Senin, 14 Agustus 2017

Makalah Manajemen (Prilaku Organisasi)

Demogravi, Ability, Personality



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Manusia adalah salah satu dimensi dalam organisasi yang amat penting, dan juga merupakan salah satu faktor dan pendukung organisasi. Bagaimanapun baiknya organisasi, lengkapnya sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti tanpa ada manusia yang mangatur, menggunakan, dan memeliharanya.

Menurut Miftah Thoha, (2000 : 33) Perilaku organisasi pada hakekatnya adalah hasil-hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami perilaku organisasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi tersebut.

Individu membawa ke dalam tatanan organisasi kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan dan pengalaman masa lalunya. Ini semuanya adalah karakteristik yang dipunyai individu, dan karakteristik ini akan dibawa olehnya manakala ia akan memasuki sesuatu lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya. Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik pula. Adapun karakteristik yang dipunyai organisasi antaranya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, system penggajian (reward system), system pengendalian dan lain sebagainya. Jikalau karakteristik individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi, maka akan terwujudlah perilaku individu dalam organisasi.

Ungkapan tersebut dapat dirumuskan dengan formula sebagai berikut :P  =  F ( I , L ). Keterangan: P adalah perilaku; F adalah fungsi;I adalah individu; L adalah lingkungan

Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa seseorang individu dengan lingkungannya menentukan perilaku keduanya secara langsung. Individu dengan organisasi tidak jauh berbeda dengan pengertian ungkapan tersebut. Keduanya mempunyai sifat-sifat khusus atau karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik ini berinteraksi maka akan menimbulkan perilaku individu dalam organisasi.

Menurut Sentanoe Kertonegoro, Seluruh perilaku manusia  dibentuk oleh variable-variabel yang relatif tetap yang dibawa masuk ke organisasi. Variabel-variabel bawaan tersebut terdiri dari : sifat-sifat / karakteristik biografis, kemampuan, kepribadian, dan kemauan belajar. Variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh terhadap prestasi dan kepuasan karyawan.


Adapun sifat-sifat/karakteristik biografis tersebut terdiri dari usia (umur), jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja dalam organisasi. Adapun sifat-sifat/ karakteristik biografis semuanya adalah merupakan variable-variabel yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi tingkat keluarnya karyawan dan kepuasan karyawan.

1.2. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : (1) Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang demografi / karakteristik biografis individu dalam suatu organisasi; (2) Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang ability/kemampuan individu dalam suatu organisasi; (3) Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang personality/ kepribadian individu dalam suatu organisasi



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demografi ( Karakteristik Biografis )
Ada beberapa pengertian tentang karakteristik biografis menurut beberapa pendapat sebagai berikut : (1) Menurut Sentanoe Kertonegoro, (2001:21), sifat-sifat biografis adalah sifat-sifat pribadi seperti : umur, jenis kelamin, dan status perkawinan yang objektif dan mudah diperoleh dari arsip/catatan personil. Analisis variable-variabel tersebut adalah mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. (2) Menurut Gibson, (1996:130), klasifikasi paling penting dari demografi adalah jenis kelamin dan ras. Keragaman budaya juga dapat mempengaruhi situasi kerja. (3) Menurut Sunarto, (2004 : 25), Pada hakekatnya karakteristik biografis ini menekuni penemuan dan analisis variable-variabel yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. Karakteristik tersebut berupa usia, jenis kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan, dan masa kerja dalam organisasi. (4) Menurut Robbins, (2001 : 42), Pada hakekatnya karakteristik biografis menekuni penemuan dan analisis variable-variabel yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan kepuasan karyawan. Karakteristik tersebut yang jelas berupa: usia, jenis kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi.

Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang pengertian karakteristik biografis dapat disimpulkan bahwa karakteristik tersebut terdiri dari : usia, jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja karyawan, yang semuanya mempunyai dampak terhadap keluar-masuknya karyawan (turnover), absensi (kemangkiran), produktivitas dan kepuasan kerja karyawan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan kami uraikan satu-persatu sifat-sifat biografis sebagai berikut:


 2.1.1. Usia / umur
Menurut Robbins (2001:42), Kemungkinan besar hubungan antara usia dan kinerja merupakan isu yang mungkin penting selama dasawarsa yang akan datang. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yaitu : Pertama, ada keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya usia. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, banyak orang meyakininya dan bertindak atas dasar keyakinan itu. Kedua, adalah bahwa angkatan kerja menua. Misalnya, pekerja usia 55 dan yang lebih tua merupakan sektor yang berkembang paling cepat.

Persepsi tentang pekerja yang sudah tua, Bukti menunjukan bahwa para majikan mempunyai perasaan yang campur aduk. Mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dibawa orang tua ke dalam pekerjaan mereka khususnya: pengalaman, pertimbangan , etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun pekerja-pekerja tua juga dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Di bawah ini akan kami jelaskan mengenai dampak yang ditimbulkan dari umur / usia sebagai berikut:

1.  Dampak umur terhadap keluar masuknya karyawan (turnover) Menurut Sunarto, (2004:22), Yang dimaksud dengan keluar masuknya karyawan adalah merupakan hilangnya orang-orang yang keluarnya tidak diinginkan oleh organisasi itu. Suatu tingkat keluar masuknya karyawan yang tinggi dalam suatu organisasi berarti naiknya biaya perekrutan, seleksi dan pelatihan. Tingginya tingkat keluar/masuknya karyawan juga menghambat suatu organisasi secara efisien bila personil yang berpengalaman dan berpengetahuan keluar dan penggantian harus ditemukan dan disiapkan untuk mengambil posisi yang bertanggung jawab.

Makin tua umur akan makin kecil kemungkinan untuk berhenti dari pekerjaan. Itulah kesimpulan yang sering  sekali ditarik berdasarkan studi-studi mengenai hubungan antara usia dengan keluar masuknya karyawan. Dengan makin tuanya para pekerja , makin sedikit kesempatan alternatif pekerjaan bagi mereka. Di samping itu pekerjaan yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan kepada mereka tingkat upah yang lebih tinggi, liburan dengan tingkat upah yang lebih panjang, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik ( Sunarto, 2004 : 26).

2. Dampak umur terhadap absensi (kemangkiran) Menurut Sunarto, (2004 : 21), Dalam organisasi yang sangat mengandalkan pada teknologi lini-perakitan , kemangkiran lebih daripada sekedar gangguan itu dapat mengakibatkan suatu pengurangan yang drastis dalam kualitas keluaran , dan dalam beberapa kasus , dapat mengakibatkan suatu penutupan total dari fasilitas produksi.

Menurut Robbins, ( 2001:43 ), Ada usaha untuk mengasumsikan bahwa usia juga berhubungan terbalik dengan kemangkiran (tingkat absensi), Apabila pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan untuk berhenti bekerja, tetapi juga menunjukan kemantapan yang lebih tinggi dengan masuk kerja secara teratur. Umumnya karyawan tua mempunyai tingkat kemangkiaran yang dapat dihindari lebih rendah disbanding karyawan muda. Tetapi mereka mempunyai tingkat kemangkiran yang tak dapat dihindarkan lebih tinggi, mungkin karena kesehatan yang lebih buruk sehubungan dengan penuaan dan lebih lamanya waktu pemulihan yang diperlukan pekerja tua bila cidera.

3.  Dampak umur terhadap produktivitas Menurut Sunarto , (2004 : 21 ), Sebuah organisasi adalah produktif jika organisasi itu mencapai tujuan-tujuannya, dan mencapainya dengan merubah masukan menjadi keluaran dengan biaya paling rendah. Misal produktivitas menyiratkan suatu kepedulian baik akan efektivitas maupun efisiensi.

Ada suatu keyakinan yang meluas bahwa produktivitas merosot dengan makin tuanya seseorang. Sering diandaikan ketrampilan seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi mengikis/menurut dengan berjalannya waktu, dan bahwa  kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya menyumbang pada berkurangnya produktivitas. Suatu tinjauan ulang menyeluruh terhadap riset baru-baru ini menemukan bahwa usia dan kinerja tidak ada hubungannya. Lagi pula, ini tampaknya benar untuk hampir semua jenis pekerjaan, professional dan tidak professional. Kesimpulan yang wajar adalah bahwa tuntutan dari kebanyakan pekerjaan, bahwa untuk pekerjaan dengan persyaratan kerja tangan yang berat, tidaklah cukup ekstrim untuk kemerosotan ketrampilan fisik apapun yang disebabkan oleh usia berdampak pada produktivitas, atau jika ada suatu kemerosotan karena usia, sering diimbangi oleh perolehan karena pengalaman.

4.    Dampak umur terhadap kepuasan kerja
Menurut Sunarto, (2004 : 23), Yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah merupakan perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Keyakinan bahwa karyawan yang puas akan lebih produktif daripada karyawan yang tidak puas merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun.

Kebanyakan studi menunjukan suatu hubungan positif antara usia dan kepuasan kerja, sekurangnya sampai usia 60. Tetapi studi yang lain, menunjukkan hubungan yang berbentuk U. Beberapa penjelasan dapat menjernihkan hasil temuan ini, yang paling masuk akal adalah bahwa studi  ini mencampuradukkan karyawan professional dan tak professional. Jika kedua tipe itu dipisah, kepuasan cenderung terus-menerus meningkat pada para professional dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan pada non professional kepuasan itu merosot selama usia setengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun berikutnya. 

 2.1.2. Jenis Kelamin / Gender
Menurut Robbins, (2001: 44), Beberapa isu mengawali lebih banyak debat, kesalah pahaman, dan pendapat-pendapat tanpa dukungan mengenai apakah kinerja wanita sama dengan kinerja pria ketika bekerja. Dalam bagian ini kami meninjau ulang riset mengenai isu ini.

Ada bukti bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan pengakuan bahwa terdapat beberapa, jika ada, perbedaan penting antara pria dan wanita yang mempengaruhi kinerja mereka. Misalnya, tidak ada perbedaan yang konsisten pria wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar.

Sementara studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita telah bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinanya daripada wanita dalam memiliki pengharapan (ekspektasi) untuk sukses, tapi perbedaan ini kecil adanya.

Dengan perubahan-perubahan yang signifikan yang berlangsung dalam 25 tahun terahir ini terhadap peningkatan kadar partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan memikirkan kembali apa yang membentuk peran pria dan wanita. Anda hendaknya mengasumsikan bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam produktivitas pekerjaan antara pria dan wanita. Sama halnya tidak ada bukti yang menunjukkan jenis kelamin karyawan mempengaruhi kepuasan kerja.

Mengenai dampak dari jenis kelamin dengan tingkat keluar masuknya karyawan ini bersifat campur aduk. Beberapa telaah telah menjumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar masuk yang lebih tinggi, telaah yang lain menemukan bahwa tidak ada perbedaan. Tampaknya tidak ada cukup informasi untuk bisa menarik kesimpulan yang berarti.

Tetapi lain dengan riset mengenai kemangkiran. Bukti secara konsisten menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria. Secara histeris menempatkan tanggung jawab rumah tangga dan keluarga pada wanita. Jika ada anak yang sakit atau seseorang perlu tinggal di rumah untuk menunggui tukang ledeng, maka wanitalah yang secara tradisional mengambil cuti dari kerjanya. Tetapi tidak diragukan riset ini terikat pada waktu. Peran histeris wanita dalam perawatan anak dan sebagai pencari nafkah sekunder dengan pasti telah berubah sejak dasawarsa 1970-an, dan sebagian besar pria, dewasa ini mempunyai kepentingan yang sama seperti wanita dalam hal perawatan harian dan masalah-masalah yang dikaitkan dengan perawatan anak. 


 2.1.3. Status Perkawinan
Tidak cukup studi untuk menarik kesimpulan mengenai dampak status perkawinan pada produktivitas. Berdasrkan hasil riset menunjukan bahwa karyawan yang menikah (berkeluarga) mempunyai absensi yang lebih sedikit, mengalami turnover lebih rendah, dan sebaliknya lebih mendapatkan kepuasan kerja, daripada karyawan yang tidak berkeluarga (menikah). Sebaliknya karena perkawinan memberikan tanggung jawab yang lebih besar, sehingga memerlukan pekerjaan yang tetap.

Perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Tetapi pertanyaan tentang alasanya tidaklah jelas. Sangat mungkin bahwa karyawan yang tekun dan puas lebih besar kemungkinannya terdapat pada karyawan yang menikah. 



 2.1.4. Masa Kerja
Dengan kekecualian isu beda pria-wanita, agaknya tidak ada isu yang lebih merupakan subyek kesalah – pahaman dan spekulasi daripada dampak senioritas pada kinerja.

Telah dilakukan tinjauan ulang yang meluas terhadap hubungan senioritas-produktivita. Jika kita mendefinisikan senioritas sebagai masa seseorang menjalankan pekerjaan tertentu, kita dapat mengatakan bahwa bukti paling baru menunjukkan suatu hubungan positif antara senioritas dan produktivitas pekerjaan. Kalau begitu masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja, tampaknya menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas karyawan.

Riset yang menghubungkan masa kerja dengan kemangkiran sangatlah terbuka. Secara konsisten studi-studi menunjukkan bahwa senioritas berkaitan negatif dengan kemangkiran. Memang, baik dalam seringnya absen maupun dalam total hari yang hilang pada saat  bekerja, masa kerja merupakan variable penjelas tunggal yang paling penting.


Masa kerja juga merupakan variable yang ampuh dalam menjelaskan keluar masuknya karyawan. Secara konsisten ditemukan bahwa masa kerja berhubungan negatif dengan keluar masuknya karyawan dan telah dikemukakan sebagai salah satu peramal tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan. Lagi pula, konsisten dengan riset yang menyatakan bahwa perilaku masa lalu merupakan peramal yang terbaik dari perilaku masa depan, bukti menunjukkan bahwa masa kerja pada suatu pekerjaan sebelumnya dari seorang karyawan merupakan peramal yang ampuh tentang keluar masuknya karyawan itu dimasa mendatang.


2.2. Ability ( Kemampuan )
Ada beberapa definisi / pengertian tentang kemampuan (ability) berdasarkan pendapat  beberapa ahli yaitu sebagai berikut : (1) Menurut Sentanoe Kertonegoro, (2001:22) Kemampuan adalah kapasitas individu untuk menjalankan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. (2) Sedangkan menurut Angelo kinicki ( 2000:185)  Kemampuan menunjukan ciri luas dan karakteristik tanggung jawab yang stabil pada tingkat prestasi yang maksimal fisik dan mental seseorang. Ketrampilan adalah kapasitas khusus untuk memanipulasi objek secara fisik (3) Menurut Robbins, (1998:46 ), Kemampuan (Ability) adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. (4) Menurut Gibson, (1996:127), Kemampuan adalah sifat biological dan yang bisa dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu baik bersifat mental ataupun fisik. Ketrampilan adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas, seperti ketrampilan mengoperasikan komputer, ketrampilan berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan tujuan dan misi kelompok. (5) Sedangkan menurut Sunarto, (2004 : 30), Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut tentang pengertian kemampuan (ability) pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.

