Minggu, 19 Januari 2020

DO’A DAN ZIKIR DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSI

Pengantar
Tulisan ini merupakan tulisan dari PSIKIS-jurnal psikologi Islam Vol.2. NO 1. Juni (2016) 29-39 ditulis oleh Harmathilda H. Soleh Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kosentrasi Psikologi Islam  mathilda19@gmail.com.

Dalam Abstraksinya menyatakan bahwa pemahaman kehidupan manusia tidak pernah lepas dari permasalahan dan setiap manusia mengalami proses perkembangan yang terus berlangsung hingga akhir hayat. Ketika manusia menghilangkan kegelisahan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah, di saat itu manusia sering kali mengalami dilematis kecerdasan emosinya. Hati manusia dapat menjadi putus asa, bingung dan bahkan bisa berkembang ke arah yang membahayakan kehidupannya ketika hatinya hampa dari mengingat kepada Allah. Dengan berdoa dan berzikir kecemasan emosi dan kegelisahan hati dapat hilang. Pada saat kita berdzikir, hati mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Berzikir merupakan suatu ibadah untuk terus mengingat Allah. Artinya selalu menyebut nama Allah dan menghayatinya disanubari. Bila ingin lebih dipahami bahwa ada didalam hati manusia suatu celah yang sama sekali tidak bisa disumbat kecuali hanya dengan dzikir.

Ada beberapa kata kunci dalam tulisan ini, meliputi: doa, dzikir, kecerdasan emosi 

Pendahuluan
Pada kehidupan manusia, berbagai masalah hidup selalu dihadapi oleh setiap insan selama mereka masih menghirup udara yang diberikan oleh Allah. Ada beberapa manusia yang memang memiliki sifat tegar dan kuat dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Tipe manusia ini mempercayai bahwa setiap permasalahan selalu ada jalan keluarnya, dan mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki sifat iklas, selalu berusaha berpikir positif dan emosi yang stabil. Namun, ada sebagaian orang yang memiliki ketidakpercayaan diri dan mudah berputus asa dalam melihat setiap permasalahan hidupnya. Mereka ini yang kemudian bersikap tidak memiliki harapan, agresi, mendendam, dan emosi yang tidak stabil.

Menurut S. Wahyu & A. Ilyas (2012), bahwa manusia sepanjang hidupnya mengalami proses perkembangan yang berlangsung sejak masa konsepsi sampai akhir hayatnya. Tohir Hasan Basri (2001) menambahkan bahwa sebagai petunjuk dan pedoman hidup yang sempurna bagi manusia, maka Al-Qur‟an memberi petunjuk tentang seluruh persoalan kehidupan social kemasyarakatan, memberikan pula informasi serta pelajaran–pelajaran tentang ilmu kealaman yang lain sebagai penunjang fungsi pokoknya yaitu sebagai pedoman penyelenggaraan hidup yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. 
 
Berdo‟a dan berzikir kepada Allah semakin diperlukan oleh manusia dengan ikutin semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Erat kaitannya sebab semakin majunya pengetahuan dan teknologi tersebut maka semakin banyak juga peristiwa dan bencana yang terjadi diluar perhitungan manusia, yang terkadang membuat manusia itu sendiri menjadi bimbang dan labil. Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al–Baqarah : 186, “Dan apabila hamba–hamba-Ku bertanya kepada tentang-Ku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo‟a apabila dia berdo‟a kepada-Ku”

Berzikir yang sebenarnya secara harafiah berarti kita selalu menyebut nama Allah dan menghayatinya disanubari. Tidak hanya itu dzikir juga suatu ibadah yang diperkenalkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan berdzikir, kegelisahan hati, kecemasan emosi dan kemarahan dapat hilang dengan sendirinya.

Menghilangkan kerisauan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah. Orang yang lalai tentunya akan dihantui kerisauan antara dirinya dengan Allah, yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dzikir (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2003).

