sedangkan penerimaan pembiayaan dari SILPA tahun anggaran lalumasih tersedia, dan pengeluaran pembiayaan di gunakan untuk penyertaan modal pemerintah dan pemberian pinjaman kepada daerah.

Realisasi belanja pegawai, barang dan modal triwulan I 2016 mencapai Rp.1.662,95 milyar, dari alokasi anggaran 14.794,55 milyar dengan realisasi terbesar pada belanja pegawai sebesar Rp.1.114,65 milyar, barang Rp.334,96 milyar dan belanja modal Rp.21334 milyar, Satker-satker pada provinsi dengan realisasi terbesar diikuti Kota Palu dan Kabupaten Banggai Kepulauan sedangkan yang terkecil serapannya adalah Kabupaten Banggai Laut.

Privinsi Sulawesi Tengah tahun 2014 memiliki 6 BLUD dan RSUD dan telah ditetapkan menjadi BLUD penuh pada tahun 2016. Sampai dengan Triwulan I 2016, tingkat realisasi dapat dilihat pada RSUD Undata merupakan RSUD Provinsi, dengan anggaran sebessar Rp. 183,6 milyar dengan tingkat realisasi sebesar Rp.27,76 milyar, dengan perkiraan penerimaan PAD terbanyak Rp.113,76 milyar dan kemudian diikuti oleh RSUD Anutaloko Kabupaten Parigi Mauotong dengan perkiraan PAD sebesar Rp.111,34 milyar. Namun realisasi penerimaan terbanyak pada RSUD Madani Provinsi  Sulawesi Tengah, dengan perkiraan PAD sebesar Rp. 44,94 milyar yang telah merealisasikan sebesar  Rp.19,47 milyar pada triwulan I 2016. Sedangkan RSUD Kabelota Kabupaten Donggala merupakan BLUD termuda, menjadi BLUD penuh pada tanggal 31 Desember 2015. Aset BLUD adalah aset Pemerintah daerah yang tidak terpisahkan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005, aset BLUD yang tercatat sampai dengan 31 Maret 2016 sesuai daftar tersebut di atas, RSUD Anutapura memiliki aset terbesar Rp.175,34 milyar. Namun pada tahun anggaran 2016 masih sangat kecil yakni Rp. 39,44 milyar. Saat ini, Provinsi Sulawesi Tengah terdapat enam BLUD Daerah yakni RSUD Anutapura Palu merupakan RSUD terbesar di Kota Palu dengan anggaran sebesar Rp. 132 milyar, dan RSUD Kabupaten Poso merupakan RSUD yang statusnya masih bertahap dengan anggaran sebesar Rp.. 42 milyar, RSUD Anutaloko Kabupaten Parigi Mautong, RSUD Kabelota Kabupeten Donggala RSUD Undata dan RSUD Madani yang keduanya milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Sampai TriwulanI 2016, realisasi penerimaan terbesar oleh RSUD Undata mencapai Rp. 27,76 milyar dari target Rp. 183,6 milyar. Selanjutnya, RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah yang realisasinya mencapai Rp. 19,47 milyar atau proporsinya 43,32 persen atau target mencapai Rp. 44,94 millyar.

Investasi Pemerintah Daerah pada tahun 2016 diperkirakan mencapai Rp. 44,94 milyar, dengan investasi terbesar di sumbang Kabupaten Toli-Toli sebesar Rp. 10,24 milyar, kemudian Sulteng Rp. 9,20 milyar, dan Kota Palu Rp.7,96 milyar. Sedangkan investasi terkecil oleh Kabupaten Buol dengan dana disertakan sebesar Rp. 1.30 milyar.

dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pajak Daerah merupakan penerimaan yang sangat signifikan yang pada triwulan I tahun 2016 mencapai Rp. 199,27 milyar atau proporsinya mencapai 17,73 persen dari target Rp.1.124,01 milyar. Kedua, realisasi Penerimaan Retribusi Daerah secara keseluruhan sampai dengan triwulan I tahun 2016 mencapai 34,12 milyar atau proporsinya mencapai 23,83 persen dari target penerimaan retribusi daerah. Penerimaan retribusi terbesar didominasi pada daerah-daerah penghasil tambang yai tu Kabupaten Banggai sebesar Rp.15,05 milyar, Kota Palu sebesar Rp.4,47 milyar dan Kabupaten Tojo Una-Una sebesar Rp.3,69 milyar.. Sedangkan penerimaan retribusi daerah terkecil disumbangkan oleh Kabupaten Sigi yang hanya mencapai Rp.0,51 milyar. Ketiga, pada Triwulan I tahun 2016, Penerimaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan hanya terealisir pada Kabupten Tojo Una-Una yakni sebesar Rp.10 juta atau 0,026 persen dari target sebesar Rp.38,06 milyar. Keempat, Penerimaan lain-lain PAD yang sah secara keseluruhan berhasil dihimpun sebesar Rp.20,59 milyar dari Kota Palu dan Rp.16,30 milyar dari Provinsi Sulawesi Tengah. Kelima, pada Triwulan I 2016, realisasi Pendapatan Nrgara Provinsi Sulawesi Tengah mencapai Rp.561,25 milyar yang terdiri dari penerimaan perpajakan mencapai Rp.508,80 milyar dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp.54,45 milyar. Keenam, realisasi Belanja Provinsi Sulawesi Tengah pada Triwulan I  2016 mencapai Rp.840,54 milyar atau 12,01 persen dari alokasi anggaran belanja 2016. Realisasi belanja terbesar oleh Belanja Pegawai yang mencapai Rp.376 milyar atau proporsinya 19 persen. Sebaliknya, realisasi belanja terkecil pada Belanja Bantuan Sosial yakni sebesar 9 persen. Ketujuh, hingga Triwulan I 2016 aset Badan Layanan Umum Universitas Tadulako mencapai Rp.1.006,85 milyar. Alokasi anggara BLU mencapai Rp.342,52 milyar yang terdiri dari PNBP mencapai Rp.137,95 milyar dan APBN sebesar Rp.204,57 milyar. Realisasi mencapai Rp.36,64 milyar atau proporsinya mencapai 18,79 persen. Dari jumlah tersebut, realisasi PNBP baru mencapai 2,69 persen.

Target pendapatan daerah secara keseluruhan 14 kabupaten/kota/provinsi di Sulawesi Tengah telah mencapai Rp.4.054,50 milyar atau proporsinya mencapai 23,09 persen dari target sebesar Rp.17.559,50 milyar. Sebaliknya, alokasi belanja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran 2016 telah terealisir sebesar Rp.1.829,16 milyar atau proporsinya mencapai 10,70 persen dari target belanja Pemda sebesar Rp.18.090,94 milyar. Dari jumlah tersebut, Belanja Operasional menempati proporsi terbesar mencapai Rp.13.094,36 milyar atau proporsinya mencapai 72,34 persen. Ini berarti 70 persen lebih belanja Pemda masih sebagian besar di belanjakan bagi kesejahteraan aparatur.   

Sumber: Radar Sulteng, Rabu 13 Juli 2016, Hal.9.









        







   

Selasa, 12 Juli 2016

Neuronomics

Neuronomics dan Teori Baru Ekonomi
Robert J. Shiller, Guru Besar Ekonomi di Yale University; Pengarang, Bersama George Akerloff, Buku Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global Capitalism
Sumber : KORAN TEMPO, 9 Januari 2012


Ilmu ekonomi saat ini berada pada titik awal dari suatu revolusi yang bermula dari suatu sumber yang tidak terduga: fakultas kedokteran dan sarana penelitiannya. Neuroscience--ilmu mengenai bagaimana sebenarnya kerja otak, organ fisik di dalam kepala manusia--telah mengubah cara berpikir kita mengenai bagaimana seseorang mengambil keputusan. Penemuan ini pasti juga bakal mengubah cara berpikir kita mengenai bagaimana kerja ekonomi. Singkatnya, kita sedang menyaksikan fajar terbitnya neuroeconomics, ilmu ekonomi berbasis saraf.