Kita semua tidak sama dalam hal kemampuan tidaklah tersirat bahwa beberapa individu secara inheren (tertanam) lebih asor (inferior) daripada yang lain. Semua orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam hal kemampuan yang membuatnya relatif unggul atau rendah dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu.

Dari titik pandang manajemen, masalahnya bukanlah apakah orang-orang berbeda dalam hal kecakapannya atau tidak. Yang menjadi masalah adalah mengetahui bagaimana orang-orang yang kemampuannya berbeda dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kemungkinan seorang karyawan melakukan pekerjaan dengan baik. Itulah penilaian dewasa ini akan apa yang dapat dilakukan seseorang. Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik (Robbins, 2001 : 46).

2.2.1. Kemampuan Intelektual (Intellectual ability)
Menurut Robbins, (2000 : 186), Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan mental. Misal tes IQ, tes saringan masuk universitas. Adapun dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1 : Dimensi Kemampuan Intelektual

Sumber : Stephen P. Robbins, (1998:46)


2.2.2.  Kemampuan Fisikal (Physical Ability)
Kemampuan Fisikal adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecepatan, kekuatan, dan ketrampilan serupa. Kemungkinan besar kinerja karyawan yang tinggi dicapai bila manajemen telah memastikan sejauh mana suatu pekerjaan menuntut masing-masing dari sembilan kemampuan itu dan kemudian menjamin bahwa karyawan dalam pekerjaan tersebut mempunyai kemampuan tersebut. Terdapat sembilan kemampuan fisikal dasar sebagai berikut :

 Faktor – faktor Kekuatan: (1). Kekuatan dinamis,  Kemampuan menggunakan kekuatan otot berulang-ulang atau terus-menerus. (2) Kekuatan tubuh. Kemampuan menggunakan kekuatan otot dengan memakai tubuh (Khususnya perut). (3) Kekuatan statis. Kemampuan menggunakan kekuatan terhadap obyek luar (4) Kekuatan Eksplosif. Rangkaian tindakan eksplosif.

Faktor - faktor Fleksibilitas: (1) Fleksibilitas ekstensif. Kemampuan untuk menggerakkan otot tubuh dan punggung sejauh mungkin.(2.) Fleksibilitas Dinamis. Kemampuan melakukan gerakan cepat dan berulang-ulang.

Faktor-faktor  Lain : (1) Koordinasi badan.      Kemampuan mengkoordinasi kegiatan berbagai bagian badan secara simultan. (2) Keseimbangan.   Kemampuan memelihara keseimbangan. (3) Stamina. Kemampuan melakukan upaya maksimum berkelanjutan.

2.3. Kepribadian ( Personallity )
2.3.1. Definisi Kepribadian (Personality)
Di bawah ini adalah beberapa definisi/ pengertian tentang kepribadian yaitu sebagai berikut:

 Menurut Gordon Allport dalam Sunarto, (2004:34), Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah “organisasi dinamis pada masing-masing system psikofisik yang menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungannya

Menurut Kinicki (2003 : 175), Kepribadian merupakan karakteristik fisik dan mental yang stabil bertanggung jawab pada identitas diri ciri fisik dan mental yang stabil yang memberi identitas pada individu.

 Menurut Gibson (1996 : 127), Kepribadian merupakan himpunan karakteristik dan kecenderungan yang stabil serta menentukan sifat umum dan perbedaan dalam perilaku seseorang.

 Menurut Robbins, (1998: 50 ), Kepribadian adalah sebagai total jumlah dari cara-cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

 Menurut Sentanoe Kertonegoro, ( 2001 : 24 ), Kepribadian adalah jumlah keseluruhan dari cara-cara bagaimana individu bereaksi dan berinteraksi dengan lainnya.

 Menurut Miftah Thoha, (2000:67), Kepribadian merupakan suatu sistem yang dinamis dan memberikan dasar dari semua perilaku.

 Menurut Sunarto, (2004 : 34), Kepribadian adalah sebagai total jumlah dari cara-cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

 Kepribadian ditentukan oleh faktor-faktor keturunan dan lingkungan, yang dimoderasi/ diperlunak oleh kondisi situasi ( Robbins, 1998: 50).

2.3.2. Determinan Kepribadian
Menurut Sunarto, (2004 : 34), Suatu argumen dini dalam riset kepribadian adalah apakah kepribadian seseorang merupakan hasil keturunan atau lingkungan. Apakah kepribadian ditentukan sebelumnya saat kelahiran , ataukah itu akibat dari interaksi individu itu dengan lingkungannya? Kepribadian tampaknya merupakan suatu hasil dari kedua pengaruh itu dan dewasa ini kita mengenali suatu faktor lagi yaitu situasi. Jadi kepribadian seorang dewasa umumnya sekarang dianggap terbentuk dari baik faktor keturunan maupun lingkungan, yang diperlunak (moderated) oleh kondisi situasi. Adapun penjelasan dari faktor-faktor pembentuk kepribadian tersebut adalah sebagai berikut :

Keturunan, adalah faktor-faktor yang ditentukan di kandungan. Postur fisik, wajah menarik, temperamen, komposisi otot , tingkat energi, dan ritme biologis merupakan sifat-sifat yang umumnya dianggap dipengaruhi oleh ke dua orang tua (ibu-bapak). Kepribadian individu bersumber dari struktur melekul genes yang terdapat dalam kromosom. Jadi sifat-sifat kepribadian banyak ditentukan waktu lahir.

Lingkungan, merupakan faktor-faktor yang memberi tekanan pada pembentukan kepribadian seperti budaya dimana individu dibesarkan, norma-norma diantara keluarga, teman dan kelompok social, serta pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Contoh : Orang Amerika utara telah memperoleh tema-tema kerajinan sukses, persaingan, dan kemandirian serta etos kerja protestan , akibatnya mereka cenderung ambisius dan agresif.

Situasi, adalah faktor yang mempengaruhi dampak keturunan dan lingkungan atas kepribadian. Kepribadian individu, meskipun pada umumnya stabil dan konsisten, dapat berubah pada situasi yang berbeda, Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berbeda menuntut aspek yang berbeda dari kepribadian seseorang.

2.3.3.  Sifat-Sifat / Ciri-Ciri Kepribadian (Personality Traits)
Menurut Sentanoe, (2001:24), Sifat kepribadian adalah sifat yang berkelanjutan yang menggambarkan perilaku individu, seperti: pemalu, agresif, ambisius, mengala, malas, dan loyal. Semakin konsisten sifat tersebut, dan semakin sering terjadi dalam berbagai situasi, semakin penting sifat tersebut dalam menggambarkan individu.


Karena banyaknya sifat kepribadian, maka dikelompokkan dalam dua kategori yaitu : introvert-ekstrovert dan kegelisahan tinggi–kegelisahan rendah. Kedua kategori tersebut dipertemukan dalam suatu matriks untuk mengelompokkan sifat-sifat kepribadian dalam empat tipologi.


Menurut Sunarto, (2004 : 37), Dalam struktur kepribadian berkisar pada upaya untuk mengenali dan menandai karakteristik abadi yang menggambarkan suatu perilaku individu. Karakteristik yang popular antara lain sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia dan malu-malu. Makin konsisten karakteristik itu dan makin sering terjadi dalam situasi yang beraneka, makin penting ciri itu dalam menggambarkan individu tersebut. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam tabel di bawah ini sebagai berikut :

Tabel 3 : Enam belas ciri utama

Sumber : Sunarto, (2004 :38)

Sekumpulan riset yang mengesankan mendukung bahwa lima dimensi kepribadian dasar tersebut mendasari semua dimensi lain. Faktor lima besar itu adalah sebagai berikut ( Sunarto, 2004: 38):
Ekstraversi. Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan seorang akan berhubungan, kaum ekstravert (ekstraversinya tinggi) cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu mereka untuk mempertahankan dan nikmati sejumlah besar hubungan. Kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit, dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian.

Mampu bersepakat. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Orang yang sangat mampu sepakat jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka itu kooperatif dan percaya akan orang lain. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang pada kebutuhan orang lain.

Mendengarkan kata hati. Dimensi ini merujuk kepada jumlah tujuan yang padanya seseorang memusatkan perhatiannya. Orang yang tinggi dalam mendengarkan kata hati mengejar lebih sedikit tujuan, dalam satu cara yang sangat terarah, dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Mereka yang skornya rendah pada dimensi ini cenderung menjadi lebih mudah kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan, dan lebih hedonistic.

Kemantapan emosional. Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk menahan stress. Orang dengan kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Mereka dengan skor negative yang tinggi cenderung gelisah, tertekan, dan tidak aman.

Keterbukaan terhadap pengalaman. Dimensi ini mengamanatkan tentang minat seseorang. Jelas sekali orang terpesona oleh hal baru dan inovasi. Mereka cenderung menjadi emaginatif, benar-benar sensitive, dan intelektual. Mereka yang berada pada sisi lain dari kategori keterbukaan nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban.

2.3.4. Sifat-Sifat Kepribadian Yang Mempengaruhi Perilaku Organisasi
Menurut Sentanoe, ( 2001 : 25 ), Sejumlah sifat kepribadian khusus mempunyai potensi dapat memperkirakan perilaku dalam organisasi. Adapun sifat-sifat kepribadian tersebut adalah sebagai berikut :

Posisi Pengendalian (Lokus of control), yaitu suatu derajat seberapa jauh orang percaya bahwa mereka mengendalikan nasibnya; orangnya disebut internal. Sedang mereka yang percaya bahwa apa yang terjadi terhadap dirinya dikendalikan oleh  kekuatan luar (misalnya: keuntungan, kesialan, nasib) disebut ekternal. Internal lebih efektif mencari informasi sebelum membuat keputusan, lebih bermotivasi untuk berhasil, dan berusaha lebih keras untuk mengendalikan lingkungannya. Sedangkan ekternal lebih taat, dan mau mengikuti pengarahan. Oleh karena itu,  internal akan berhasil  dalam tugas-tugas manajerial dan professional yang memerlukan inisiatif dan tindakan mandiri. Sedangkan eketernal cocok untuk pekerjaan terstruktur, rutin, yang harus mengikuti ketentuan dan pengarahan.

Orientasi Hasil, merupakan sifat kepribadian yang dapat digunakan untuk memperkirakan perilaku-perilaku tertentu. Sifat ini juga dikenal sebagai kebutuhan untuk mencapai hasil (need to achieve n ach). Orang akan terus-menerus berusaha melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka ingin mengatasi berbagai halangan, dan ingin merasa bahwa keberhasilan (atau kegagalan) disebabkan karena tindakannya sendiri.  Individu dengan n ach tinggi lebih baik di penjualan, olah raga professional, atau manajemen dari pada diperakitan atau di staf klerk. Kepribadian n Ach tinggi cocok dengan pekerjaan yang memberi tantangan, umpan balik dan tanggung jawab.

Otoritarianisme, yaitu keyakinan bahwa harus ada perbedaan status dan kekuasanaan diantara manusia dalam organisasi. Kepribadian otoritarian yang tinggi akan kaku secara intelektual, penguasaan atas orang lain, memisahkan yang diatas dan mengeksploitir yang dibawah, penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan, serta menentang setiap perubahan. Otoritarian tinggi berhubungan negative dengan prestasi, karena pekerjaan menuntut sensitivitas perasaan orang lain, kearifan, dan kemampuan untuk menyesuaiakan diri dengan situasi yang kompleks dan berubah. Kepribadian otoritarian akan berhasil dalam pekerjaan yang terstruktur, dan yang menuntut kepatuhan pada ketentuan dan peraturan.

Machivelianisme (Mach), adalah derajad seberapa   jauh seorang individu bersifat pragmatis, menjaga jarak emosional, dan percaya bahwa tujuan menghalalkan cara. Sebutan  untuk sifat kepribadian ini berasal dari filsuf abat keenam  belas Noccolo Machiavelli yang  mengajarkan bagaimana mendapatkan dan memanipulasi kekuasaan. Kepribadian Mach berhubungan dengan perilaku tertentu. Mach tinggi akan produktif dalam pekerjaan yang memerlukan ketrampilan tawar-menawar (seperti pada perundingan kolektif dengan serikat pekerja), atau pekerjaan yang mengandung imbalan untuk kemenangan (seperti dalam penjualan dengan komisi).

Harga diri (Self-Esteem), diartikan sebagai derajat individual menyukai diri mereka sendiri. Self-esteem (SE) berhubungan langsung dengan harapan untuk berhasil. Kepribadian SE tinggi percaya bahwa mereka memiliki kemampuan lebih besar untuk berhasil dalam pekerjaan. Individu dengan SE tinggi akan mengambil pekerjaan  dengan risiko lebih besar dan pekerjaan non-konvensioanal. Sebaliknya SE rendah lebih peka terhadap pengaruh luar, tergantung pada penerimaan positif atas evaluasi pihak lain, mencari persetujuan dari pihak lain,  dan  cenderung menyesuaiakan dengan keyakinan serta perilaku  mereka yang dihormati. Dalam posisi manajerial SE rendah selalu ingin menyenangkan orang lain, sehingga ingin selalu popular.

Monitor-Diri (Self-monitoring), adalah sifiat kepribadian yang mengukur kemampuan individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan factor-faktor situasi ekteral. Individu dengan monitor-diri yang tinggi sangat sensitive terhadap tanda-tanda ekternal, dan dapat menunjukkan kontradisi antara penampilan public dan kehidupan pribadi.

Penanggung Risiko (Risk-taking),  adalah  derajat kemauan untuk menanggung risiko. Kemauan menanggung atau menghindari risiko mempunyai dampak atas lamanya manajer membuat keputusan, dan banyaknya informasi yang diperlukan sebelum membuat pilihan. Manajer risiko-tinggi akan menghasilkan prestasi efektif bagi pedagang efek di perusahaan broker yang memerlukan keputusan cepat. Tetapi untuk profesi akuntan yang memerlukan tugas-tugas kemauan, audit atau pembukuan lebih cocok untuk kepribadian risiko-rendah.

 Kecocokan Kepribadian dan Pekerjaan. John Holland mengajukan teori kecocokan kepribadian pekerjaan (personality-job fit). Menurut teori ini, kepuasan akan maksimal dan turnover akan minimal jika kepribadian cocok dengan pekerjaan. Teori ini menunjukkan enam pologi kepribadian dan pekerjaan yang cocok.