Lebih lanjut Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2003) berpendapat bila lebih dipahami bahwa didalam hati ada suatu celah yang sama sekali tidak bisa disumbat kecuali dengan dzikir. Jika dzikir merupakan semboyan hati dan ia juga mengingatkan jalan yang seharusnya ditempuh, maka inilah dzikir yang disebut dzikir yang dapat menutupi celah sehingga orangnya menjadi kaya bukan karena harta, terpandang bukan karena keturunan, disegani bukan karena kekuasaan. Namun jika ia lalai berdzikir kepada Allah maka keadaanya menjadi sebaliknya, ia miskin sekalipun hartanya banyak, hina sekalipun memegang kekuasaan dan tidak dipandang sekalipun keluarganya mapan.

Banyak untuk mengingat (berzikir) kepada Allah baik di pagi hari, sore hari, dan malam hari atau setelah melakukan sholat fardhu dan sholat sunnah. Zikir dapat dilakukan dengan duduk, berbaring atau berdiri, diucapkan dalam hati atau dengan lisan.Sebagaimana dalam firman Allah surat Al-Ahzab, ayat 41–42, “hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.”

Tidak hanya dengan berdzikir saja, manusia mendapatkan ketenangan batin, namun juga harus disertai dengan do‟a.Berdo‟a tidak hanya ketika manusia berada dalam kesulitan, namun berdo‟a juga ketika manusia dalam keadaan bahagia, dan sehat. Do‟a adalah suatu ibadah yang juga harus dilakukan oleh setiap muslim sebagai penyampaian, mengingat dan bersyukur kepada Allah. Kemudian terdapat juga firman Allah lainnya dalam surat Al-Mukmin (60) mengenai manfaat dari berdo‟a, “Berdo‟alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.

Kata “Do‟a” adalah mashdar dari kata “da‟aa” yang berarti meminta, memohon, memanggil, memuji, dan sebagainya. Secara istilah, pada umumnya orang mengartikan do‟a dengan memohon sesuatu kepada Allah dengan cara–cara tertentu (Syahminan Zaini, 1983).

Sedangkan dalam bahasa sufistik, soal ikhtiar, do‟a dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara hakikat, upaya dan do‟a itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir dan tidak akan mengubah takdir, karena takdir Allah dengan semua ketentuannya telah mendahului ikhtiar dan do‟a kita. Yang artinya

1) do‟a dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir ;
2) Bila Allah hendak memberi anugerah seseorang maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdo‟a dan berikhtiar;
3) Do‟a dan ikhtiar hanyalah tanda–tanda takdir itu sendiri ;
4) Allah memerintahkan kita berupaya dan berdo‟a agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya sehingga do‟a dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdir-Nya ;
5) Aturan syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdo‟a karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdo‟a dan berikhtiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaik- Nya. Bukannya berdo‟a untuk memaksaNya mengubah takdir-Nya (Syeikh Ibnu „Athaillah As-Sakandary, 2012).

Dari pengertian dan kriteria yang disebutkan, ada unsur kecerdasan emosi yang merupakan sebagai bagian dari kegiatan berdo‟a dan berdzikir. Menurut James, emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya. Sebagai contoh ketika seseorang diliputi emosi marah, wajahnya memerah, napasnya menjadi sesak, otot–otot tangannya akan menegang, dan energi tubuhnya memuncak (Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2009).

Emosi memberikan makna pada situasi–situasi dalam hidup kita. Emosi bukanlah penganggu atau pengacau, bahkan merupakan sesuatu yang paling penting dalam keberadaana kita, mengisinya dengan kekayaan dan memasok sistem dengan makna dan nilai–nilai yang menentukan apakah hidup dan kerja kita  akan tumbuh berkembang atau akan berhenti dan mati. Emosi pulalah, bukan nalat, yang mendorong kita menjawab pertanyaan– pertanyaan yang mendalam dan paling penting mengenai keberadaan kita (Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, 2002).

Emosi yang tidak terarah, tidak termanajemen dengan baik dan emosi yang meledak tentu akan sangat berakibat buruk. Tidak hanya bagi pribadi sendiri namun juga bagi orang–orang yang berada disekitarnya. Emosi adalah sesuatu rahmat yang diberikan Allah yang diberikan sejak roh ditiupkan pada rahim ibu.Untuk itulah perlu yang kita sebut kecerdasan emosi.