Upaya mengaitkan neuroscience (ilmu saraf) dengan ilmu ekonomi baru dimulai dalam beberapa tahun terakhir ini saja, dan perkembangan neuroeconomicsini masih berada pada tahap awal. Tapi lahirnya neuroeconomics mengikuti suatu pola: revolusi di bidang ilmu pengetahuan cenderung dimulai dari tempat-tempat yang sama sekali tidak diduga. 

Suatu bidang ilmu bisa mandul jika tidak ada pendekatan yang baru secara mendasar pada penelitian. Ilmuwan bisa terjebak dalam metode yang mereka gunakan--dalam bahasa dan asumsi pendekatan mereka pada disiplin ilmu yang mereka geluti--sehingga penelitian yang mereka lakukan merupakan pengulangan demi pengulangan semata yang tidak berarti.

Kemudian sesuatu yang menggairahkan datang dari seseorang yang tidak pernah menggunakan metode-metode ini--suatu ide baru yang menarik ilmuwan-ilmuwan muda dan segelintir ilmuwan tua, yang mau belajar ilmu yang berbeda. Pada momen tertentu, dalam proses inilah lahir suatu revolusi ilmiah.

Revolusi neuroeconomics ini sudah melewati tonggak-tonggak sejarah yang penting pada akhir-akhir ini, terutama dengan diterbitkannya akhir tahun lalu Foundations of Neuroeconomic Analysis karangan neurosaintis Paul Glimcher--variasi judul karya klasik Paul Samuelson pada 1947, Foundations of Economic Analysis, yang membantu lahirnya revolusi dalam teori ekonomi. Dan Glimcher sendiri sekarang memegang suatu jabatan di Fakultas Ekonomi New York University (dan juga pada Center for Neural Science di universitas yang sama).

Bagi sebagian besar ekonom, Glimcher mungkin dianggap datang dari ruang angkasa. Gelar doktor yang diembannya diterima dari Fakultas Kedokteran University of Pennsylvania, jurusan neurosains. Lagi pula para neuroeconomist, seperti Glimcher, melakukan penelitian jauh di luar lingkup intelektual konvensional rekan-rekan mereka, karena berupaya memajukan konsep-konsep inti ilmu ekonomi dengan mengaitkannya dengan struktur-struktur tertentu dalam otak.

Banyak di antara teori ekonomi dan keuangan modern bertumpu pada asumsi bahwa manusia itu rasional, dan karena itu dengan sistematis berupaya memaksimalkan kebahagiaan diri mereka sendiri, atau dalam bahasa ekonomi disebut "utilitas" mereka sendiri. Ketika Samuelson mengupas persoalan ini dalam bukunya pada 1947, ia tidak melihat ke dalam otak manusia, melainkan mengandalkan revealed preference atau preferensi yang "terwahyukan". Tujuan yang hendak dicapai manusia terungkapkan dari pengamatan kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Dengan bimbingan Samuelson, generasi demi generasi ekonom telah meletakkan dasar penelitian yang mereka lakukan bukan pada struktur fisik yang mendasari pikiran dan perilaku, melainkan pada asumsi rasionalitas.

Akibatnya, Glimcher merasa skeptis dengan teori ekonomi yang ada, dan mencari basis fisik bagi teori ekonomi itu di dalam otak manusia. Ia ingin mengubah teori utilitas yang "lunak" itu menjadi teori utilitas yang "keras" dengan menemukan mekanisme otak yang mendasari teori ekonomi.

Terutama sekali Glimcher ingin mengidentifikasi struktur otak yang memproses unsur-unsur utama teori utilitas ketika orang menghadapi ketidakpastian: "(1) nilai subyektif, (2) probabilitas, (3) produk dari nilai subyektif dan probabilitas (nilai subyektif yang diharapkan), serta (4) mekanisme neuro-computationalyang menyeleksi unsur di antara pilihan yang memiliki 'nilai subyektif yang paling tinggi'?".

Sementara Glimcher dan rekan-rekannya telah mengungkapkan bukti yang menggoda, mereka masih harus menemukan sebagian besar dari struktur otak yang paling mendasar. Mungkin itu karena struktur-struktur sedemikian memang tidak ada, dan seluruh teori maksimalisasi utilitas itu keliru, atau setidak-tidaknya perlu direvisi secara mendasar. Jika demikian halnya, penemuan itu saja bakal mengguncang ilmu ekonomi ke akar-akarnya.

Arah penelitian lainnya yang juga menggairahkan para neurosaintis adalah bagaimana otak menangani situasi yang ambigu, ketika probabilitas tidak diketahui, dan ketika tidak diperoleh informasi lainnya yang relevan. Sudah ditemukan bahwa kawasan otak yang digunakan untuk menangani masalah ketika probabilitas jelas diketahui berbeda dengan yang digunakan ketika probabilitas tidak diketahui. Penelitian ini bisa membantu kita memahami bagaimana orang menangani ketidakpastian dan risiko, misalnya, di pasar keuangan pada saat terjadinya krisis.

John Maynard Keynes mengira sebagian besar keputusan ekonomi itu diambil dalam situasi yang ambigu ketika probabilitas tidak diketahui. Ia berkesimpulan bahwa banyak di antara siklus bisnis itu digerakkan oleh fluktuasi animal spirits(roh hewani), sesuatu yang ada dalam pikiran--dan yang tidak dipahami oleh para ekonom.

Sudah tentu persoalannya dengan ilmu ekonomi terletak pada jumlah yang sama banyaknya antara penafsiran mengenai terjadinya krisis dan jumlah ekonom. Ekonomi merupakan struktur yang luar biasa kompleks, dan pemahamannya bergantung pada pemahaman hukum-hukumnya, aturan-aturannya, praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaannya, serta neraca-neracanya, di antara banyak perincian lainnya.

Namun mungkin saja pada satu hari nanti kita bakal mengetahui lebih banyak soal bagaimana bekerjanya ekonomi--atau gagalnya kerja ekonomi--dengan lebih memahami struktur fisik yang mendasari kerja otak. Struktur-struktur--jaringan neuron yang berkomunikasi satu sama lain lewataxons dan dendrite--itu mendasari analogi otak dengan komputer, jaringan transistor yang berkomunikasi satu sama lain lewat kabel listrik. Ekonomi merupakan analogi jaringan manusia yang berkomunikasi satu sama lain lewat sambungan elektronik dan sambungan-sambungan lainnya.


Otak, komputer, dan ekonomi, ketiganya merupakan perangkat untuk memecahkan persoalan informasi yang mendasar dalam mengkoordinasikan kegiatan tiap satuan--neuron, transistor, atau individu. Sementara kita meningkatkan pemahaman kita tentang masalah-masalah yang dipecahkan perangkat tersebut--dan bagaimana dengan demikian ia mengatasi rintangan--kita belajar sesuatu yang berharga mengenai kerja ketiganya: otak, komputer, dan ekonomi. 

Sumber:
http://wartadetik.blogspot.co.id/2012/01/neuronomics-dan-teori-baru-ekonomi.html
di unduh 13/07/16

Senin, 11 Juli 2016

STRATEGIC MANAGEMENT IN NOT-FOR-PROFIT ORGANIZATION: ISSUES IN NOT-FOR-PROFIT ORGANIZATION

I.  PENDAHULUAN
Dalam banyak pengalaman, sebagaian besar organisasi nonprofit dan organisasi pemerintah pada dasarnya memiliki type yang sulit dalam mendefinisikan strateginya bila financial perspective menjadi sudut pandang utamanya. Kesuksesan dalam bidang keuangan bukanlah tujuan utama pada sebagian besar organisasi nirlaba dan pemerintah. Pada jenis ini, organisasi dibangun dengan menempatkan konsumen atau masyarakat sebagai sasaran tertinggi dalam hirarki organisasi.