Tabel 4 : Teori Kecocokan Kepribadian Pekerjaan (Personality-job fit)

Sumber : Sentanoe : 28


2.3.5. Teori Kepribadian
Menurut Gibson, (1996:157), Tiga pendekatan teoritis untuk memahami kepribadian adalah pendekatan sifat, pendekatan psikodinamis, dan pendekatan humanis.
 Di bawah ini adalah penjelasan dari masing-masing pendekatan sebagai berikut :

 Teori kepribadian sifat ( trait ). Sama seperti anak kecil yang selalu terlihat mencari tanda untuk menggolongkan dunia, orang dewasa juga menandai dan menggolongkan manusia berdasarkan karakteristik fisik dan psikologisnya. Penggolongan membantu dalam mengatur keragaman dan mengurangi yang banyak menjadi sedikit. Gordon Allport adalah seorang ahli teori sifat (trait) yang paling banyak berpengaruh. Dalam pandangannya, sifat adalah merupakan batu-bata dari suatu bangunan, alasan tindakan, sumber keunikan individu. Sifat (traits) adalah dugaan kecenderungan yang mengarahkan perilaku dengan cara konsisten dan ciri karakteristik tertentu . Lebih jauh lagi, sifat menghasilkan konsistensi pada perilaku, sebab sifat melanjutkan atribut dan cakupannya umum atau luas.

 Teori sifat telah mendapat kritik sebagai bukan teori yang nyata sebab tidak menjelaskan bagaimana terjadinya perilaku. Identifikasi yang tidak lebih dari beberapa sifat seperti pikiran teguh, konservatif, menguntungkan, menyendiri, atau ramah tidak menawarkan pengertian dalam perkembangan dan dinamika kepribadian. Lebih jauh lagi, pendekatan sifat tidak berhasil dalam meramalkan perilaku yang keluar dari spektrum situasi, karena fakta bahwa situasi (pekerja, aktivitas kerja) sangat diabaikan dalam teori-teori sifat.

Teori Kepribadian Psikodinamis. Kepribadian alami yang dinamis tidak ditanggapi secara serius sampai dengan studi Sigmund Freud diumumkan. Freud menjelaskan perbedaan kepribadian  individu dengan menyimpulkan bahwa orang mempunyai dasar yang berbeda. Untuk menyoroti perbedaan ini, ia menggambarkan suatu perjuangan yang terus menerus antara dua bagian kepribadian, id dan superego, ditengahi oleh ego.

 Identitas diri (id) adalah bagian yang sederhana, bagian yang tidak disadari dari kepribadian, tempat penyimpanan dari pergerakan dasar. Itu dijalankan secara tidak rasional dan impulsive, tanpa mempertimbangkan apakah yang diinginkan mungkin atau secara moral dapat diterima.

 Superego adalah tempat penyimpanan nilai-nilai individu, termasuk sikap moral yang dibentuk oleh masyarakat. Superego, yang sangat berhubungan dengan kesadaran, sering bertentangan dengan id: id ingin melakukan apa yang dirasa baik, sementara superego memaksa melakukan apa yang benar.

Ego bertindak sebagai penengah konflik. Ini mewakili gambaran seseorang terhadap realitas fisik dan social, yang mengarah pada hal apa dan yang mana adalah mungkin dalam dunia nyata. Bagian dari tugas ego adalah untuk memilih tindakan yang memuaskan dorongan id tanpa mempunyai akibat yang diinginkan. Sering ego harus kompromi, untuk mencoba dan memuaskan baik id dan superego. Hal ini kadang-kadang melibatkan penggunaan mekanisme pertahanan diri yang menyelesaikan konflik antara pernyataan psikologis dan kenyataan di luar. 

Gambar 2.1.  Kekuatan Utama Yang Mempengaruhi Kepribadian
Sumber: Gibson, (1996:159)

Teori Kepribadian Humanistik. Pendekatan humanistik untuk memahami kepribadian menekankan pada perkembangan individu dan aktualisasi diri dan pentingnya bagaimana seseorang mempersepsi dunianya dan semua kekuatan yang mempengaruhi mereka. Pendekatan Carl Rogers dalam memahami kepribadian adalah humanistik (berpusat pada manusia). Nasehatnya adalah dengarkan apa yang orang katakan tentang mereka dan memperhatikan pendapat dan arti dari pengalaman orang-orang tersebut. Roger percaya bahwa yang paling dasar dari organisme manusia adalah untuk mengarah pada aktualisasi diri. Cita-cita yang tetap untuk menyadari potensi inheren seseorang.

Adalah sulit untuk mengkritik teori yang sangat berpusat pada manusia. Beberapa pengritik mengeluh, bagaimana, bahwa para humanis tidak pernah menjelaskan dengan jelas asal-usul mekanisme untuk mencapai aktualisasi diri. Kritik lainnya menunjukkan bahwa seseorang harus bekerja dalam suatu lingkungan yang kebanyakan diabaikan oleh para humanis, suatu penekanan yang berlebihan pada diri yang mengabaikan kenyataan individu harus berfungsi di dalam lingkungan yang kompleks.

 Masing-masing teoritis akan meningkatkan pemahaman kita pada kepribadian. Teori sifat memberikan sebuah daftar yang menjelaskan individu. Teori psikodinamis menggabungkan karakteristik manusia dan menjelaskan perkembangan kepribadian alamiah dinamis. Teori para humanis menekankan pada orang dan pentingnya aktualisasi diri kepada kepribadian. Setiap pendekatan berusaha untuk menerangkan sifat unik dari seorang individu yang mempengaruhi pola perilakunya.

2.3.6. Perkembangan Kepribadian
Menurut Adam I. Indrawijaya, ( 2002:29), ada tiga teori pengembangan kepribadian yang utama, yaitu teori Psiko-Analitik (psychoanalytical theory), teori sifat atau perangai (trait theory), dan teori kebutuhan (needs theory).

 Teori Psiko-Analitik. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Sigmund freud. Menurut teori ini, untuk dapat memahami kepribadian seseorang, kita harus melihat ke dalam dirinya (intrapsychic) apa yang menjadi dasar perilakunya. Dalam diri setiap orang terdapat  suatu”id” atau naluri untuk mencari kepuasan bagi dirinya sendiri dan juga superego yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang mengandung unsure ideal dan pikiran yang baik. Tindakan atau perilaku manusia, kata Freud: merupakan hasil onflik antara “id dan superego”. Konflik antara kedua factor ini selalu berhasil didamaikan oleh “ego”.Pola perkiraan berdasarkan pengamatan atas bagaimana kompromi yang terjadi antara “id dan superego”.

Teori Sifat dan Perangai. Secara sederhana dapat dikatkan bahwa menurut teori ini kepribadian seseorang selalu tetap dan tidak berubah atau sulit berubah. Oleh sebab itu mudah sekali untuk memperkirakan perilaku seseorang. Sifat dan perangai seseoranglah yang membedakannya dengan orang lain. Selanjutnya menurut teori ini, sifat seseorang sudah ada sejak lahir, dan dibagi secara kuantitatif dan dapat digunakan untuk menduga bagaimana ia akan bertindak (R.B. Cattel, 1965). Sifat atau perangai seseorang dapat diteliti dengan berbagai cara. Ada yang berpendapat bahwa sifat seseorang dapat diketahui melalui pendekatakan biologis, maksudnya: sifat manusia ditentukan oleh factor genetisnya masing- masing.. Warna mata, rambut dan bentuk tubuh dapat menunjukkan sifat atau perangai seseorang. Sebagian lagi berpendapat bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh sifat kejiwaan seperti: ketenangan, kehangatan dan sebagainya. Sifat-sifat kejiwaan ini menjelma dalam cara ia bertindak.

Teori Kebutuhan. Teori ini dianggap dapat memberikan bantuan untuk lebih mengerti kepribadian seseorang. Dari sekian banyak teori, yang akan kita bahas ialah teori Maslow dan teori Mc.Clelland. Teori hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) merupakan teori yang dikenal dengan teori Maslow atau teori motivasi. Berbeda dengan para psikolog sebelumnya, yang lebih banyak memberikan perhatian pada mereka yang psikologis tidak sehat, Maslow sebaliknya lebih memperhatikan manusia yang psikologis sehat, (Collin Wilson, 1972:1-2).  Dalam membangun teori hirarki kebutuhan yang bersifat deduktif, Maslow bertitik tolak dari 3 asumsi pokok:

People are wanting animals. Their  desires are never completely statisfied. (manusia adalah makluk yang selalu berkeinginan. Keinginan mereka selalu tidak pernah terpenuhi seluruhnya).  (a) A  satisfied need is not a motivator of human behavior. (Kebutuhan atau keinginan yang sudah terpenuhi tidak akan menjadi pendorong lagi). (b) Human needs are arranged in a hierarchy of importance. (Kebutuhan manusia tersusun menurut hirarki tingkat pentingnya).

 Berdasarkan tiga asumsi ini, manusia selalu dituntut oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekali terpenuhi kebutuhan, ia tidak lagi menjadi faktor pendorong. Pegawai yang sudah mencapai tingkat jabatan tertentu missal: tidak lagi menganggap jabatan tersebut sebagai factor pendorong, karena ia akan segera mengharapkan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 2.2. di bawah ini :

Gambar 2.2. : Teori hirarki kebutuhan (Maslow)

Sumber : “A Theory of Human Motivation “ oleh Abraham Maslow dalam buku Motivation and Personality, Edisi kedua, Harper & Row, Publishers, Inc

Secara singkat, penjelasan diagram tersebut adalah sebagai berikut : (1) Biological needs, kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan makan, minum, seks, dan sebagainya. (2) Safety needs, Kebutuhan akan rasa aman. Pada tingkat ini seseorang yang telah mendapat penghasilan cukup, berkeinginan untuk mendapatkan rasa aman pada masa pensiun, ada asuransi kalau sakit dan sebagainya. (3) Bilongingness needs, kebutuhan untuk diterima dan dihormati oleh orang lain. Pada tingkat ini seseorang mulai berkeinginan untuk mendapatkan symbol status mereka, seperti kamar kerja tersendiri, meja yang luas, ruang rapat dan ruang tamu tersendiri, dan mungkin pula mobil dinas dan sopir khusus. (4) Esteem needs, Kebutuhan untuk mempunyai citra baik seseorang mungkin telah cukup diakui dan dihargai, tetapi ia masih tidak puas, karena hatinya sendiri tidak merasa damai dan tenteram. Sebabnya mungkin karena ia mendapatkan pengakuan dan penghormatan tersebutbukan melalui jalan yang baik, jalan yang jujur atau yang pantas dihormati oleh orang lain. (5) Self actualization needs atau kebutuhan untuk menunjukkan prestasi yang terbaik. Tingkat ini merupakan tingkat dorongan yang paling tinggi pada seseorang, karena ia ingin menunjukkan tingkat potensinya yang maksimal, tanpa ia terlalu banyak menuntut imbalan dari organisasi.

Walupun teori Maslow ini paling sering dikutip, tetapi juga cukup banyak dikritik. Salah satu hasil penting kritik-kritik tersebut adalah munculnya teori keadaan nyata-kesinambungan – peningkatan (the Existence – relatedness – growth theory), yang dikemukakan oleh Clayton Alderfer. Teori ini menyederhanakan teori Maslow yang  5 tingkat ini menjadi hanya tiga tingkat. Tingkat keadaan nyata (existence) mencakup kebutuhan biologis dan kebutuhan akan rtasa aman. Kesinambungan (relatedness) menggabungkan sebagian kebutuhan akan rasa aman dengan kebutuhan untuk diterima dan diakui serta kebutuhan akan citra baik. Kebutuhan untuk peningkatan menggabungkan sebagian dari kebutuhan untuk mempunyai citra baik dengan kebutuhan untuk memperoleh citra yang lebih baik. Karena relative baru dan dianggap tidak memecahkan persoalan atas kritik terhadap teori Maslow, maka teori ini tidak banyak dikenal.


2.3.7. Perilaku Manusia: Suatu Pandangan Kesisteman.
Menurut Adam I Indrawijaya, (2005:34), Perilaku manusia adalah sesuatu yang rumit. Padahal  perilaku manusia adalah justru merupakan pangkal tolak untuk dapat mengerti perilakunya dalam organisasi. Pandangan kesisteman adalah jalan yang paling mudah untuk mengerti perilaku manusia. Dalam pandangan ini, perilaku manusia ditentukan oleh proses input dan output. Artinya, kita harus menganggap bahwa manusia adalah suatu system yang terbuka, bukan sesuatu yang dapat kita isolasi, dan bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan dan hidup dalam lingkungan. Di bawah ini hal tersebut akan lebih diperinci.
Menurut pandangan ini, seseorang mendapatkan input (masukan) dari lingkungannya, kemudian melakukan proses transformasi dan melakukan suatu tindakan atau berperilaku tertentu. Tindakan dan perilakunya merupakan masukan lagi bagi lingkungannya. Secara diagramatik proses perilaku seseorang dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3 : Proses Perilaku Seseorang
Menurut pandangan ini, kombinasi antara lingkungan seseorang dengan sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir akan menyebabkan timbulnya kebutuhan dan dorongan untuk berkembang. Mengingat bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh lingkungannya dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir, maka akan banyak manfaatnya bila kita bahas lebih lanjut interaksi antara kedua faktor tersebut sebagai berikut :

A. Interaksi Antara Pembawaan Sejak Lahir Dengan Lingkunga.
Tindakan manusia selalu ada penyebab atau pendorongnya dan mempunyai maksud tertentu. Perilaku manusia juga demikian. Kurt Lewin, seorang ahli ilmu jiwa terkenal, mengemukakan rumus sebagai berikut :


Adapun unsur-unsur kepribadian dipengaruhi oleh sebagai berikut :

Unsur Biologis. Badan manusia terdiri atas jutaan sel, yamg masing-masing mempunyai inti sel yang terjadi dari kromosom. Setiap kromosom terdiri lagi atas benang-benang “genes” yang akan menentukan sifat-sifat yang dibawa seseorang sejak lahir . Sifat-sifat genetic orang tua menurun kepada anaknya dan membentuk beberapa sifat fisiknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa semua factor genetic ini mempengaruhi perilaku seseorang. Namun demikian banyak ahli psikologi berpendapat bahwa pembawaan sejak lahir tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan pengalaman.

Unsur Pengalaman. Sejak mulai lahir setiap manusia sudah berinteraksi dengan lingkungannya dan karenanya sejak bayi sudah pula mendapat pengaruh dari lingkungannya, baik yang bersifat suasana kehangatan kasih sayang,  keadaan ekonomi keluarga, dan suasana masyarakat kecil dalam keluarga tersebut. Pendeknya, manusia sejak kecil sudah mendapat pengalaman dan pengalaman itu tidak ada yang sama. Hasil penelitian para ahli membuktikan bahwa pengalaman dan latar belakang kehidupan seseorang pada waktu kecil akan menentukan kepribadiannya dan mempengaruhi pula perilakunya dalam organisasi.

