Demogravi, Ability, Personality
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia adalah salah satu dimensi dalam organisasi
yang amat penting, dan juga merupakan salah satu faktor dan pendukung
organisasi. Bagaimanapun baiknya organisasi, lengkapnya
sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti tanpa ada
manusia yang mangatur, menggunakan, dan memeliharanya.
Menurut Miftah Thoha, (2000 : 33) Perilaku organisasi pada
hakekatnya adalah hasil-hasil interaksi antara individu-individu dengan
organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami perilaku organisasi sebaiknya
diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi
tersebut.
Individu membawa ke dalam tatanan organisasi
kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan dan pengalaman masa
lalunya. Ini semuanya adalah karakteristik yang dipunyai individu, dan
karakteristik ini akan dibawa olehnya manakala ia akan memasuki sesuatu
lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya. Organisasi
yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik pula.
Adapun karakteristik yang dipunyai organisasi antaranya keteraturan yang
diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang
dan tanggung jawab, system penggajian (reward
system), system pengendalian dan lain sebagainya. Jikalau karakteristik
individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi, maka akan terwujudlah
perilaku individu dalam organisasi.
Ungkapan tersebut dapat dirumuskan dengan formula sebagai berikut :P = F (
I , L ). Keterangan: P adalah perilaku; F adalah fungsi;I adalah individu; L adalah lingkungan
Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang
individu dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa seseorang individu dengan
lingkungannya menentukan perilaku keduanya secara langsung. Individu dengan
organisasi tidak jauh berbeda dengan pengertian ungkapan tersebut. Keduanya
mempunyai sifat-sifat khusus atau karakteristik tersendiri dan jika kedua
karakteristik ini berinteraksi maka akan menimbulkan perilaku individu dalam
organisasi.
Menurut Sentanoe Kertonegoro, Seluruh perilaku manusia dibentuk oleh variable-variabel yang relatif
tetap yang dibawa masuk ke organisasi. Variabel-variabel bawaan tersebut
terdiri dari : sifat-sifat / karakteristik biografis, kemampuan, kepribadian, dan
kemauan belajar. Variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh terhadap
prestasi dan kepuasan karyawan.
Adapun sifat-sifat/karakteristik biografis tersebut terdiri dari usia (umur), jenis
kelamin, status perkawinan dan masa kerja dalam organisasi. Adapun sifat-sifat/
karakteristik biografis semuanya adalah merupakan variable-variabel yang mempunyai dampak pada
produktivitas, absensi tingkat keluarnya karyawan dan kepuasan karyawan.
1.2. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut : (1) Untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang demografi / karakteristik biografis individu dalam
suatu organisasi; (2) Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang ability/kemampuan
individu dalam suatu organisasi; (3) Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang personality/
kepribadian individu dalam suatu organisasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demografi ( Karakteristik Biografis )
Ada beberapa pengertian tentang karakteristik biografis menurut
beberapa pendapat sebagai berikut : (1) Menurut
Sentanoe Kertonegoro, (2001:21), sifat-sifat biografis adalah sifat-sifat
pribadi seperti : umur, jenis kelamin, dan status perkawinan yang objektif dan
mudah diperoleh dari arsip/catatan personil. Analisis variable-variabel
tersebut adalah mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya
karyawan, dan kepuasan karyawan. (2) Menurut
Gibson, (1996:130), klasifikasi paling penting dari demografi adalah jenis
kelamin dan ras. Keragaman budaya juga dapat mempengaruhi situasi kerja. (3) Menurut Sunarto, (2004 : 25), Pada hakekatnya
karakteristik biografis ini menekuni penemuan dan analisis variable-variabel
yang mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan,
dan kepuasan karyawan. Karakteristik tersebut berupa usia, jenis kelamin,
status kawin, banyaknya tanggungan, dan masa kerja dalam organisasi. (4) Menurut Robbins, (2001 : 42), Pada hakekatnya
karakteristik biografis menekuni penemuan dan analisis variable-variabel yang
mempunyai dampak pada produktivitas, absensi, tingkat keluarnya karyawan, dan
kepuasan karyawan. Karakteristik tersebut yang jelas berupa: usia, jenis
kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi.
Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang pengertian karakteristik
biografis dapat disimpulkan bahwa karakteristik tersebut terdiri dari : usia,
jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja karyawan, yang semuanya
mempunyai dampak terhadap keluar-masuknya karyawan (turnover), absensi
(kemangkiran), produktivitas dan kepuasan kerja karyawan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan kami uraikan satu-persatu
sifat-sifat biografis sebagai berikut:
Menurut Robbins (2001:42), Kemungkinan besar hubungan antara usia
dan kinerja merupakan isu yang mungkin penting selama dasawarsa yang akan datang. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yaitu : Pertama, ada keyakinan yang meluas
bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya usia. Tak
peduli apakah itu benar atau tidak, banyak orang meyakininya dan bertindak atas
dasar keyakinan itu. Kedua, adalah
bahwa angkatan kerja menua. Misalnya,
pekerja usia 55 dan yang lebih tua merupakan sektor yang berkembang paling
cepat.
Persepsi tentang pekerja yang sudah tua, Bukti menunjukan bahwa para
majikan mempunyai perasaan yang campur aduk. Mereka melihat sejumlah kualitas
positif yang dibawa orang tua ke dalam pekerjaan mereka khususnya: pengalaman,
pertimbangan , etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun pekerja-pekerja tua juga dianggap
kurang luwes dan menolak teknologi baru. Di bawah ini akan kami jelaskan mengenai dampak
yang ditimbulkan dari umur / usia sebagai berikut:
1. Dampak
umur terhadap keluar masuknya karyawan (turnover) Menurut Sunarto, (2004:22),
Yang dimaksud dengan keluar masuknya karyawan adalah merupakan hilangnya
orang-orang yang keluarnya tidak diinginkan oleh organisasi itu. Suatu tingkat
keluar masuknya karyawan yang tinggi dalam suatu organisasi berarti naiknya
biaya perekrutan, seleksi dan pelatihan. Tingginya tingkat keluar/masuknya
karyawan juga menghambat suatu organisasi secara efisien bila personil yang
berpengalaman dan berpengetahuan keluar dan penggantian harus ditemukan dan
disiapkan untuk mengambil posisi yang bertanggung jawab.
Makin tua umur akan makin kecil kemungkinan untuk
berhenti dari pekerjaan. Itulah kesimpulan yang sering sekali ditarik berdasarkan studi-studi mengenai
hubungan antara usia dengan keluar masuknya karyawan. Dengan makin tuanya para pekerja , makin sedikit
kesempatan alternatif pekerjaan bagi mereka. Di samping itu pekerjaan yang
lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena masa kerja mereka yang lebih
panjang cenderung memberikan kepada mereka tingkat upah yang lebih tinggi,
liburan dengan tingkat upah yang lebih panjang, dan tunjangan pensiun yang
lebih menarik ( Sunarto, 2004 : 26).
2. Dampak
umur terhadap absensi (kemangkiran) Menurut Sunarto, (2004 : 21), Dalam
organisasi yang sangat mengandalkan pada teknologi lini-perakitan , kemangkiran
lebih daripada sekedar gangguan itu dapat mengakibatkan suatu pengurangan yang
drastis dalam kualitas keluaran , dan dalam beberapa kasus , dapat mengakibatkan
suatu penutupan total dari fasilitas produksi.
Menurut Robbins, ( 2001:43 ), Ada usaha untuk
mengasumsikan bahwa usia juga berhubungan terbalik dengan kemangkiran (tingkat
absensi), Apabila pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan untuk berhenti bekerja,
tetapi juga menunjukan kemantapan yang lebih tinggi dengan masuk kerja secara
teratur. Umumnya karyawan tua mempunyai tingkat kemangkiaran yang dapat
dihindari lebih rendah disbanding karyawan muda. Tetapi mereka mempunyai
tingkat kemangkiran yang tak dapat dihindarkan lebih tinggi, mungkin karena
kesehatan yang lebih buruk sehubungan dengan penuaan dan lebih lamanya waktu
pemulihan yang diperlukan pekerja tua bila cidera.
3. Dampak
umur terhadap produktivitas Menurut Sunarto , (2004 : 21 ), Sebuah organisasi
adalah produktif jika organisasi itu mencapai tujuan-tujuannya, dan mencapainya
dengan merubah masukan menjadi keluaran dengan biaya paling rendah. Misal
produktivitas menyiratkan suatu kepedulian baik akan efektivitas maupun
efisiensi.
Ada suatu keyakinan yang meluas bahwa produktivitas
merosot dengan makin tuanya seseorang. Sering diandaikan ketrampilan seorang
individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi mengikis/menurut
dengan berjalannya waktu, dan bahwa
kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan
intelektual semuanya menyumbang pada berkurangnya produktivitas. Suatu tinjauan
ulang menyeluruh terhadap riset baru-baru ini menemukan bahwa usia dan kinerja tidak ada hubungannya.
Lagi pula, ini tampaknya benar untuk hampir semua jenis pekerjaan, professional
dan tidak professional. Kesimpulan yang wajar adalah bahwa tuntutan dari
kebanyakan pekerjaan, bahwa untuk pekerjaan dengan persyaratan kerja tangan
yang berat, tidaklah cukup ekstrim untuk kemerosotan ketrampilan fisik apapun
yang disebabkan oleh usia berdampak pada produktivitas, atau jika ada suatu
kemerosotan karena usia, sering diimbangi oleh perolehan karena pengalaman.
4. Dampak
umur terhadap kepuasan kerja
Menurut Sunarto, (2004 : 23), Yang dimaksud dengan
kepuasan kerja adalah merupakan perbedaan antara banyaknya ganjaran yang
diterima pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Keyakinan bahwa karyawan yang puas akan lebih produktif daripada karyawan yang
tidak puas merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama
bertahun-tahun.
Kebanyakan studi menunjukan suatu hubungan positif antara
usia dan kepuasan kerja, sekurangnya sampai usia 60. Tetapi studi yang lain,
menunjukkan hubungan yang berbentuk U. Beberapa penjelasan dapat menjernihkan
hasil temuan ini, yang paling masuk akal adalah bahwa studi ini mencampuradukkan karyawan professional
dan tak professional. Jika kedua tipe itu dipisah, kepuasan cenderung
terus-menerus meningkat pada para professional dengan bertambahnya usia mereka,
sedangkan pada non professional kepuasan itu merosot selama usia setengah baya
dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun berikutnya.
2.1.2. Jenis Kelamin / Gender
Menurut Robbins, (2001: 44), Beberapa isu mengawali lebih banyak
debat, kesalah pahaman, dan pendapat-pendapat tanpa dukungan mengenai apakah
kinerja wanita sama dengan kinerja pria ketika bekerja. Dalam bagian ini kami
meninjau ulang riset mengenai isu ini.
Ada bukti bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan pengakuan
bahwa terdapat beberapa, jika ada, perbedaan penting antara pria dan wanita
yang mempengaruhi kinerja mereka. Misalnya, tidak ada perbedaan yang konsisten
pria wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis,
kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar.
Sementara studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita telah
bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar
kemungkinanya daripada wanita dalam memiliki pengharapan (ekspektasi) untuk
sukses, tapi perbedaan ini kecil adanya.
Dengan perubahan-perubahan yang signifikan yang berlangsung dalam 25
tahun terahir ini terhadap peningkatan kadar partisipasi wanita dalam angkatan
kerja dan memikirkan kembali apa yang membentuk peran pria dan wanita. Anda
hendaknya mengasumsikan bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam produktivitas
pekerjaan antara pria dan wanita. Sama halnya tidak ada bukti yang menunjukkan
jenis kelamin karyawan mempengaruhi kepuasan kerja.
Mengenai dampak dari jenis kelamin dengan tingkat
keluar masuknya karyawan ini bersifat campur aduk. Beberapa
telaah telah menjumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar masuk yang lebih tinggi, telaah yang lain
menemukan bahwa tidak ada perbedaan. Tampaknya tidak ada cukup informasi untuk
bisa menarik kesimpulan yang berarti.
Tetapi lain dengan riset mengenai kemangkiran. Bukti secara konsisten menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat
kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria. Secara histeris menempatkan
tanggung jawab rumah tangga dan keluarga pada wanita. Jika ada anak yang sakit
atau seseorang perlu tinggal di rumah untuk menunggui tukang ledeng, maka
wanitalah yang secara tradisional mengambil cuti dari kerjanya. Tetapi tidak
diragukan riset ini terikat pada waktu. Peran histeris wanita dalam perawatan
anak dan sebagai pencari nafkah sekunder dengan pasti telah berubah sejak
dasawarsa 1970-an, dan sebagian besar pria, dewasa ini mempunyai kepentingan
yang sama seperti wanita dalam hal perawatan harian dan masalah-masalah yang
dikaitkan dengan perawatan anak.
2.1.3. Status Perkawinan
Tidak cukup studi untuk menarik kesimpulan mengenai dampak status
perkawinan pada produktivitas. Berdasrkan hasil riset menunjukan bahwa karyawan
yang menikah (berkeluarga) mempunyai absensi yang lebih sedikit, mengalami
turnover lebih rendah, dan sebaliknya lebih mendapatkan kepuasan kerja,
daripada karyawan yang tidak berkeluarga (menikah). Sebaliknya karena
perkawinan memberikan tanggung jawab yang lebih besar, sehingga memerlukan
pekerjaan yang tetap.
Perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat
suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting. Tetapi
pertanyaan tentang alasanya tidaklah jelas. Sangat mungkin bahwa karyawan yang
tekun dan puas lebih besar kemungkinannya terdapat pada karyawan yang menikah.
Faktor – faktor Kekuatan: (1). Kekuatan dinamis, Kemampuan menggunakan kekuatan otot
berulang-ulang atau terus-menerus. (2)
Kekuatan tubuh. Kemampuan menggunakan kekuatan otot dengan memakai tubuh (Khususnya
perut). (3) Kekuatan statis. Kemampuan menggunakan
kekuatan terhadap obyek luar (4) Kekuatan Eksplosif. Rangkaian tindakan
eksplosif.
Menurut Gordon Allport dalam Sunarto, (2004:34), Ia mengatakan bahwa
kepribadian adalah “organisasi dinamis pada masing-masing system psikofisik yang
menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungannya”
Menurut Gibson (1996 : 127), Kepribadian merupakan himpunan
karakteristik dan kecenderungan yang stabil serta menentukan sifat umum dan
perbedaan dalam perilaku seseorang.
Menurut Robbins, (1998: 50 ), Kepribadian adalah sebagai total
jumlah dari cara-cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan
orang lain.
Menurut Sentanoe Kertonegoro, ( 2001 : 24 ), Kepribadian adalah
jumlah keseluruhan dari cara-cara bagaimana individu bereaksi dan berinteraksi
dengan lainnya.
Menurut Miftah Thoha, (2000:67), Kepribadian merupakan suatu sistem yang
dinamis dan memberikan dasar dari semua perilaku.
Menurut Sunarto, (2004 : 34), Kepribadian adalah sebagai total
jumlah dari cara-cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan
orang lain.
Kepribadian ditentukan oleh faktor-faktor
keturunan dan lingkungan, yang dimoderasi/ diperlunak oleh kondisi situasi (
Robbins, 1998: 50).
2.1.4. Masa Kerja
Dengan kekecualian isu beda pria-wanita, agaknya tidak ada isu yang
lebih merupakan subyek kesalah – pahaman dan spekulasi daripada dampak
senioritas pada kinerja.