Pada sektor organisasi profit, konsumen  diperlakukan sebagai pembeli dan penerima jasa. Artinya konsumen bila ingin mendapatkan layanan maka mereka harus membayar. Kedua peran itu saling melengkapi dan tidak ada orang yang berfikir hal itu dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Akan tetapi dalam nirlaba, pihak donor menyediakan dana dan penerima jasa layanan dari organisasi adalah kelompok masyarakat yang menjadi sasaran organisasi tersebut. Oleh karena itu dalam organisasi nirlaba dan publik, perspektif konsumen dan penyandang dana (donor) ditempatkan pada aspek puncak dalam menyusun strategi organisasi.

Namun, menurut Wright et.al (1996) prinsip dasar dari management strategic pada organisasi profi dan nirlaba adalah serupa. Hal ini dikarenakan kedua jenis organisasi ini merasakan pentingnya dalam menilai berbagai aspek dalam menyusun strateginya. Misalnya, semua organisasi perlu melakukan analisis lingkungan;  memformulasikan sebuah visi, misi, dan tujuannya; menyusun strategi yang tepat; mengimplementasikan strategi, dan melakukan kontrol atas pelaksanaan strategi. Akan tetapi, pada nirlaba dan  publik organisasi terdapat berbagai perbedaan yang unik antara kedua bentuk organisasi itu. Hal ini terutama terletak pada penetpan tujuan dan juga funding support dari organisasi.

Pada paper singkat ini akan dibahas secara singkat perbedaan-perbedaan antara organisasi pencari laba dan organisasi nirlaba dan pengaruhnya terhadap proses manajemen strategis.

II. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari uraian di atas, pembahasan yang dilakukan dalam aspek ini adalah berkaitan dengan berbagai hal berikut:
  • Pentingnya organisasi nirlaba
  • Strategi pada organisasi nirlaba
  • Arti pentingnya sumber penerimaan pada organisasi nirlaba
  • Pengaruh berbagai kendala terhadap manajemen strategis pada organisasi nirlaba
  • Strategi-strategi popular pada organisasi nirlaba.
III. METODE KAJIAN
Kajian yang dilakukan bersifat teoritis, oleh karena itu  metode analisis yang dipakai dalam kajian ini menggunanakan analisis deskriptif. Guna menunjang tulisan ini sumber data dan informasi dilakukan melalui telaah literatur baik bersal dari buku teks maupun jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan topik ini. Dari kajian dan sumber terbatas yang di lakukan, diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang konsep/ aspek manajemen strategi pada organisasi nirlaba dan publik. 

IV. PEMBAHASAN
Secara khusus, terminolog nirlaba meliputi perusahaan swasta nirlaba (Seperti rumah sakit, institut, perguruan tinggi swasta, dan organisasi amal) dan unit atau lembaga pemerintah (seperti departemen sosial, lembaga pemasyarakatan, dan universitas negeri). Hal ini selaras dengan konsep yang dikemukakan oleh Wright et.al (1996) yang menyatakan bahwa organisasi nirlaba dapat dikatagorikan menjadi dua kelompok, yakni organisasi nirlaba swasta (umumnya mengacu pada organisasi nirlaba) dan organisasi nirlaba publik (dikenal dengan organisasi publik). Perbedaan antara organisasi nirlaba swasta dan organisasi nirlaba publik serta organisasi laba dapat diilustrasikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1.  Beberapa Perbedaan Antara Organisasi Laba dan Nirlaba
Sumber: Diadopsi dari Wright et.al, 1996.

Organisasi nirlaba merupakan suatu kesatuan yang berupaya untuk memberikan kontribusi bagi penciptaan kehidupan sosial yang lebih baik dan didukung oleh pendanaan pihak swasta.  Contoh dari organisasi nirlaba swasta adalah:
§  Private educational Institutions, seperti: Harvard University, The University of Chicago
§  Charities (organisasi amal), seperti: Easter Seal Society, Marc of Dimas
§  Social service organization, seperti: Alcoholic Anonymous, Girl Scouts of the USA
§  Health service organization, seperti: Houston’s Methodist Hospital, Johns Hopkins Healtn Sysytem
§  Foundation, seperti: Ford Foundation, Rockefeller Foundation.
§  Cultural organization, seperti: Los Angeles Philharmonic Orchestra, Chicago’s Field Museum of natural History.

Sementara organisasi nirlaba publik adalah organisasi nirlaba yang dibangun dan didanai oleh sektor publik yang meliputi pemerintah dan berbagai institusi yang ada pada pemerintahan:
§  Federal governementagencies, sperti: internal revenue services, United State Navy, Environmental Protection Agency
§  State government agencies, seperti: University of Kentaucky, Texas Departement of Correction, Pennsylvania Turnpike Authority.
§  Local Government agencies, seperti: Dallas Public Library, Dade Country Sheriff’s Departement, New York City Transit Authority.

Secara tradisional, berbagai studi dalam manajemen strategis hanya berhubungan dengan perusahaan-perusahaan pencari laba dengan kekecualian pada organisasi nirlaba dan organisasi pemerintah. Sampai saat ini relatif masih sedikit penelitian dibidang orginasasi nonprofit, namun terus berkembang. Berdasarkan beberapa penelitian empiris menyatakan bahwa organisasi nirlaba masih berada dalam tahap awal dalam menggunakan manajemen strategis.

Banyak para mahasiswa dan praktisi sekarang mempercayai bahwa berbagai konsep dan teknik manajemen startegis dapat diadaptasi dengan sukses pada organisasi-organisasi nirlaba. Walaupun bukti yang diberikan belum konklusif, namun ada hubungan antara upaya-upaya perencanaan strategis dan ukuran-ukuran kinerja seperti pertumbuhan.

4.1  Mengapa Nirlaba?
Sektor nirlaba dalam suatu perekonomian merupakan sektor penting untuk beberapa alasan. Pertama, masyarakat menginginkan barang dan jasa tertentu (terutama jasa layanan) yang oleh perusahaan pencari laba tidak dapat atau tidak akan disediakan. Hal tersebut berhubungan dengan barang publik atau kolektif karena orang yang tidak membayar untuk barang-barang tersebut juga menerima manfaat darinya. Jalan beraspal, perlindungan polisi, museum, dan sekolah-sekolah adalah contoh barang publik. Orang tidak akan dapat menggunakan barang-barang hasil produksi swasta bila tidak mampu membayarnya. Secara umum, jika sebuah barang publik tersedia, setiap orang dapat menggunakannya, menarik manfaat darinya, atau menikmatinya.

Kedua organisasi swasta nirlaba cenderung menerima manfaat dari masyarakat, yang perusahaan pencari laba tidak dapat memperolehnya. Status penerima kelebihan pajak adalah salah satu manfaat utama yang diterima organisasi nirlaba. Section 501 [c] 3 dalam parusahaan pajak Kantor Pajak Amerika Serikat [IRS] membebaskan perusahaan tanpa saham dari pajak pendapatan perusahaan. Di Amerika Serikat organisasi swasta nirlaba juga menikmati pembebasan dari berbagai pajak lainnya dari negara bagian, lokal dan federal. Dibawah kondisi-kondisi tertentu, organisasi tersebut menarik manfaat dari pengurangan pajak kontribusi para donor dan kewajiban-kewajiban keanggotaan. Sebagai tambahan, mereka memenuhi syarat untuk menikmati kemudahan jasa layanan pos kelas tiga. Manfaat-manfaat tersebut disediakan karena organisasi swasta nirlaba biasanya adalah organisasi jasa layanan, yang diharapkan menggunakan setiap kelebihan penerimaan atas biaya untuk meningkatkan pelayanan atau mengurangi harga jasa layanannya. Orientasi jasa layanan itu dicerminkan dengan fakta bahwa organisasi nirlaba tidak menggunakan terminology pelanggan kepada para penerima jasa layanannya. Mereka biasanya menyebut para penerima jasa layanan sebagai seorang pasien, pelajar, klien, atau sebutan sederhananya ‘ Publik ‘.