Sintes. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Amerika, terbukti bahwa terdapat interaksi yang sangat kuat antara pembawaan sejak lahir dengan pengaruh pengalaman. Begitu eratnya, sampai tidak seorangpun dapat membedakan unsure mana yang lebih penting.

Faktor Lingkungan. Sebagaimana telah dikemukakan, kepribadian seseorang telah dipengaruhi oleh pengalamannya, termasuk interaksinya dengan lingkungannya. Memang demikian, karena interaksi dengan lingkungan merupakan suatu bagian penting dari proses belajar. Tetapi dari sekian banyak factor lingkungan, di sini hanya akan dibahas pengaruh factor kebudayaan dan factor kelas social dan nilai kerja.


5. Lingkungan Kebudayaan
Kebudayaan dapat kita rumuskan sebagai “suatu kesatuan dan keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan lainnya yang dipunyai manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Bernard Berelson dan Gary Steiner mengemukakan beberapa cirri kebudayaan, yaitu : (1) Culture is learned behavior. ( Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari ). (2) Culture is shared with others. (Kebudayaan adalah hasil bersama). Dalam suatu masyarakat, semua anggotanya diharapkan mempunyai sistim nilai yang sama. (3) Culture influences the way in which needs are satisfied. (Kebudayaan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya. Culture is consistent. Kebudayaan selalu selaras, dalam arti, setiap bagian dari kebudayaan saling menyesuaikan.

5.1 Beberapa Pengaruh Kebudayaan
Barry Richman mengemukakan dua unsur kebudayaan yang banyak mempengaruhi perilaku seseorang dalam organisasi. Kedua unsur tersebut adalah pembatasan sosiologis (sikap terhadap kewenangan, sikap terhadap prestasi, dsb.) dan pembatasan pendidikan (tingkat dan sikap terhadap pendidikan, dsb.). Walaupun Richman menyebutkan bahwa dalam jangka panjang keunikan suatu kebudayaan dapat hilang, tetapi dalam waktu tertentu ciri kebudayaan itu tetap nyata ada. Unsur kebudayaan tetap memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perilaku managerial dan bagi pencapaian tujuan organisasi.

5.2. Implikasi Pengaruh Kebudayaan Terhadap Organisasi
Dihubungkan dengan konsepsi organisasi, pengaruh kebudayaan sangat terlihat sekali dalam hal motivasi. Dengan memahami latar belakang seorang pegawai, manajer akan lebih dapat memberikan arah bagi peningkatan prestasi pegawaiyang bersangkutan. Seperti pernah disinggung, Mc Clelland mengemukakan bahwa motivasi berprestasi suatu masyarakat menentukan tingkat kemajuan perekonomiannya. Walaupun belum ada penelitian yang khusus, kiranya dapat dibenarkan pendapat para ahli Indonesia, yang mengatakan bahwa kebudayaan terjajah selama 3,5 abad memberikan pengaruh atas tingkat keterbelakangan perekonomian Indonesia.

Selanjutnya walaupun belum ada suatu studi yang mendalam tentang pengaruh suatu kebudayaan etnik di Indonesia, penemuan Prof. Kuncaraningrat seperti dapat dibaca dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, membuktikan kepada kita bahwa antara kebudayaan dan pelaku administrasi ada korelasi.

5.3. Kelas Sosial dan Nilai Kerja
Proses sosialisasi merupakan suatu proses yang membuat seseorang atau sekelompok orang menganut suatu system nilai tertentu. Proses ini terjadi sejak manusia dilahirkan dan berjalan terus sampai saat seseorang meninggal.Dalam proses tersebut, keluarga merupakan sumber yang utama dan pertama.

Selain itu proses sosialisasi juga terjadi pada saat seseorang berintegrasi dengan masyarakat. Pada saat ini ia mulai mengenal apa yang disebut kelas social, yang menampakan diri dalam berbagai bentuk. Mungkin menurut penggolongan ekonomi, seperti orang kaya, setengah kaya, dan miskin. Menurut penggolongan pendidikan, terdidik, kurang terdidik dan sebagainya. Apa pun penggolongan yang dikenal dan dimiliki seseorang, kelas sosial tersebut mempengaruhi sistem nilainya. Lebih lanjut lagi hal ini akan memberikan pengaruh pada nilai kerja seseorang dalam organisasi. Leonard Pearlin dan Melvin kohn mengemukakan bahwa seseorang yang tergolong kelas sosial yang tinggi mempunyai keinginan untuk mengembangkan dirinya sendiri, sedangkan mereka yang  berasal dari kelas sosial yang lebih rendah cenderung untuk lebih mempertahankan tradisi dan norma yang sudah ada. Ketepatan pendapat ini belum tentu benar bagi Indonesia, namun kiranya tidaklah perlu diragukan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kelas sosial dengan nilai kerja dan perilaku organisasi. Hal ini terutama oleh karena seseorang yang termasuk kelas sosial yang tinggi cenderung untuk tidak begitu perlu untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, sedangkan mereka yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah berharap bahwa dengan proses penyesuaian setidak-tidaknya mereka dapat bertahan pada kelas sosial yang mereka duduki, dan kalau mungkin memasuki tingkat  yang lebih tinggi . Alasan lainnya adalah mereka yang berasal dari keluarga yang mempunyai kelas ekonomi tinggi atau kaya sering dianggap tidak begitu khawatir akan kehilangan pekerjaan, karena mereka dapat saja berwiraswasta, sedangkan mereka yang menggantungkan hidupnya dari gaji atau upah dari organisasi tempat mereka bekerja, dengan segala usaha berusaha untuk tetap berada dan diterima oleh orang-orang yang dianggap menentukan dalam organisasi itu.

5.4. Implikasi Faktor Lingkungan Terhadap Manager
Faktor lingkungan kebudayaan dan proses sosialisasi memegang peranan penting bagi perilaku seseorang dalam organisasi. Oleh sebab itu, para manager perlu sekali memahami aspek-aspek kebudayaan yang mempengaruhi perilaku bawahan mereka. Karena kebudayaan setahap demi setahap mengalami perubahan, mereka perlu pula memperhatikan  kemungkinan terjadinya perbedaan sistem nilai, terutama antara pegawai yang berbeda generasinya. Bagi Indonesia, yang oleh para ahli disebut sedang mengalami proses tansisional, perhatian terhadap hal tersebut memang sangat diperlukan.

2.3.8. Mengukur Karakteristik Kepribadian
Menurut Gibson, (1996 : 160),Tes kepribadian mengukur karakteristik emosional, motivasional, antar pribadi, dan perilaku. Ratusan tes seperti itu tersedia untuk organisasi. Satu yang paling luas digunakan, adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) / kuestioner kepribadian fase ganda Minnesota, berisikan pernyataan dimana seseorang menjawab : benar, salah atau tidak tahu. Pertanyaan MMPI meliputi area seperti kesehatan, psikosomatis, kekacauan jiwa, dan tingkah laku sosial, seperti yang terkenal dengan manifestasi neurosis atau psikosis seperti kecenderungan fobia, khayalan dan sadistis.

Para manajer di organisasi tidak antusias dengan penggunaan MMPI. Karena terlalu berorientasi psikologis, berhubungan dengan psikolog dan psikiater, dan mempunyai reputasi digunakan untuk membantu orang dengan permasalahan.

Tes proyeksi, juga digunakan untuk menilai kepribadian, dimana orang menanggapi suatu gambar, sebuah inkblot, atau suatu cerita. Untuk mendorong suatu tanggapan yang bebas, hanya instruksi yang singkat dan umum yang diberikan untuk alasan yang sama, dilakukan pengujian gambar atau cerita yang samara-samar. Alasan dasarnya adalah bahwa setiap individu mendapat dan mengartikan bahan tes dalam sikap yang melukiskan kepribadiannya. Karena itu, individu memperlihatkan tingkah laku, kebutuhan, kecemasan dan konfliknya.

Pengukuran tingkah laku dari kepribadian melibatkan pengamatan orang tersebut dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, seorang individu mungkin diberikan masalah situasi kerja yang khusus untuk diselesaikan. Kemampuan penyelesaian masalah seseorang dipelajari di bagian pengambilan langkah-langkah, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai solusi, dan kualitas dari keputusan akhir.

Masing-masing ukuran kepribadian ini menggambarkan : tes laporan diri dari sisi ketepatan masalah . Tes proyeksi membutuhkan interpretasi subyektif oleh orang yang terlatih. Pengukuran perilaku bersandar pada sampel kecil dari perilaku seseorang.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1. Konsep Diri
Konsep diri adalah mirip kumpulan foto tentang diri seseorang dalam berbagai situasi, sendirian atau bersama orang lain, dahulu dan sekarang serta setiap peran yang kita jalani. Konsep diri merupakan gambaran umum dari seseorang tentang dirinya. Karena konsep diri ini mirip foto gabungan, maka tidak ada konsep diri yang tunggal. Tidak pernah seseorang digambarkan hanya memiliki satu sifat.

Konsep diri juga merupakan pandangan kita tentang watak kepribadian yang kita rasa ada pada kita, seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, dan sebagainya. apakah diriku sebagai pribadi yang setia, jujur, bersahabat atau yang lain? Bagaimana perasaanku terhadap diriku sendiri: bangga, tidak puas atau apa?


Karena konsep diri adalah gambaran yang kita buat dalam pikiran kita, seringkali apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan diri kita. Dengan kata lain, diri kita seringkali tidak seburuk apa yang kita pikirkan atau bayangkan.  Seperti sebuah tulisan pada sebuah truk “diriku tidak sehina yang kaubayangkan”.  Tulisan tersebut hendak mengatakan bahwa seringkali kita membentuk konsep diri yang salah karena kita salah menilai diri kita sendiri. Kita telah berlaku tidak adil terhadap diri kita dengan menilai begitu buruk tentang diri kita. Mendapatkan konsep diri merupakan langkah penting untuk merumuskan tentang jati diri seseorang.


3.1.1. John Powell dan Florence Littauer
Pengelompokan  manusia ke dalam beberapa tipe kepribadian merupakan suatu usaha yang sudah berlangsung lama, baik dengan usaha yang  masih sederhana maupun usaha yang ilmiah.  Dalam pendekatan ilmiah, walau para ahli menempuh cara pendekatan berbeda, namun sebenarnya mereka berangkat dari titik yang sama tetapi dengan teknik yang berbeda.  Para ahli berangkat dari pandangan bahwa kepribadian manusia itu variasinya hampir tak terhingga banyaknya.  Akan tetapi, untuk memahami manusia yang macam-macam itu dibutuhkan teknik tertentu. 

John Powell dan Florence Littauer serta banyak ahli lain sepakat bahwa setiap dari kita unik, bahwa diri kita tiada duanya, dari dahulu, sekarang dan waktu yang akan datang. Anak kembar sekalipun berbeda dalam banyak hal. Hanya ada satu Anda di dunia ini. Keunikan diri kita mencakup semua aspek  diri kita, dari yang tampak di luar  (ciri-ciri fisik) sampai yang tidak tampak (segi-segi batin).
Hippocrates berpendapat bahwa dalam diri seseorang terdapat empat macam sifat  yang didukung oleh keadaan konstitusional yang berupa cairan-cairan yang ada dalam tubuh orang, yakni: sifat kering terdapat dalam chole (empedu kuning),  sifat basah terdapat dalam melan (empedu hitam), sifat dingin terdapat dalam phlegma (lendir), dan sifat panas terdapat dalam sanguis (darah).  Keempat cairan tersebut ada dalam tubuh dengan porsi tertentu.  Apabila keempat cairan berada dalam porsi seimbang, orang berada dalam keadaan sehat (normal); apabila keseimbangannya yang proporsional itu terganggu, orang tersebut dalam keadaan sakit, menyimpang dari keadaan normal.

Galenus menyempurnakan ajaran Hippocrates tersebut. Sifat-sifat yang khas pada seseorang sebagai akibat dari dominannya salah satu cairan badaniah itu, oleh Galenus menyebutnya temperamen.  Lalu dengan dasar pikiran yang telah dikemukakan itu Galenus menggolongkan manusia ke dalam empat tipe temperamen yang berdasar pada dominasi salah satu cairan badaniahnya.  Keempat tipe itu adalah: kholeris, melankolis, phlegmatis, dan sangunis. Lebih jauh penjelasan ini dimaksudkan agar kita dapat menemukan seperti apakah diri kita yang sebenarnya.

Tipe Sanguinis (Ekstrovert-Pembicara-Optimis)
Istilah Sanguinis berasal dari kata sangae, yang berarti darah merah. Cairan yang dominan dalam tubuh orang ini adalah darah merah.  Menurut Hippocrates, darah merah yang dominan dalam diri seseorang menyebabkan  ciri-ciri watak  tertentu. Seorang sanguinis  ditandai dengan sifat hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang ‘menyenangkan’.  Pada dasarnya mau menerima.  Pengaruh/kejadian luar dengan gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang meledak-ledak.  Perasaan lebih berperan daripada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan.  Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.  Kata kunci bagi orang sanguinis populer adalah NIKMATI HIDUP SEKARANG.