Telah dilakukan tinjauan ulang yang meluas terhadap hubungan
senioritas-produktivita. Jika kita mendefinisikan senioritas sebagai masa
seseorang menjalankan pekerjaan tertentu, kita dapat mengatakan bahwa bukti
paling baru menunjukkan suatu hubungan positif antara senioritas dan produktivitas
pekerjaan. Kalau begitu masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja,
tampaknya menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas karyawan.
Riset yang menghubungkan masa kerja dengan
kemangkiran sangatlah terbuka. Secara konsisten studi-studi menunjukkan bahwa
senioritas berkaitan negatif dengan kemangkiran. Memang, baik dalam seringnya
absen maupun dalam total hari yang hilang pada saat bekerja, masa kerja merupakan variable
penjelas tunggal yang paling penting.
Masa kerja juga merupakan variable yang ampuh dalam menjelaskan
keluar masuknya karyawan. Secara konsisten ditemukan bahwa masa kerja
berhubungan negatif dengan keluar masuknya karyawan dan telah dikemukakan
sebagai salah satu peramal tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan.
Lagi pula, konsisten dengan riset yang menyatakan bahwa perilaku masa lalu
merupakan peramal yang terbaik dari perilaku masa depan, bukti menunjukkan
bahwa masa kerja pada suatu pekerjaan sebelumnya dari seorang karyawan
merupakan peramal yang ampuh tentang keluar masuknya karyawan itu dimasa
mendatang.
2.2. Ability ( Kemampuan )
Ada beberapa definisi / pengertian tentang kemampuan (ability) berdasarkan
pendapat beberapa ahli yaitu sebagai
berikut : (1) Menurut Sentanoe
Kertonegoro, (2001:22) Kemampuan adalah kapasitas individu untuk menjalankan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. (2) Sedangkan
menurut Angelo kinicki ( 2000:185) Kemampuan
menunjukan ciri luas dan karakteristik tanggung jawab yang stabil pada tingkat
prestasi yang maksimal fisik dan mental seseorang. Ketrampilan adalah kapasitas
khusus untuk memanipulasi objek secara fisik (3) Menurut Robbins, (1998:46 ), Kemampuan (Ability) adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. (4) Menurut Gibson, (1996:127), Kemampuan adalah sifat
biological dan yang bisa dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan
sesuatu baik bersifat mental ataupun fisik. Ketrampilan adalah kompetensi yang
berhubungan dengan tugas, seperti ketrampilan mengoperasikan komputer, ketrampilan
berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan tujuan dan misi kelompok. (5) Sedangkan menurut Sunarto, (2004 : 30),
Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut tentang pengertian kemampuan
(ability) pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai suatu kapasitas individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Kita semua tidak sama dalam hal kemampuan tidaklah tersirat bahwa
beberapa individu secara inheren (tertanam) lebih asor (inferior) daripada yang
lain. Semua orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam hal kemampuan yang
membuatnya relatif unggul atau rendah dibandingkan orang lain dalam melakukan
tugas atau kegiatan tertentu.
Dari titik pandang manajemen, masalahnya bukanlah
apakah orang-orang berbeda dalam hal kecakapannya atau tidak. Yang menjadi masalah adalah mengetahui bagaimana orang-orang yang
kemampuannya berbeda dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan
kemungkinan seorang karyawan melakukan pekerjaan dengan baik. Itulah
penilaian dewasa ini akan apa yang dapat dilakukan seseorang. Seluruh kemampuan
seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik (Robbins, 2001 : 46).
2.2.1. Kemampuan Intelektual (Intellectual ability)
Menurut Robbins, (2000 : 186), Kemampuan intelektual adalah
kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan mental. Misal tes
IQ, tes saringan masuk universitas. Adapun dimensi yang paling sering dikutip
yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman
(comprehension) verbal dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 : Dimensi
Kemampuan Intelektual
Sumber : Stephen P. Robbins, (1998:46)
2.2.2. Kemampuan Fisikal (Physical Ability)
Kemampuan Fisikal adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan
tugas-tugas yang menuntut stamina, kecepatan, kekuatan, dan ketrampilan serupa.
Kemungkinan besar kinerja karyawan yang tinggi dicapai bila manajemen telah
memastikan sejauh mana suatu pekerjaan menuntut masing-masing dari sembilan
kemampuan itu dan kemudian menjamin bahwa karyawan dalam pekerjaan tersebut mempunyai
kemampuan tersebut. Terdapat sembilan kemampuan fisikal dasar sebagai berikut :
Faktor - faktor
Fleksibilitas: (1) Fleksibilitas
ekstensif. Kemampuan
untuk menggerakkan otot tubuh dan punggung sejauh mungkin.(2.) Fleksibilitas Dinamis. Kemampuan melakukan
gerakan cepat dan berulang-ulang.
Faktor-faktor Lain : (1) Koordinasi badan. Kemampuan
mengkoordinasi kegiatan berbagai bagian badan secara simultan. (2) Keseimbangan. Kemampuan memelihara keseimbangan. (3) Stamina. Kemampuan melakukan
upaya maksimum berkelanjutan.
2.3. Kepribadian (
Personallity )
2.3.1. Definisi Kepribadian (Personality)
Di bawah ini adalah beberapa definisi/ pengertian tentang kepribadian
yaitu sebagai berikut:
Menurut Kinicki (2003 : 175), Kepribadian
merupakan karakteristik fisik dan mental yang stabil bertanggung jawab pada
identitas diri ciri fisik dan mental yang stabil yang memberi identitas pada
individu.
2.3.2. Determinan Kepribadian
Menurut Sunarto, (2004 : 34), Suatu argumen dini dalam riset
kepribadian adalah apakah kepribadian seseorang merupakan hasil keturunan atau
lingkungan. Apakah kepribadian ditentukan sebelumnya saat kelahiran , ataukah
itu akibat dari interaksi individu itu dengan lingkungannya? Kepribadian tampaknya merupakan suatu
hasil dari kedua pengaruh itu dan dewasa ini kita mengenali suatu faktor lagi
yaitu situasi. Jadi kepribadian seorang dewasa umumnya sekarang dianggap
terbentuk dari baik faktor keturunan maupun lingkungan, yang diperlunak
(moderated) oleh kondisi situasi. Adapun penjelasan dari faktor-faktor
pembentuk kepribadian tersebut adalah sebagai berikut :
Keturunan, adalah faktor-faktor yang ditentukan di
kandungan. Postur fisik, wajah menarik, temperamen,
komposisi otot , tingkat energi, dan ritme biologis merupakan sifat-sifat yang
umumnya dianggap dipengaruhi oleh ke dua orang tua (ibu-bapak). Kepribadian
individu bersumber dari struktur melekul genes yang terdapat dalam kromosom.
Jadi sifat-sifat kepribadian banyak ditentukan waktu lahir.
Lingkungan, merupakan faktor-faktor
yang memberi tekanan pada pembentukan kepribadian seperti budaya dimana
individu dibesarkan, norma-norma diantara keluarga, teman dan kelompok social,
serta pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Contoh : Orang Amerika utara
telah memperoleh tema-tema kerajinan sukses, persaingan, dan kemandirian serta
etos kerja protestan , akibatnya mereka cenderung ambisius dan agresif.
Situasi, adalah faktor yang mempengaruhi dampak keturunan
dan lingkungan atas kepribadian. Kepribadian individu,
meskipun pada umumnya stabil dan konsisten, dapat berubah pada situasi yang
berbeda, Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berbeda menuntut aspek yang
berbeda dari kepribadian seseorang.
Kecocokan Kepribadian dan
Pekerjaan. John Holland mengajukan teori kecocokan
kepribadian pekerjaan (personality-job fit). Menurut teori ini, kepuasan akan maksimal dan
turnover akan minimal jika kepribadian cocok dengan pekerjaan. Teori ini menunjukkan enam pologi kepribadian dan pekerjaan yang
cocok.
Di bawah ini adalah penjelasan dari masing-masing pendekatan sebagai
berikut :
Teori kepribadian sifat (
trait ). Sama
seperti anak kecil yang selalu terlihat mencari tanda untuk menggolongkan
dunia, orang dewasa juga menandai dan menggolongkan manusia berdasarkan
karakteristik fisik dan psikologisnya. Penggolongan membantu dalam mengatur
keragaman dan mengurangi yang banyak menjadi sedikit. Gordon Allport adalah
seorang ahli teori sifat (trait) yang paling banyak berpengaruh. Dalam
pandangannya, sifat adalah merupakan batu-bata dari suatu bangunan, alasan
tindakan, sumber keunikan individu. Sifat (traits) adalah dugaan kecenderungan yang mengarahkan perilaku dengan
cara konsisten dan ciri karakteristik tertentu . Lebih
jauh lagi, sifat menghasilkan konsistensi pada perilaku, sebab sifat
melanjutkan atribut dan cakupannya umum atau luas.
Teori sifat telah mendapat kritik sebagai bukan teori yang nyata
sebab tidak menjelaskan bagaimana terjadinya perilaku. Identifikasi yang tidak
lebih dari beberapa sifat seperti pikiran teguh, konservatif, menguntungkan,
menyendiri, atau ramah tidak menawarkan pengertian dalam perkembangan dan
dinamika kepribadian. Lebih
jauh lagi, pendekatan sifat tidak berhasil dalam meramalkan perilaku yang
keluar dari spektrum situasi, karena fakta bahwa situasi (pekerja, aktivitas
kerja) sangat diabaikan dalam teori-teori sifat.
Identitas diri (id) adalah bagian yang sederhana,
bagian yang tidak disadari dari kepribadian, tempat penyimpanan dari pergerakan
dasar. Itu dijalankan secara tidak rasional dan impulsive, tanpa
mempertimbangkan apakah yang diinginkan mungkin atau secara moral dapat
diterima.
Superego adalah tempat penyimpanan nilai-nilai
individu, termasuk sikap moral yang dibentuk oleh masyarakat. Superego, yang sangat berhubungan dengan kesadaran, sering
bertentangan dengan id: id ingin melakukan apa yang dirasa baik, sementara
superego memaksa melakukan apa yang benar.
Masing-masing teoritis akan meningkatkan pemahaman kita pada
kepribadian. Teori sifat memberikan sebuah daftar yang menjelaskan individu.
Teori psikodinamis menggabungkan karakteristik manusia dan menjelaskan
perkembangan kepribadian alamiah dinamis. Teori para humanis menekankan pada
orang dan pentingnya aktualisasi diri kepada kepribadian. Setiap pendekatan
berusaha untuk menerangkan sifat unik dari seorang individu yang mempengaruhi
pola perilakunya.
Teori Psiko-Analitik. Teori ini pertama kali
dikemukakan oleh Sigmund freud. Menurut teori ini, untuk dapat memahami
kepribadian seseorang, kita harus melihat ke dalam dirinya (intrapsychic) apa
yang menjadi dasar perilakunya. Dalam diri setiap orang terdapat suatu”id” atau naluri untuk mencari kepuasan bagi dirinya sendiri dan
juga superego yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang mengandung unsure
ideal dan pikiran yang baik. Tindakan atau perilaku manusia, kata Freud:
merupakan hasil onflik antara “id dan superego”. Konflik antara kedua factor
ini selalu berhasil didamaikan oleh “ego”.Pola perkiraan berdasarkan pengamatan
atas bagaimana kompromi yang terjadi antara “id dan superego”.
Berdasarkan tiga asumsi ini, manusia selalu dituntut oleh keinginan
untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekali terpenuhi kebutuhan, ia tidak lagi
menjadi faktor pendorong. Pegawai yang sudah mencapai tingkat jabatan tertentu missal: tidak lagi
menganggap jabatan tersebut sebagai factor pendorong, karena ia akan segera
mengharapkan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 2.2. di
bawah ini :
Hasil ini
menunjukkan bahwa tingkah laku individu ditentukan oleh interaksi antara faktor
internal yaitu kepribadian dan faktor ekternal yaitu karakteristik
lingkungannya.
Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan
teori :
Lestari, A. : Rizaldi, A dan Djunaidi, 2001, Hubungan kecocokan tipe
kepribadian dan model lingkungan kerja konvensional dengan kepuasan kerja
karyawan administrasi PT. KTSM, Jurnal Psikologi, 7 : 1, Jakarta
Hollenbeck, John; Whitener, Ellen, 1988, Reclaiming Personality Traits for
Personnel Selection: Self-Esteem as an Illustrative case, The Southern
Management Association, Michigan
Nindyati, Dwi, Ayu, 2004, Peran identitas jenis kelamin sebagai variabel
moderator dalam hubungan antara kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi
dan kebutuhan berkuasa dengan kinerja karyawan, Phronesis, 6: 11, Jakarta
Seashore, Stanley; Taber, Thomas, 1975, Job Satisfaction indicators and
their correlates, Sage Publication, 18; 3, America.
Sugianto, Ike, 2000, Status Lajang dan Psychological Well-Being pada pria
dan wanita lajang di Jakarta, Phronesis, jurnal ilmiah psikologi terapan, 2: 4,
Jakarta.
Yuliana, Juni 2004, Pengaruh Sikap terhadap pindah kerja, norma subjektif,
perceived behavior control terhadap intensi pindah kerja pada pekerja teknologi
informasi, Phronesis, Jurnal Ilmiah Psi. Terapan, Vol. 6 no. 11, Jakarta
2.3.3. Sifat-Sifat
/ Ciri-Ciri Kepribadian (Personality Traits)
Menurut Sentanoe, (2001:24), Sifat kepribadian adalah sifat yang
berkelanjutan yang menggambarkan perilaku individu, seperti: pemalu, agresif,
ambisius, mengala, malas, dan loyal. Semakin konsisten sifat tersebut, dan
semakin sering terjadi dalam berbagai situasi, semakin penting sifat tersebut
dalam menggambarkan individu.
Karena banyaknya sifat kepribadian, maka dikelompokkan dalam dua
kategori yaitu : introvert-ekstrovert dan kegelisahan tinggi–kegelisahan rendah.
Kedua kategori tersebut dipertemukan dalam suatu matriks untuk mengelompokkan
sifat-sifat kepribadian dalam empat tipologi.
Menurut Sunarto, (2004 : 37), Dalam struktur kepribadian berkisar
pada upaya untuk mengenali dan menandai karakteristik abadi yang menggambarkan
suatu perilaku individu. Karakteristik yang popular antara lain sifat malu,
agresif, mengalah, malas, ambisius, setia dan malu-malu. Makin konsisten
karakteristik itu dan makin sering terjadi dalam situasi yang beraneka, makin
penting ciri itu dalam menggambarkan individu tersebut. Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat dalam tabel di bawah ini sebagai berikut :
Tabel 3 : Enam belas ciri utama
Sumber : Sunarto, (2004 :38)
Sekumpulan riset yang mengesankan mendukung bahwa lima dimensi
kepribadian dasar tersebut mendasari semua dimensi lain. Faktor lima besar itu
adalah sebagai berikut ( Sunarto, 2004: 38):
Ekstraversi. Dimensi ini menunjukkan
tingkat kesenangan seorang akan berhubungan, kaum ekstravert (ekstraversinya
tinggi) cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu mereka
untuk mempertahankan dan nikmati sejumlah besar hubungan. Kaum introvert
cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit,
dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan
kesendirian.
Mampu bersepakat. Dimensi ini merujuk
kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Orang yang
sangat mampu sepakat jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara
mereka. Mereka itu kooperatif dan percaya akan orang lain. Orang yang menilai
rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan
mereka sendiri ketimbang pada kebutuhan orang lain.