4.2.  Pendekatan Formulasi Strategi Pada Organisasi Nirlaba
Pada dasarnya organisasi nirlaba dan pemerintahan mengalami kesulitan dalam membangun struktur organisasinya bila aspek keuangan menjadi prioritas dalam hirarkinya penyusunan strategi. Oleh karena itu aspek keuangan bukanlah hal faktor kunci bagi kesuksesan organisasi nirlaba dan pemerintahan. Tujuan utama dari organisasi nirlaba dan pemerintah adalah menempatkan layanan bagi konsumen sebagai  target utama dari hirarki strategi.

Pada organisasi nirlaba dan pemerintah, dalam penyusunan strategi seharusnya mempertimbangkan dan menempatkan upaya pencapaian tujuan jangka panjang pada bagian utama dari strateginya, misalnya seperti menurunkan tingkat buta huruf dan memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat (kapaln dan Norton, 2001). Selanjutnya tujuan dalam organisasi nirlaba dapat dicapai melalui peningkatan  level dari tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, aspek keuangan bukanlah indikator yang relevan bagi pengukuran pencapaian misi dan tujuan  organisasi nirlaba. Misi organisasi seharusnya ditonjolkan dan diukur pada level yang paling tinggi dalam hal pelayanan pada konsumen (masyarakat). Kaplan dan Norton (2001) mengilustrasikan kerangka kerja strategi pada organisasi nirlaba sesepeti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa pada organisasi nirlaba misi dirumuskan bagi kepuasan penyandang dana (donor) dan konsumen atau masyarakat. Kedua aspek ini merupakan titik tolak aktivitas dalam organisasi dan faktor keuangan tidak menjadi target hasil kegiatan organisasi..

Gambar 1. Kerangka Kerja Strategik pada Organisasi Nirlaba

   Sumber; Diadopsi dari Kaplan dan Norton, 2001

Disisi lain, Kaplan dan Norton (2001) menggambarkan bahwa dalam sektor publik atau pemerintahan kerangka kerja strateginya sedikit berbeda. Hal ini lebih disebabkan oleh sifat pendanaan kegiatan yang berasal dari pemerintah itu sendiri yang berasal dari pajak atau bantuan lainnya (donor asing). Kerangka kerja strategik dari organisasi sektor publik ini dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 2. Kerangka Kerja Organisasi Sektor Publik


  Sumber; Diadopsi dari Kaplan dan Norton, 2001


Dari Gambar 2 di atas terlihat bahwa kerangka kerja pada organisasi publik sedikit berbeda dengan organisasi nirlaba. Menurut Kaplan dan Norton (2001) pandangan konsumen atau penyandang dana pada organisasi publik  terbagi atas tiga tingkatan, yakni:

  1. Biaya yang terjadi (cost incurred). Hal ini menekankan pada pentingnya pencapian efisiensi dalam aktivitas operasional.  Pengukuran biaya meliputi dua aspek yakni pengeluaran organisasi dan biaya sosialnya yang terjadi dalam masyarakat melalui organisasi.
  2. Value Created. Hal ini menekankan pada sudut pandang benefit yang diperoleh masyarakat (konsumen) dari aktivitas yang dilakukan organisasi publik. Hal ini merupakan hal yang paling banyak masalah dan sulit untuk diukur.
  3. Legitimizing Support. Hal ini adalah berkenaan dengan kelenjutan organisasi, oleh karenanya organisasi  harus bekerja keras memadukan tujuan organisasi dan sumber dana yaitu melalui peraturan, undang-undang dan pajak.
Lebih jauh Kaplan dan Norton (2001) menguraikan  upaya pencapaian tujuan pada publik organisasi melalui rangkaian aktivitas kerjasama dalam organisasi. Aktivitas ini ditunjukkan melalui kontribusi setiap individu dalam organisasi dan mempromosikan  integritas yang masksimal dari komunitas organisasi tersebut. Model integritas kerjasama ini dapat diilustrasikan pada Gambar 3 berikut ini. Pada Gambar 3, terlihat bahwa pada publik organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi berbagai perspektif aktivitas yang ada dalam organisasi harus saling terkait. Hal ini dimulai dari financial perspective yang dapat memberikan dukungan dana bagi pelaksanaan aktivitas organisasi  yang tergambar dari peningkatkan asset organisasi dan layanan;  efektivitas kompensasi, kinerja dan pelayanan; dan ketepatan dukungan dana bagi seluruh program atau jasa. Semua ini akan dapat membentuk kekuatan pada learning and growth organization dan Internal Perspective Oerganization. Dan pada akhirnya kekuatan dari pertumbuhan dan Internal Perspective akan dapat membentuk customer perspetive secara lebih baik. Customer persepetive ini akan tergambar dari kepuasan mereka akan layanan organisasi, optimaliasai kualitas hidup masyarakat, dan pengakuan masyarakat akan kekebaradaan organisasi tersebut.

Gambar 3. Model Kerjasa Terintegrasi Dalam Mencapa Tujuan Organisasi Pada Organisasi Publik

Sumber; Diadopsi dari Kaplan dan Norton, 2001

Guna memberikan gambaran yang lebih lengkap atas konsep strategi pada organisasi nirlaba dan organisasi publik, Kaplan dan Norton (2001) menampilkannya dalam bentuk tahapan seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bagaimana strategi disusun dengan fokus pada perseptive konsumen sebagai tujuan organisasi. Hal ini memperlihatkan tehapan-tahapan yang harus dilakukan organisasi dan juga obyektivitas dari setiap aktivitas yang harus dilakukan pada setiap level kegiatan yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian misi organisasi yang terwujud dari peningkatan kesejahteraan kehidupan konsumen atau masyarakat.


Gambar 4.  Tema Strategik pada Organisasi Nirlaba dan Organisasi Publik

Sumber; Diadopsi dari Kaplan dan Norton, 2001


4.3  Arti Penting Sumber Penerimaan
Gambaran yang paling membedakan antara organisasi nirlaba dengan organisasi nirlaba lainnya, demikian pula dengan perusahaan pencari laba, adalah sumber penerimaan. Perusahaan pencari laba tergantung pada penerimaan yang diperoleh dari penjualan barang-barang dan jasa kepada para pelanggannya, yang biasanya membayar atas biaya dan pengeluaran untuk penyediaan produk atau jasa. Organisasi nirlaba, sebaliknya, sangat tergantung pada iuran, kewajiban, dan sumbangan dari para anggotanya, atau pembiayaan dari agen sponsor seperti institusi pemerintah, untuk menanggulangi seluruh biaya dan pengeluarannya.

4.3.1 Sumber-sumber Penerimaan Nirlaba
Not-for-profit (NFP) organizations atau oganisasi-organisasi nirlaba menghasilkan penerimaannya dari berbagai sumber, tidak hanya berasal dari klien yang menerima produk atau jasa mereka. Penerimaan tersebut bahkan dapat berasal orang-orang yang tidak menerima jasa yang sedang mereka subsidi. Organisasi-organisasi amal seperti Amarican Cancer Society dan CARE adalah contoh-contohnya. Jenis lain NFP – seperti serikat pekerja dan rencana sukarelawan medis – penerimaan paling banyak berasal dari anggota, yaitu orang-orang yang menerima pelayanan. Namun demikian, para anggota biasanya  membayar iuran di muka dan kemudian harus menerima apapun pelayanan yang mereka harapkan. Pelayanan sering diterima lama setelah iuran-iuran dibayarkan.