Sisi Positif. (!) Kepribadian yang Menarik. Seorang sanguinis mempunyai perangai periang dan suka sesuatu yang bersifat spontan. Ia membawa kegembiraan di mana-mana. Ia tampak tidak pernah sedih. Yang ada adalah kegembiraan, kesenangan dan kemeriahan. Ia sangat pandai untuk menghidupkan suasana. Ia pantas untuk menghidupkan pesta-pesta. Ia akan berlaku spontan, tanpa dipaksa, untuk naik ke panggung ataupun tampil ke depan.  Seorang sanguinis adalah orang yang sangat optimis. Segala sesuatu tampak mudah dan pasti dapat dijalankan di hadapan orang ini. Sikap optimis ini biasanya dibarengi dengan cara meyakinkan orang lain dengan cara berbicara yang khas, yang sangat menarik pendengar. Ia senang berada di tengah-tengah orang banyak. Dan ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama dengan orang lain untuk menunjukkan kebolehan dirinya. (2) Pandai  Bicara. Seorang sanguinis pandai bicara dan bercerita. Ia tidak senang berbicara bisik-bisik. Segala sesuatu yang tampaknya sepele dapat diceritakan dengan hidup di tangan seorang sanguinis. Seorang sanguinis suka berbicara dengan nada suara yang menonjol dan gaya yang khas, sehingga ia akan mudah dikenal dari suaranya.  Ia adalah seorang pembicara yang ulung.  Apabila ia berbicara, ia memukau pendengar dengan membuat intonasi khas pada bagian-bagian tertentu dan gerakan yang menarik perhatian. Maka ia tampak hebat di panggung, dan di depan umum. Ia akan tahan berlama-lama mengobrol meskipun tanpa tujuan dan isi. Ia juga akan tertawa terbahak-bahak menikmati suatu cerita. Ia suka menceritakan hal-hal yang lucu. Dan ia suka menghibur teman-temannya dengan cerita-cerita yang lucu. Ia mudah berbicara dengan siapa pun termasuk orang yang belum dikenal. Ia juga dapat  mengambil tema apa saja untuk dibicarakan. Komentar-komentarnya segar dan jenaka. (3) Populer. Seorang sanguinis akan dikenal oleh siapa saja. Ia biasanya menjadi pusat perhatian dan mempunyai sekelompok penggemar. Ia menikmati keadaan sebagai pusat perhatian. Ia dikagumi oleh teman-temannya sebagai orang intelek karena ide-idenya cemerlang dan orisinil. Ia hampir selalu mendapat peran utama dalam banyak kegiatan, terutama dalam bidang teater. Kebanyakan orang akan spontan memilihnya untuk berbagai urusan atau kegiatan yang mengharuskan tampil ke depan orang banyak. (4) Antusias dan Ekspresif. Seorang sanguinis adalah seorang yang emosional dan demonstratif. Ia tidak segan-segan mengungkapkan perasaan hatinya di depan orang banyak. Ia juga suka mengungkapkan kegembiraan dengan memeluk, mencium dan merangkul. Ungkapan ini begitu alami dan spontan. Ia suka dengan gerakan-gerakan tanpa kekangan. Ia akan memberikan tanggapan setiap hal yang menarik dengan ucapan “luar biasa’, ‘hebat’, ‘aha .. indah sekali’ dan menambahnya dengan gerakan tangan atau kepala yang menarik perhatian. (5) Tulus dan Polos. Seorang sanguinis memiliki kegembiraan anak-anak. Anak-anak akan bergembira tanpa harus disuruh. Florence Littauer bahkan menyebut seorang sanguinis sebagai ‘selamanya menjadi kanak-kanak’.  Dengan menjadi kanak-kanak ia akan diperhatikan dan disayang. Ia juga murah terhadap pujian. Karena kepolosannya, ia akan mudah memuji orang lain. Ia merasa bahwa pujian merupakan bagian dari keinginan untuk berbicara dan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. (6) Penuh Rasa Ingin Tahu. Seorang sanguinis tidak ingin ketinggalan apa pun. Ia selalu ingin tahu, dan ingin dilibatkan dalam hampir semua urusan dan kegiatan. Hal-hal yang bersifat rahasia membuatnya senewen. Dan ia biasanya mengetahui lebih dahulu segala sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan. Ia juga ingin mencoba segala sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang baru membuatnya penasaran, maka ia ingin mencobanya meskipun seringkali mengundang resiko tinggi. (7) Sukarelawan dalam Tugas. Karena seorang sanguinis selalu ingin terlibat dan populer,  ia segera mengajukan diri  untuk tugas-tugas sosial tanpa memikirkan konsekuensi unutk dirinya. Ia akan mengajukan diri pada urutan pertama untuk banyak hal, meskipun ia akan mengeluh jika menghadapi tantangan. (8) Kreatif dan Enovatif. Seorang sanguinis selalu punya gagasan yang baru dan menarik. Ia akan menemukan ide-ide segar dan cemerlang, dan akan berusaha sekuat tenaga agar idenya dipakai. Ia kaya akan gagasan, seolah tidak pernah kehahabisan ide. Ia tidak pernah menemui jalan buntu. Di matanya, setiap maslah selalu ada pemecahannya. Ia juga menyukai tantangan. Ia senang dengan sesuatu yang penuh sensasi dan penuh petualangan. Ia senang sesuatu yang serba heboh. (9) Mudah Berteman. Seorang sanguinis tidak pernah dan tidak mau tinggal diam sendirian. selalu ingin mencari teman. Ia akan menegur dan berkenalan dengan siapa saja dan di mana saja. Ia juga akan menjadi teman yang menyenangkan.

Sisi Negatif. (1) Terlalu Banyak Bicara. Seorang sanguinis, penuh ide cemerlang, tetapi apabila ditanya apakah ia mau menjalankan ide itu dan kapan dapat dimulai, ia akan menjawab ‘jangan saya atau nanti dulu’.  Orang ini sering mendapat sebutan NATO (No Action Talk Only). Ia hebat dalam berbicara  dan ide, tetapi tidak dalam pelaksanaan. Florence Littauer menyebutnya sebagai ‘tidak ada tindak lanjut’. Ia selalu akan berkelit untuk menunda-nunda pekerjaan. Ia juga suka terus menarus berbicara, tidak peduli dan tidak tanggap situasi. Ia tidak peduli apakah pendengar tersinggung atau tidak, apakah pendengar suka dengan apa yang dikatakan atau tidak. Ia suka bicara melantur tanpa tujuan. Florence Littauer menyebutnya sebagai ‘orang tanpa kesalahan’. Maksudnya adalah bahwa ia tidak merasa bersalah dengan terlalu banyak bicara dan menyakiti orang lain. Ia juga tidak merasa bersalah bersikap kekanak-kanakan dalam acara-acara yang resmi, yang menuntut keseriusan tinggi. Dalam berbicara, ia juga suka menambahnya dengan ‘bumbu-bumbu’ yang tidak perlu. Ia mudah terkesan sebagai pembual dan suka membesar-besarkan sesuatu dalam berbicara. (2) Kurang Mendalam. Ia menyukai hal-hal yang hebat di permukaan, tetapi kurang mendalam. Ia tidak baik menjadi penasihat atau konselor, karena ia suka berbicara dan  kurang mendengarkan. Ia akan mudah memotong pembicaraan orang. Nasihatnya pun dangkal, karena kurang dipikirkan secara mendalam. (3) Egoistis. Seorang sanguinis mempunyai dorongan kuat untuk menjadi pusat perhatian dan selalu ingin disayang dan dinomor satukan. Akibatnya, ia menjadi egoistis. Ia tidak ingin orang lain tidak memperhatikannya, menyenanginya dan mengistimewakannya. Ia juga tidak peduli dengan lingkungan dan orang lain. Apabila ia ingin bicara, ia bicara langsung lantang  tanpa basa-basi, dan meminta orang lain untuk mendengarkannya. Ia tidak peduli apabila ia mengganggu atau dapat menyinggung perasaan orang lain. (4) Tidak Tertib dan Tidak Dewasa. Karena seorang sanguinis menyukai yang serba spontan dan baru, ia tidak mempunyai jadwal atau program pribadi yang jelas. Semua akan dilakukan sesuai dengan kata hati saat itu. Florence Littauer menyebutnya sebagai orang yang tidak konsisten.  Ia tidak  berminat pada suatu pekerjaan atau kegiatan yang memerlukan perencanaan yang rumit Kalaupun ia melakukan suatu pekerjaan, biasanya tanpa persiapan yang matang. Keinginan yang kuat di awal untuk melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan akan berhenti tanpa penyelesaian apabila ada tantangan. Kesenangan akan mengalahkan tantangan.

Yang dibutuhkan oleh orang Sanguinis: Bimbingan; Banyak kontak dengan orang lain; Banyak variasi; Kesenangan (fun); Pengakuan Publik; Siapa teman-temannya;

Manfaat mengetahui orang Sangunis: Pemimpin yang aspiratif; Pandai berdiplomasi; Pekerja yang antusias; Pemberi kesan yang menyenangkan; Penyumbang semangat kerja tinggi.

Tipe Melankolis (Introvert-Pemikir-Pesimis). 
Istilah melankolis berasal dari kata melankhole, yang berarti empedu hitam. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang melankolis adalah empedu hitam. Menurut Hippocrates, empedu hitam yang dominan dalam diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.

Si melankolis adalah seorang yang paling ‘kaya’ diantara semua temperamen.  Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe prefeksionis dengan sifat emosi yang sangat sensitif.  Tidak seorang pun dapat menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia mausk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa.  Kadang- kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi membuatnya bertindak lebih ekstrovert.  Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depresi, dan selama periode ini dia akan menarik diri, dan bisa menjadi seorang yang begitu antagonistis (bersifat bermusuhan). Kata kunci bagi orang melankolis adalah KESEMPURNAAN.

Sisi Positif. (1) Mendalam, Penuh Pemikiran dan Analitis. Seorang melankolis penuh pemikiran dan analitis. Ia dapat melihat masalah sebelum terjadi serta menghitung biaya sebelum membangun. Tidak seperti seorang sanguinis yang suka berbicara, Ia tidak banyak bicara. Ia diam dan berpikir, merencanakan, mencipta, menemukan dan menganalisis. Ia selalu menggali sesuatu bukan berdasarkan jumlah nominalnya, melainkan  berdasarkan isi kebenarannya. (2) Serius dan Tekun. Seorang melankolis adalah orang yang tahan duduk berjam-jam mempelajari atau meneliti sesuatu. Segala yang dikerjakan selalu penuh perencanaan dan perhitungan. Ia memandang hidup sebagai sesuatu yang serius, bukan untuk bersenang-senang. Ia berpenampilan tenang tetapi wajah penuh keseriusan. Ia tidak banyak tersenyum atau tertawa, karena ia menganggap bahwa segala sesuatu harus dipikirkan secara mendalam. (3) Mandiri. Seorang melankolis mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan berkeyakinan bahwa ia dapat melakukan dan mencapai segala sesuatu sendiri. Ia tidak memerlukan orang lain. Ia akan mengerahkan seluruh kekuatan dirinya untuk merencanakan dan mencapai apa yang diimpikan. Maka ia juga tidak banyak bercerita tentang rencana-rencananya. Ia akan tampil bersama hasilnya, bukan rencananya. Dan ia berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa dirinya mampu. (4) Berbakat dan Kreatif. Seorang melankolis adalah orang yang paling berbakat dan kreatif  di antara mereka semua. Seorang melankolis dikagumi karena hal ini. Ia tampak jenius. Aristoteles pernah mengatakan, “semua orang jenius punya watak melankolis.”  Seorang melankolis  akan tampil dalam diri para penulis, penemu, musikus, ahli filsafat  dan pelukis besar. (5) Menyukai Diagram, Grafik dan Bagan. Bagi seorang melankolis, penggunaan daftar, diagram, grafik atau bagan merupakan bagian penting dari kehidupan. Otak melankolis berpikir dengan cara demikian teratur sehingga ia suka melihat bagan. Ia juga kan menjelaskan teori di balik bagan atau grafik kepada orang lain yang tidak mengerti. (6) Berpikir sistematis dan terorganisasi. Seorang melankolis suka menuliskan segala sesuatu yang dianggap penting dengan rincian yang cermat.  Ia juga ahli dalam melacak perincian. (7) Hidupnya Tertib. Seorang melankolis mengatur hidupnya dengan penuh perencanaan. Ia menetapkan tujuan-tujuan, dan berusahan sekuat tenaga mencapai tujuan-tujuan tersebut. Ia juga menyukai keteraturan, jadwal, serta tahan dalam rutinitas harian.  Ia juga sangat tepat janji dan tepat waktu. Ia akan berusaha segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencananya. Ia memikirkan secara mendalam agar jangan sampai ada gangguan sekecil apa pun dapat menggagalkan rencanannya. (8) Menetapkan Standar yang Tinggi. Seorang melankolis mempunyai motto: “Kalau sesuatu layak dilakukan, itu harus dilakukan dengan benar.”  Bagi seorang melankolis, kualitas sangat penting. Maka jika ia mengerjakan suatu, ia akan mengerjakan dengan benar dan tepat waktu. Ia menyukai barang-barang yang berkualitas tinggi dan yang tahan lama, meskipun model dan bentuknya terkesan kuno atau ketinggalan jaman. Ia lama dalam menenetukan pilihan terhadap sesuatu. Dengan teliti ia akan menganalisa dan lama mempertimbangkan. Akan tetapi sekali keputusan sudah diambil, ia akan mempertahankannya dalam jangka waktu yang lama. Ia tidak suka ganti-ganti barang hanya karena modelnya. (9) Penuh Perhatian dan Belas Kasihan. Seorang melankolis peka terhadap kebutuhan orang lain dan penuh perhatian. Ia mudah terharu terhadap hal-hal yang menyentuh perasaan. Ia dapat menitikkan air mata bila terharu, entah karena sesuatu yang membuat gembira atau sedih. Ia dapat menjadi penasihat yang bijaksana karna ia sanggup melihat permasalahan sampai ke lubuk hati orang lain. Ia mampu mendengarkan keluhan orang lain, menganalisisnya, dan memberikan saran-saran yang hasrus dilakukan untuk mengatasi masalahnya.

Sisi Negatif. (1) Keras Kepala. Karena seorang melankolis punya prinsip dan merasa prinsipnya benar serta berusaha mempertahankan prinsipnya, ia cenderung keras kepala. Dengan keseriusan pemikiran dan analisanya, ia beranggapan bahwa pemikirannya paling benar. (2) Mudah Tertekan. Susah sekali bagi orang melankolis untuk membedakan antara bahagia dan sedih, karena ia tidak ingin terlalu gembira. Sebagian besar kehidupannya akan dijalaninya dengan serius. Ia mudah tertekan berhadapan dengan orang sanguinis yang heboshda. (3) Berwajah Murung. Karena selalu tampil serius, orang melankolis tidak sadar bahwa wajahnya tampak selalu murung dengan jidat yang berkerut.  Ia juga akan tampil dengan sorot mata  penuh selidik pada sesuatu orang yang baru dijumpainya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya ia akan murung dan menyesali diri dalam waktu yang lama. Penampilan ini sering menghalanginya untuk secara spontan mengalami kegembiraan dan merasakan kejutan. (4) Perfeksionis. Seorang melankolis ingin segalanya berjalan sempurna sesuai rencana dan terkoordinasi dengan baik. Ia tidak mudah menerima adanya beberapa perubahan rencana di tengah jalan. Lebih jauh ia mengharapkan hasil yang tidak cacat sedikit pun. Karena sikapnya itu, seorang melankolis suka mencari sisi negatif atau kesalahan dari segala sesuatu atau orang. Ia akan berhenti mencela atau mengkritik  apabila segalanya terlihat sempurna. Maka ia tidak mudah memberikan apresiasi positif mengenai adanya kemajuan-kemajuan kecil yang dikerjakannya sendiri atau orang lain, sebelum segalanya selesai dengan sempurna.

Yang dibutuhkan oleh orang Melankolis: Keharmonisan; Penjelasan mengapa sesuatu hal terjadi; Penggunaan tolak ukur yang rinci; Kritik yang tidak langsung; Pujian secara pribadi; Cukup waktu untuk mengolah informasi.