Mendengarkan kata hati. Dimensi ini merujuk
kepada jumlah tujuan yang padanya seseorang memusatkan perhatiannya. Orang yang
tinggi dalam mendengarkan kata hati mengejar lebih sedikit tujuan, dalam satu
cara yang sangat terarah, dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan,
tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Mereka yang skornya rendah pada
dimensi ini cenderung menjadi lebih mudah kacau pikirannya, mengejar banyak
tujuan, dan lebih hedonistic.
Kemantapan emosional. Dimensi ini menampung
kemampuan seseorang untuk menahan stress. Orang dengan kemantapan emosional
positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Mereka dengan skor
negative yang tinggi cenderung gelisah, tertekan, dan tidak aman.
Keterbukaan terhadap
pengalaman. Dimensi ini mengamanatkan tentang minat seseorang. Jelas sekali
orang terpesona oleh hal baru dan inovasi. Mereka cenderung menjadi emaginatif,
benar-benar sensitive, dan intelektual. Mereka yang berada pada sisi lain dari
kategori keterbukaan nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam
keakraban.
2.3.4. Sifat-Sifat Kepribadian Yang Mempengaruhi
Perilaku Organisasi
Menurut Sentanoe, ( 2001 : 25 ), Sejumlah sifat kepribadian khusus
mempunyai potensi dapat memperkirakan perilaku dalam organisasi. Adapun
sifat-sifat kepribadian tersebut adalah sebagai berikut :
Posisi Pengendalian (Lokus of control), yaitu suatu derajat seberapa jauh orang percaya bahwa mereka
mengendalikan nasibnya; orangnya disebut internal. Sedang mereka yang percaya
bahwa apa yang terjadi terhadap dirinya dikendalikan oleh kekuatan luar (misalnya: keuntungan,
kesialan, nasib) disebut ekternal. Internal lebih efektif mencari informasi
sebelum membuat keputusan, lebih bermotivasi untuk berhasil, dan berusaha lebih
keras untuk mengendalikan lingkungannya. Sedangkan ekternal lebih taat, dan mau
mengikuti pengarahan. Oleh karena itu,
internal akan berhasil dalam tugas-tugas
manajerial dan professional yang memerlukan inisiatif dan tindakan mandiri. Sedangkan eketernal cocok untuk pekerjaan
terstruktur, rutin, yang harus mengikuti ketentuan dan pengarahan.
Orientasi Hasil,
merupakan sifat kepribadian yang dapat digunakan untuk memperkirakan
perilaku-perilaku tertentu. Sifat ini juga dikenal
sebagai kebutuhan untuk mencapai hasil (need to achieve n ach). Orang
akan terus-menerus berusaha melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka ingin
mengatasi berbagai halangan, dan ingin merasa bahwa keberhasilan (atau
kegagalan) disebabkan karena tindakannya sendiri. Individu dengan n ach tinggi lebih baik di
penjualan, olah raga professional, atau manajemen dari pada diperakitan atau di
staf klerk. Kepribadian n Ach tinggi cocok dengan
pekerjaan yang memberi tantangan, umpan balik dan tanggung jawab.
Otoritarianisme, yaitu keyakinan bahwa harus ada perbedaan status dan kekuasanaan
diantara manusia dalam organisasi. Kepribadian otoritarian yang tinggi akan
kaku secara intelektual, penguasaan atas orang lain, memisahkan yang diatas dan
mengeksploitir yang dibawah, penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan, serta
menentang setiap perubahan. Otoritarian
tinggi berhubungan negative dengan prestasi, karena pekerjaan menuntut
sensitivitas perasaan orang lain, kearifan, dan kemampuan untuk menyesuaiakan
diri dengan situasi yang kompleks dan berubah. Kepribadian otoritarian akan
berhasil dalam pekerjaan yang terstruktur, dan yang menuntut kepatuhan pada
ketentuan dan peraturan.
Machivelianisme (Mach), adalah derajad seberapa
jauh seorang individu bersifat pragmatis, menjaga jarak emosional, dan
percaya bahwa tujuan menghalalkan cara. Sebutan
untuk sifat kepribadian ini berasal dari filsuf abat keenam belas Noccolo Machiavelli yang mengajarkan bagaimana mendapatkan dan
memanipulasi kekuasaan. Kepribadian
Mach berhubungan dengan perilaku tertentu. Mach tinggi akan produktif dalam
pekerjaan yang memerlukan ketrampilan tawar-menawar (seperti pada perundingan
kolektif dengan serikat pekerja), atau pekerjaan yang mengandung imbalan untuk
kemenangan (seperti dalam penjualan dengan komisi).
Harga diri (Self-Esteem), diartikan sebagai derajat individual menyukai diri mereka sendiri.
Self-esteem (SE) berhubungan langsung dengan harapan untuk berhasil.
Kepribadian SE tinggi percaya bahwa mereka memiliki kemampuan lebih besar untuk
berhasil dalam pekerjaan. Individu dengan SE tinggi akan mengambil pekerjaan dengan risiko lebih besar dan pekerjaan
non-konvensioanal. Sebaliknya SE rendah lebih peka terhadap pengaruh luar,
tergantung pada penerimaan positif atas evaluasi pihak lain, mencari
persetujuan dari pihak lain, dan cenderung menyesuaiakan dengan keyakinan
serta perilaku mereka yang dihormati.
Dalam posisi manajerial SE rendah selalu ingin menyenangkan orang lain,
sehingga ingin selalu popular.
Monitor-Diri (Self-monitoring), adalah sifiat kepribadian yang mengukur kemampuan individu untuk
menyesuaikan perilakunya dengan factor-faktor situasi ekteral. Individu dengan monitor-diri yang tinggi sangat sensitive terhadap
tanda-tanda ekternal, dan dapat menunjukkan kontradisi antara penampilan public
dan kehidupan pribadi.
Penanggung Risiko
(Risk-taking), adalah
derajat kemauan untuk menanggung risiko. Kemauan menanggung atau
menghindari risiko mempunyai dampak atas lamanya manajer membuat keputusan, dan
banyaknya informasi yang diperlukan sebelum membuat pilihan. Manajer
risiko-tinggi akan menghasilkan prestasi efektif bagi pedagang efek di
perusahaan broker yang memerlukan keputusan cepat. Tetapi untuk profesi akuntan
yang memerlukan tugas-tugas kemauan, audit atau pembukuan lebih cocok untuk
kepribadian risiko-rendah.
Tabel 4 : Teori Kecocokan
Kepribadian Pekerjaan (Personality-job fit)
Sumber : Sentanoe : 28
2.3.5. Teori Kepribadian
Menurut Gibson, (1996:157), Tiga pendekatan teoritis untuk memahami
kepribadian adalah pendekatan sifat, pendekatan psikodinamis, dan pendekatan
humanis.
Teori Kepribadian
Psikodinamis. Kepribadian alami
yang dinamis tidak ditanggapi secara serius sampai dengan studi Sigmund Freud
diumumkan. Freud menjelaskan perbedaan kepribadian individu dengan menyimpulkan bahwa orang mempunyai dasar yang
berbeda. Untuk menyoroti perbedaan ini, ia menggambarkan suatu perjuangan yang
terus menerus antara dua bagian kepribadian, id dan superego, ditengahi oleh
ego.
Ego bertindak sebagai penengah konflik. Ini mewakili gambaran seseorang terhadap realitas fisik dan social,
yang mengarah pada hal apa dan yang mana adalah mungkin dalam dunia nyata.
Bagian dari tugas ego adalah untuk memilih tindakan yang memuaskan dorongan id
tanpa mempunyai akibat yang diinginkan. Sering ego harus kompromi, untuk
mencoba dan memuaskan baik id dan superego. Hal ini kadang-kadang melibatkan penggunaan
mekanisme pertahanan diri yang menyelesaikan konflik antara pernyataan
psikologis dan kenyataan di luar.
Gambar 2.1. Kekuatan Utama Yang
Mempengaruhi Kepribadian
Sumber: Gibson, (1996:159)
Teori Kepribadian
Humanistik. Pendekatan humanistik untuk memahami kepribadian menekankan pada
perkembangan individu dan aktualisasi diri dan pentingnya bagaimana seseorang
mempersepsi dunianya dan semua kekuatan yang mempengaruhi mereka. Pendekatan
Carl Rogers dalam memahami kepribadian adalah humanistik (berpusat pada
manusia). Nasehatnya adalah dengarkan apa yang orang
katakan tentang mereka dan memperhatikan pendapat dan arti dari pengalaman
orang-orang tersebut. Roger percaya bahwa yang paling dasar dari organisme
manusia adalah untuk mengarah pada aktualisasi diri. Cita-cita yang tetap untuk
menyadari potensi inheren seseorang.
Adalah sulit untuk mengkritik teori yang sangat
berpusat pada manusia. Beberapa pengritik mengeluh,
bagaimana, bahwa para humanis tidak pernah menjelaskan dengan jelas asal-usul
mekanisme untuk mencapai aktualisasi diri. Kritik lainnya menunjukkan bahwa
seseorang harus bekerja dalam suatu lingkungan yang kebanyakan diabaikan oleh
para humanis, suatu penekanan yang berlebihan pada diri yang mengabaikan
kenyataan individu harus berfungsi di dalam lingkungan yang kompleks.
2.3.6. Perkembangan Kepribadian
Menurut Adam I. Indrawijaya, ( 2002:29), ada tiga teori pengembangan
kepribadian yang utama, yaitu teori Psiko-Analitik (psychoanalytical theory), teori sifat atau perangai (trait theory), dan teori kebutuhan (needs theory).
Teori Sifat dan Perangai. Secara sederhana dapat
dikatkan bahwa menurut teori ini kepribadian seseorang selalu tetap dan tidak
berubah atau sulit berubah. Oleh sebab itu mudah sekali untuk memperkirakan
perilaku seseorang. Sifat dan perangai seseoranglah yang membedakannya dengan
orang lain. Selanjutnya menurut teori ini, sifat seseorang sudah ada sejak
lahir, dan dibagi secara kuantitatif dan dapat digunakan untuk menduga
bagaimana ia akan bertindak (R.B. Cattel, 1965). Sifat atau perangai seseorang
dapat diteliti dengan berbagai cara. Ada yang berpendapat bahwa sifat seseorang
dapat diketahui melalui pendekatakan biologis, maksudnya: sifat manusia
ditentukan oleh factor genetisnya masing- masing.. Warna mata, rambut dan bentuk tubuh dapat
menunjukkan sifat atau perangai seseorang. Sebagian lagi berpendapat
bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh sifat kejiwaan seperti: ketenangan,
kehangatan dan sebagainya. Sifat-sifat kejiwaan ini menjelma dalam cara ia
bertindak.
Teori Kebutuhan. Teori ini dianggap dapat memberikan bantuan untuk lebih mengerti
kepribadian seseorang. Dari sekian banyak teori, yang akan kita bahas ialah
teori Maslow dan teori Mc.Clelland. Teori hirarki kebutuhan (hierarchy of
needs) merupakan teori yang dikenal dengan teori Maslow atau teori motivasi.
Berbeda dengan para psikolog sebelumnya, yang lebih banyak memberikan perhatian
pada mereka yang psikologis tidak sehat, Maslow sebaliknya lebih memperhatikan
manusia yang psikologis sehat, (Collin Wilson, 1972:1-2). Dalam membangun teori hirarki kebutuhan yang bersifat deduktif,
Maslow bertitik tolak dari 3 asumsi pokok:
People are wanting animals. Their desires are never completely statisfied.
(manusia adalah makluk yang selalu berkeinginan. Keinginan mereka selalu tidak
pernah terpenuhi seluruhnya). (a) A satisfied need is not a motivator of human
behavior. (Kebutuhan atau keinginan yang sudah
terpenuhi tidak akan menjadi pendorong lagi). (b) Human
needs are arranged in a hierarchy of importance. (Kebutuhan manusia tersusun menurut hirarki tingkat pentingnya).
Gambar 2.2. : Teori hirarki kebutuhan (Maslow)
Sumber : “A Theory
of Human Motivation “ oleh Abraham Maslow dalam buku Motivation and
Personality, Edisi kedua, Harper & Row, Publishers, Inc
Secara singkat, penjelasan diagram tersebut adalah sebagai berikut : (1) Biological
needs, kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan
makan, minum, seks, dan sebagainya. (2) Safety needs, Kebutuhan
akan rasa aman. Pada tingkat ini seseorang yang telah mendapat penghasilan
cukup, berkeinginan untuk mendapatkan rasa aman pada masa pensiun, ada asuransi kalau
sakit dan sebagainya. (3) Bilongingness needs, kebutuhan untuk diterima
dan dihormati oleh orang lain. Pada tingkat ini seseorang mulai berkeinginan
untuk mendapatkan symbol status mereka, seperti kamar kerja tersendiri, meja
yang luas, ruang rapat dan ruang tamu tersendiri, dan mungkin pula mobil dinas
dan sopir khusus. (4) Esteem needs, Kebutuhan untuk mempunyai
citra baik seseorang mungkin telah cukup diakui dan dihargai, tetapi ia masih
tidak puas, karena hatinya sendiri tidak merasa damai dan tenteram. Sebabnya
mungkin karena ia mendapatkan pengakuan dan penghormatan tersebutbukan melalui
jalan yang baik, jalan yang jujur atau yang pantas dihormati oleh orang lain. (5) Self
actualization needs atau kebutuhan untuk
menunjukkan prestasi yang terbaik. Tingkat ini merupakan tingkat dorongan yang
paling tinggi pada seseorang, karena ia ingin menunjukkan tingkat potensinya
yang maksimal, tanpa ia terlalu banyak menuntut imbalan dari organisasi.
Walupun teori Maslow ini paling sering dikutip, tetapi juga cukup
banyak dikritik. Salah satu hasil penting kritik-kritik tersebut adalah munculnya
teori keadaan nyata-kesinambungan – peningkatan (the Existence – relatedness –
growth theory), yang dikemukakan oleh Clayton Alderfer. Teori ini
menyederhanakan teori Maslow yang 5
tingkat ini menjadi hanya tiga tingkat. Tingkat keadaan nyata (existence)
mencakup kebutuhan biologis dan kebutuhan akan rtasa aman. Kesinambungan
(relatedness) menggabungkan sebagian kebutuhan akan rasa aman dengan kebutuhan
untuk diterima dan diakui serta kebutuhan akan citra baik. Kebutuhan untuk
peningkatan menggabungkan sebagian dari kebutuhan untuk mempunyai citra baik dengan
kebutuhan untuk memperoleh citra yang lebih baik. Karena relative baru dan
dianggap tidak memecahkan persoalan atas kritik terhadap teori Maslow, maka
teori ini tidak banyak dikenal.
2.3.7. Perilaku Manusia: Suatu Pandangan Kesisteman.
Menurut Adam I Indrawijaya, (2005:34), Perilaku manusia adalah
sesuatu yang rumit. Padahal perilaku
manusia adalah justru merupakan pangkal tolak untuk dapat mengerti perilakunya
dalam organisasi. Pandangan kesisteman adalah jalan yang paling mudah untuk
mengerti perilaku manusia. Dalam pandangan ini, perilaku manusia ditentukan
oleh proses input dan output. Artinya, kita harus menganggap bahwa manusia
adalah suatu system yang terbuka, bukan sesuatu yang dapat kita isolasi, dan
bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan dan hidup dalam lingkungan. Di
bawah ini hal tersebut akan lebih diperinci.