Dalam perusahaan pencari laba, koneksi antara pelanggan atau klien dan organisasi biasanya sederhana dan langsung. Perusahaan-perusahaan cenderung tergantung sepenuhnya pada penjualan produk atau jasa mereka kepada pelanggan untuk memperoleh penerimaan, dan karena itu mereka sangat tertarik untuk menyenangkan para pelanggannya. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5, organisasi pencari laba (Organisasi A) mencoba mempengaruhi pelanggan untuk tetap membeli produknya dan menggunakan jasa layanannya. Baik membeli atau tidak membeli item yang ditawarkan, para pelanggan berada dalam posisi secara langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan organisasi. Oleh karena itu, bisnis tersebut dikatakan berorientasi pasar.

Gambar 5.  Pengaruh Sumber Penerimaan 
Terhadap Pengaruh Pada Pola Pelayanan Pelanggan Pada Organisasi


Sumber: Diadopsi dari Wheelen dan Hunger, 2000

Dalam kasus organisasi nirlaba, hubungan antara organisasi yang menyediakan dan orang yang menerima jasa hampir dapat dipastikan sangat berbeda. Oleh karena penerima jasa layanan biasanya tidak membayar seluruh biaya, maka diperlukan sponsor luar. Dalam banyak contoh, para sponsor menerima jasa apa pun namun memberikan sebagian atau sepenuhnya pembiayaan yang diperlukan untuk operasioanl. Pihak sponsor tersebut dapat berupa pemerintah (dengan menggunakan uang para pembayaran pajak) atau organisasi-organisai amal, seperti United Way (dengan menggunakan dana sumbangan sukarela). Seperti ditunjukkan pada Gambar 14., organisasi nirlaba dapat setengah bergantung pada para sponsor (Organisasi D) dalam pembiayaannya. Semakin sedikit uang yang diterima organisasi nirlaba dari klien penerima jasa atau produk, semakin berkurang orientasi pada pasar yang dilakukan organisasi nirlaba.

4.3.2  Pola Pengaruh Terhadap Pengambilan Keputusan Strategis
Pola pengaruh pada pengambilan keputusan strategis tergantung pada sumber-sumber penerimaan organisasi tersebut. Seperti tampak pada Gambar 1, sebuah universitas swasta (Organisasi B) tergantung sepenuhnya pada uang kuliah mahasiswa dan dana-dana berasal dari klien lainnya kurang lebih 71 % dari pendapatannya. Oleh karena itu keinginan-keinginan mahasiswa hampir dapat dipastikan berpengaruh kuat (Seperti yang ditunjukkan dengan garis yang tidak  terputus-putus terhadap pengambilan keputusan universitas daripada keinginan-keinginan lainnya yang berasal dari sponsor, seperti alumni dan yayasan-yayasan swasta. Relatif kecilnya pengaruh sponsor terhadap organisasi dicerminkan dengan sebuah garis putus-putus. Sebaliknya, universitas negeri [organisasi c] sangat tergantung pada sponsor luar, seperti dewan perwakilan rakyat, untuk pendanaannya. Uang kuliah mahasiswa dan dana-dana yang berasal dari klien lainnya relatifnya dalam jumlah persentase yang kecil (biasanya hanya 37%) dari total penerimaannya. Oleh karena itu, pengambilan keputusan universitas tersbut sangat dipengaruhi oleh sponsor (garis yang tidak terputus-putus). Dalam kasus organisasi D, klien tidak memiliki ukuran penagruh langsung pada organisasi karena klien tidak membayar sama sekali atas jasa yang diterimanya. Dalam jenis situasi seperti ini, organisasi cenderung mengukur efektivitasnya dari kepuasaan para sponsor. Organisasi tidak memiliki ukuran yang nyata dalam efisiensi selain dari kemampuan untuk membawa misinya dan mencapai sasaran-sasarannya dalam kontribusi uang yang diterima dari para sponsornya. Berbeda dengan organisasi yang para kliennya memberikan kontribusi signifikan terhadap proporsi penerimaan yang dibutuhkan, organisasi D sebetulnya mampu meningkatkan jumlah penerimaannya dengan terus-menerus melobi para sponsornya untuk meningkatkan jumlah sumbangannya, sementara dilain sisi mengurangi tingkat pelayanan kepada para kliennya.

Dengan mengesampingkan persentase total pembiayaan yang dihasilkan klien, pihak klien dapat berusaha untuk tidak secara langsung mempengaruhi organisasi nirlaba melalui para sponsor. Situasi tersebut digambarkan dengan garis terputus-putus yang menghubungkan klien dengan para sponsor di organisasi B, C dan D. Klien departemen sosial atau penghuni penjara, sebagai contoh, dapat meningkatkan secara tidak langsung jasa layanan yang mereka terima jika mereka menekan para petugas pemerintah dengan menulis surat kepada para pembuat undang-undang (dewan perwakilan rakyat), mengisi tuntutan hukum, atau bahkan melakukan kerusuhan. Para mahasiswa di universitas negeri dapat pula melobi petugas negara, dewan perwakilan rkyat atau mengadakan demontrasi untuk mendukung perubahan-perubahan lainnya yang mereka inginkan.

Kunci untuk memahami manajemen organisasi nirlaba adalah dengan mempelajari siapa yang membayar untuk jasa layanan yang diberikan. Jika penerima jasa layanan membayar hanya dalam proporsi yang kecil dari total biaya jasa layanan tersebut, para manajer strategis hampir dapat dipastikan akan lebih memperhatikan untuk memuaskan kebutuhan  dan keinginan para sponsor atau lembaga-lembaga yang mendanai daripada memuaskan kebutuhan dan keinginan orang-orang yang menerima jasa layanan tertsebut. Maka proses akuisisi terhadap sumber daya dapat berakhir dengan sendirinya.  

4.3.3  Kegunaan Konsep dan Teknik –teknik Manajemen Strategis
Orientasi pasar yang mendasari penelitian teknik portofolio dan Profit impact of marketing strategies (PIMS) tidak membawa kepada situasi dimana kepuasaan klien penerimaan terkait secara langsung, tetapi hanya terkait secara tidak langsung. Analisis industri mungkin relevan pada beberapa organisasi nirlaba, tetapi tidak bagi organisasi yang mendapatkan sebagian besar pendanaannya dari sponsor. Namun demikian, analisis SWOT dan analisis stakeholder adalah teknik yang relevan bagi sebuah organisasi nirlaba sebagaimana teknik tersebut  digunakan dalam sebuah organisasi pencari laba. Manajemen strategis sulit diaplikasikan jika output organisasi sulit diukur dengan obyektif, seperti dalam kasus banyak organisasi nirlaba. Jadi, kebanyakan organisasi nirlaba kemungkinan besar tidak menggunakan manajemen strategis karena konsep, teknis, dan solusi-solusinya tidak dapat menolong organisasi tersebut pada situasi dimana para sponsorlah, bukan pasar, yang menetukan pendapatan yang akan diterima organisasi nirlaba itu. Namun demikian, situasi itu sedang berubah. Kecenderungan untuk memprivatisisasi organisasi-organisasi publik, seperti mengubah status rumah sakit umum yang disubsidi ke status independen (tidak disubsidi), biasanya berarti para klien membayar sejumlah persentase pasar – (demikian juga para kliennya), manajemen strategis menjadi lebih dapat diaplikasikan dan meningkat penggunaannya. Meskipun demikian, berbagai kendala yang ditemui pada organisasi nirlaba membuat konsep dan teknik menejemen strategis harus dapat dimodifikasi supaya lebih efektif.