Manfaat mengetahui orang Melankolis: Orang dengan ketrampilan khusus; Orang dengan banyak perincian; Pembuat standar yang tinggi; Orang dengan hasil kerja yang berakurasi tinggi.

Tipe Koleris (Ekstovert-Pelaksana-Optimis)
Istilah koleris berasal dari kata khole, yang berarti empedu kuning. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang koleris adalah empedu kuning. Menurut Hippocrates, empedu kuning yang dominan dalam diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.

Seorang koleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri dan sangat independen.  Dia cenderung tegas dan perpendirian keras, dengan gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain.  Seperti seorang sangunis, seorang koleris adalah seorang ekstrovert, walau tidak se-ekstrovert sangunis.  Seorang koleris hidup dengan aktif.  Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan ambisi-ambisinya yang tak pernah surut. Kata kunci orang koleris adalah MENCAPAI.

Sisi Positif (1) Dilahirkan sebagai Pemimpin Seorang koleris yang kuat akan memperlihatkan sikap sebagai pemimpin  sejak awal kehidupannya. Ia dilahirkan sebagai pemimpin dan akan melihat keluar dari terali ranjang bayinya serta merencanakan secepat apa dia dapat mengambil alih kekuasaan dari ibunya. Ia memperlihatkan sikap menuntut hak sejak kecil, dan akan menggunakan suara keras atau sikap ngambek untuk mengukuhkan kekuasaannya. Ia akan menjadi pemimpin atau ketua untuk organisasi apa saja sejak kecil. Ia mempunyai kemampuan bawaan untuk naik ke puncak dan mengambil alih. (2) Menuntut Perubahan. Seorang koleris akan memaksa dan mengubah apa saja yang dilihatnya tidak pada tempatnya. Ia menginginkan peruabahan sekarang juga jika dapat. Ia akan tampil untuk memulai perubahan itu untuk memberikan motivasi bagi orang lain melakukan perubahan. Kadangkala ia terlihat langsung mengerjakan sendiri hal-hal yang dilihatnya tidak beres, meskipun sebenarnya itu bukan tugasnya. (3) Berkemauan Kuat dan Tegas. Seorang koleris dapat membuat keputusan yang tepat dan cepat, karena ia tahu apa yang dibutuhkan oleh keadaan atau lingkungan, serta tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia sangat berorientasi pada tujuan.  (4) Dapat Diandalkan. Seorang koleris yang kuat serba dapat. Ia tampak dapat melakukan apa saja meskipun ia tidak banyak mempunyai pengetahuan mengenai bidang yang sedang dikerjakannya. Maka ia tampak sangat dapat diandalkan untuk hampir semua urusan. Kelebihan terbesar seorang koleris adalah kemampuannya mencapai melebihi siapa pun juga.  (5) Menyukai Tantangan. Seorang koleris yang kuat akan tumbuh dari tantangan yang satu ke tantangan lainnya. Ia tidak pernah menghindari tantangan, bahkan sering mencarinya. Bagi orang koleris, tidak ada sesuatu yang mustahil. Ia selalu tertantang untuk membuktikan bahwa segala sesuatu dapat dikerjakan dan setiap masalah dapat diatasi. Dalam beberapa hal seorang koleris bahkan ‘menantang’ orang-orang lain untuk mengalahkannya. Dan ia dengan bangga akan mengatakan bahwa ia akan mengalahkan mereka semua atau menyingkirkan mereka semua untuk menjadi pemenangnya. (6) Mengorganisasi dan Mendelegasikan Pekarjaan. Seorang koleris adalah seorang yang sangat efisien, karena kemampuannya mengorganisasi dan kesediannya mengambil tindak lanjut atas perintahnya. Apabila seorang koleris meencanakan suatu pekerjaan, jauh di dalam pikirannya telah tergambar mengenai bantuan yang akan diperolehnya dan pembagian tugas yang akan dilakukannya.  (7) Biasanya selalu Benar. Seorang koleris yang kuat punya antena bawaan untuk mengindera situasi. Ia akan membuat pengumuman hanya kalau ia tahu bahwa ia benar. Dan ia penuh keyakinan bahwa ia selalu benar. Dan anehnya orang lain dibuat tidak berdaya dengan kenyataan bahwa ia memang benar.(8) Tidak terlalu Perlu Teman. Orientasinya  yang kuat pada tujuan, membuat seorang koleris ingin mewujudkannya sendirian. Ia percaya bahwa ia sanggup mencapainya sendirian. Ia tidak membutuhkan dukungan dan bantuan. Ia selalu punya proyek. Bergaul dan mengobrol dengan orang lain hanya membuang-buang waktu. Ia akan bekerja untuk kegiatan kelompok dan memimpin suatu kegiatan amal, tetapi ia sendiri bertindak dengan menghemat waktunya. (9) Unggul dalam Keadaan Darurat. Orang koleris yang kuat menyukai keadaan darurat. Keadaan darurat selalu menjadi kesempatan bagi orang koleris untuk menunjukkan keunggulannya mengatasi keadaan. Ia tidak pernah panik dalam keadaan darurat. Ia bia mengubah keadaan darurat menjadi saat yang mentakjubkan.

Sisi Negatif. (1) Memandang Orang Lain sebagai ‘Musuh’. Dorongan yang kuat untuk mencapai puncak dan menaklukkan semuanya, menyebabkan seorang koleris memandang orang lain sebagai ancaman yang harus ditaklukkan juga. Orang lain harus dipaksa untuk mengakui bahwa ia yang paling benar dan paling sukses. Dorongan itu membuat seorang koleris tidak segan-segan bersikap menantang siapa saja. Ia siap untuk bertarung dengan siapa saja. Pertarungan baginya adalah sarana untuk menunjukkan keunggulan dirinya. Ia tidak  membiarkan apa pun menghalanginya mencapai tujuan.. (2) Diktator dan Suka Memanipulasi. Ada keinginan kuat dari dalam diri seorang koleris untuk memaksakan apa yang dianggapnya baik. Karena baginya tidak ada sesuatu yang mustahil, ia menganggap semua orang dapat melakukan seperti dirinya. Ia juga punya kecenderungan untuk menyepelekan orang lain tanpa belas kasihan. Untuk memaksakan rencananya sering seorang koleris melakukan manipulasi. Ia akan menyusun rencana untuk memaksakan kehendaknya, seolah-olah tampak bahwa itu bukan paksaan. (3) Tidak Sabar. Dorongan kuat untuk mencapai prestasi, sering membuat seorang koleris gusar dan tidak sabar. Ia tidak sabar menghadapi orang lain, yang di hadapannya dianggap terlalu santai. Ia menginginkan kalau segala sesuatu harus dikerjakan segera sesuatu dengan target. Ia juga tidak sabar dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, karena di matanya kesalahan seharusnya tidak ada. (4) Terlalu Memaksakan Diri. Sementara orang lain mengambil waktu libur untuk bersantai, seorang koleris akan bekerja sekalipun di saat  libur. Baginya, waktu itu mahal, maka tidak baik menghambur-hamburkannya. Duduk-duduk santai adalah kebodohan bagi orang koleris.

Yang dibutuhkan oleh orang Koleris : Banyak tantangan; Koreksi apabila diperlukan; Ditunjukkan apa yang anda butuhkan; Prestise dan kebanggaan; Peluang untuk belajar hal-hal baru; Perasaan kompetisi dan persaingan.

Manfaat mengetahui orang Koleris: Pengambil resiko yang berani; Pengambil keputusan; Pekerja yang mandiri; Orang yang senang membuat perubahan; Orang yang berorientasi pada hasil.

Tipe Flegmatis (Introvert-Pengamat-Pesimis).
Istilah flegmatis berasal dari kata phlegma, yang berarti lendir. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang melankolis adalah lendir. Menurut Hippocrates, lendir yang dominan dalam diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.

Si phlegmatis adalah seorang yang hdupnya tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah.  Dia adalah seorang dengan tipe mudah bergaul, dan paling menyenangkan diantara semua temperamen.  Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang ‘tenang’, ‘dingin’, ‘pelan’ temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik.  Baginya hidup adalah suatu kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan.  Dia begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimanapun keadaan sekitarnya.  Kata kunci bagi orang flegmatis adalah “INI TIDAK TERLALU PENTING”.

Sisi Positif. (1) Serba Guna. Seorang flegmatis yang damai mudah diajak bergaul, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap jadwal dan fleksibel. Ia senang  bersama-sama dengan orang lain tetapi juga bahagia sendirian. Ia tidak mudah terganggu  oleh sesuatu  yang di luar dirinya. (2) Rendah Hati. Seorang flegmatis hidupnya damai dan begitu menyenangkan berada di dekatnya. Tak seorang pun menginginkan seorang flegmatis pergi.  Ia tidak suka menyerang. Ia menyetujui setiap ide, hal yang paling disukai oleh seorang koleris.  Ia tidak suka kedudukan. Ia bahkan rela melepaskannya apabila mendapatkannya sebelum dillihat orang. Ia tidak memerlukan reputasi dan penghargaan. Akan tetapi ia tetap menjaga agar dirinya tidak kelihatan tolol. Ia hanya tidak ingin menonjol. (3) Sabar dan Santai. Seorang flegmatis tidak memaksakan diri. Baginya, segala sesuatu ada waktunya. Ia tidak pernah tergesa-gesa. Ia akan menghadapi persoalan dengan tenang dan bertahap.  Ia juga tidak suka menyinggung perasaan orang lain, menimbulkan kesulitan bagi orang lain atau memaksa. Ia menerima apa adanya apa saja. (4) Tenang dan terkendali. Tidak seperti dari watak lain, terutama sanguinis dan koleris, Ia tidak pernah panik dalam situasi apa pun. Ia mempunyai emosi yang stabil dan terkendali. Ia tidak mudah terusik dengan keadaan sekitar dan tampak cuek dengan komentar-komentar mengenai dirinya.(5) Sikap Menerima. Seorang koleris tidak memulai dengan harapan yang besar, maka ia dapat menerima segala yang diperoleh. Ia tidak mudah tertekan seperti kaum melankolis, karena ia selalu berdamai dengan realitas dan tidak ambisius. (6) Mudah Diajak Bergaul. Kaum flegmatis yang damai mempunyai banyak teman, karena ia mudah diajak bergaul, dan semua watak lain memerlukan teman seperti dia. Ia menyenangkan sebagai teman. Maka ia mempunyai banyak teman. Dalam bergaul, seorang flegmatis yang damai tampil santai, sabar, konsisten, tidak  ofensif dan menyenangkan. (7) Menjadi Penengah. Karena ciri wataknya yang damai dan tidak mudah terpengaruh, kaum flegmatis akan banyak mengambil posisi sebagai penengah  bila terjadi perselisihan atau konflik. Kemampuan ini didukung oleh sikap yang tidak mau memihak dan ketenangannya menghadapi masalah.  Manakala kaum yang lain suka terlibat dalam perdebatan untuk memaksakan kehendaknya, kaum flegmatis dengan tenang akan menjadi penengah. (8) Punya Kemampuan Administrasi. Kaum flegmatis yang damai mempunyai kemampuan mengurus administrasi dengan baik. Kemampuan ini didukung oleh kemampuannya untuk menyesuaikan diri, pandangannya yang obyektif terhadap orang lain, dan ketelitan  serta kesabaran yang tinggi. (9) Menjadi Pendengar yang Baik. Karena kesabaran dan ketenangannya, kaum flegmatis lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Maka watak lain suka mencurahkan isi hatinya kepadanya. Ia merupakan pendengar yang tanggap dan penuh empati. Reaksi fisik untuk mengungkapkan empatinya adalah tersenyum dan mengangguk-angguk.

Sisi Negatif. (1) Terlalu Cuek. Orang flegmatis yang damai tidak peduli dengan sikapnya yang barangkali menyinggung orang lain. Ia pendiam dan kelihatan baik hati, tidak pernah mengungkapkan kemarahan. Akan tetapi, reaksinya juga lambat. Sementara watak lain menunggu akan tanggapannya terhadap sesuatu, orang flegmatis lebih suka menyimpannya dalam hati.  Ungkapan yang sering muncul adalah, “aku tak peduli”,  ketika orang lain mengutarakan sesuatu yang tidak beres tentang dirinya. Ia berkeyakinan bahwa ia tidak memerlukan hiburan, maka orang lain juga tidak memerlukannya. Ia tidak peduli apabila ia kadang-kadang membosankan membuat gregetan  orang lain. (2) Tidak Bersemangat. Salah satu kelemahan orang flegmatis adalah ketidakmampuannya memberikan motvasi bagi dirinya sendiri, karena dia tidak mempunyai antusiasme atas apa pun. Seringkali seorang flegmatis melontarkan perkataan ini, “aku tidak tertarik”, ketika menanggapi sebuah rencana yang tampak menarik dan menggairahkan bagi orang koleris atau sanguinis.  Seorang flegmatis yang damai akan kedapatan tidur dalam seminar-seminar yang penuh perdebatan sekalipun. Pendeknya, ia tidak begitu tertarik dengan hal-hal yang tampaknya sensasional, dan menganggap sinting dengan segala kegilaan watak yang lain dengan tertawa tanpa suara. (3) Tidak Menyukai Perubahan. Orang flegmatis yang damai tidak menyukai perubahan. Ia tidak mau repot.  Ia malas mencoba hal-hal baru. Ia lebih suka pada keadaan yang sedang dijalaninya. Di samping itu hal-hal spektakuler yang ke depan tidak menarik baginya. Baginya hidup adalah yang dijalaninya sekarang. Ia tidak suka mencari teman baru, tidak suka pindah rumah, pindah kerjaan meskipun menurut pendapat umum itu lebih baik. Sebagai akibatnya, orang flegmatis sering menunda-nunda pekerjaan atau tugas. Ia juga suka menghindari tanggung jawab. Ia malas melakukannya karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang dituntut dari dirinya. (4) Kurang Berpendirian. Kemampuannya untuk menyesuaikan diri dan keinginan tidak memihak, menjadikan dia tidak punya pendirian atau prinsip yang jelas.  Ia akan menjaga keadaan tetap tenang. Ia tidak menyukai konflik.

Orang flegmatis sukar sekali membuat keputusan, bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena ia tidak mau mengambil tanggung jawab atas keputusannya. Keputusan dasarnya adalah ‘tidak membuat keputusan apa pun’.

Yang dibutuhkan oleh orang Plegmatis: Lingkungan kerja yang stabil; Dorongan bakat analistis; Diperlihatkan padanya bagaimana sesuatu bekerja/berfungsi; Banyak peringatan sebelum perubahan terjadi; Penyelidikan untuk mengetahui perasaan orang yang sesungguhnya; Jaminan ekonomi.