Menurut Muhammad Usman Najati (2005). Terdapat hubungan yang sangat erat antara dorongan dengan emosi, karena dorongan biasanya dibarengi dengan satu suasana emosional. Pada saat dorongan itu kuat, sedangkan ia tidak bias dipenuhi dalam waktu beberapa lama, maka di dalam tubuh akan terjadi ketegangan, dan hal itu biasanya dibarengi dengan suasana emosional yang tidak menyenangkan. Sementara dorongan yang dipenuhi, dibarengi oleh suasana emosional yang menyenangkan.

Sedangkan para ilmuwan mendefinisikan kecerdasan (intelligence) sebagai kemampuan untuk memecahkan problem–problem dan kemampuan untuk menciptakan startegi– strategi atau untuk membuat perangkat– perangkat yang berguna bagi pencapaian tujuan –tujuan (Danah Zohar dan Ian Marshal, 2005).

Lebih lanjut Danah Zohar dan Ian Marshal (2005), mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang terkait dengan yang kita temui. Kita berhubungan dan memahami orang lain dan situasi kemampuan. EQ juga berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri berupa ketakutan, kemarahan, agresi, dan kejengkelan.

Dari pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwa do‟a dilakukan sebagai wujud kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak berdaya. Dikala berada pada peristiwa atau bencana yang terjadi, manusia biasanya baru menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang lemah, dan selalu bersama Allah. Do‟a merupakan permohonan segala sesuatu kebaikan yang diharapkan manusia kepada Allah yang disampaikan dengan segala kerendahan hati, ketidakperdayaan dan ketundukan manusia kepada Allah, dan berdzikir sebagai cara lain dengan mengingat terus Allah. Do‟a dan dzikir merupakan salah satu cara dalam meningkatkan kecerdasan emosi yang pada akhirnya setiap manusia akan memiliki kemampuan untuk belajar dan tegar dalam memahami tujuan hidupnya.

Adapun yang menjadi pertanyaan, adalah (1) Bagaimana pemahaman mengenai kecerdasan emosi? ; (2) Bagaimana pemahaman mengenai keutamaan do‟a dan zikir? ; (3) Apakah yang disebut dengan gangguan kecerdasan emosi dan faktor–faktor apa saja terjadinya gangguan kecerdasan emosi , dan (4) Bagaimana keterkaitan doa & zikir dalam meningkatkan kecerdasan emosi ?

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahannya, sehingga kajian ini dapat sebagai masukan bagi masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan, khususnya pemahaman mengenai kecerdasan emosi, memahami keutamaan dari do‟a dan zikir, faktor–faktor gangguan kecerdasan emosi, dan keterkaitan do\‟a dan zikir dalam meningkatkan kecerdasan emosi.

Landasan Teori
Pemahaman Kecerdasan Emosi
Pada kehidupan manusia, banyak sekali permasalahan dan seringnya kita melihat dipemberitaan mengenai hal–hal negatif akibat tidak dapatnya atau sulitnya manusia menahan emosinya.Emosi yang tidak dapat terkontrol dapat menimbulkan permasalahan yang serius dan rusaknya hubungan baik antar manusia. Untuk itu perlu disadari pemahaman mengenai penguasaan menahan emosi, tidak menunjukkan keadaan emosi secara berlebihan dan akhirnya dapat menimbulkan dampak atau akibat yang dapat merugikan pribadi indivindu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda agar manusia tidak mudah terpancing emosi dalam hadist riwayat Thabrani: “Jangan marah, bagimu surga.”

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari dalam Haryanto, 2009).

Dalam ajaran Islam telah dijelaskan bahwa salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya. Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya,dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai (Ammi Nur Baits, 2013).