4.4 Pengaruh Berbagai Kendala Terhadap Manajemen Strategis
Beberapa karakterisrik yang khas pada organisasi nirlaba membatasi perilaku organisasi tersebut dan mempengaruhinya dalam menggunakan menejemen strategis. W. H. Newman dan H. W. Wallender mengidentifikasi lima karakterristik kendala berikut ini ;

1.   Jasa layanan sering tidak terwujud dan sulit diukur, yang seringkali dipersulit dengan kieberadaan berbagai saran layanan yang dikembangkan dalam upaya memuaskan berbagai sponsornya.
2.   Pengaruh klien terhadap organisasi mungkin lemah karena organisasi sering memiliki monopoli lokal, dan pembayaran dari para klien mungkin hanya sejumlah kecil dari sumber pendanaan
3.   Kuatnya komitmen karyawan pada profesi atau pada suatu perkara dapat mengurangi kestiaan mereka pada organisasi yang memperkerjakan mereka.
4.  Sumber daya para kontributor – khususnya kontibutor dana dan pemerintah – dapat menganggu manajemen internal organisasi tersebut.
5.      Banyaknya batasan dalam menggunakan system penghargaan dan pemberian hukuman merupakan akibat dari karakteristik 1, 3, dan 4.

Beberapa dari karakteristik tersebut dapat ditemukan dalam organisasi pencari laba dan dalam organisasi nirlaba. Namun demikian, seperti yang dinyatakan oleh Newman dan Wallender, bahwa ‘… frekuensi dampak yang kuat tersebut lebih tinggi dalam perusahaan nirlaba….’

4.4.1  Pengaruh Terhadap Perumusan Srtategi
Lima karakterisrik kendala tersebut juga menambahkan sedikitnya empat komplikasi pada perumusan
strategi.

1.  Konflik tujuan mengganggu perencanaan yang rasional. Oleh karena organisasi nirlaba biasanya tidak memiliki kriteria kinerja tunggal yang jelas (seperti laba), sehingga sulit untuk mempertemukan tujuan dan sasaran.  Ketidaksesuaian terjadi terutama jika ada banyak sponsor. Perbedaan kepentingan berbagai sponsor penting dapat menghalangi manajemen puncak dalam menetapkan suatu misi organisasi yang meliputi berbagai hal. Seorang sponsor yang tidak setuju dengan sebuah misi tertentu dapat membatalkan pendanaannya. Sebagai contoh, studi terhadap 227 rumah sakit di Kanada menunjukkan bahwa lebih dari setengahnya memiliki, sasaran-sasaran yang sangat umum, berarti ganda, dan tidak dapat diukur. Menurut F. Heffron, seorang ahli dalam administrasi publik; ‘’Semakin besar keterbukaan yang memaksa mereka untuk beroperasi – atmosfir yang menekan semua orang – sangat menghalangi pembahasan berbagai masalah dan mengecilkan arti rencana-rencana jangka panjang yang dapat menjauhkan stakeholder dari organisasi. Pada organisasi-organisasi tertentu, berkurangnya pengaruh klien membuat adanya perbedaan nilai sasaran tanpa ada pengecekan yang jelas terhadap pasar. Sebagai contoh, jika dewan kota mempertimbangkan untuk mengubah penetapan wilayah untuk mengimplementasi sebuah rencana strategis untuk kota tersebut, seluruh lapisan masyarakat akan hadir (termasuk wartawan) menuntut untuk didengar. Keputusan dapat didasarkan pada tekanan dari beberapa stakeholder (yang membuat kampanye yang signifikan atau kontribusi lainnya atau orang-orang yang mengancam akan menimbulkan kekacauan) yang dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat sebagai satu kesatuan.
2.  Fokus perencanaan yang terintegrasi cenderung bergeser dari hasil yang akan dicapai kepada sumber daya yang tersedia. Karena organisasi nirlaba cenderung menyediakan jasa yang sulit diukur, mereka jarang memiliki garis batas kinerja yang jelas. Oleh karena itu, perencanaan menjadi lebih berhubungan dengan ketersediaan sumber daya, yang dapat diukur dengan mudah, daripada jasa layanannya yang sulit diukur. Perubahan tujuan bahkan menjadi hal yang lebih pasti dibanding dengan organisasi pencari laba.
3.  Sasaran-sasaran proses operasi yang memiliki arti ganda menciptakan kesempatan terjadinya politik internal dan perubahan tujuan. Kombinasi sasaran yang tidak jelas dan besarnya perhatian yang diberikan pada sumber daya yang ingin diperoleh membuat para manajer mempunyai peluang yang cukup dalam aktivitas-aktivitasnya. Peluang tersebut memungkinkan mereka melakukan manuver politik bagi kepentinagan seseorang. Sebagai tambahan, karena efektifitas organisasi nirlaba tergantung pada kepuasaan kelompok yang mensponsori, maka manajemen cenderung mengabaikan kebutuhan para klien dan lebih mementingkan keinginan sponsor yang kuat. Biasa diketahui dalam administrasi universitas bahwa orang-orang akan menyumbangkan sejumlah uang untuk pembangunan sebuah gedung baru (yang akan diberi nama sesuai nama penyumbangnya) tetapi tidak lagi menyumbangkan uang pada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih mendesak, seperti perawatan gedung yang telah ada. Dalam situasi seperti itu, kepala-kepala departemen yang berkuasa akan menjamu makan dan minum seorang donor, berharap mendaptkan uang untuk proyek-proyek mereka.  Masalah itu dipersulit dengan fakta bahwa dewan pengawas sering dipilih bukan berdasarkan pengalaman manajerial mereka, tetapi pada kemampuan kontribusi uang, kemampuan untuk meningkatkan dana, dan bekerjasama dengan para politisi. Mereka kurang berminat untuk mengawasi manajemen, hal ini tercermin dari rata-rata kehadiran anggota dewan pengawas organisasi nirlaba pada setiap pertemuan yang hanya sebesar 50%, dibandingkan dengan rata-rata dewan komisaris perusahaan pencari laba yang sebesar 90%. Oleh karena itu, anggota dewan pengawas organisasi nirlaba cenderung mengabaikan tugas-tugasnya dalam menentukan strategi dan kebijakan – menyerahkannya kepada direktur pelaksana yang digaji (kadangkala tidak digaji). Semakin besar anggota dewan pengawas, semakin kurang kontrol terhadap manajemen puncak.
4.   Profesionalisasi menyederhanakan perencanaan yang rinci namun menambah kekakuan. Pada organisasi nirlaba yang professional dalam memainkan peranan penting (seperti rumah sakit atau perguruan tinggi), nilai professional dan tradisi dapat menghalangi organisasi untuk mengubah pola prilaku konvensionalnya ke misi pelayanan baru yang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial. Kelakuan ini, tentu saja, dapat terjadi di setiap organisasi yang mempekerjakan para professional. Namun demikian, kuatnya orientasi jasa pada banyak  organisasi nirlaba cenderung mendorong perkembangan sikap dan norma-norma profesioanl yang statis.

4.4.2  Pengaruh Terhadap Implementasi Stategi 
   Lima karakteristik kendala tersebut juga mempengaruhi bagaimana sebuah organisasi nirlaba diorganisir baik dalam struktur maupun dalam desain pekerjaannya. Ada tiga komplikasi yang harus diperhatikan.