Manfaat mengetahui orang Plegmatis: Hasil kerja yang mantap; Tolak ukur kesabaran; Setia sebagai pegawai; Turut pada perintah atasan; Menjiwai pekerjaan yang dilakukan.

Perpaduan yang Unik
Uraian di atas tidak dimaksudkan agar kita melihat diri kita secara hitam putih. Uraian di atas juga tidak dimaksudkan untuk memasukkan kita ke dalam kotak yang terisolasi, dan kemudian memberinya label atau cap pada diri kita sebagai orang sanguinis, melankolis, koleris atau flegmatis. Uraian di atas dimaksudkan sebagai alat bantu agar kita  lebih menyelami diri kita.

Ketika kita memeriksa diri kita, barangkali hati kita memberontak dan tidak menyetujui bagian-bagian tertentu dari uraian di atas. Ada semacam perasaan mendua: antara menerima dan menolak. Menerima, karena sebagian besar  yang diuraikan di atas memang cocok dengan diri kita. Menolak, karena ada sebagian yang kita anggap bukan diri kita. “Itu tidak dengan diri saya”.  Reaksi semacam itu wajar karena memang diri kita tidak dapat dimasukkan ke dalam satu tipe saja.

Kita semua merupakan perpaduan antara paling tidak dua temperamen, satu yang dominan dan yang lain kurang dominan.  Maka ada dua belas kemungkinan besar perpaduan temperamen, yakni: SanChlor, SanMel, SanPhleg, ChlorSan, ChlorMel, ChlorPhleg, MelSan, MelChlor, MelPhleg, PhlegSan, PhlegChlor, PhlegMel.

Dengan pembagian ini, seseorang lebih mudah membuat identifikasi dirinya sebagai salah satu dari kedua belas jenis perpaduan itu dari keempat temperamen dasar.  Pada dasarnya, setiap orang dapat memiliki sekaligus segala kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada temperamen yang dominan dan yang kedua.  Beberapa dari kekuatan dan kelemahan ini dapat saling menggagalkan satu sama lain, saling menguatkan, saling menonjolkan diri dan saling mempersulit yang lain.  Kejadian seperti ini menciptakan keragaman perilaku, prasangka dan kemampuan-kemapuan alamiah dari orang dengan temperamen dominan yang sama tapi dengan temperamen tambahan yang berbeda.

3.1.2.  Enneagram
Paling tidak sekali dalam hidup, kita pernah mengalami konflik dengan orang lain. Apakah mereka teman, atasan, bawahan, atau bahkan orang-orang yang kita cintai. Penyebabnya sering kali bermuara pada perbedaan sikap, pendapat, dan cara pandang suatu persoalan.

Mengapa sampai muncul perbedaan sikap antara seseorang dengan yang lain terhadap satu hal yang sama? Mengapa karakter atau watak setiap orang berlainan? Bagaimana cara menghadapi setiap perbedaan tanpa harus terlibat perseteruan?

Enneagram menyediakan jawaban sekaligus penjelasan untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Ennea (bahasa yunani) yang artinya sembilan, merupakan penjabaran sembilan tipe energi alam yang masing-masing menyimpan watak dan karakter orang. Kesembilan tipe tersebut membedakan cara seseorang dalam menentukan pilihan bertingkah laku, dan menumbuh kembangkan sifat-sifat asli dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, rahasia kekuatan ennegram yang tersimpan bak misteri ini terkuak juga pada awal abad XX. Penemuan ini berdasarkan pada beberapa studi ilmiah yang sebagian besar dilakukan oleh kalangan pakar psikologi Universitas Stanford, Amerika Serikat. Tahun 1960 seorang ahli pendidikan di Amerika Latin, Oscar Ichazo memperkenalkan metode pengajaran enneagram di Bolivia, lalu menyebarkan pengetahuan ini melalui institut Arica di New York. Seorang psikiater dari Cile, Claudio Naranjo memadukan enneagram kedalam disiplin ilmu psikologi yang menangani gangguan kepribadian berdasarkan Ametikan Psychiatrist Association. Sejak itu enneagram dipelajari dan di ajarkan oleh banyak ahli dengan latar belakang yang beragam.

Belakangan, metode eneagram ini juga di padukan dengan program rekrutmen dan pelatihan pada lembaga pengembangan sumber daya manusia di beberapa perusahaan. Selain beberapa perusahaan besar Jepang, raksasa General Motors dan AT & T pun memakainya.

Symbol enneagram berupa lingkaran dengan sembilan titik geometris yang memilah sembilan tipe dasar kepribadian manusia serta hubungan antarpribadi yang kompleks. Kesembilan tipe itu adalah:

Tipe Pekerja. Menggambarkan orang yang selalu mengejar kesempurnaan. Mereka biasanya memperhatikan segala sesuatu sampai sedetail-detailnya. Tak mudah menyerah meski menanggung beban berat. Namun karena menuntut setiap orang juga harus sempurna, mereka cenderung mencari-cari kesalahan. Di kantornya mereka amat sensitive terhadap bebagai kesalahan atau perlakuan tidak adil dari atasan.

Untuk membebaskan diri dari obsesi kesempurnaan, mereka perlu mempelajari konsep pertumbuhan. Tujuannya, agar sementara mengejar kesempurnaan mereka bisa tumbuh dan mendekati sempurna secara perlahan-lahan. Melalui proses pertumbuhan itu, mereka bisa memperlakukan diri sendiri maupun orang di sekitarnya dengan lebih baik.

Tipe Penolong. Yaitu orang yang amat bersahabat, penuh perhatian, dan rela melayani sesama. Mereka selalu berusaha keras untuk berbuat baik terhadap sesama. Namun, bila sampai dikecewakan atau di kritik lantaran terlalu mencampuri urusan orang lain, mereka akan marah. Bawah sadarnya selalu dihantu ketakutan terbuang dari lingkungannya. Itulah sebabnya, mereka berusaha agar hidupnya berarti bagi orang lain.

Meskipun secara nyata tidak menuntut balas jasa, sebenarnya mereka mengharapkan perhatian atau setidaknya pengakuan atas apa yang mereka lakukan untuk orang lain.

Tipe orang macam ini sebaiknya disadarkan bahwa membantu orang lain toh bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan kepentingan diri. Kepada mereka harus ditanamkan pengertian, usaha mencapai tujuan harus dilakukan dengan caranya sendiri tanpa perlu memanipulasi pihak lain dengan bermacam-macam bantuan.

Tipe Motivator. Bisa ditemukan pada posisi manajemen puncak perusahaan-perusahaan Amerika, jepang. Orang tipe ini biasanya para workaholic yang amat terobsesi dengan efisiensi. Mereka cenderung menentukan target yang tinggi dan bekerja amat efisien guna mencapai sukses. Kalau perlu tak segan-segan mengesampingkan kepentingan keluarga dan bahkan kesehatannya.

Tak jarang yang menimbukan dampak pada lingkungan kerjanya, mereka menuntut kadar komitmen yang sama tehadap para bawahannya. Padahal dengan tututannya yang terkadang “menyiksa” orang-orang di sekitarnya, mereka justru sering menderita stress.

Pribadi tipe ini sebaiknya memiliki standar untuk mengukur kapasitas kerja tanpa harus di hubungkan dengan tujuan, efisiensi, atau sukses perusahaan. Akan lebih bagus, dalam berperilaku kerja menyertakan unsure kejujuran diri dan rasa belas kasih terhadap sesama. Bila sudah mampu melihat kehebatan dirinya, mereka tidak akan menganggap bawahan hanyalah sekadar alat mencapai tujuan.

Tipe Individualis. Yaitu orang yang selalu menempatkan keunikan diri, kreatifitas, dan emosi pada tingkat yang paling tinggi. Kerena melihat dirinya sebagai insan yang berbeda dengan orang lain, mereka tidak senang pada hal-hal yang bersifat biasa saja. Baginya setiap orang harus punya keunikan yang menonjol. Mereka terobsesi bekerja dengan caranya sendiri yang unuk, sehingga lebih suka menutup pintu untuk kerja sama dengan orang lain. Orang seperti ini kalau diberi kebebasan akan cenderung soliter dan bahkan terisolasi dari lingkungan sekitar.

Nah, agar bisa terbebas dari “dunianya” yang sempit, selain memanfaatkan keunikannya secara optimal, mereka juga harus belajar menerima keragaman. Dunia ini penuh perbedaan. Kalau hidup setiap orang hanya berporos pada dirinya sendiri dan melupakan pergaulan dengan orang di sekitarnya, nantinya justru akan terasa sepi.

Tipe Pemikir. Biasanya pintar, berfikir analistis, tegas dalam mengambil keputusan, namun miskin dalam pergaulan. Boro-boro harus meluangkan waktu untuk bertukar pikiran atau perasaan dengan orang lain, perhatiannya melulu hanya pada bidangnya dan terlalu ngoyo dalam mengejar ilmu. Sayangnya, meski intelektualitasnya tak diragukan, mereka malas bekerja. Bahasa sononya no action, talking only, atau NATO. Orang bilang ngomong doang, kerja kagak.

Cara mengatasi kelemahan ini, mereka harus mengambil inisiatif tindakan nyata. Ini logis. Untuk bisa mengetahui apa yang telah terjadi, seseorang harus terlibat di dalamnya. Bagaimanapun realitas kehidupan takkan bisa dimengerti dengan pengamatan saja.

Orang tipe ini perlu belajar mengambil inisiatif untuk mengenal, berinteraksi dengan orang lain, serta mempu mengendalikan emosi. Dengan demikian mereka akan menemukan kebijaksanaan dan kekuatan yang sebelumnya selalu di hindari.

Tipe Loyalis. Umumnya, bisa di percaya, jujur, dan bertindak sesuai hukum dan norma yang berlaku. Pembawaanya cenderung hati-hati dan selalu cemas. Perasaan ini terbawa terus dalam pekerjaan. Biasanya mereka dihantui ketakutan dan kecemasan, jangan-jangan berbuat salah. Kalau kecemasan itu tak terkontrol, biasanya mereka tidak mampu membuat keputusan atau bertindak sesuai kehendak.

Orang yang berkepribadian seperti ini perlu memiliki rasa percaya diri yang besar dalam lingkungannya. Kalau bisa di yakinkan bahwa mereka memiliki relasi yang dapat di percaya, pelan-pelan kecemasan itu akan hilang dan mereka mampu meraih prestasi yang lebih dari biasanya.

Tipe Entusiastis. Selalu bersikap optimis akan masa depan meski dalam kondisi buruk sekalipun. Mereka akan berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari stres. Tapi bila situasi semakin memburuk, dengan gampang banting stir, memilih pekerjaan lain yang di anggap lebih baik. Meskipun hidupnya tidak selalu berhasil, mereka susah menerima kegagalan atau penderitaan.

Orang macam itu harus dilatih untuk bisa menerima penderitaan atau kegagalan, sehingga mereka tidak akan jatuh dalam obsesi keberhasilan terus. Keberanian menghadapi tantangan perlu terus dipupuk. Yang jelas, ia harus pernah mangalami kegagalan dalam dunia nyata. Pribahasa Jawa, jer basuki mawa bea (kesejahteraan perlu pengorbanan), cocok dijadikan pegangan hidup. Degan kesadaran seperti itu mereka bisa menjadi pekerja yang berguna dan berprestasi lebih.

Tipe Pemimpin. Yaitu orang yang dikaruniai kekuatan dan kemampuan mempengaruhi orang, namun cenderung tampil “kejam” terhadap dunia sekitarnya. Mereka tidak mau kompromi dengan apa yang telah di yakininya. Kalau memegang kekuasaan, bisa berbahaya, karena cenderung otoriter.

Di satu sisi, mereka terobsesi oleh keadilan. Mereka membenggakan dirinya sebagi yang “empunya” keadilan. Berpegang pada kebenaran yang di yakininya, mereka berjuang untuk memperbaiki ketidak adilan yang ada di lingkungannya. Di lain sisi, kegigihannya mananamkan keadilan kepada pihak lain menutup telinganya sendiri untuk mendengarkan pendapat orang lain yang berbeda. Alhasil, sering terjerat dalam banyak konflik.
Agar tidak menjadi korban dari “jebakan” yang di ciptakannya sendiri, mereka harus belajar memahami dan memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama. Mereka yang menyadari kelemahannya sendiri justru secara alami akan menjadi kuat, tanpa harus menindas atau menakuti orang lain dengan kekuatan.

Tipe Cinta Damai. Terlihat dari kepribadiannya yang tidak menyukai persaingan. Mereka selalu berusaha agar lingkungannya menjadi tenang dan damai. Namun lantaran selalu menghindari konflik, sikapnya menjadi ewuhpakewuh terhadap siapapun. Mereka tidak mampu mengutarakan pendapatnya secara jelas dan transparan. Akibatnya, orang lain sering tak bisa menangkap maksudnya. Padahal perilaku tersebut justru akan memicu masalah.

Dengan pembawaan yang terlalu rendah hati, mereka merasa dirinya tidak begitu berarti bagi orang lain. Ketiadaan rasa percaya diri yang kuat cenderung membuatnya mengaharapkan orang lain untuk memotifasi dirinya.

Pribadi macam ini perlu didorong untuk menyadari bahwa dirinya manusia yang berharga. Mata hatinya harus terbuka ke dunia luar yang lebih luas. Selain itu perlu juga ditumbuhkan suatu keberanian mengahadapi konflik. Dengan demikian mereka berani mengatakan apa yang diinginkan meski terkadang menyebabkan timbulnya konflik.

3.1.3.      Myers Briggs Type Indicator (MBTI)
Jung melakukan penelitian dan observasi atas berbagai corak kepribadian manusia selama 20 tahun lebih, hingga akhirnya ia mengemukakan penggolongan manusia atas tipe-tipe kepribadian yaitu ektrovert, introvert, thining dan feeling. Isabel Myers bersama ibunya Katharyn Briggs mempelajari teori Jung dan selama 40 tahun melakukan pengamatan tipe-tipe kepribadian manusia berdasarkan teori Jung tersebut.

Pada akhirnya mereka membuat sebuah psikotest yang dapat menggolonggkan manusia dalam tipe-tipe kepribadian sesuai teori Jung. Maka lahirlah test Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Myers dan Briggs memperkuat dan memperluas temuan Carl Gustav Jung mengenai ektrover-introver, penginderaan-intuitif, berpikir-perasa, dan penilai pengamat. Kombinasi dari keempat preferansi di atas menghasilkan 16 tipe kepribadiaan manusia, yang mengandung potensi, bakat dan talenta, sekaligus kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalamnya.

Konsep diri berkaitan erat  dengan nilai diri (self esteem) seseorang. Paul J. Centi mengemukakan bahwa nilai diri adalah pandangan kita tentang harga atau kewajaran diri kita sebagai pribadi: Apa pun nilai diri kita yang kita bentuk akan memantul pada orang lain melalui sikap tubuh, ekspresi wajah, nada suara, dan perilaku kita.   Hal ini tidak dapat dihindarkan karena pantulan tersebut muncul secara otomatis dari dalam diri kita berdasarkan nilai diri yang kita miliki.  

