Senin, 30 Maret 2015

Model Budaya Pembelajaran Komperehensif



Model komperhensif dari budaya pembelajaran organisasi berkaitan dengan tingkatan pembelajaran, budaya organisasi, perilaku organisasi dalam konteks perubahan, dan dimensi-dimensi budaya pembelajaran organisasi. Setiap dimensi budaya pembelajaran dikembangkan hingga mencapai tataran treble loop learning, menjangkau asumsi-asumsi dasar atau beliefs organisasi dalam suatu keselarasan di antara tiga lapisan budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan perilaku memadai dari organisasi. Keseluruhan budaya pembelajaran merupakan suatu bauran (mixture) yang memadai bagi setiap organisasi, meskipun dapat ditemukan adanya suatu kisaran yang dihuni secara umum oleh himpunan (cluster) organisasi dalam lingkungan, habitat, atau tingkat kemajuan yang relatif sama.


Keterkaitan antara tingkatan pembelajaran dengan budaya organisasi dan perilaku organisasi terutama bersumber dari model Borzsony dan Hunter (1996). Klasifikasi dimensi-dimensi budaya pembelajaran mengacu pada Denison (1990).


Borzsoni dan Hunter menunjukan adanya hubungan antara budaya, perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran. Single-loop learning berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak organisasi dan perilaku “allowed to learn/ change.” Pembelajaran pada tataran double loop-learning berkenaan dengan sikap (attitudes) atau nilai-nilai (values) dari budaya organisasi dan perilaku organisasi adalah “able to learn/ change.” Sedangkan triple-loop learning berkenaan dengan lapisan terdalam dari budaya organisasi berupa keyakinan-keyakinan, dan perilaku “willing to learn/ change.” Secara teoritis, learning organization akan semakin meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran dikembangkan hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi dasar atau beliefs dari organisasi.
 

Model komprehensif




Dimensi Keterlibatan (Involvement) 
Budaya organisasi yang efektif menekankan prinsip-prinsip keterlibatan (involvement), partisipasi, dan keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan kepentingan-kepentingan organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra, 1995). Dengan begitu akan tercipta rasa kepemilikan dan tanggung jawab, sehingga komitmen terhadap organisasi akan meningkat. 


Dimensi Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari organisasi. Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit, didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman (rules) dan aturan-aturan (regulations). Dengan kata lain, budaya yang kuat menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara terpadu yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995. Intinya, perspektif ini menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas.

Dimensi Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan, menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan-perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan kesempatan organisasi untuk bertahan hidup, umbuh dan berkembang. (Denison & Mishra: 1995). Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama, kemampuan untuk memahami (perceive) dan menanggapi lingkungan eksternal. Kedua, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi, 

Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi dan tujuan organisasi (Denison, 1990). Manfaat dari misi adalah (1) memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan non ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra,1995) sehingga perilaku organisasi memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990); (2) memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction), atau menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggota-anggotanya (Denison, 1990; Denison & Mishra: 1995). Mengutip Wake (1979) dan Davis (1987), Denison mengatakan bahwa sense of mission ini, antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini menyongsong masa depan yang diimpikan.