Menurut pandangan ini, seseorang mendapatkan input (masukan) dari
lingkungannya, kemudian melakukan proses transformasi dan melakukan suatu
tindakan atau berperilaku tertentu. Tindakan dan perilakunya merupakan masukan
lagi bagi lingkungannya. Secara diagramatik proses perilaku seseorang dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.3 : Proses Perilaku Seseorang
Menurut pandangan ini, kombinasi antara lingkungan
seseorang dengan sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir
akan menyebabkan timbulnya kebutuhan dan dorongan untuk berkembang. Mengingat
bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh lingkungannya dan sifat-sifat yang
dibawa sejak lahir, maka akan banyak manfaatnya bila kita bahas lebih lanjut
interaksi antara kedua faktor tersebut sebagai berikut :
A. Interaksi Antara
Pembawaan Sejak Lahir Dengan Lingkunga.
Tindakan manusia selalu ada penyebab atau pendorongnya dan mempunyai
maksud tertentu. Perilaku manusia juga demikian. Kurt Lewin, seorang ahli ilmu
jiwa terkenal, mengemukakan rumus sebagai berikut :
Adapun unsur-unsur kepribadian dipengaruhi oleh
sebagai berikut :
Unsur Biologis. Badan manusia terdiri atas jutaan sel, yamg masing-masing mempunyai inti
sel yang terjadi dari kromosom. Setiap kromosom terdiri lagi atas benang-benang
“genes” yang akan menentukan sifat-sifat yang dibawa seseorang sejak lahir . Sifat-sifat genetic orang tua menurun kepada anaknya dan membentuk
beberapa sifat fisiknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa semua factor genetic
ini mempengaruhi perilaku seseorang. Namun demikian banyak ahli psikologi
berpendapat bahwa pembawaan sejak lahir tidak begitu berpengaruh dibandingkan
dengan pengalaman.
Unsur Pengalaman. Sejak mulai lahir setiap
manusia sudah berinteraksi dengan lingkungannya dan karenanya sejak bayi sudah
pula mendapat pengaruh dari lingkungannya, baik yang bersifat suasana
kehangatan kasih sayang, keadaan ekonomi
keluarga, dan suasana masyarakat kecil dalam keluarga tersebut. Pendeknya,
manusia sejak kecil sudah mendapat pengalaman dan pengalaman itu tidak ada yang
sama. Hasil penelitian para ahli membuktikan bahwa pengalaman dan latar
belakang kehidupan seseorang pada waktu kecil akan menentukan kepribadiannya
dan mempengaruhi pula perilakunya dalam organisasi.
Sintes. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Amerika, terbukti
bahwa terdapat interaksi yang sangat kuat antara pembawaan sejak lahir dengan pengaruh
pengalaman. Begitu eratnya, sampai tidak seorangpun dapat membedakan unsure
mana yang lebih penting.
Faktor Lingkungan. Sebagaimana telah
dikemukakan, kepribadian seseorang telah dipengaruhi oleh pengalamannya,
termasuk interaksinya dengan lingkungannya. Memang demikian, karena interaksi
dengan lingkungan merupakan suatu bagian penting dari proses belajar. Tetapi
dari sekian banyak factor lingkungan, di sini hanya akan dibahas pengaruh
factor kebudayaan dan factor kelas social dan nilai kerja.
5. Lingkungan
Kebudayaan
Kebudayaan dapat kita rumuskan sebagai “suatu kesatuan dan
keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum,
adapt-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan lainnya yang dipunyai manusia
sebagai anggota suatu masyarakat. Bernard Berelson dan Gary Steiner mengemukakan
beberapa cirri kebudayaan, yaitu : (1) Culture is learned behavior. ( Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari ). (2) Culture is shared with others.
(Kebudayaan adalah hasil bersama). Dalam suatu masyarakat, semua anggotanya
diharapkan mempunyai sistim nilai yang sama. (3) Culture influences the way
in which needs are satisfied. (Kebudayaan
mempengaruhi cara bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya. Culture is consistent.
Kebudayaan selalu selaras, dalam arti, setiap bagian dari kebudayaan saling menyesuaikan.
5.1 Beberapa
Pengaruh Kebudayaan
Barry Richman mengemukakan dua unsur kebudayaan
yang banyak mempengaruhi perilaku seseorang dalam organisasi. Kedua unsur
tersebut adalah pembatasan sosiologis (sikap terhadap kewenangan, sikap
terhadap prestasi, dsb.) dan pembatasan pendidikan (tingkat dan sikap terhadap
pendidikan, dsb.). Walaupun Richman menyebutkan bahwa
dalam jangka panjang keunikan suatu kebudayaan dapat hilang, tetapi dalam waktu
tertentu ciri kebudayaan itu tetap nyata ada. Unsur
kebudayaan tetap memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perilaku managerial
dan bagi pencapaian tujuan organisasi.
5.2. Implikasi
Pengaruh Kebudayaan Terhadap Organisasi
Dihubungkan dengan konsepsi organisasi, pengaruh kebudayaan sangat
terlihat sekali dalam hal motivasi. Dengan memahami latar belakang seorang
pegawai, manajer akan lebih dapat memberikan arah bagi peningkatan prestasi
pegawaiyang bersangkutan. Seperti pernah disinggung, Mc Clelland mengemukakan
bahwa motivasi berprestasi suatu masyarakat menentukan tingkat kemajuan
perekonomiannya. Walaupun belum ada penelitian yang khusus, kiranya dapat
dibenarkan pendapat para ahli Indonesia, yang mengatakan bahwa kebudayaan
terjajah selama 3,5 abad memberikan pengaruh atas tingkat keterbelakangan
perekonomian Indonesia.
Selanjutnya walaupun belum ada suatu studi yang mendalam tentang
pengaruh suatu kebudayaan etnik di Indonesia, penemuan Prof. Kuncaraningrat seperti
dapat dibaca dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, membuktikan
kepada kita bahwa antara kebudayaan dan pelaku administrasi ada korelasi.
5.3. Kelas Sosial
dan Nilai Kerja
Proses sosialisasi merupakan suatu proses yang membuat seseorang
atau sekelompok orang menganut suatu system nilai tertentu. Proses ini terjadi
sejak manusia dilahirkan dan berjalan terus sampai saat seseorang
meninggal.Dalam proses tersebut, keluarga merupakan sumber yang utama dan
pertama.
Selain itu proses sosialisasi juga terjadi pada saat seseorang
berintegrasi dengan masyarakat. Pada saat ini ia mulai mengenal apa yang
disebut kelas social, yang menampakan diri dalam berbagai bentuk. Mungkin
menurut penggolongan ekonomi, seperti orang kaya, setengah kaya, dan miskin.
Menurut penggolongan pendidikan, terdidik, kurang terdidik dan sebagainya. Apa
pun penggolongan yang dikenal dan dimiliki seseorang, kelas sosial tersebut
mempengaruhi sistem nilainya. Lebih lanjut lagi hal ini akan memberikan
pengaruh pada nilai kerja seseorang dalam organisasi. Leonard Pearlin dan
Melvin kohn mengemukakan bahwa seseorang yang tergolong kelas sosial yang
tinggi mempunyai keinginan untuk mengembangkan dirinya sendiri, sedangkan
mereka yang berasal dari kelas sosial
yang lebih rendah cenderung untuk lebih mempertahankan tradisi dan norma yang
sudah ada. Ketepatan pendapat ini belum tentu benar bagi Indonesia , namun kiranya tidaklah
perlu diragukan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kelas sosial dengan
nilai kerja dan perilaku organisasi. Hal ini terutama oleh karena seseorang
yang termasuk kelas sosial yang tinggi cenderung untuk tidak begitu perlu untuk
menyesuaikan diri dengan masyarakat, sedangkan mereka yang berasal dari kelas
sosial yang lebih rendah berharap bahwa dengan proses penyesuaian
setidak-tidaknya mereka dapat bertahan pada kelas sosial yang mereka duduki,
dan kalau mungkin memasuki tingkat yang
lebih tinggi . Alasan lainnya adalah mereka yang berasal dari keluarga yang
mempunyai kelas ekonomi tinggi atau kaya sering dianggap tidak begitu khawatir
akan kehilangan pekerjaan, karena mereka dapat saja berwiraswasta, sedangkan
mereka yang menggantungkan hidupnya dari gaji atau upah dari organisasi tempat
mereka bekerja, dengan segala usaha berusaha untuk tetap berada dan diterima
oleh orang-orang yang dianggap menentukan dalam organisasi itu.
5.4. Implikasi
Faktor Lingkungan Terhadap Manager
Faktor lingkungan kebudayaan dan proses sosialisasi memegang peranan
penting bagi perilaku seseorang dalam organisasi. Oleh sebab itu, para manager
perlu sekali memahami aspek-aspek kebudayaan yang mempengaruhi perilaku bawahan
mereka. Karena kebudayaan setahap demi setahap mengalami perubahan, mereka
perlu pula memperhatikan kemungkinan terjadinya
perbedaan sistem nilai, terutama antara pegawai yang berbeda generasinya. Bagi
Indonesia, yang oleh para ahli disebut sedang mengalami proses tansisional,
perhatian terhadap hal tersebut memang sangat diperlukan.
2.3.8. Mengukur Karakteristik Kepribadian
Menurut Gibson, (1996 : 160),Tes kepribadian mengukur karakteristik
emosional, motivasional, antar pribadi, dan perilaku. Ratusan tes seperti itu
tersedia untuk organisasi. Satu yang paling luas digunakan, adalah Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI) / kuestioner kepribadian fase ganda
Minnesota, berisikan pernyataan dimana seseorang menjawab : benar, salah atau
tidak tahu. Pertanyaan MMPI meliputi area seperti kesehatan, psikosomatis,
kekacauan jiwa, dan tingkah laku sosial, seperti yang terkenal dengan
manifestasi neurosis atau psikosis seperti kecenderungan fobia, khayalan dan
sadistis.
Para manajer di organisasi tidak antusias dengan penggunaan MMPI.
Karena terlalu berorientasi psikologis, berhubungan dengan psikolog dan
psikiater, dan mempunyai reputasi digunakan untuk membantu orang dengan
permasalahan.
Tes proyeksi, juga digunakan untuk menilai kepribadian, dimana orang
menanggapi suatu gambar, sebuah inkblot, atau suatu cerita. Untuk mendorong
suatu tanggapan yang bebas, hanya instruksi yang singkat dan umum yang
diberikan untuk alasan yang sama, dilakukan pengujian gambar atau cerita yang
samara-samar. Alasan dasarnya adalah bahwa setiap individu mendapat dan
mengartikan bahan tes dalam sikap yang melukiskan kepribadiannya. Karena itu,
individu memperlihatkan tingkah laku, kebutuhan, kecemasan dan konfliknya.
Pengukuran tingkah laku dari kepribadian melibatkan pengamatan orang
tersebut dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, seorang individu mungkin
diberikan masalah situasi kerja yang khusus untuk diselesaikan. Kemampuan
penyelesaian masalah seseorang dipelajari di bagian pengambilan
langkah-langkah, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai solusi, dan kualitas dari
keputusan akhir.
Masing-masing ukuran kepribadian ini menggambarkan : tes laporan
diri dari sisi ketepatan masalah . Tes proyeksi membutuhkan interpretasi
subyektif oleh orang yang terlatih. Pengukuran perilaku bersandar pada sampel
kecil dari perilaku seseorang.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Konsep Diri
Konsep diri adalah mirip kumpulan foto tentang diri
seseorang dalam berbagai situasi, sendirian atau bersama orang lain, dahulu dan
sekarang serta setiap peran yang kita jalani. Konsep diri merupakan gambaran
umum dari seseorang tentang dirinya. Karena konsep diri ini mirip foto
gabungan, maka tidak ada konsep diri yang tunggal. Tidak pernah seseorang
digambarkan hanya memiliki satu sifat.
Konsep diri juga merupakan pandangan kita tentang
watak kepribadian yang kita rasa ada pada kita, seperti jujur, setia, gembira,
bersahabat, dan sebagainya. apakah diriku sebagai pribadi yang setia, jujur,
bersahabat atau yang lain? Bagaimana perasaanku terhadap diriku sendiri:
bangga, tidak puas atau apa?
Karena konsep diri adalah gambaran yang kita buat
dalam pikiran kita, seringkali apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan
kenyataan diri kita. Dengan kata lain, diri kita seringkali tidak seburuk apa
yang kita pikirkan atau bayangkan. Seperti
sebuah tulisan pada sebuah truk “diriku tidak sehina yang kaubayangkan”. Tulisan tersebut hendak mengatakan bahwa
seringkali kita membentuk konsep diri yang salah karena kita salah menilai diri
kita sendiri. Kita telah berlaku tidak
adil terhadap diri kita dengan menilai begitu buruk tentang diri kita. Mendapatkan
konsep diri merupakan langkah penting untuk merumuskan tentang jati diri
seseorang.
3.1.1. John Powell dan Florence Littauer
Pengelompokan manusia ke dalam beberapa tipe kepribadian
merupakan suatu usaha yang sudah berlangsung lama, baik dengan usaha yang masih sederhana maupun usaha yang
ilmiah. Dalam pendekatan ilmiah, walau
para ahli menempuh cara pendekatan berbeda, namun sebenarnya mereka berangkat
dari titik yang sama tetapi dengan teknik yang berbeda. Para ahli berangkat dari pandangan bahwa
kepribadian manusia itu variasinya hampir tak terhingga banyaknya. Akan tetapi, untuk memahami manusia yang
macam-macam itu dibutuhkan teknik tertentu.
John Powell dan Florence Littauer serta banyak ahli lain sepakat bahwa setiap dari kita unik, bahwa diri
kita tiada duanya, dari dahulu, sekarang dan waktu yang akan datang. Anak
kembar sekalipun berbeda dalam banyak hal. Hanya ada satu Anda di dunia ini.
Keunikan diri kita mencakup semua aspek
diri kita, dari yang tampak di luar
(ciri-ciri fisik) sampai yang tidak tampak (segi-segi batin).
Hippocrates berpendapat bahwa dalam diri seseorang
terdapat empat macam sifat yang didukung
oleh keadaan konstitusional yang berupa cairan-cairan yang ada dalam tubuh
orang, yakni: sifat kering terdapat dalam chole (empedu
kuning), sifat basah terdapat dalam melan
(empedu hitam), sifat dingin terdapat dalam phlegma
(lendir), dan sifat panas terdapat dalam sanguis (darah). Keempat cairan tersebut ada dalam tubuh
dengan porsi tertentu. Apabila keempat
cairan berada dalam porsi seimbang, orang berada dalam keadaan sehat (normal);
apabila keseimbangannya yang proporsional itu terganggu, orang tersebut dalam
keadaan sakit, menyimpang dari keadaan normal.
Galenus menyempurnakan ajaran Hippocrates
tersebut. Sifat-sifat yang khas pada seseorang sebagai akibat dari dominannya
salah satu cairan badaniah itu, oleh Galenus menyebutnya temperamen. Lalu dengan dasar pikiran yang telah
dikemukakan itu Galenus menggolongkan manusia ke dalam empat tipe temperamen
yang berdasar pada dominasi salah satu cairan badaniahnya. Keempat tipe itu adalah: kholeris, melankolis,
phlegmatis, dan sangunis. Lebih jauh penjelasan ini dimaksudkan agar kita dapat
menemukan seperti apakah diri kita yang sebenarnya.