Konsep dan nilai diri ibarat papan nama yang kita pasang di depan rumah kita.   Papan nama tersebut memberitahukan kepada siapa saja yang melihat  tentang siapakah diri saya yang sebenarnya. Papan nama itu akan mengundang reaksi orang untuk meperlakukannya seperti yang tertera dalam papan nama tersebut. Apabila papan nama yang kita pasang tersebut bertuliskan: “aku bodoh, tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan serta tidak pantas dicintai”, maka setiap orang yang melihat papan nama tersebut, yaitu yang bertemu dengan diri kita, tidak akan mencintai diri kita. Setiap orang mempunyai kemampuan. Howard Gardner, seorang profesor di Harvard University, melakukan penelitian di bidang neurologi.   Ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap orang sebenarnya cerdas.   Tidak ada anak yang bodoh, apalagi idiot.   Kita mempunyai sedikitnya tujuh kecerdasan dan setiap kecerdasan dapat diperkembangkan dalam tahap kemahiran tertentu. Kecerdasan itu adalah kecerdasan bahasa, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan musik, kecerdasan gerakan-badan atau kinestetik, kecerdasan visual spasial, kecerdasan antar pribadi atau sosial, dan kecerdasan interpribadi atau kecerdasan batin.

Di dinding kantor Eleanor Rosevelt terpampang tulisan: “Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menyebabkan Anda merasa kurang atau rendah diri kecuali Anda telah memberikan ijin kepadanya.”  Maka dengan cara tidak menghargai diri  sendiri, kita telah memberikan ijin kepada orang lain untuk tidak menghargai kita juga.

Konsep diri juga  erat berkaitan dengan Percaya diri (self confidence).   Ada banyak kesalahpahaman dan kecurigaan terhadap percaya diri.  Percaya diri dianggap sebagai egoisme.  Percaya diri tidak sama dengan egoisme.   Percaya diri adalah sikap mau menerima diri sendiri apa adanya, menghargai diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri.  Bahagia dengan diri sendiri, dan mempunyai konsep diri  dan nilai diri yang positif.   Kita juga sadar akan kekurangan diri kita tanpa menjadi berkecil hati atau minder.    Sedangkan Egoisme mementingkan diri sendiri. Egoisme menuntut bahwa diri kita harus didahulukan melebihi orang lain.   Egosime tidak peduli terhadap orang lain. Jadi jelas bahwa percaya diri bukanlah egoisme.

Untuk membangun konsep diri  yang positif dibutuhkan perdamaian dalam diri kita.   Salah satu bentuk perdamaian dengan diri kita adalah kesediaan untuk menerima diri apa adanya. Maka penting bahwa kita memandang keberadaan diri kita sebagai anugerah dari Tuhan.   Dengan demikian kita perlu mensyukuri apa pun bentuk dan keadaan diri kita. 

Kepribadian (Personality), Kemampuan (Ability) dan Demography
Stanley E. Seashore  and Thomas D. Taber
Dalam jurnal yang berjudul Job Satisfaction indicators and their correlates, University of  Michigan menyatakan bahwa dalam mencapai kepuasan kerja di pengaruhi oleh person dan environment. Person di sini adalah demography, stable personality, abilities, situational personality, perception and transient personality. Hal ini dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini.


     John R. Hollenbeck and Ellen M. Whitener  Reclaiming Personality traits for Personel selection : Self Esteem as an illustrative case adalah jurnal yang membahas pendapat dari John R. hollenbeck and Ellen M. Whitener mengenai model alternatif pengukuran personality yang berinteraktif dengan ability untuk menghasilkan performance.   

Dalam hal ini personality traits harus dilihat dari mulai melakukan seleksi. Mengukur personality traits yang berdasarkan pada persepsi akan menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Untuk itu model pikir yang diberikan adalah seperti pada gambar 3.2. di bawah ini.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan untuk memahami Perilaku Organisasi maka konsep diri (individu) sebagai dasr pembentukan personality individu, abilities dan demography sangat penting. Hal ini mengacu pada tujuan perilaku organisasi adalah efisiensi dan efektif organisasi dalam pencapaian tujuan.
Personality, ability dan demography mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja individu dalam bekerja dalam organisasi. Jika hal tersebut dapat diwujudkan maka efisiensi dan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi dapat diberjalan. (Robbins, 2001)

Penerapan Konsep Teori
Ike R. Sugianto. Melakukan penelitian di Jakarta dengan judul Status lajang dan Psychological Well-Being pada pria dan wanita lajang usia 30 – 40 tahun. Mempelajari kehidupan lajang sangat menarik. Penelitian kali ini akan melihat single status dan psychological well-being di Jakarta untuk mengetahui keterkaitannya. Responden sebanyak 143 orang yang terdiri dari 43 pria dan 29 pria menikah, 44 wanita dan 27 wanita menikah. Adapun hasil yang diperoleh adalah :

Tidak ada hubungan yang signifikan pada tingkat 0,05 antara status lajang dengan psychological well-being (r = 0.07). Koefisien korelasi yang rendah ini berarti bahwa orang lajang dapat memiliki skor psychological well-being berapa saja baik rendah maupun tinggi, demikian juga dengan orang yang menikah.

Tidak ada pengaruh status lajang yang signifikan terhadap psychological well-being (F=0,511; p=0,476). Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan psychological weel-being yang signifikan antara subyek lajang  dan subyek menikah.

Tidak ada pengaruh jenis kelamin yang signifikan terhadap psychological weel-being (F=0,225; p=0,636). Hal ini berati bahwa tidak ada perbedaan psychological weel-being yang signifikan antara subyek pria dan subyek wanita.

Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan teori: Menolak teori dari : Glenn (1975), Knupfer dkk (1966), Coleman (1976), Kobrin & hendershot (1977), de Jong Gierveld (1978), Kessler & Essex (1982 dalam Fanny, 1995), Davis (1999) yang menyatakan bahwa orang menikah mempunyai psychological well-being yang lebih baik dari pada orang lajang, atau dengan kata lain ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being

Mendukung teori dari : Andrews & Withey (1976), E.E. Davis, Fine –Davis & Meehan (1982), Michalos (1985), menurut mereka adalah psychological well-being tidak berhubungan secara signifikan dengan variabel demografis seperti: umur, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan dan status pernikahan.

A. Lestari, A. Rizaldi S dan A. Djunaidi. Hubungan kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja konvensional dengan kepuasan kerja karyawan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengambil objek pada karyawan administrasi PT. KTSM. Kecocokan antara tipe kepribadian dan model lingkungan kerja adalah derajat kecocokan (congruence) hubungan seseorang dengan lingkungannya, yang meliputi tipe kepribadian seseorang yang terdiri dari 6 tipe yaitu realistic (R), Investigative (I), Artistic (A), Social (S), Entrerpraising (E) dan Conventional (C) serta model lingkungan kerja yang konvensional. (Holland, 1985).

Sedangkan kepuasan kerja yang dimaksud adalah suatu evaluasi terhadap hubungan saling bergantung (korespondensi) secara kognitif dan afektif antara individu dan lingkungan kerjanya (Dawis, 1967)

Respondennya sebanyak 86 orang karyawan pelaksana bagian administrasi PT KTSM yang memiliki karakteristik sampel yaitu latar belakang pendidikan minimal SMA, telah menduduki posisi administratif minimal satu tahun dan warga negara Indonesia.

Adapun hasil penelitian yang diperoleh adalah: Koefisien korelasi sebesar 0,643 dengan t hitung 7,695 dan t tabel 1,992 dengan taraf signifikansi 99 % berarti bahwa terdapat hubungan signifikan antara kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja dengan kepuasan kerja karyawan.

Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan teori :
Mendukung teori dari : Dean J. Champion (1981). Hubungan yang terdapat antara kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja dengan kepuasan kerja memiliki tingkat hubungan yang cukup tinggi, sehingga perubahan pada variabel kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja cukup membuat perubahan pada variabel kepuasan kerja.
 Hasil ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu ditentukan oleh interaksi antara faktor internal yaitu kepribadian dan faktor ekternal yaitu karakteristik lingkungannya.

Crites (1969). Pilihan kerja merupakan hasil interaksi antara pribadi dan lingkungan kerja. Individu akan merasa cocok dengan pekerjaannya jika dapat memenuhi apa yang ia inginkan, dan sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimilikinya.

Tingkat kecocokan pilihan kerja tergantung pada kesesuaian  antara individu dan lingkungannya ini dapat dinilai dari terpenuhinya tuntutan kemampuan lingkungan oleh individu dan terpenuhinya kebutuhan individu oleh lingkungan kerjanya, yang dalam hal ini adalah terbentuknya kepuasan kerja dalam diri individu.

Baron dan Greenberg (1990). Terdapat 3 kategori utama yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu faktor organisasi, faktor pekerja dan work setting, serta self esteem.
Minnesota. Korespondensi terjadi karena adanya kondisi di mana individu memberikan respon terhadap kebutuhan lingkungan kerjanya, dan lingkungan kerjanya memberikan respon terhadap kebutuhan yang muncul dalam diri individu. Keseuaian individu dengan lingkungannya menunjukkan terpenuhinya kebutuhan individu dengan lingkungan kerjanya.

Ayu Dwi Nindyati. Dalam penelitian ini mengangkan wanita sebagai responden. Seiring dengan perkembangan pada saat ini wanita sudah tidak berorientasi menjadi ibu rumah tangga, tetapi dari hasil penelitian kepribadian yang cenderung inherent pada setiap individu masih menggambarkan bahwa wanita di sini belum nyaman untuk bekerja secara agresif untuk mencapai kinerja sebagai sales person. Hasil penelitian adalah sebagai berikut :
Peran identitas jenis kelamin berkorelasi dengan kinerja tidak terbukti. Terdapat korelasi antara kebutuhan berprestasi dengan kinerja sedangkan untuk kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan berkuasa dengan kinerja tidak terbukti.

 Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan teori :
Menentang teori dari : Mc. Clelland, 1987  Semakin tinggi kebutuhan berprestasi maka semakin tinggi pula kinerjanya.
  
Yuliana. Perekonomian saat ini telah berkembang dari masa industrial menjadi masa informasi. Kunci produktivitas tidak berasal dari tenaga kerja yang murah melainkan penggunaan teknologi tingkat tinggi. (Naisbit, 1995). Permasalahan dengan pindah kerja dalam bidang TI merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Penelitian ini memperoleh data dari 155 pekerja TI di Jakarta. Hasil penelitian adalah sebagai berikut : Sikap pindah kerja berpengaru positif terhadap intensi pindah kerja. Norma Subjektif berpengaruh positif terhadap pindah kerja. PBC berpengaruh positif terhadap intensi pindah kerja. Sikap pindah kerja, norma subjektif dan PBC secara bersama-sama berpengaruh terhadap intensi pindah kerja.

Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan teori :
Mendukung teori dari : Abrahams, ando & Hinkle (dalam Weiss et all, 2003) yaitu Sikap pindah kerja berpengaru positif terhadap intensi pindah kerja. Porteous (1997) yaitu Norma Subjektif  berpengaruh positif terhadap pindah kerja. Moore and Burke (dalam Schwarz et al., 2002) serta Abrams & Moura (2001) yaitu PBC berpengaruh positif terhadap intensi pindah kerja. Nelson (1990) serta Abrams & Moura (2001) yaitu Sikap pindah kerja, norma subjektif dan PBC secara bersama-sama berpengaruh terhadap intensi pindah kerja.


DAFTAR PUSTAKA


Adam I. Indrawijaya, 2000, Perilaku Organisasi, Sinar baru Algesindo, Bandung
Baron, Renee and Wagele, Elizabeth, Eneagram, Serambi, Jakarta
Bimo Walgito, 1980, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta.
Deddy Mulyana, 2000, Ilmu Komunikasi suatu pengantar, PT remaja Rosdakarya, Bandung
Duncan ,W. Jack., 1981, Organizational Behavior, Houghton Mifflin Company, Boston
Donnelly Ivancevich Gibson, 1996, Organisasi, Perilaku-Struktur-Proses, Binarupa aksara, Jakarta
Eka Danta Jaya Ginting, 2003, Hubungan Persepsi Terhadap Program Pengembangan Karir, 
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas 
Kertonegoro, Sentanoe, 2001, Perilaku di Tempat Kerja, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta
Kreitner, Robert & Angelo Kinicki, 2005, Organizational Behavior, Mc. grawHill, New York
Luthan, Fred : 2005 : Organizational Behavioral; Mc Graw Hill
Robbert Kreitner dan Angelo Kinicki, 2000, Organizational Behavior 5th, 
The McGraw-Hill Companies,Inc.
Robbins, Stephen P, 2005, Organizational Behavior, Prentice Hall, New Jersey.
Shane, Mc; Glinov, Von, 2006, Organizational Behavior, Mc Graw – Hill, International Edition
Soehardi Sigit, 2003, Perilaku Organisasional, BPFE UST, Yogyakarta
Sunarto, 2004, Perilaku Organisasi, grafika Indah, Yogyakarta
Veithzal Rivai, 2001, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Efektivitas Belajar

JURNAL – JURNAL
Larsen, RT Kai, Neely, Pamela, 2000, Profiles of MIS doctoral candidates : Ideals and reality, Data base for Advance in information System, New York.
 Lestari, A. : Rizaldi, A dan Djunaidi, 2001, Hubungan kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja konvensional dengan kepuasan kerja karyawan administrasi PT. KTSM, Jurnal Psikologi, 7 : 1, Jakarta
 Hollenbeck, John; Whitener, Ellen, 1988, Reclaiming Personality Traits for Personnel Selection: Self-Esteem as an Illustrative case, The Southern Management Association, Michigan
 Nindyati, Dwi, Ayu, 2004, Peran identitas jenis kelamin sebagai variabel moderator dalam hubungan antara kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan berkuasa dengan kinerja karyawan, Phronesis, 6: 11, Jakarta
 Seashore, Stanley; Taber, Thomas, 1975, Job Satisfaction indicators and their correlates, Sage Publication, 18; 3, America.
 Sugianto, Ike, 2000, Status Lajang dan Psychological Well-Being pada pria dan wanita lajang di Jakarta, Phronesis, jurnal ilmiah psikologi terapan, 2: 4, Jakarta.
 Yuliana, Juni 2004, Pengaruh Sikap terhadap pindah kerja, norma subjektif, perceived behavior control terhadap intensi pindah kerja pada pekerja teknologi informasi, Phronesis, Jurnal Ilmiah Psi. Terapan, Vol. 6 no. 11, Jakarta