Gohn dan Clore menjelaskan bahwa ada empat sifat laten pengalaman emosional ketika kita sedang berada dalam sebuah suasana emosi tertentu. Keempat sifat laten pengalaman emosional ini menurut penelitian mereka ternyata sangat berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, kesehatan mental, kecemasan, dan gaya atribusi kita, yaitu :(Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2009).
  1. Kejelasan (emotional clarity). Dijabarkan sebagai kemampuan seseorang dalam mengidentifikasikan dan membedakan emosi spesifik yang sedang dirasakannya.
  2. Intensitas (emotional intensity). Diartikan seberapa kuat atau besar intensitas emosi spesifik yang dapat dirasakannya.
  3. Perhatian (emotional attention). Dijelaskan sebagai kecenderungan seseorang untuk mampu memahami, menilai dan menghargai emosi spesifik yang sedang dirasakannya.
  4. Ekspresi (emotional expression). Didefinisikan sebagai kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakannya kepada orang lain.
Goleman menjelaskan bahwa perilaku emotional quotient tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi emotional quotient melainkan harus dari satu dimensi atau setiap klusternya. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness), misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientsi pelayanan dan kesadaran akan organisasi (Minto Waluyo, 2013).

Dalam emosi pribadi seseorang telah demikian dipengaruhi hingga individu pada umumnya kurang dapat atau tidak dapat menguasai diri lagi. Tingkah laku perbuatannya tidak lagi memperlihatkan sesuatu norma yang ada dalam hidup bersama, teruji telah memperlihatkan adanya gangguan atau hambatan dalam diri individu. Seseorang yang mengalami emosi sering tidak lagi memperhatikan keadaan sekitarnya sesuatu keaktifan tidak dikerjakan oleh individu pada keadaan emosi.Dengan demikian, maka emosi dipandang sebagai perasaan yang grundal lebih besar kekuatannya (Abdul Rahman Shaleh, 2008).

Adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu akan memiliki kestabilan  emosi. Kestabilan merupakan kemampuan individu dalam memberikan respon yang memuaskan dan kemampuan dalam mengendalikan emosinya sehingga mencapai suatu kematangan perilaku. Seseorang yang memiliki kestabilan emosi akan mempunyai penyesuaian diri yang baik, mampu menghadapi kesukaran dengan cara obyektif serta menikmati kehidupan yang stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja dan berprestasi, mampu memotivasi diri terhadap kritik, tidak melebih–lebihkan kesenangan ataupun kesusahan sehingga ia dapat mengelola kebutuhan–kebutuhan primitif yang lebih banyak dipengaruhi emosi belaka (Reni Hidayati, Yadi Purwanto dan Susantyo Yuwono, 2008).

Dengan kecerdasan emosi yang baik, seseorang dapat memilah antara fakta dan opini yang tidak terpengaruh dengan berita rumor namun disisi lain juga mampu untuk menunjukkan sikap amarahnya jika dirasa benar dan perlu. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi selalu lebih mudah menyesuaikan diri karena menjadi lebih fleksibel dan mudah beradaptasi. Saat orang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan (Minto Waluyo, 2013).

Kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan–keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya, yaitu : kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman, 2009).

Keutamaan Doa & Zikir
Perihal keutamaan zikir, Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 41–43, “Wahai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak–banyaknya; dan sucikanlah Dia diwaktu pagi dan petang. Dialah yang telah menganugerahkan kamu shalawat (karena keimanan yang kamu miliki); dan (Dialah yang telah mengilhami) para Malaikat-Nya agar ber-istighfar (memohon pengampunan dari-Nya) bagi kamu; untuk Dia keluarkan kamu dari segala bentuk kegelapan menuju ke cahaya (ridha-Nya, yang dengannya saja, kamu dapat memperoleh kesuksesan sempurna dan kebahagiaan abadi, yang hanya bakal dapat diraih di kehidupan akhirat nanti); dan (sudah merupakan ketentuan-Nya yang abadi sejak azali, bahwa) Dia adalah penganugerah rahmat khusus kepada orang–orang yang benar–benar beriman.”