Tipe
Sanguinis (Ekstrovert-Pembicara-Optimis)
Istilah Sanguinis berasal dari kata sangae,
yang berarti darah merah. Cairan yang dominan dalam tubuh orang ini adalah
darah merah. Menurut Hippocrates, darah
merah yang dominan dalam diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu. Seorang sanguinis ditandai dengan
sifat hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang
‘menyenangkan’. Pada dasarnya mau
menerima. Pengaruh/kejadian luar dengan
gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang
meledak-ledak. Perasaan lebih berperan
daripada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang
lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert. Kata kunci bagi orang sanguinis populer
adalah NIKMATI HIDUP SEKARANG.
Sisi Positif. (!) Kepribadian yang Menarik. Seorang sanguinis mempunyai perangai periang
dan suka sesuatu yang bersifat spontan.
Ia membawa kegembiraan di mana-mana. Ia tampak tidak pernah sedih. Yang ada
adalah kegembiraan, kesenangan dan kemeriahan. Ia sangat pandai untuk menghidupkan
suasana. Ia pantas untuk menghidupkan pesta-pesta. Ia akan berlaku spontan,
tanpa dipaksa, untuk naik ke panggung ataupun tampil ke depan. Seorang sanguinis adalah orang yang sangat
optimis. Segala sesuatu tampak mudah
dan pasti dapat dijalankan di hadapan orang ini. Sikap optimis ini biasanya
dibarengi dengan cara meyakinkan orang lain dengan cara berbicara yang khas,
yang sangat menarik pendengar. Ia senang berada di tengah-tengah orang banyak. Dan ia tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan bersama dengan orang lain untuk menunjukkan kebolehan dirinya. (2) Pandai Bicara. Seorang
sanguinis pandai bicara dan bercerita. Ia tidak senang berbicara bisik-bisik.
Segala sesuatu yang tampaknya sepele dapat diceritakan dengan hidup di tangan
seorang sanguinis. Seorang sanguinis suka berbicara dengan nada suara yang
menonjol dan gaya yang khas, sehingga ia akan mudah dikenal dari suaranya. Ia adalah seorang pembicara yang ulung.
Apabila ia berbicara, ia memukau pendengar dengan membuat intonasi khas
pada bagian-bagian tertentu dan gerakan yang menarik perhatian. Maka ia tampak
hebat di panggung, dan di depan umum. Ia akan tahan
berlama-lama mengobrol meskipun tanpa tujuan dan isi. Ia juga akan tertawa terbahak-bahak menikmati suatu
cerita. Ia suka menceritakan hal-hal yang lucu. Dan ia suka menghibur teman-temannya
dengan cerita-cerita yang lucu. Ia mudah berbicara
dengan siapa pun termasuk orang yang belum dikenal. Ia juga dapat mengambil tema apa saja untuk dibicarakan.
Komentar-komentarnya segar dan jenaka. (3) Populer. Seorang
sanguinis akan dikenal oleh siapa saja. Ia biasanya menjadi pusat perhatian dan mempunyai
sekelompok penggemar. Ia menikmati keadaan sebagai pusat perhatian. Ia dikagumi
oleh teman-temannya sebagai orang intelek karena ide-idenya cemerlang dan
orisinil. Ia hampir selalu mendapat peran utama dalam banyak kegiatan, terutama
dalam bidang teater. Kebanyakan orang akan spontan memilihnya untuk berbagai
urusan atau kegiatan yang mengharuskan tampil
ke depan orang banyak. (4) Antusias dan Ekspresif. Seorang sanguinis adalah seorang yang emosional
dan demonstratif. Ia tidak segan-segan mengungkapkan perasaan hatinya di
depan orang banyak. Ia juga suka mengungkapkan kegembiraan dengan memeluk,
mencium dan merangkul. Ungkapan ini begitu alami dan spontan. Ia suka dengan
gerakan-gerakan tanpa kekangan. Ia akan memberikan tanggapan setiap hal yang menarik dengan ucapan “luar
biasa’, ‘hebat’, ‘aha .. indah sekali’ dan menambahnya dengan gerakan tangan
atau kepala yang menarik perhatian.
(5) Tulus dan Polos. Seorang
sanguinis memiliki kegembiraan anak-anak.
Anak-anak akan bergembira tanpa harus disuruh. Florence Littauer bahkan
menyebut seorang sanguinis sebagai ‘selamanya menjadi kanak-kanak’. Dengan menjadi kanak-kanak ia akan
diperhatikan dan disayang. Ia juga murah terhadap pujian. Karena kepolosannya, ia akan mudah memuji
orang lain. Ia merasa bahwa pujian merupakan bagian dari keinginan untuk
berbicara dan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. (6) Penuh Rasa Ingin Tahu. Seorang
sanguinis tidak ingin ketinggalan apa
pun. Ia selalu ingin tahu, dan ingin dilibatkan dalam hampir semua urusan
dan kegiatan. Hal-hal yang bersifat rahasia membuatnya senewen. Dan ia biasanya
mengetahui lebih dahulu segala sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan. Ia juga ingin mencoba segala sesuatu
yang baru. Segala sesuatu yang baru membuatnya penasaran, maka ia ingin
mencobanya meskipun seringkali mengundang resiko tinggi. (7) Sukarelawan dalam Tugas. Karena seorang sanguinis selalu ingin terlibat dan populer, ia segera mengajukan diri untuk tugas-tugas sosial tanpa memikirkan
konsekuensi unutk dirinya. Ia akan mengajukan diri pada urutan pertama untuk
banyak hal, meskipun ia akan mengeluh jika menghadapi tantangan. (8) Kreatif dan Enovatif. Seorang sanguinis selalu punya
gagasan yang baru dan menarik. Ia akan menemukan ide-ide segar dan
cemerlang, dan akan berusaha sekuat tenaga agar idenya dipakai. Ia kaya akan
gagasan, seolah tidak pernah kehahabisan ide. Ia tidak pernah menemui jalan
buntu. Di matanya, setiap maslah selalu ada pemecahannya. Ia juga menyukai tantangan. Ia
senang dengan sesuatu yang penuh sensasi dan penuh petualangan. Ia senang sesuatu yang serba heboh. (9) Mudah Berteman. Seorang
sanguinis tidak pernah dan tidak mau tinggal diam sendirian. selalu ingin
mencari teman. Ia akan menegur dan berkenalan dengan siapa saja dan di mana
saja. Ia juga akan menjadi teman yang menyenangkan.
Sisi Negatif. (1) Terlalu Banyak Bicara. Seorang
sanguinis, penuh ide cemerlang, tetapi apabila ditanya apakah ia mau
menjalankan ide itu dan kapan dapat dimulai, ia akan menjawab ‘jangan saya atau
nanti dulu’. Orang ini sering mendapat
sebutan NATO (No Action Talk Only). Ia hebat dalam berbicara dan ide, tetapi tidak dalam pelaksanaan.
Florence Littauer menyebutnya sebagai ‘tidak ada tindak lanjut’. Ia selalu akan
berkelit untuk menunda-nunda pekerjaan. Ia juga suka terus
menarus berbicara, tidak peduli dan
tidak tanggap situasi. Ia tidak
peduli apakah pendengar tersinggung atau tidak, apakah pendengar suka dengan
apa yang dikatakan atau tidak. Ia suka bicara melantur tanpa tujuan. Florence
Littauer menyebutnya sebagai ‘orang tanpa kesalahan’. Maksudnya adalah bahwa ia
tidak merasa bersalah dengan terlalu banyak bicara dan menyakiti orang lain. Ia
juga tidak merasa bersalah bersikap kekanak-kanakan dalam acara-acara yang
resmi, yang menuntut keseriusan tinggi. Dalam berbicara, ia juga
suka menambahnya dengan ‘bumbu-bumbu’ yang tidak perlu. Ia mudah terkesan
sebagai pembual dan suka membesar-besarkan sesuatu dalam berbicara. (2) Kurang Mendalam. Ia menyukai hal-hal yang hebat di permukaan, tetapi kurang mendalam. Ia
tidak baik menjadi penasihat atau konselor, karena ia suka berbicara dan kurang mendengarkan. Ia akan mudah memotong
pembicaraan orang. Nasihatnya pun dangkal, karena kurang dipikirkan secara
mendalam. (3) Egoistis. Seorang sanguinis mempunyai dorongan kuat untuk menjadi pusat
perhatian dan selalu ingin disayang dan dinomor satukan. Akibatnya, ia
menjadi egoistis. Ia tidak ingin orang lain tidak
memperhatikannya, menyenanginya dan mengistimewakannya. Ia juga tidak peduli dengan lingkungan dan orang lain. Apabila ia ingin
bicara, ia bicara langsung lantang tanpa
basa-basi, dan meminta orang lain untuk mendengarkannya. Ia tidak peduli
apabila ia mengganggu atau dapat menyinggung perasaan orang lain. (4) Tidak
Tertib dan Tidak Dewasa. Karena seorang sanguinis menyukai yang
serba spontan dan baru, ia tidak
mempunyai jadwal atau program pribadi yang jelas. Semua akan dilakukan
sesuai dengan kata hati saat itu. Florence Littauer menyebutnya sebagai orang
yang tidak konsisten. Ia tidak berminat pada suatu
pekerjaan atau kegiatan yang memerlukan perencanaan yang rumit Kalaupun ia
melakukan suatu pekerjaan, biasanya tanpa persiapan yang matang. Keinginan yang kuat di awal untuk melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan
akan berhenti tanpa penyelesaian apabila ada tantangan. Kesenangan akan mengalahkan tantangan.
Yang dibutuhkan oleh orang Sanguinis: Bimbingan; Banyak kontak dengan
orang lain; Banyak variasi; Kesenangan (fun); Pengakuan Publik; Siapa teman-temannya;
Manfaat mengetahui orang Sangunis: Pemimpin yang aspiratif; Pandai berdiplomasi; Pekerja yang antusias; Pemberi kesan yang menyenangkan; Penyumbang semangat kerja tinggi.
Tipe
Melankolis (Introvert-Pemikir-Pesimis).
Istilah melankolis berasal dari kata melankhole,
yang berarti empedu hitam. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang
melankolis adalah empedu hitam. Menurut Hippocrates, empedu hitam yang dominan
dalam diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.
Si melankolis adalah seorang yang paling ‘kaya’
diantara semua temperamen. Dia seorang
analisis, suka berkorban, bertipe prefeksionis dengan sifat emosi yang sangat
sensitif. Tidak seorang pun dapat
menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia
mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia mausk ke
dalam bermacam-macam keadaan jiwa.
Kadang- kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang
tinggi membuatnya bertindak lebih ekstrovert.
Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depresi, dan selama
periode ini dia akan menarik diri, dan bisa menjadi seorang yang begitu
antagonistis (bersifat bermusuhan). Kata kunci bagi
orang melankolis adalah KESEMPURNAAN.
Sisi Positif. (1) Mendalam, Penuh Pemikiran
dan Analitis. Seorang melankolis penuh pemikiran dan
analitis. Ia dapat melihat masalah sebelum terjadi serta menghitung biaya
sebelum membangun. Tidak seperti seorang sanguinis yang suka berbicara, Ia
tidak banyak bicara. Ia diam dan berpikir, merencanakan, mencipta, menemukan
dan menganalisis. Ia selalu menggali sesuatu bukan berdasarkan jumlah
nominalnya, melainkan berdasarkan isi
kebenarannya. (2) Serius dan Tekun. Seorang melankolis adalah orang yang tahan duduk berjam-jam mempelajari
atau meneliti sesuatu. Segala yang dikerjakan selalu penuh perencanaan dan perhitungan. Ia memandang hidup sebagai
sesuatu yang serius, bukan untuk bersenang-senang. Ia berpenampilan tenang tetapi wajah
penuh keseriusan. Ia tidak banyak tersenyum atau tertawa, karena ia
menganggap bahwa segala sesuatu harus dipikirkan secara mendalam. (3) Mandiri. Seorang
melankolis mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan berkeyakinan bahwa ia
dapat melakukan dan mencapai segala sesuatu sendiri. Ia tidak memerlukan orang
lain. Ia akan mengerahkan seluruh kekuatan dirinya untuk merencanakan dan
mencapai apa yang diimpikan. Maka ia juga tidak banyak bercerita tentang rencana-rencananya. Ia akan
tampil bersama hasilnya, bukan rencananya. Dan ia berusaha sekuat tenaga untuk
membuktikan bahwa dirinya mampu. (4) Berbakat
dan Kreatif. Seorang melankolis adalah orang yang
paling berbakat dan kreatif di antara
mereka semua. Seorang melankolis dikagumi karena hal ini. Ia tampak jenius.
Aristoteles pernah mengatakan, “semua orang jenius punya watak melankolis.” Seorang melankolis akan tampil dalam diri para penulis, penemu,
musikus, ahli filsafat dan pelukis
besar. (5) Menyukai Diagram, Grafik dan Bagan. Bagi seorang melankolis, penggunaan daftar, diagram, grafik atau bagan
merupakan bagian penting dari kehidupan. Otak melankolis berpikir dengan cara
demikian teratur sehingga ia suka melihat bagan. Ia juga kan menjelaskan teori
di balik bagan atau grafik kepada orang lain yang tidak mengerti. (6) Berpikir sistematis dan
terorganisasi. Seorang melankolis suka menuliskan segala
sesuatu yang dianggap penting dengan rincian yang cermat. Ia juga ahli dalam
melacak perincian. (7) Hidupnya Tertib. Seorang melankolis mengatur hidupnya dengan penuh perencanaan. Ia menetapkan
tujuan-tujuan, dan berusahan sekuat tenaga mencapai tujuan-tujuan tersebut. Ia
juga menyukai keteraturan, jadwal, serta tahan dalam rutinitas harian. Ia juga sangat tepat janji dan tepat waktu. Ia akan berusaha segala sesuatu
berjalan sesuai dengan rencananya. Ia memikirkan secara mendalam agar jangan
sampai ada gangguan sekecil apa pun dapat menggagalkan rencanannya. (8) Menetapkan Standar yang
Tinggi. Seorang melankolis mempunyai motto: “Kalau sesuatu layak dilakukan, itu harus
dilakukan dengan benar.” Bagi
seorang melankolis, kualitas sangat penting. Maka jika ia mengerjakan suatu, ia
akan mengerjakan dengan benar dan tepat waktu. Ia menyukai barang-barang yang berkualitas tinggi dan yang tahan lama,
meskipun model dan bentuknya terkesan kuno atau ketinggalan jaman. Ia lama
dalam menenetukan pilihan terhadap sesuatu. Dengan teliti ia akan menganalisa
dan lama mempertimbangkan. Akan tetapi sekali keputusan sudah diambil, ia akan
mempertahankannya dalam jangka waktu yang lama. Ia
tidak suka ganti-ganti barang hanya karena modelnya. (9) Penuh
Perhatian dan Belas Kasihan. Seorang melankolis peka terhadap kebutuhan
orang lain dan penuh perhatian. Ia mudah terharu terhadap hal-hal yang
menyentuh perasaan. Ia dapat menitikkan air mata bila terharu, entah karena
sesuatu yang membuat gembira atau sedih. Ia dapat menjadi
penasihat yang bijaksana karna ia sanggup melihat permasalahan sampai ke lubuk
hati orang lain. Ia mampu mendengarkan keluhan orang lain, menganalisisnya, dan
memberikan saran-saran yang hasrus dilakukan untuk mengatasi masalahnya.
Sisi Negatif. (1) Keras Kepala. Karena seorang melankolis punya prinsip dan merasa prinsipnya benar serta
berusaha mempertahankan prinsipnya, ia cenderung keras kepala. Dengan
keseriusan pemikiran dan analisanya, ia beranggapan bahwa pemikirannya paling
benar. (2) Mudah Tertekan. Susah sekali bagi orang melankolis untuk
membedakan antara bahagia dan sedih, karena ia tidak ingin terlalu gembira.