1.       Desentralisasi adalah hal rumit. Kesulitan dalam menetapkan sasaran untuk sesuatu yang tidak berwujud, misi jasa yang sulit diukur, menyulitkan pendelegasian wewenag pengambilan keputusan. Karena besarnya ketergantungan pada sponsor untuk memperoleh penerimaan, manajemen puncak organisasi nirlaba harus senantiasa waspada terhadap pandangan sponsor terhadap aktivitas organisasi. Pentingnya kehati-hatian itu mengarah kepada ‘’desentralisasi defensif‘’, dimana  manajemen puncak mempertahankan wewenang pengambilan keputusannya sehingga para manajer tingkat bawah tidak dapat mengambil satu tindakan pun terhadap hal yang menjadi sasaran pihak sponsor.
2.    Keterkaitan kepedulian yang sama terhadap integrasi eksternal-internal menjadi hal yang penting. Karena besarnya ketergantungan pada sponsor luar, muncul kebutuhan khusus bagi orang-orang yang ada dalam peran ‘’penyangga’’ untuk menghubungkan baik kedalam maupun keluar kelompok-kelompok yang ada. Peran tersebut terutama penting jika para sponsor berbeda-beda (penerimaan datang dari sumbangan, iuran anggota, dan dana pemerintah), dan jasa tidak berwujud (sebagai contoh: pendidikan yang ‘’baik’’) dengan misi yang luas dan berbagai pergeseran sasaran. Pekerjaan seorang dekan untuk hubungan dengan pihak luar, misalnya, terutama terdiri dari pekerjaan yang berhubungan dengan alumnus sekolah dan mencari dana.
3. Job enlargement dan pengembangan eksekutif dapat terhambat dengan adanya profesionalisme. Dalam organisasi yang memperkerjakan sejumlah besar para professional, manajer harus mendesain pekerjaan-pekerjaan yang menarik untuk mempengaruhi norma-norma profesionalisme. Para professional jarang memiliki gagasan-gagasan yang jelas tentang aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan dan yang tidak, dalam wilayah kerja mereka. Memperkaya pekerjaan seorang perawat dengan memperluas wewenangnya terhadap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penetuan dosis obat, misalnya, dapat menyebabkan konflik dengan dokter medis yang mempercayai bahwa wewenang seperti itu hanya milik mereka sendiri. Oleh karena para professional dan hanya bersifat pendukung, mereka tidak selalu memandang promosi bagi posisi manajemen sebagai hal yang positif.

4.4.3  Pengaruh Terhadap Evaluasi dan Pengendalian
Komplikasi khusus yang muncul dari karakteritik kendala tersebut juga mempengaruhi bagaimana perilaku dimotivasi dan kinerja diawasi. Dua masalah khusus yang sering muncul adalah ;

1.    Pemberian penghargaan dan penalti hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki hubungan dengan kinerja. Jika hasil yang diinginkan tidak jelas dan penilaian terhadap keberhasilan bersifat subyektif, umpan balik yang dapat diperkirakan dan bebas dari pengaruh tidak dapat di bangun. Kinerja yang ada dinilai berdasarakan intuisi (‘’Anda tampaknya tidak mengerjakan pekerjaan Anda dengan serius;’’) atau berdasarkan aspek-aspek kecil sebuah pekerjaan yang dapat diukur (‘’Anda datang terlambat dua kali bulan lalu).
2.   Pengawasan Sepenuhnya hanya memperhatikan input yang digunakan dibandingkan output yang dihasilkan. Oleh karena inputnya dapat diukur dengan lebih mudah dibanding output yang dihasilkannya, organisasi nirlaba cenderung lebih berfokus pada sumber-sumber daya yang mendukung kinerja dibandingkan dengan kinerja itu sendiri. Dengan demikian, organisasi nirlaba lebih menekankan pada penetapan batas maksimum biaya dan pengeluaran yang harus dikeluarkan. Karena dalam organisasi nirlaba lebih menekankan pada penetapan batas maksimum biaya dan penegeluaran yang harus dikeluarkan. Karena dalam organisasi nirlaba sedikit dan bahkan tidak ada penghargaan di bawah limit tersebut, orang-orang biasanya menanggapi secara negatif pengawasan yang seperti itu.

4.5  Strategi-Strategi Populer Dalam Organisasi Nirlaba
Karena berbagai tekanan pada organisasi nirlaba untuk menyediakan lebih banyak jasa dibandingkan jumlah sponsor yang mendukung dan klien yang dapat membayar jasa tersebut, organisasi-organisasi nirlaba sedang mengembangkan berbagai stategi  untuk membantu mereka memenuhi sasaran jasa yang mereka inginkan. Dua strategi yang polpuler digunakan adalah strategic piggybacking,  merger, dan strategi aliansi.

4.5.1 Strategic Piggybacking
Diciptakan oleh R. P. Nielsen, istilah strategic piggybacking merujuk pada pengembangan sebuah aktivitas baru bagi organisasi nirlaba yang akan menghasilkan dana-dana yang diperlukan untuk menutupi selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Secara khusus, aktivitas baru itu dalam beberapa hal terkait dengan misi organisasi nirlaba, namun tujuannya adalah untuk membantu mensubsidi program-program jasa utama. Pada penggunaan analisis portofolio yang dilakukan secara terbalik, manajemen puncak melakukan inventasi dalam sebuah bisnis baru, yaitu pada cash cow yang aman untuk mendanai bisnisnya yang sedang bersinar, masih belum pasti (question mark), dan sedang menurun (dog)  yang sangat membutuhkan uang kas tunai.

Walaupun strategi tersebut bukanlah hal yang baru, tetapi menjadi begitu popular akhir-akhir ini. Pada tahun 1874, misalnya Metropolitan Museum of Art memperkerjakan seorang professional untuk memfoto seluruh koleksi museum dan menjual copy hasil cetakannya. Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membiayai pengeluaran operasi museum tersebut. Akhir-akhir ini, banyak usaha dilakukan untuk menghasilkan pendapatan, dan muncul dalam berbagai bantuan yang diberikan, seperti Pramuka Putri Amerika pada UNICEF, dan dalam berbagai bentuk mulai dari menjual  kue dan pernak-pernik kecil sampai pengembangan perumahan yang sangat besar. Children’s Television Workshop, produser ‘’Sesame Street,’’ memeproleh pendapatan dari penjualan dari penjualan majalahnya sebesar   40 juta dan   28 juta dari biaya lisensi pada tahun 1991. Hanya kurang lebih 20% dari total pendapatan yang diterimanya berasal dari bantuan luar. Studi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Amerika Serikat (GAO) menunjukkan bahwa jumlah dana yang berasal dari aktivitas-aktivitas yang menghasilkana pendapatan itu telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1970-an. Small Business Administration memandang aktivitas tersebut sebagai ‘’persaingan yang tidak adil’’. Kantor pajak Amerika Serikat (IRS) berpendapat bahwa organisasi nirlaba yang terlibat dalam bisnis yang ‘’tidak terkait secara substansial’’ dengan upaya-upayanya untuk memberikan manfaat pada masyarakat, dapat mengancam status bebas-pajak yang selama ini dimilikinya, terutama jika pendapatan dari bisnis yang dikelola organisasi nirlaba tersebut lebih dari 20% dari total penerimaan organisasi.

Walaupun strategic piggybacking dapat membantu organisasi nirlaba untuk mensubsidi sendiri misi-misi utamanya dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya dengan lebih baik, menurut Nielsen organisasi nirlaba tersebut masih memiliki beberapa pengaruh negatif yang potensial.
§  Pertama, usaha untuk menghasilkan penerimaan ini dapat mengalami  kerugian,  terutama
   dalam jangka pendek.
§  Kedua, usaha tersebut dapat mengalahkan, mengganggu bahkan mengambil alih misi utama organisasi.
§  Ketiga, publik, sebagaimana para sponsor, dapat mengurangi kontribusi mereka  karena tanggapan negatif mereka terhadap ‘’usaha-usaha meraup uang sebanyak-banyaknya,’’ atau karena kepercayaan yang salah bahwa organisasi telah mampu mandiri.
§  Keempat, usaha tersebut dapat ,mengganggu operasi internal organisasi.

Organisasi nirlaba harus memiliki lima sumber daya berikut ini sebelum organisasi itu memulai aktivitas untuk memperoleh penerimaan.