Dzikir secara semantik berasal dari bahasa Arab (dzikri) berarti kehadiran sebuah eksistensi yang sudah dikenal dalam diri seseorang. Menurut Abdul Kader S. M Alhabsji, fenomena dari kehadiran tersebut terimplementasi lewat salah satu dari tiga bentuk, yaitu :
→Penghayatan kejiwaan yang berproses dalam hati
→Pengungkapan kata–kata
→Penghayatan kejiwaan yang diaplikasikan lewat ucapan, perbuatan atau tindakan.

Dzikir yang intinya tauhid merupakan sebatang pohon yang membuahkan pengetahuan dan keadaan yang bisa dilalui orang–orang yang menuju kepada Allah. Tidak ada cara untuk mendapatkan buahnya kecuali dari pohon dzikir. Jika pohon itu semakin besar dan kokoh akarnya, maka ia akan banyak menghasilkan buah (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2003).

Perintah untuk berdzikir dan bertasbih amat banyak disebutkan dalam Al-Qur‟an dan Hadist Rasulullah. Namun sayang banyak diantara umat islam yang memandang remeh kegiatan ini. Diantara mereka banyak yang beranggapan bawah kegiatan berdzikir dan bertasbih itu merupakan perbuatan sia sia dan membuang waktu secara percuma. Sementara al Qur‟an menyatakan orang yang enggan berdzikir dan bertasbih termasuk kelompok orang yang lalai. Untuk membangkitkan semangat dan gairah kita berdzikir dan bertasbih mensucikan nama Allah (Fadhil ZA, 2013).

Gangguan Kecerdasan Emosi
Dalam pandangan ahli jiwa, ampunan terhadap dosa dan kesalahan merupakan obat bagi gangguan kejiwaan, karena salah satu penyebab dari gangguan kejiwaan adalah merasa bersalah atau berdosa. Orang akan merasa gelisah dan goncang jiwanya apabila dia merasa bersalah atau berdoa kepada Tuhan (Zakiah Daradjat, 1993).

Sebaliknya tanpa disadari bahwa setiap indivindu dapat mengalami gangguan kecerdasan emosi.Terlihat sepintas indivindu tersebut mungkin tidak Nampak bahwa dia mengalami gangguan kecerdasan emosi. Untuk itu perlu diketahui hal–hal yang merupakan bagian dari gangguan kecerdasan emosi, sebagai berikut :

a. Kemarahan
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menulis tentang pentingnya karakter, kemauan dan penguasaan emosi. Dia membuat perenungan tentang betapa sulit menjadi orang yang mempunyai kecerdasan emosional, yang bisa mengungkapkan perasaan dengan tepat : “siapa pun bisa marah–itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat–ini tidak mudah.” Tantangan ini berubah hanya sedikit sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern ini (Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, 2002).

b. Agresi
Agresi merupakan satu bentuk mekanisme pertahanan diri indivindu terhadap frustasi yang diwujudkan melalui berbagai genjala seperti melakukan penyerangan secara fisik atau verbal terhadap beberapa orang atau obyek. Bentuk dari perilaku ini dapat ditujukan melalui perwujudan melakukan penyerangan terhadap seseorang atau objek yang dirasa sebagai sumber dari frustasi karena hal itu dianggap sebagai suatu hambatan yang sesungguhnya atau agen blockade (Sutarto Wijono, 2012).

Kisah Habil dan Qabil menunjukkan terjadinya sebuah agresivitas, sebuah tindakan yang merugikan bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. (Berkowitz dalam Sarlito W. Sarwono, 2009).

c. Keserakahan
Keserakahan tampil sebagai kegelisahan terus menerus, sebuah perasaan tak pernah berkecukupan, perasaan bahwa selalu saja ada yang harus diingini atau dibutuhkan. Dikendalikan oleh rasa kehampaan dalam diri (kebalikan kekuatan dari dalam), orang–orang ini senantiasa mengadopsi startegi–strategi untuk memperoleh keuntungan. Mereka adalah orang–orang yang serakah, seperti Erisychton, orang yang tidak pernah merasa puas. Kebanyakan dari mereka merasa “berhak untuk mendapatkan”, bahwa ada pihak yang tidak memberi mereka apa yang mereka butuhkan atau tidak pernah memberi mereka kesempatan. Mereka ingin segalanya tetapi sering mereka tidak berpikir bahwa seharusnya mereka membayar untuk mendapatkan itu (Danah Zohar dan Ian Marshal, 2005). 