Sebagian besar kehidupannya akan dijalaninya dengan serius. Ia mudah tertekan
berhadapan dengan orang sanguinis yang heboshda. (3) Berwajah Murung. Karena selalu
tampil serius, orang melankolis tidak sadar bahwa wajahnya tampak selalu murung
dengan jidat yang berkerut. Ia juga akan
tampil dengan sorot mata penuh selidik
pada sesuatu orang yang baru dijumpainya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu
yang diinginkannya ia akan murung dan menyesali diri dalam waktu yang lama.
Penampilan ini sering menghalanginya untuk secara spontan mengalami kegembiraan
dan merasakan kejutan. (4) Perfeksionis. Seorang melankolis ingin segalanya
berjalan sempurna sesuai rencana dan terkoordinasi dengan baik. Ia tidak mudah
menerima adanya beberapa perubahan rencana di tengah jalan. Lebih jauh ia
mengharapkan hasil yang tidak cacat sedikit pun. Karena sikapnya itu, seorang
melankolis suka mencari sisi negatif atau kesalahan dari segala sesuatu atau
orang. Ia akan berhenti mencela atau mengkritik
apabila segalanya terlihat sempurna. Maka ia tidak mudah memberikan
apresiasi positif mengenai adanya kemajuan-kemajuan kecil yang dikerjakannya
sendiri atau orang lain, sebelum segalanya selesai dengan sempurna.
Yang dibutuhkan oleh orang Melankolis: Keharmonisan; Penjelasan mengapa sesuatu hal terjadi; Penggunaan tolak ukur yang rinci;
Kritik yang tidak langsung; Pujian secara pribadi; Cukup waktu untuk mengolah informasi.
Manfaat mengetahui orang Melankolis: Orang dengan ketrampilan khusus; Orang dengan banyak perincian; Pembuat standar yang tinggi; Orang dengan hasil kerja yang berakurasi
tinggi.
Tipe
Koleris (Ekstovert-Pelaksana-Optimis)
Istilah koleris berasal dari kata khole,
yang berarti empedu kuning. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang koleris
adalah empedu kuning. Menurut Hippocrates, empedu kuning yang dominan dalam
diri seseorang menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.
Seorang koleris tampil hangat, serba cepat, aktif,
praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri dan sangat
independen. Dia cenderung tegas dan
perpendirian keras, dengan gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan
bagi orang lain. Seperti seorang
sangunis, seorang koleris adalah seorang ekstrovert, walau tidak se-ekstrovert
sangunis. Seorang koleris hidup dengan
aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari
luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan,
dan ambisi-ambisinya yang tak pernah surut. Kata kunci
orang koleris adalah MENCAPAI.
Sisi Positif (1) Dilahirkan sebagai Pemimpin Seorang koleris yang kuat akan memperlihatkan
sikap sebagai pemimpin sejak awal
kehidupannya. Ia dilahirkan sebagai pemimpin dan akan melihat keluar dari
terali ranjang bayinya serta merencanakan secepat apa dia dapat mengambil alih
kekuasaan dari ibunya. Ia memperlihatkan sikap menuntut hak sejak kecil, dan
akan menggunakan suara keras atau sikap ngambek untuk mengukuhkan kekuasaannya. Ia akan menjadi pemimpin atau ketua untuk organisasi apa saja sejak kecil.
Ia mempunyai kemampuan bawaan untuk naik ke puncak dan mengambil alih. (2) Menuntut Perubahan. Seorang koleris akan memaksa dan mengubah apa saja yang dilihatnya tidak
pada tempatnya. Ia menginginkan peruabahan sekarang juga jika dapat. Ia akan
tampil untuk memulai perubahan itu untuk memberikan motivasi bagi orang lain
melakukan perubahan. Kadangkala ia terlihat langsung mengerjakan sendiri
hal-hal yang dilihatnya tidak beres, meskipun sebenarnya itu bukan tugasnya. (3) Berkemauan Kuat dan Tegas. Seorang koleris dapat membuat keputusan
yang tepat dan cepat, karena ia tahu apa yang dibutuhkan oleh keadaan atau
lingkungan, serta tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia sangat berorientasi pada
tujuan. (4) Dapat Diandalkan. Seorang koleris yang kuat serba dapat. Ia tampak dapat melakukan apa saja
meskipun ia tidak banyak mempunyai pengetahuan mengenai bidang yang sedang
dikerjakannya. Maka ia tampak sangat dapat diandalkan untuk hampir semua
urusan. Kelebihan terbesar seorang koleris adalah kemampuannya mencapai
melebihi siapa pun juga. (5) Menyukai
Tantangan. Seorang koleris yang kuat akan tumbuh dari
tantangan yang satu ke tantangan lainnya. Ia tidak pernah menghindari tantangan,
bahkan sering mencarinya. Bagi orang koleris, tidak ada sesuatu yang mustahil.
Ia selalu tertantang untuk membuktikan bahwa segala sesuatu dapat dikerjakan
dan setiap masalah dapat diatasi. Dalam beberapa hal
seorang koleris bahkan ‘menantang’ orang-orang lain untuk mengalahkannya. Dan
ia dengan bangga akan mengatakan bahwa ia akan mengalahkan mereka semua atau
menyingkirkan mereka semua untuk menjadi pemenangnya. (6) Mengorganisasi dan
Mendelegasikan Pekarjaan. Seorang koleris adalah seorang yang sangat
efisien, karena kemampuannya mengorganisasi dan kesediannya mengambil tindak
lanjut atas perintahnya. Apabila seorang koleris meencanakan suatu pekerjaan,
jauh di dalam pikirannya telah tergambar mengenai bantuan yang akan
diperolehnya dan pembagian tugas yang akan dilakukannya. (7) Biasanya selalu Benar. Seorang koleris
yang kuat punya antena bawaan untuk mengindera situasi. Ia akan membuat
pengumuman hanya kalau ia tahu bahwa ia benar. Dan ia penuh keyakinan bahwa ia
selalu benar. Dan anehnya orang lain dibuat tidak berdaya dengan kenyataan
bahwa ia memang benar.(8) Tidak terlalu Perlu Teman. Orientasinya yang kuat pada tujuan, membuat seorang
koleris ingin mewujudkannya sendirian. Ia percaya bahwa ia sanggup mencapainya
sendirian. Ia tidak membutuhkan dukungan dan bantuan. Ia selalu punya proyek.
Bergaul dan mengobrol dengan orang lain hanya membuang-buang waktu. Ia akan
bekerja untuk kegiatan kelompok dan memimpin suatu kegiatan amal, tetapi ia
sendiri bertindak dengan menghemat waktunya. (9) Unggul dalam Keadaan Darurat. Orang koleris yang kuat menyukai keadaan darurat. Keadaan darurat selalu
menjadi kesempatan bagi orang koleris untuk menunjukkan keunggulannya mengatasi
keadaan. Ia tidak pernah panik dalam keadaan darurat. Ia bia mengubah keadaan
darurat menjadi saat yang mentakjubkan.
Sisi Negatif. (1) Memandang Orang Lain
sebagai ‘Musuh’. Dorongan yang kuat untuk mencapai puncak dan menaklukkan semuanya,
menyebabkan seorang koleris memandang orang lain sebagai ancaman yang harus
ditaklukkan juga. Orang lain
harus dipaksa untuk mengakui bahwa ia yang paling benar dan paling sukses.
Dorongan itu membuat seorang koleris tidak segan-segan bersikap menantang siapa
saja. Ia siap untuk bertarung dengan siapa saja. Pertarungan baginya adalah
sarana untuk menunjukkan keunggulan dirinya. Ia
tidak membiarkan apa pun menghalanginya
mencapai tujuan.. (2) Diktator dan Suka
Memanipulasi. Ada keinginan kuat dari dalam diri seorang
koleris untuk memaksakan apa yang dianggapnya baik. Karena baginya tidak ada
sesuatu yang mustahil, ia menganggap semua orang dapat melakukan seperti
dirinya. Ia juga punya kecenderungan untuk menyepelekan orang lain tanpa belas
kasihan. Untuk memaksakan rencananya sering seorang
koleris melakukan manipulasi. Ia akan menyusun rencana untuk memaksakan
kehendaknya, seolah-olah tampak bahwa itu bukan paksaan. (3) Tidak Sabar. Dorongan kuat untuk mencapai prestasi,
sering membuat seorang koleris gusar dan tidak sabar. Ia tidak sabar menghadapi
orang lain, yang di hadapannya dianggap terlalu santai. Ia menginginkan kalau
segala sesuatu harus dikerjakan segera sesuatu dengan target. Ia juga tidak
sabar dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, karena di matanya
kesalahan seharusnya tidak ada. (4) Terlalu
Memaksakan Diri. Sementara orang lain mengambil waktu libur
untuk bersantai, seorang koleris akan bekerja sekalipun di saat libur. Baginya, waktu itu mahal, maka tidak
baik menghambur-hamburkannya. Duduk-duduk santai adalah kebodohan bagi orang
koleris.
Yang dibutuhkan oleh orang Koleris : Banyak tantangan; Koreksi apabila diperlukan; Ditunjukkan apa yang anda butuhkan; Prestise dan kebanggaan; Peluang untuk belajar hal-hal baru; Perasaan kompetisi dan
persaingan.
Manfaat mengetahui orang Koleris: Pengambil resiko yang berani; Pengambil keputusan; Pekerja yang mandiri; Orang yang senang membuat perubahan; Orang yang berorientasi pada hasil.
Tipe Flegmatis (Introvert-Pengamat-Pesimis).
Istilah flegmatis berasal dari kata phlegma,
yang berarti lendir. Cairan tubuh yang dominan dalam seorang melankolis
adalah lendir. Menurut Hippocrates, lendir yang dominan dalam diri seseorang
menyebabkan ciri-ciri watak tertentu.
Si phlegmatis adalah seorang yang hdupnya tenang,
gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang sedemikian
tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah.
Dia adalah seorang dengan tipe mudah bergaul, dan paling menyenangkan
diantara semua temperamen. Phlegmatis
berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam
badan yang menghasilkan yang ‘tenang’, ‘dingin’, ‘pelan’ temperamen yang
memiliki keseimbangan yang baik. Baginya
hidup adalah suatu kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak
menyenangkan. Dia begitu tenang dan agak
diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimanapun keadaan
sekitarnya. Kata kunci bagi orang
flegmatis adalah “INI TIDAK TERLALU
PENTING”.
Sisi Positif. (1) Serba Guna. Seorang
flegmatis yang damai mudah diajak bergaul, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap jadwal dan fleksibel. Ia senang
bersama-sama dengan orang lain tetapi juga bahagia sendirian. Ia tidak
mudah terganggu oleh sesuatu yang di luar dirinya. (2) Rendah Hati. Seorang flegmatis hidupnya damai dan begitu menyenangkan berada di dekatnya. Tak
seorang pun menginginkan seorang flegmatis pergi. Ia tidak suka menyerang. Ia menyetujui setiap
ide, hal yang paling disukai oleh seorang koleris. Ia tidak suka kedudukan. Ia bahkan rela melepaskannya apabila mendapatkannya sebelum dillihat
orang. Ia tidak memerlukan reputasi dan penghargaan. Akan tetapi ia tetap
menjaga agar dirinya tidak kelihatan tolol. Ia hanya
tidak ingin menonjol. (3) Sabar dan Santai. Seorang flegmatis tidak memaksakan diri. Baginya, segala sesuatu ada waktunya.
Ia tidak pernah tergesa-gesa. Ia akan menghadapi persoalan dengan tenang dan
bertahap. Ia juga tidak suka menyinggung perasaan orang lain, menimbulkan kesulitan
bagi orang lain atau memaksa. Ia menerima apa adanya
apa saja. (4) Tenang dan terkendali. Tidak seperti dari watak lain, terutama sanguinis dan koleris, Ia tidak
pernah panik dalam situasi apa pun. Ia mempunyai emosi yang stabil dan
terkendali. Ia tidak mudah terusik dengan keadaan sekitar dan tampak cuek
dengan komentar-komentar mengenai dirinya.(5) Sikap Menerima. Seorang koleris
tidak memulai dengan harapan yang besar, maka ia dapat menerima segala yang
diperoleh. Ia tidak mudah tertekan seperti kaum melankolis, karena ia selalu
berdamai dengan realitas dan tidak ambisius. (6) Mudah Diajak Bergaul. Kaum flegmatis yang damai mempunyai banyak teman, karena ia mudah diajak
bergaul, dan semua watak lain memerlukan teman seperti dia. Ia menyenangkan
sebagai teman. Maka ia mempunyai banyak teman. Dalam bergaul, seorang flegmatis
yang damai tampil santai, sabar, konsisten, tidak ofensif dan menyenangkan. (7) Menjadi Penengah. Karena ciri
wataknya yang damai dan tidak mudah terpengaruh, kaum flegmatis akan banyak
mengambil posisi sebagai penengah bila
terjadi perselisihan atau konflik. Kemampuan ini didukung oleh sikap yang tidak
mau memihak dan ketenangannya menghadapi masalah. Manakala kaum yang lain suka terlibat dalam
perdebatan untuk memaksakan kehendaknya, kaum flegmatis dengan tenang akan
menjadi penengah. (8) Punya Kemampuan
Administrasi. Kaum flegmatis yang damai mempunyai
kemampuan mengurus administrasi dengan baik. Kemampuan ini didukung oleh
kemampuannya untuk menyesuaikan diri, pandangannya yang obyektif terhadap orang
lain, dan ketelitan serta kesabaran yang
tinggi. (9) Menjadi Pendengar yang Baik. Karena kesabaran dan ketenangannya, kaum flegmatis lebih suka mendengarkan
daripada berbicara. Maka watak lain suka mencurahkan isi hatinya kepadanya. Ia
merupakan pendengar yang tanggap dan penuh empati. Reaksi fisik untuk
mengungkapkan empatinya adalah tersenyum dan mengangguk-angguk.
Sisi Negatif. (1) Terlalu Cuek. Orang flegmatis yang damai tidak peduli dengan sikapnya yang barangkali
menyinggung orang lain. Ia pendiam dan kelihatan baik hati, tidak pernah mengungkapkan
kemarahan. Akan tetapi, reaksinya juga lambat. Sementara watak lain menunggu
akan tanggapannya terhadap sesuatu, orang flegmatis lebih suka menyimpannya
dalam hati. Ungkapan yang sering muncul adalah, “aku tak peduli”, ketika orang lain mengutarakan sesuatu yang
tidak beres tentang dirinya. Ia berkeyakinan bahwa ia tidak memerlukan hiburan,
maka orang lain juga tidak memerlukannya. Ia tidak peduli apabila ia
kadang-kadang membosankan membuat gregetan orang lain. (2) Tidak Bersemangat. Salah satu kelemahan orang flegmatis adalah ketidakmampuannya
memberikan motvasi bagi dirinya sendiri, karena dia tidak mempunyai antusiasme
atas apa pun. Seringkali
seorang flegmatis melontarkan perkataan ini, “aku tidak tertarik”, ketika
menanggapi sebuah rencana yang tampak menarik dan menggairahkan bagi orang
koleris atau sanguinis. Seorang flegmatis yang damai akan kedapatan tidur dalam seminar-seminar
yang penuh perdebatan sekalipun. Pendeknya, ia tidak begitu tertarik dengan
hal-hal yang tampaknya sensasional, dan menganggap sinting dengan segala
kegilaan watak yang lain dengan tertawa tanpa suara. (3) Tidak Menyukai Perubahan. Orang flegmatis
yang damai tidak menyukai perubahan. Ia tidak mau
repot. Ia malas mencoba hal-hal baru. Ia
lebih suka pada keadaan yang sedang dijalaninya. Di samping itu hal-hal
spektakuler yang ke depan tidak menarik baginya. Baginya hidup adalah yang
dijalaninya sekarang. Ia tidak suka mencari teman baru, tidak suka pindah
rumah, pindah kerjaan meskipun menurut pendapat umum itu lebih baik. Sebagai akibatnya, orang flegmatis sering menunda-nunda pekerjaan atau
tugas. Ia juga suka menghindari tanggung jawab. Ia malas melakukannya karena ia
tahu bahwa ada sesuatu yang dituntut dari dirinya. (4) Kurang Berpendirian. Kemampuannya
untuk menyesuaikan diri dan keinginan tidak memihak, menjadikan dia tidak punya
pendirian atau prinsip yang jelas. Ia
akan menjaga keadaan tetap tenang. Ia tidak menyukai konflik.