1.      Memiliki sesuatu untuk dijual. Organisasi harus menilai terlebih dahulu sumber-sumber dayanya untuk menentukan apakah orang-orang yang ada akan berminat untuk membayar barang-barang atau jasa yang terkait erat dengan aktivitas utama organisasi. Mengemas ulang Boston Symphony ke dalam bentuk yang lebih informal seperti Boston Pops Orchestra dapat menciptakan sebuah cara untuk mensubsidi penciptaan simfoni dan memberikan pekerjaan kepada para musisi sepanjang tahun.
2.      Memiliki orang-orang dengan bakat manajemen dalam jumlah yang cukup. Harus cukup tersedia orang-orang yang akan mengelola dan memelihara usaha tersebut untuk berjalan selama jangka waktu yang cukup panjang. Persyaratan ini merupakan hal yang sulit dipenuhi karena banyak para professional NFP yang kompeten tidak ingin menjadi manajernya.
3.  Dukungan dewan pengawas. Jika dewan pengawas memiliki perasaan yang kuat untuk menolak usaha-usaha memperoleh pendapatan yang direncanakan, mereka dapat secara aktif atau pasif menolak keterlibatan komersial. Ketika Children’s Television Workshop mulai memberikan lisensi para tokoh dalam ‘’Sesame Street’’-nya kepada perusahaan mainan dan taman ria, banyak orang mengkritik bahwa organisasi itu telah bergabung dengan bisnis untuk menjual lebih banyak benda-benda komersial kepada anak-anak.
4.    Mempunyai sikap kewirausahaan. Pihak manajemen harus mampu mengkombinasi suatu minat dalam gagasan-gagasan inovatif dengan nilai praktis bisnis.
5.  Memiliki modal usaha. Karena sering membutuhkan dukungan modal yang cukup untuk dapat memperoleh pendapatan yang diinginkan, maka keterlibatan dalam sebuah usaha patungan dengan sebuah perusahaan bisnis akan dapat menyediakan modal awal yang diperlukan dan juga dukungan pemasaran dan manajemen. Sebagai contoh, Massachussets General Hospital menerima 50 juta dari Hoechest, perusahaan obat-obatan dari jerman, untuk penelitian biologis yang dilakukan rumah sakit tersebut  dengan memberikan lisensi khusus untuk mengembangkan produk-produk komersial dari beberapa hasil penelitian tertentu sebagai imbalannya.

4.5.2  Strategi Merger dan Keterkaitan Interorganisional
Berkurangnya sumber daya merupakan salah satu sebab yang mendorong meningkatnya organisasi nirlaba untuk melakukan merger sebagai usaha untuk mengurangi biaya. Sebagai contoh, bergabungnya Baptist Health Systems dan Research Health Services yang membentuk organisasi baru dengan nama Health Midwest di Kansas City. Antara tahun 1980 dan 1991, lebih dari 4000 rumah sakit di Amerika Serikat melakukan merger dan konsolidasi – lebih dari setengah jumlah tersebut terjadi setelah tahun 1987.

4.5.3  Strategic Alliancies
Strategi Aliansi adalah pengembangan jalinan kerja sama antar organisasi. Strategi aliansi sering digunakan oleh organisasi nirlaba sebagai jalan untuk memperkuat kapasitas mereka dalam melayani para kliennya, atau untuk memperoleh sumber daya dengan tetap mempertahankan indentitas mereka. Jasa layanan sering dapat diperoleh dan disediakan dengan lebih efisien melalui kerjasama dengan organisasi lainnya daripada jika melakukannya sendiri. Sebagai contoh, empat universitas yang terletak dinegara bagian Ohio sepakat untuk menciptakan dan mengelola bersama sebuah sekolah bisnis internasional yang baru. Jika dilakukan sendiri-sendiri, tidak akan ada universitas yang mampu membangun sekolah bisnis yang menelan biaya   $ 30 Juta.

V. P E N U T U P 
Organisasi nirlaba merupakan bagian penting dalam masyarakat. Memahami alasan-alasan keberadaan mereka dan perbedaan-perbedaannya dengan perusahaan-perusahaan pencari laba merupakan hal yang penting. Minimnya motif untuk mencari laba sering membuat pernyataan misi organisasi nirlaba menjadi tidak jelas dan sasaran-sasarannya menjadi tidak dapat diukur. Ditambah dengan usaha untuk mempertahankan pendanaan dari para sponsor, membuat organisasi nirlaba mempunyai perhatian yang kecil terhadap para klien organisasi yang akan dilayani. Akibatnya banyak program yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada hubungannya dengan misi organisasi, menjadi sulit untuk berkembang. Namun demikian,organisasi nirlaba biasanya didirikan untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dinilai berharga oleh masyarakat yang tidak mampu disediakan oleh perusahaan-perusahaan pencari laba. Menilai kinerja organisasi nirlaba hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomis, merupakan hal yang berbahaya karena organisasi itu didesain untuk berhubungan dengan kondisi-kondisi tertentu dimana perusahaan-perusahaan pencari laba tidak dapat dengan mudah bertahan hidup di dalamnya. 

Hal Penting Menjadi Catatan
·   Istilah nirlaba meliputi baik perusahaan swasta nirlaba (misalnya rumah sakit, institut, perguruan tinggi swasta, dan organisasi amal) dan lembaga atas unit-unit publik pemerintah (seperti departemen sosial dan universitas negeri).
·     Gambaran paling tepat yang membedakan organisasi nirlaba dari setiap organisasi nirlaba lainnya sebagaimana dengan perusahaan-perusahaan pencari laba adalah pada sumber-sumber pendapatan yang mereka miliki. Organisasi Nirlaba berada dalam sebuah kontinum dan sepenuhnya tergantung pada para sponsor (misalnya badan amal) sampai yang sepenuhnya bergantung pada pembayaran yang berasal dari para pelanggan atau kliennya (misalnya universitas negeri).
·         Pada tingkat dimana organisasi nirlaba lebih tergantung pada para sponsortnya dari pada para kliennya dalam hal penerimaan yang diperoleh, manfaat konsep-konsep standar, teknik, dan solusi-solusi yang dapat diberikan oleh manajemen strategis menjadi kurang berguna.
·       Lima karakteristik organisasi nirlaba menghalangi perilakunya dan mempengaruhi manajemen organisai nirlaba dalam hal: 1). jasa sering tidak berwujud, 2). pengaruh klien lemah, 3). karyawan lebih berkomitmen pada profesionalitas mereka daripada pada organisasi, 4). para kontributor sumber-sumber daya dapat menekan pihak manajmen, dan 5). terhambatnya  system penghargaan dan pemberian hukuman. Karakteristik-karakteristik tersebut mempengaruhi perumusan strategi, implementasi, dan proses evaluasi dan kontrol.
·         Untuk menghadapi menyusutnya pendanaan yang diterima, organisasi nirlaba saat ini sedang meningkatkan strategi merger dan strategi aliansi serta strategic piggybacking.


DAFTAR PUSTAKA
Hill, Charles W.L dan Jones, Gareth R, 1998, Strategic Management Theory: An Integration Approach, Houghton Mifflin Company, Boston, New York.

Horkinson. Robert E; Hitt. Michael A, dan Ireland. Duane R, 2004, Management Strategic, Fomulation, Implementation, dan Control, McGraw-Hill, Canada

Kaplan, Robert.s, dan Norton David P, 2001, The Strategy Focused Organization: How Balances Scorecard Companies Thrive in the New Business Evironment, Harvard Busniess Scholl Press, Boston

Pitt, Roberts dan Lie, david, 3003, Strategic Business Planning, Thomson Learning, South Western.

Wheelen, Thomas L. dan Hunger, David J, 2000, Strategic Management and Business Policy, Prentice Hill, New Jersey. 

Wright Peter, Markrk J. Kroll, dan John A. Parnell, 1996, Strategic management: Concept and cases, Third Edition, Printice Hall International, New Jersey