Keterkaitan doa & Zikir dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi 
Menutut Daniel Goleman (2009), pengendalian diri oleh diri sendiri tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi; ini juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk yang tidak menyenangkan.

Ada beberapa cara dalam mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan emosi sehingga dapat terhindar dari dosa, sebagai berikut :

a. Memohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan setan dengan rasa emosi yang tinggi pada diri kita.Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam H.R Bukhari & Muslim (Ammi Nur Baits, 2014) : “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta‟awudz: A‟-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang.(HR. Bukhari dan Muslim)

b. Pengendalian marah.
Menurut Muhammad Usman Najati (2005) Ketika seseorang sedang marah, juga diliputi perasaan takut dan emosi lainnya. Untuk itu harus disadari adanya penguasaan emosi sangat berguna dari berbagai segi, yaitu :
(1)Orang bisa memelihara kemampuannya untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat sehingga dia terhindar dari perbuatan dan ucapan yang akan membuatnya menyesal dikemudian hari.
(2)Orang dapat menjaga keseimbangan fisiknya sehingga dia tidak mengalami ketegangan fisik yang timbul akibat bertambahnya energi yang disebabkan oleh surplus zat gula yang dikeluarkan oleh hati. Dengan demikian, orang akan menghindarkan diri agar tidak terjerumus dalam melakukan tindak kekerasan, seperti agresi fisik terhadap musuh yang sering terjadi ketika sedang marah.
(3)Mengendalikan emosi marah dan menghindari agresi terhadap orang lain, baik secara fisik maupun ucapan serta tetap memperlakukan mereka secara baik dengan sendirinya akan memberikan ketenangan kepada musuh, dan mendorongnya untuk melakukan intropeksi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan rasa persahabatan dan simpati orang kepadanya serta mendukung terwujudnya hubungan kemanusiaan secara baik. Allah dalam firmannya di surat Asy-Syura (42 : 43), “tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal–hal yang diutamakan”.
(4)Pengendalian emosi marah juga  bermanfaat bagi kesehatan karena menjauhkan seseorang dari penyakit– penyakit fisik yang biasanya timbul akibat emosi yang meluap.

Sebagaiman Allah memberikan panduan dalam menguasai emosi marah, dalam surat Ali „Imran (3 : 133 – 134), “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

c. Berwudhu atau mandi
Fungsi air wudhu akan bersinergi untuk meredam emosi bila wudhu itu dilaksanakan dengan cara duduk sebagai salah satu keutamaan berwudhu. Dengan cara demikian, segala persoalan yang mengganggu keseimbangan emosi dapat “dilaporkan” kepada Allah Subhana wa Ta‟ala melalui dua rakaat sehingga selain meredakan emosi juga menjadi sarana peleburan dosa yang bisa jadi diperbuat ketika marah (Oan Hasanuddin, 2014).

Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin. (Ammi Nur Baits, 2014).Terdapat hadis dari Urwah As-Sa‟di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan :“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)”

Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah
tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.

d. Berdo’a dan berdzikir
Zikir diterjemahkan dengan menyebutkan nama Tuhan. Terjemahan ini sebenarnya kurang tepat karena belum ditemukan arti yang tepat untuk menerjemahkan kata zikir (Mohammad Sholeh, 2009). Sebagaimana dalam firman Allah mengenai pentingnya zikir dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam surat Al-Muzzammil (73 :8), berikut : “Sebutlah nama Tuhanmu dengan penuh ketekunan.” Dalam Al-Qur‟an, kata zikir ditemukan lebih dari 250 kali berikut deruvasinya diantaranya surat Al-Ahzab (33 : 41), surat Thaaha (20 : 124) dan surat Al-Baqarah (2: 152). Secara umum zikir dapat berbentuk kalbu, pikiran, amal atau sikap, dapat pula ayat Al-Qur‟an atau seluruh ayat (Muchtar Adam & Fadlullah Muh.Said, 2009).