Orang flegmatis sukar sekali membuat keputusan, bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena ia
tidak mau mengambil tanggung jawab atas keputusannya. Keputusan dasarnya adalah
‘tidak membuat keputusan apa pun’.
Yang dibutuhkan oleh orang Plegmatis: Lingkungan kerja yang stabil; Dorongan bakat analistis; Diperlihatkan padanya bagaimana sesuatu bekerja/berfungsi; Banyak peringatan sebelum perubahan terjadi; Penyelidikan untuk
mengetahui perasaan orang yang sesungguhnya; Jaminan ekonomi.
Manfaat mengetahui orang Plegmatis: Hasil kerja yang mantap; Tolak ukur kesabaran; Setia sebagai pegawai; Turut pada perintah atasan; Menjiwai pekerjaan yang dilakukan.
Perpaduan yang Unik
Uraian di atas tidak dimaksudkan agar kita melihat
diri kita secara hitam putih. Uraian di atas juga tidak dimaksudkan untuk
memasukkan kita ke dalam kotak yang terisolasi, dan kemudian memberinya label
atau cap pada diri kita sebagai orang sanguinis, melankolis, koleris atau
flegmatis. Uraian di atas dimaksudkan sebagai alat bantu agar kita lebih menyelami diri kita.
Ketika kita memeriksa diri kita, barangkali hati
kita memberontak dan tidak menyetujui bagian-bagian tertentu dari uraian di
atas. Ada semacam perasaan mendua: antara menerima dan menolak. Menerima,
karena sebagian besar yang diuraikan di
atas memang cocok dengan diri kita. Menolak, karena ada sebagian yang kita
anggap bukan diri kita. “Itu tidak dengan diri saya”. Reaksi semacam itu wajar karena memang diri
kita tidak dapat dimasukkan ke dalam satu tipe saja.
Kita semua merupakan perpaduan antara paling tidak
dua temperamen, satu yang dominan dan yang lain kurang dominan. Maka ada dua belas kemungkinan besar
perpaduan temperamen, yakni: SanChlor, SanMel, SanPhleg, ChlorSan,
ChlorMel, ChlorPhleg, MelSan, MelChlor, MelPhleg, PhlegSan, PhlegChlor,
PhlegMel.
Dengan pembagian ini, seseorang lebih mudah
membuat identifikasi dirinya sebagai salah satu dari kedua belas jenis
perpaduan itu dari keempat temperamen dasar.
Pada dasarnya, setiap orang dapat memiliki sekaligus segala kekuatan dan
kelemahan yang terdapat pada temperamen yang dominan dan yang kedua. Beberapa dari kekuatan dan kelemahan ini
dapat saling menggagalkan satu sama lain, saling menguatkan, saling menonjolkan
diri dan saling mempersulit yang lain.
Kejadian seperti ini menciptakan keragaman perilaku, prasangka dan
kemampuan-kemapuan alamiah dari orang dengan temperamen dominan yang sama tapi
dengan temperamen tambahan yang berbeda.
3.1.2. Enneagram
Paling tidak sekali dalam hidup, kita pernah
mengalami konflik dengan orang lain. Apakah mereka teman, atasan, bawahan, atau
bahkan orang-orang yang kita cintai. Penyebabnya sering kali bermuara pada
perbedaan sikap, pendapat, dan cara pandang suatu persoalan.
Mengapa sampai muncul perbedaan sikap antara
seseorang dengan yang lain terhadap satu hal yang sama? Mengapa karakter atau
watak setiap orang berlainan? Bagaimana cara menghadapi setiap perbedaan tanpa
harus terlibat perseteruan?
Enneagram menyediakan jawaban sekaligus penjelasan
untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Ennea (bahasa yunani) yang artinya
sembilan, merupakan penjabaran sembilan tipe energi alam yang masing-masing
menyimpan watak dan karakter orang. Kesembilan tipe tersebut membedakan cara
seseorang dalam menentukan pilihan bertingkah laku, dan menumbuh kembangkan
sifat-sifat asli dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, rahasia kekuatan ennegram yang
tersimpan bak misteri ini terkuak juga pada awal abad XX. Penemuan ini
berdasarkan pada beberapa studi ilmiah yang sebagian besar dilakukan oleh
kalangan pakar psikologi Universitas Stanford, Amerika Serikat. Tahun 1960
seorang ahli pendidikan di Amerika Latin, Oscar Ichazo memperkenalkan metode
pengajaran enneagram di Bolivia, lalu menyebarkan pengetahuan ini melalui
institut Arica di New York. Seorang psikiater dari Cile, Claudio Naranjo
memadukan enneagram kedalam disiplin ilmu psikologi yang menangani gangguan
kepribadian berdasarkan Ametikan Psychiatrist Association. Sejak itu enneagram
dipelajari dan di ajarkan oleh banyak ahli dengan latar belakang yang beragam.
Belakangan, metode eneagram ini juga di padukan
dengan program rekrutmen dan pelatihan pada lembaga pengembangan sumber daya
manusia di beberapa perusahaan. Selain beberapa perusahaan besar Jepang,
raksasa General Motors dan AT & T pun memakainya.
Symbol enneagram berupa lingkaran dengan sembilan
titik geometris yang memilah sembilan tipe dasar kepribadian manusia serta
hubungan antarpribadi yang kompleks. Kesembilan tipe itu adalah:
Tipe Pekerja. Menggambarkan orang yang selalu mengejar kesempurnaan. Mereka biasanya
memperhatikan segala sesuatu sampai sedetail-detailnya. Tak mudah menyerah
meski menanggung beban berat. Namun karena menuntut setiap orang juga harus
sempurna, mereka cenderung mencari-cari kesalahan. Di kantornya mereka amat
sensitive terhadap bebagai kesalahan atau perlakuan tidak adil dari atasan.
Untuk membebaskan diri dari obsesi kesempurnaan,
mereka perlu mempelajari konsep pertumbuhan. Tujuannya, agar sementara mengejar
kesempurnaan mereka bisa tumbuh dan mendekati sempurna secara perlahan-lahan.
Melalui proses pertumbuhan itu, mereka bisa memperlakukan diri sendiri maupun
orang di sekitarnya dengan lebih baik.
Tipe Penolong. Yaitu orang yang amat bersahabat, penuh perhatian, dan rela melayani
sesama. Mereka selalu berusaha keras untuk berbuat baik terhadap sesama. Namun,
bila sampai dikecewakan atau di kritik lantaran terlalu mencampuri urusan orang
lain, mereka akan marah. Bawah sadarnya selalu dihantu ketakutan terbuang dari
lingkungannya. Itulah sebabnya, mereka berusaha agar hidupnya berarti bagi
orang lain.
Meskipun secara nyata tidak menuntut balas jasa,
sebenarnya mereka mengharapkan perhatian atau setidaknya pengakuan atas apa
yang mereka lakukan untuk orang lain.
Tipe orang macam ini sebaiknya disadarkan bahwa
membantu orang lain toh bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan
kepentingan diri. Kepada mereka harus ditanamkan pengertian, usaha mencapai
tujuan harus dilakukan dengan caranya sendiri tanpa perlu memanipulasi pihak
lain dengan bermacam-macam bantuan.
Tipe Motivator. Bisa ditemukan pada posisi manajemen
puncak perusahaan-perusahaan Amerika, jepang. Orang tipe ini biasanya para
workaholic yang amat terobsesi dengan efisiensi. Mereka cenderung menentukan
target yang tinggi dan bekerja amat efisien guna mencapai sukses. Kalau perlu
tak segan-segan mengesampingkan kepentingan keluarga dan bahkan kesehatannya.
Tak jarang yang menimbukan dampak pada lingkungan
kerjanya, mereka menuntut kadar komitmen yang sama tehadap para
bawahannya. Padahal dengan tututannya yang terkadang “menyiksa” orang-orang di
sekitarnya, mereka justru sering menderita stress.
Pribadi tipe ini sebaiknya memiliki standar untuk
mengukur kapasitas kerja tanpa harus di hubungkan dengan tujuan, efisiensi,
atau sukses perusahaan. Akan lebih bagus, dalam berperilaku kerja menyertakan
unsure kejujuran diri dan rasa belas kasih terhadap sesama. Bila sudah mampu
melihat kehebatan dirinya, mereka tidak akan menganggap bawahan hanyalah
sekadar alat mencapai tujuan.
Tipe Individualis. Yaitu orang yang selalu menempatkan keunikan diri, kreatifitas, dan emosi
pada tingkat yang paling tinggi. Kerena melihat dirinya sebagai insan yang
berbeda dengan orang lain, mereka tidak senang pada hal-hal yang bersifat biasa
saja. Baginya setiap orang harus punya keunikan yang menonjol. Mereka terobsesi
bekerja dengan caranya sendiri yang unuk, sehingga lebih suka menutup pintu
untuk kerja sama dengan orang lain. Orang seperti ini kalau diberi kebebasan
akan cenderung soliter dan bahkan terisolasi dari lingkungan sekitar.
Nah, agar bisa terbebas dari “dunianya” yang
sempit, selain memanfaatkan keunikannya secara optimal, mereka juga harus
belajar menerima keragaman. Dunia ini penuh perbedaan. Kalau hidup setiap orang
hanya berporos pada dirinya sendiri dan melupakan pergaulan dengan orang di
sekitarnya, nantinya justru akan terasa sepi.
Tipe Pemikir. Biasanya pintar, berfikir analistis, tegas dalam mengambil keputusan, namun
miskin dalam pergaulan. Boro-boro harus meluangkan waktu untuk bertukar pikiran
atau perasaan dengan orang lain, perhatiannya melulu hanya pada
bidangnya dan terlalu ngoyo dalam mengejar ilmu. Sayangnya, meski
intelektualitasnya tak diragukan, mereka malas bekerja. Bahasa sononya no
action, talking only, atau NATO. Orang bilang ngomong doang, kerja kagak.
Cara mengatasi kelemahan ini, mereka harus
mengambil inisiatif tindakan nyata. Ini logis. Untuk bisa mengetahui apa yang
telah terjadi, seseorang harus terlibat di dalamnya. Bagaimanapun realitas
kehidupan takkan bisa dimengerti dengan pengamatan saja.
Orang tipe ini perlu belajar mengambil inisiatif
untuk mengenal, berinteraksi dengan orang lain, serta mempu mengendalikan
emosi. Dengan demikian mereka akan menemukan kebijaksanaan dan kekuatan yang
sebelumnya selalu di hindari.
Tipe Loyalis. Umumnya, bisa di percaya, jujur, dan bertindak
sesuai hukum dan norma yang berlaku. Pembawaanya cenderung hati-hati dan selalu
cemas. Perasaan ini terbawa terus dalam pekerjaan. Biasanya mereka dihantui
ketakutan dan kecemasan, jangan-jangan berbuat salah. Kalau kecemasan itu tak
terkontrol, biasanya mereka tidak mampu membuat keputusan atau bertindak sesuai
kehendak.
Orang yang berkepribadian seperti ini perlu
memiliki rasa percaya diri yang besar dalam lingkungannya. Kalau bisa di
yakinkan bahwa mereka memiliki relasi yang dapat di percaya, pelan-pelan
kecemasan itu akan hilang dan mereka mampu meraih prestasi yang lebih dari
biasanya.
Tipe Entusiastis. Selalu bersikap optimis akan masa depan
meski dalam kondisi buruk sekalipun. Mereka akan berusaha sebaik-baiknya untuk
menghindari stres. Tapi bila situasi semakin memburuk, dengan gampang banting
stir, memilih pekerjaan lain yang di anggap lebih baik. Meskipun hidupnya tidak
selalu berhasil, mereka susah menerima kegagalan atau penderitaan.
Orang macam itu harus dilatih untuk bisa menerima
penderitaan atau kegagalan, sehingga mereka tidak akan jatuh dalam obsesi
keberhasilan terus. Keberanian menghadapi tantangan perlu terus dipupuk. Yang
jelas, ia harus pernah mangalami kegagalan dalam dunia nyata. Pribahasa Jawa, jer basuki mawa bea (kesejahteraan perlu
pengorbanan), cocok dijadikan pegangan hidup. Degan kesadaran seperti itu
mereka bisa menjadi pekerja yang berguna dan berprestasi lebih.
Tipe Pemimpin. Yaitu orang yang dikaruniai kekuatan dan
kemampuan mempengaruhi orang, namun cenderung tampil “kejam” terhadap dunia
sekitarnya. Mereka tidak mau kompromi dengan apa yang telah di yakininya. Kalau
memegang kekuasaan, bisa berbahaya, karena cenderung otoriter.
Di satu sisi, mereka terobsesi oleh keadilan.
Mereka membenggakan dirinya sebagi yang “empunya” keadilan. Berpegang pada
kebenaran yang di yakininya, mereka berjuang untuk memperbaiki ketidak adilan
yang ada di lingkungannya. Di lain sisi, kegigihannya mananamkan keadilan
kepada pihak lain menutup telinganya sendiri untuk mendengarkan pendapat orang
lain yang berbeda. Alhasil, sering terjerat dalam banyak konflik.
Agar tidak menjadi korban dari “jebakan” yang di
ciptakannya sendiri, mereka harus belajar memahami dan memiliki rasa kasih
sayang terhadap sesama. Mereka yang menyadari kelemahannya sendiri justru
secara alami akan menjadi kuat, tanpa harus menindas atau menakuti orang lain dengan kekuatan.
Tipe Cinta Damai. Terlihat dari kepribadiannya yang tidak menyukai persaingan. Mereka selalu
berusaha agar lingkungannya menjadi tenang dan damai. Namun lantaran selalu
menghindari konflik, sikapnya menjadi ewuhpakewuh terhadap siapapun. Mereka
tidak mampu mengutarakan pendapatnya secara jelas dan transparan. Akibatnya,
orang lain sering tak bisa menangkap maksudnya. Padahal
perilaku tersebut justru akan memicu masalah.
Dengan pembawaan yang terlalu rendah hati, mereka
merasa dirinya tidak begitu berarti bagi orang lain. Ketiadaan rasa percaya
diri yang kuat cenderung membuatnya mengaharapkan orang lain untuk
memotifasi dirinya.
Pribadi macam ini perlu didorong untuk menyadari
bahwa dirinya manusia yang berharga. Mata hatinya harus terbuka ke dunia luar
yang lebih luas. Selain itu perlu juga ditumbuhkan suatu keberanian mengahadapi konflik. Dengan demikian mereka berani mengatakan apa yang diinginkan
meski terkadang menyebabkan timbulnya konflik.
3.1.3.