Menurut Abdul Kader, S. M Alhabsji, Islam menghendaki agar ibadah kepada Allah, mewarnai semua aktifitas kehidupan seorang muslik. Oleh karena itu dzikir akan menghiasi dan memahkotai seluruh bentuk ibadah formal dan semua kegiatan hidup seorang muslim yang saleh, termasuk didalamnya kebudayaan, adat istiadat dan hobi yang telah diniatkan sebagai sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Penutup
Pada bagian penutup, terdapat dua hal yang dapat disampaikan berdasarkan kajian pembahasan ini, yaitu :

Kesimpulan
Dari hasil–hasil pendahuluan dan pembahasan yang telah disampaikan terlebih dahulu, maka dapat diambil kesimpulan besar. Seorang umat muslim hendaknya selalu memiliki motivasi dan pegangan hidup dengan mengamalkan perintah Nabi Muhammad SAW mengenai zikir dan mendekatkan diri kepada Allah dengan berzikir, munajat dalam mengadukan segala urusannya kepada Allah. Ketika kita menahan diri atau mengendalikan emosi (pemaaf), Allah telah menjanjikan ampunan dari Nya, dan surga. Menjadi orang yang pemaaf, termasuk di antara orang-orang yang bertakwa dan orang yang disukai Allah.

Gangguan kecerdasan emosi yang sering terjadi pada diri manusia, seperti misalnya (1) kemarahan, (2) agresi, dan (3) keserakahan. Pengendalian diri ketika seorang indivindu dalam keadaan emosi dapat dilakukan dengan cara : (1) memohon perlindungan kepada Allah Subhana wa Ta‟ala dari segala godaan setan dengan rasa emosi yang tinggi, (2) pengendalian marah, (3) berwudhu atau mandi, (4) berdo‟a dan berdzikir.

Saran
Selanjutnya saran yang dapat disampaikan, bahwa setiap insan manusia sebaiknya dalam setiap kita memiliki permasalahan hidup, baik itu yang terjadi dalam diri sendiri, antar pribadi, antar kelompok, berdo‟a dan berzikir adalah hal yang harus ditekuni untuk mendapatkan ketenangan hati. Do‟a, obat dari segala kegelisahan hati. Setelah berdo‟a tetaplah dalam keadaan duduk santai “diam”, usahakan tidak bergerak kesana kemari. Mulanya kaki terasa kesemutan tetapi dengan kekuatan hati bila dilakukan, rasa kesemutan atau nyeri akan hilang. Dilanjutkan dengan kosentrasi mata terpejam, lalu masuk ke alam hening, sejuk tidak bewarna dan seakan–akan kita melihat cahaya. Dalam bahasa sufi kondisi ini muncul karena tarikan Tuhan bukan karena diupayakan. Dikondisi inilah penzikir telah membuka pintu hati untuk kehadiran Allah.

Serta perlu adanya pelatihan kematangan jiwa, kematangan emosi dan kematangan mental. Emosi yang terbiasa terlatih untuk selalu stabil atau selalu tenang dalam setiap menghadapi masalah, akan membuat kepribadian seorang indivindu itu menjadi pribadi yang sehat dan islami. Melatih kecerdasan emosi ini memang tidak mudah, namun dengan niat dan kesungguhan, segala sesuatunya menjadi mudah dan terhindar dari segala masalah baru lagi akibat tidak terkontrolnya emosi.

Referensi
Adam, Muchtar Adam & Fadlullah Muh.Said (2009). Ma’rifatullah–Membangun Kecerdasan Spiritual, Intelektual, Emosional, Sosial dan Akhlak Karimah, Bandung : Makrifat Publisher, Cetakan
Keempat.
As-Sakandary, Syeikh Ibnu „Athaillah (2012).Makna dan Hakikat Do’a, Jakarta : Cahaya Sufi , Edisi ke 79. Baits, Ammi Nur Baits, 5 Cara Mengendalikan Emosi dalam Islam (Konsultasi Syariah.com : Nasehat, Kamis, 28 Mei 2013) diakses melalui http://www.konsultasisyariah.com/cara-mengendalikan-emosi-dalam-islam/.
Basri, Tohir Hasan (2001). Memahami Islam dengan Mudah, Jakarta : Karya Abadi, Cetakan Pertama. Cooper, Robert K. & Ayman Sawaf (2002). Executive EQ–Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, terjm. Alex Tri Kantjono Widodo, Judul Asli : Executive EQ–Emotional Intelligence in Leadership and Organizations, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kelima.
Daniel Goleman (2009).Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terjm. Alex Tri Kantjono Widodo, Judul Asli : Working with Emotional Inteligence, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keenam. Daradjat, Zakiah (1993). Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, Jakarta : CV Ruhama, Cetakan Kelima.
Fadhil ZA, Dzikir dan Tasbih Menurut Al- Qur’an dan Hadist (Fadhilza.com : Tadabbur, Jum‟at 6 September 2013) diakses melalui http://www.fadhilza. com/2013/09/tadabbur/dzikir-dan-tasbih-menurut-al-quran-dan-hadist.html.
Haryanto, Pengertian Emosi (Belajar Psikologi.com : Ilmu Psikologi, Minggu, 27 Desember 2009) diakses melalui http://belajarpsikologi.com/pengertian-emosi.
Hasanuddin, Oan,Mukjizat Berwudhu, (books.google.co.id : eBooks, Cetakan Pertama, 2007) diakses melalui http://books.google.co.id/ books?id=yJXeY87x_loC&pg=PA69&lp g=PA69&dq=berwudhu+sebagai+meredam+marah&source=bl&ots=s911VwcJMi &sig=fBJpXafX_V9kMGFaoDZ74BdUo s&hl=en&sa=X&ei=WayjU7vUFIiKuAS Z04CgAg&ved=0CDgQ6AEwAw#v=on epage&q=berwudhu%20sebagai%20mer edam%20marah&f=false.
Kader, Abdul, S. M Alhabsji, Dzikir antara Kemuliaan dan Cinta, Jakarta : Pustaka Afaf.
Minto Waluyo (2013).Psikologi Industri, Jakarta : Akademia Permata.
Najati, Muhammad Usman (2005). Al-Qur’an & Psikologi,terjm. Tb. Ade Asnawi Syihabuddin, Judul Asli : Al-Qur‟an wa Ilm‟an–Nafs, Jakarta : Aras Pustaka, Cetakan Pertama.
Reni Hidayati, Yadi Purwanto dan Susantyo Yuwono (2008).Kecerdasan Emosi, Stress Kerja dan Kinerja Karyawan, Jurnal Psikologi, Volume 2, No. 1.
Safaria, Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra (2009). Manajemen Emosi–Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, Jakarta : PT Bumi Aksara, Cetakan Pertama.
Sarwono, Sarlito W., dkk (2009). Psikologi Sosial, Jakarta : Salemba Humanik. Shaleh, Abdul Rahman Shaleh (2008). Psikologi : Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cetakan ketiga.
Sholeh, Mohammad Sholeh (2009). Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit, Jakarta : PT Mizan Publika, Cetakan Kesepuluh. Sutarto Wijono (2012).Psikologi Industri & Organisasi–Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ketiga.
Syahminan Zaini, Mengapa Kita Harus Berdo’a–Suatu Uraian Tentang Seluk Beluk Berdo’a yang Benar , Surabaya : Al-Ikhlas.
Wahyu, S & A Ilyas, Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS (unp.ac.id: Jurnal ilmiah Konseling, Volume 1, Nomor 1 Januari 2012), diakses melalui http://ejournal.unp.ac.id/
index.php/konselor.
Waluyo, Minto (2013).Psikologi Industri, Jakarta : Akademia Permata, Cetakan Pertama.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2003). Doa & Wirid–Mengobati Guna–guna dan Sihir





Tidak ada komentar:

Posting Komentar