Myers Briggs Type Indicator (MBTI)
Jung melakukan penelitian dan observasi atas berbagai corak
kepribadian manusia selama 20 tahun lebih, hingga akhirnya ia mengemukakan
penggolongan manusia atas tipe-tipe kepribadian yaitu ektrovert, introvert,
thining dan feeling. Isabel
Myers bersama ibunya Katharyn Briggs mempelajari teori Jung dan selama 40 tahun
melakukan pengamatan tipe-tipe kepribadian manusia berdasarkan teori Jung tersebut.
Pada akhirnya mereka membuat sebuah psikotest yang
dapat menggolonggkan manusia dalam tipe-tipe kepribadian sesuai teori Jung.
Maka lahirlah test Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Myers dan Briggs
memperkuat dan memperluas temuan Carl Gustav Jung mengenai ektrover-introver,
penginderaan-intuitif, berpikir-perasa, dan penilai pengamat. Kombinasi dari
keempat preferansi di atas menghasilkan 16 tipe kepribadiaan manusia, yang
mengandung potensi, bakat dan talenta, sekaligus kelemahan-kelemahan yang
terkandung di dalamnya.
Konsep diri berkaitan erat dengan nilai
diri (self esteem) seseorang.
Paul J. Centi mengemukakan bahwa nilai diri adalah pandangan kita tentang harga
atau kewajaran diri kita sebagai pribadi: Apa pun nilai diri kita yang kita
bentuk akan memantul pada orang lain melalui sikap tubuh, ekspresi wajah, nada
suara, dan perilaku kita. Hal ini tidak
dapat dihindarkan karena pantulan tersebut muncul secara otomatis dari dalam
diri kita berdasarkan nilai diri yang kita miliki.
Konsep dan nilai diri ibarat papan nama yang kita
pasang di depan rumah kita. Papan nama
tersebut memberitahukan kepada siapa saja yang melihat tentang siapakah diri saya yang sebenarnya. Papan nama itu akan mengundang reaksi orang untuk
meperlakukannya seperti yang tertera dalam papan nama tersebut. Apabila papan
nama yang kita pasang tersebut bertuliskan: “aku bodoh, tidak memiliki sesuatu
yang dapat dibanggakan serta tidak pantas dicintai”,
maka setiap orang yang melihat papan nama tersebut, yaitu yang bertemu dengan
diri kita, tidak akan mencintai diri kita. Setiap orang mempunyai kemampuan. Howard
Gardner, seorang profesor di Harvard University, melakukan penelitian di
bidang neurologi. Ia sampai pada
kesimpulan bahwa setiap orang sebenarnya cerdas. Tidak ada anak yang bodoh, apalagi
idiot. Kita mempunyai sedikitnya tujuh
kecerdasan dan setiap kecerdasan dapat diperkembangkan dalam tahap kemahiran
tertentu. Kecerdasan itu adalah kecerdasan bahasa, kecerdasan logika-matematis,
kecerdasan musik, kecerdasan gerakan-badan atau kinestetik, kecerdasan visual
spasial, kecerdasan antar pribadi atau sosial, dan kecerdasan interpribadi atau
kecerdasan batin.
Di dinding kantor Eleanor Rosevelt terpampang
tulisan: “Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menyebabkan Anda merasa
kurang atau rendah diri kecuali Anda telah memberikan ijin kepadanya.” Maka dengan cara tidak menghargai diri sendiri, kita telah memberikan ijin kepada
orang lain untuk tidak menghargai kita juga.
Konsep diri juga
erat berkaitan dengan Percaya
diri (self confidence). Ada banyak kesalahpahaman dan kecurigaan
terhadap percaya diri. Percaya diri
dianggap sebagai egoisme. Percaya diri
tidak sama dengan egoisme. Percaya diri
adalah sikap mau menerima diri sendiri apa adanya, menghargai diri sendiri,
bangga terhadap diri sendiri dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Bahagia dengan diri sendiri, dan mempunyai
konsep diri dan nilai diri yang
positif. Kita juga sadar akan
kekurangan diri kita tanpa menjadi berkecil hati atau minder. Sedangkan Egoisme mementingkan diri
sendiri. Egoisme menuntut bahwa diri kita harus didahulukan melebihi orang
lain. Egosime tidak peduli terhadap
orang lain. Jadi jelas bahwa percaya diri bukanlah egoisme.
Untuk membangun konsep diri yang positif dibutuhkan perdamaian dalam diri
kita. Salah satu bentuk perdamaian
dengan diri kita adalah kesediaan untuk menerima diri apa adanya. Maka penting
bahwa kita memandang keberadaan diri kita sebagai anugerah dari Tuhan. Dengan demikian kita perlu mensyukuri apa
pun bentuk dan keadaan diri kita.
Kepribadian (Personality), Kemampuan (Ability) dan
Demography.
Stanley E. Seashore and Thomas
D. Taber
Dalam jurnal yang berjudul Job Satisfaction indicators and their correlates,
University of Michigan menyatakan bahwa
dalam mencapai kepuasan kerja di pengaruhi oleh person dan environment. Person di sini adalah demography, stable personality, abilities,
situational personality, perception and transient personality. Hal ini dapat
dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini.
John R. Hollenbeck and
Ellen M. Whitener Reclaiming Personality
traits for Personel selection : Self Esteem as an illustrative case adalah jurnal yang membahas pendapat dari John R. hollenbeck and
Ellen M. Whitener mengenai model alternatif pengukuran personality yang
berinteraktif dengan ability untuk menghasilkan performance.
Dalam
hal ini personality traits harus dilihat dari mulai melakukan seleksi. Mengukur
personality traits yang berdasarkan pada persepsi akan menimbulkan masalah di
masa yang akan datang. Untuk itu model pikir yang diberikan adalah seperti pada
gambar 3.2. di bawah ini.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan untuk memahami Perilaku Organisasi maka
konsep diri (individu) sebagai dasr pembentukan personality individu, abilities
dan demography sangat penting. Hal ini mengacu pada tujuan perilaku organisasi
adalah efisiensi dan efektif organisasi dalam pencapaian tujuan.
Personality,
ability dan demography mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja individu dalam
bekerja dalam organisasi. Jika hal tersebut dapat diwujudkan maka efisiensi dan
efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi dapat diberjalan. (Robbins, 2001)
Penerapan Konsep Teori
Ike R. Sugianto. Melakukan penelitian di Jakarta dengan
judul Status lajang dan Psychological
Well-Being pada pria dan wanita lajang usia 30 – 40 tahun. Mempelajari
kehidupan lajang sangat menarik. Penelitian kali ini akan melihat single status
dan psychological well-being di Jakarta untuk mengetahui keterkaitannya.
Responden sebanyak 143 orang yang terdiri dari 43 pria dan 29 pria menikah, 44
wanita dan 27 wanita menikah. Adapun hasil yang diperoleh adalah :
Tidak ada
hubungan yang signifikan pada tingkat 0,05 antara status lajang dengan
psychological well-being (r = 0.07).
Koefisien korelasi yang rendah ini berarti bahwa orang lajang dapat memiliki
skor psychological well-being berapa saja baik rendah maupun tinggi, demikian
juga dengan orang yang menikah.
Tidak ada
pengaruh status lajang yang signifikan terhadap psychological well-being
(F=0,511; p=0,476). Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan psychological
weel-being yang signifikan antara subyek lajang
dan subyek menikah.
Tidak ada
pengaruh jenis kelamin yang signifikan terhadap psychological weel-being
(F=0,225; p=0,636). Hal ini berati bahwa tidak ada perbedaan psychological
weel-being yang signifikan antara subyek pria dan subyek wanita.
Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan
teori: Menolak teori dari : Glenn (1975), Knupfer dkk (1966), Coleman (1976), Kobrin & hendershot
(1977), de Jong Gierveld (1978), Kessler & Essex (1982 dalam Fanny, 1995),
Davis (1999) yang menyatakan bahwa orang menikah mempunyai psychological
well-being yang lebih baik dari pada orang lajang, atau dengan kata lain ada
hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being
Mendukung
teori dari : Andrews & Withey (1976), E.E. Davis,
Fine –Davis & Meehan (1982), Michalos (1985), menurut mereka adalah
psychological well-being tidak berhubungan secara signifikan dengan variabel
demografis seperti: umur, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, tingkat
penghasilan dan status pernikahan.
A. Lestari, A. Rizaldi S dan A. Djunaidi. Hubungan kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja konvensional
dengan kepuasan kerja karyawan menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
Penelitian ini mengambil objek pada karyawan administrasi PT. KTSM. Kecocokan
antara tipe kepribadian dan model lingkungan kerja adalah derajat kecocokan
(congruence) hubungan seseorang dengan lingkungannya, yang meliputi tipe
kepribadian seseorang yang terdiri dari 6 tipe yaitu realistic (R),
Investigative (I), Artistic (A), Social (S), Entrerpraising (E) dan Conventional (C) serta model lingkungan kerja yang konvensional.
(Holland, 1985).
Sedangkan
kepuasan kerja yang dimaksud adalah suatu evaluasi terhadap hubungan saling
bergantung (korespondensi) secara kognitif dan afektif antara individu dan
lingkungan kerjanya (Dawis, 1967)
Respondennya
sebanyak 86 orang karyawan pelaksana bagian administrasi PT KTSM yang memiliki
karakteristik sampel yaitu latar belakang pendidikan minimal SMA, telah
menduduki posisi administratif minimal satu tahun dan warga negara Indonesia.
Adapun hasil penelitian yang
diperoleh adalah: Koefisien korelasi sebesar 0,643 dengan
t hitung 7,695 dan t tabel 1,992 dengan taraf signifikansi 99 % berarti bahwa terdapat
hubungan signifikan antara kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan
kerja dengan kepuasan kerja karyawan.
Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan
teori :
Mendukung
teori dari : Dean J. Champion (1981). Hubungan yang terdapat antara kecocokan tipe kepribadian dan model
lingkungan kerja dengan kepuasan kerja memiliki tingkat hubungan yang cukup
tinggi, sehingga perubahan pada variabel kecocokan tipe kepribadian dan model
lingkungan kerja cukup membuat perubahan pada variabel kepuasan kerja.
Crites
(1969). Pilihan kerja merupakan hasil interaksi antara
pribadi dan lingkungan kerja. Individu akan merasa cocok dengan pekerjaannya
jika dapat memenuhi apa yang ia inginkan, dan sesuai dengan minat dan kemampuan
yang dimilikinya.
Tingkat
kecocokan pilihan kerja tergantung pada kesesuaian antara individu dan lingkungannya ini dapat
dinilai dari terpenuhinya tuntutan kemampuan lingkungan oleh individu dan
terpenuhinya kebutuhan individu oleh lingkungan kerjanya, yang dalam hal ini
adalah terbentuknya kepuasan kerja dalam diri individu.
Baron dan
Greenberg (1990). Terdapat 3 kategori utama yang berhubungan
dengan kepuasan kerja yaitu faktor organisasi, faktor pekerja dan work setting,
serta self esteem.
Minnesota. Korespondensi terjadi karena adanya kondisi di mana individu memberikan
respon terhadap kebutuhan lingkungan kerjanya, dan lingkungan kerjanya
memberikan respon terhadap kebutuhan yang muncul dalam diri individu. Keseuaian
individu dengan lingkungannya menunjukkan terpenuhinya kebutuhan individu
dengan lingkungan kerjanya.
Ayu Dwi Nindyati. Dalam penelitian ini mengangkan wanita sebagai responden. Seiring dengan
perkembangan pada saat ini wanita sudah tidak berorientasi menjadi ibu rumah
tangga, tetapi dari hasil penelitian kepribadian yang cenderung
inherent pada setiap individu masih menggambarkan bahwa wanita di sini belum
nyaman untuk bekerja secara agresif untuk mencapai kinerja sebagai sales
person. Hasil penelitian adalah sebagai berikut :
Peran
identitas jenis kelamin berkorelasi dengan kinerja tidak terbukti. Terdapat korelasi antara kebutuhan berprestasi dengan kinerja sedangkan
untuk kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan berkuasa dengan kinerja tidak
terbukti.
Menentang
teori dari : Mc. Clelland, 1987 Semakin tinggi kebutuhan berprestasi maka
semakin tinggi pula kinerjanya.
Yuliana. Perekonomian saat ini
telah berkembang dari masa industrial menjadi masa informasi. Kunci
produktivitas tidak berasal dari tenaga kerja yang murah melainkan penggunaan
teknologi tingkat tinggi. (Naisbit, 1995). Permasalahan dengan pindah kerja
dalam bidang TI merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Penelitian ini
memperoleh data dari 155 pekerja TI di Jakarta. Hasil
penelitian adalah sebagai berikut : Sikap pindah kerja
berpengaru positif terhadap intensi pindah kerja. Norma Subjektif
berpengaruh positif terhadap pindah kerja. PBC berpengaruh positif terhadap intensi pindah kerja. Sikap pindah kerja, norma subjektif dan PBC secara bersama-sama berpengaruh
terhadap intensi pindah kerja.
Hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan
teori :
Mendukung
teori dari : Abrahams, ando & Hinkle (dalam Weiss
et all, 2003) yaitu Sikap pindah kerja berpengaru positif terhadap intensi
pindah kerja. Porteous (1997) yaitu Norma Subjektif berpengaruh positif terhadap pindah kerja. Moore and Burke (dalam Schwarz et al., 2002) serta Abrams & Moura
(2001) yaitu PBC berpengaruh positif terhadap intensi pindah kerja. Nelson (1990) serta Abrams & Moura (2001) yaitu Sikap pindah kerja,
norma subjektif dan PBC secara bersama-sama berpengaruh terhadap intensi pindah
kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Adam I. Indrawijaya, 2000, Perilaku Organisasi, Sinar baru
Algesindo, Bandung
Baron, Renee and Wagele,
Elizabeth, Eneagram, Serambi, Jakarta
Bimo Walgito, 1980,
Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta.
Deddy Mulyana,
2000, Ilmu Komunikasi suatu pengantar, PT remaja Rosdakarya, Bandung
Duncan ,W. Jack., 1981, Organizational Behavior, Houghton Mifflin Company, Boston
Donnelly Ivancevich Gibson,
1996, Organisasi,
Perilaku-Struktur-Proses, Binarupa aksara, Jakarta
Eka Danta Jaya Ginting, 2003, Hubungan
Persepsi Terhadap Program Pengembangan Karir,
Program Studi Psikologi,
Fakultas Kedokteran Universitas
Kertonegoro,
Sentanoe, 2001, Perilaku di Tempat Kerja,
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta
Kreitner, Robert
& Angelo Kinicki, 2005, Organizational
Behavior, Mc. grawHill, New York
Luthan, Fred :
2005 : Organizational Behavioral; Mc
Graw Hill
Robbert Kreitner
dan Angelo Kinicki, 2000, Organizational
Behavior 5th,
The McGraw-Hill Companies,Inc.
Robbins, Stephen
P, 2005, Organizational Behavior,
Prentice Hall, New Jersey.
Shane, Mc;
Glinov, Von, 2006, Organizational
Behavior, Mc Graw – Hill, International Edition
Soehardi Sigit,
2003, Perilaku Organisasional, BPFE UST, Yogyakarta
Sunarto, 2004,
Perilaku Organisasi, grafika Indah, Yogyakarta
Veithzal Rivai, 2001, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Efektivitas Belajar
JURNAL – JURNAL
Larsen, RT Kai, Neely, Pamela, 2000, Profiles
of MIS doctoral candidates : Ideals and reality, Data base for Advance in
information System, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar