Sabtu, 11 Januari 2020

MENGELOLA KERAGAMAN SDM (Diversity)



Pendahuluan
Nurul Ashtri Damayanti  dalam tulisan yang diberi judul PENGELOLAAN KERAGAMAN SDM: DIVERSITI-RELATED ORGANIZATIONAL OUTCOMES. menjelaskan bahwa: Memahami perkembangan SDM dalam era globalisasi memberikan indikasi tentang pentingnya mengelola keragaman (diversity). Keragaman dan globalisasi secara otomatis menciptakan organisasi yang bersifat multikultur. Tim yang multikultur  mampu menciptakan pendekatan inovatif terhadap tantangan organisasional yang kompleks beserta implementasi solusinya (Distefano dan Maznevski, 2000).

Proses identifikasi memainkan peran sentral dalam dinamika yang membuka eksistensi keragaman pada organisasi (Nkomo dan Cox, 1996, dalam pembahasan Brikson, 2000). Pengelolaan diversity yang efektif menjadi perhatian besar dalam hubungannya untuk meningkatkan produktivitas dan efektifitas organisasi, guna memiliki dan meningkatkan competitive advantages. Fokus pengelolaan adalah keragaman mendasar yang melekat pada setiap individu sebagai anggota organisasi, dengan tujuan pencapaian individual  outcomes yang sinergi dengan organizational outcomes yang diharapkan.`Dengan  demikian manajemen sumber daya (SDM) harus menjalankan peran optimal atas program-program pengelolaan diversity untuk memberikan hasil yang maksimal.

Diversity sebagai suatu perspektif. Diversity dapat diartikan secara harfiah adalah sebagai perbedaan. Perbedaan yang sering dibicarakan merupakan perbedaan dalam hal etnik, warna kulit, perbedaan jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Allard (2002) menegaskan dalam arti yang sangat luas, mencakup didalamnya adalah tingkatan sosial, budaya, fisik, dan perbedaan lingkungan diantara banyak orang yang akan mempengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak atau bersikap. Thomas dan Ely (1996), memberikan penegasan pandangan diversity sebagai suatu variasi perspektif dan pendekatan kerja yang dibawa masing-masing individu di dalam menunjukan identitas diri dan kelompoknya (keragaman sudut pandang dan pengetahuan melekat pada setiap individu), bersifat krusial dan relatif relevan terhadap kompleksitas iklim persaingan yang terjadi berkaitan dengan aktualisasi aktivitas kerja. Pengetahuan kerja meliputi pengetahuan terhadap proses desain kerja, tujuan yang ingin dicapai kerangka tugas yang harus dilaksanakan, membangun tim yang efektif dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan ide-ide serta memiliki leadership. Hal tersebut oleh Allard (2002), dikatakan tentang kompleksitas dari budaya yang dapat meningkatkan kesulitan dalam mengolah perbedaan (diversity) ditempat kerja. Karena dalam suatu organisasi relatif terdapat banyak variasi serta perbedaan dalam berbagai hal, kondisi ini dapat mengakibatkan masalah yang sederhana cenderung menjadi kompleks karena perbedaan pandangan dari berbagai latar belakang personal yang berbeda.

Pencapaian kesuksesan dalam team work pada organisasi multikultur, kunci kesuksesan itu tidak pada anggotanya melainkan adanya kreatifitas yang sinergi dalam proses interaksi tim - bagaimana mereka memahami, menggabungkan dan mengangkat perbedaan-perbedaan diantara mereka (Distefano dan Maznevski, 2000). Selain itu, sebuah tim yang merupakan tim kreator berhubungan dengan tiga prinsip mengenai MBI ( mapping, bridging, integrating). Map menggambarkan perbedaan diantara anggota dan berdampak terhadap perbedaan dalam objek yang dapat diukur. Bridge mengkomunikasikan secara eksplisit dalam perbedaan yang ada. Integrating mengarahkan mereka untuk menciptakan ide pada tingkat tim yang dimonitor dengan baik tentang pola partisipasi, pemecahan pendapat yang tidak disetujui, dan menciptakan pandangan baru. Jadi ide-ide dan perspektif dalam memandang segala sesuatu itulah yang dibutuhkan dapat memberikan masukan yang heterogen. Pemahaman ini menunjukan bahwa diversity bukan pemandangan sebatas adanya keragaman yang berhubungan dengan perbedaan ras, suku, ideologi, gender, dan latar belakang kultural, tetapi mencakup keragaman yang lebih mendasar dan luas.

Diversity dan implikasinya dalam persaingan organisasional. Persaingan merupakan suatu kondisi dalam dunia bisnis yang memotivasi para pelaku bisnis untuk dapat menciptakan keunggulan diantara pesaing yang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan persaingan itu sendiri sering diartikan dalam hubungannya dengan kemampuan finansial perusahaan, strategi dan teknologi. Dalam pendapat Ulrich dan Lake (dalam pembahasan Dreher dan Douherty, 2001:4 ), menyatakan, bahwa bagaimanapun juga, untuk bisnis yang kontemporer arti tradisional tersebut (kemampuan finasial perusahaan, strategi dan teknologi), yaitu mencapai competitive adventage, harus dapat didukung oleh organizational capability.

Kemampuan secara organisasional adalah sebuah kemampuan dari organisasi yang dapat mengelolah para anggotanya dalam rangka mencapai competitive advantage tersebut. Adapun empat ciri yang dapat mengidentifikasikan bahwa organisasi itu memiliki competitive advantage adalah adanya potensi sumber daya yang tidak dapat ditiru, langka, bernilai, dan tidak dapat digantikan (Wright, McMahan, dan McWilliams dalam pembahasan oleh Dreher dan Doughherty, 2001).

Strategi yang krusial dalam usaha memenangkan persaingan adalah menciptakan sustainable competitive advantage (SCA), pada praktek manajemen sumber daya manusia dapat mempengaruhi sumber daya kapital perusahaan dan hubungannya dengan sikap terhadap pekerjaan. Hal itu didukung oleh pendapat dari Dyer dan Reees (1995), bahwa sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber keunggulan kompetitif salah satunya adalah sulit ditiru, karena dengan terus menerus terdapat pengembangan kebijakan-kebijakan sepanjang waktu. Artinya, bahwa kebijakan suatu organisasi masa lalu dapat diambil serta diterapkan hingga saat ini namun tetap disesuaikan dengan perkembangan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan organisasi itu. Oleh karena itu pesaing lain tidak dapat meniru begitu saja kebijakan yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain.

Pendekatan Identity Organitations dalam mengelola perbedaan. Orientasi identitas berhubungan dengan motivasi pokok diantara individu, dimana motivasi merupakan pendorong utama kinerja individu dan peningkatannya. Brickson (2000), meghubungkannya dengan motivasi utama yang berupa keinginan meningkatkan diri sendiri (desire to enhance their own), hubungan sebagai partner atau kelompok mereka. Dan juga mendeskripsikan identitas sebagai sesuatu yang terdiri banyak segi (multifaceted), bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh kekuatan dari berbagai level dalam struktur organisasi.

1. Proses Pengidentifikasian
Proses klasifikasi pengidentifikasian yang diajukan oleh Brewer dan Gardner (1996, dalam pembahasan oleh Brickson, 2000), bahwa terdapat tiga self-view, yaitu identitas sebagai:
a. Multifaceted. Terdapat tiga dasar dari self-definition: diri sendiri sebagai individual, interpersonal, dan anggota grup. Ketiga dasar tersebut mempersembahkan sebuah identiry orientation yang masing-masing dengan motivasi sosialnya mencirikan pengetahuannya, dan sumber penghargaan dirinya. Masing-masing orientasi identitas tersebut berhubungan dengan motivasi utama diantara individual. Adanya keinginan untuk meningkatnya hubungan dengan partner, dan keberadaan grupnya. Dan masing-masing dari orientasi identitas berhubungan dengan frame dari referensi dimana individual mengevaluasi penghargaan dirinya.
b. Dynamic. Semua orang mengidentifikasikan dirinya sebagai individual, hubungan partner, dan anggota grup dalam sebuah konteks. Hal tersebut akan mempengaruhi pergerakan/pengaktifan orientasi identitas yang khusus pada waktu tertentu.
c. Influenced by Multi Forces. Ketika orientasi ideentitas secara kolektif diutamakan, orang-orang akan termotivasi untuk meyakinkan kesejahteraan grup mereka, sering berhubungan dengan grup lain. Karakteristik mereka sendiri dalam prototype sebuah grup, dan mereka mencari penghargaan mereka sendiri dengan mengevaluasi bagaimana mereka memperbandingkan dengan grup yang lainnya.

Secara garis besarnya baik dari individu kelompok mayoritas maupun individu kelompok minoritas, berhubungan dengan kesadaran, pengaruh dan perilaku dari anggota setiap grup, seperti halnya diversity dihubungkan terhadap outcomes organisasional.

Uraian di atas dapat dilihat bahwa Brickson menunjukan adanya pengaruh yang signifikan dari orientasi identitas yang terdiri dari personal, relational dan collective identity pada individual dan outcomes organisasional. Dan pergerakan (activation) orientasi identitas anggota (personal, relational dan collective) dipengaruhi oleh struktur organisasi, pekerjaan dan reward. 

Pendekatan orientasi identitas dalam pemaparan Brickson, ditunjukan dengan adanya pengaruh yang kuat dari proses orientasi identitas terhadap individual dan outcomes organisasional secara demografi terhadap diverse setting, menemukan bahwa orgsanisasi yang diarahkan menjadi organisasi yang berorientasi pada relasional akan memberikan keuntungan dan menekan kekurangan dari diversity dalam organisasi secara optimal.

2. SDM dan Perspektif Kultural
Diversity dapat diartikan secara harfiah  adalah sebagai perbedaan Perbedaan yang sering dibicarakan merupakan perbedaan dalam hal etnik, warna kulit, dan perbedaan jenis kelamin. Memang sulit untuk dijawab. Namun oleh Harvey dan Allard (2002), ditegaskan sebagai arti yang sangat luas, mencakup di dalamnya adalah tingkatan sosial, budaya, fisik, dan perbedaan lingkungan diantara banyak orang yang akan mempengaruhi cara mereka beripikir dan bertindak atau bersikap. Pengetahuan kerja meliputi pengetahuan terhadap proses desain kerja, tujuan yang ingin dicapai, kerangka tugas yang harus dilaksanakan, membangun tim yang efektif dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan ide-ide serrta memiliki leadership. Hal tersebut oleh Allard (2002), dikatakan tentang kompleksitas dari budaya yang dapat meningkatkan kesulitan dalam mengelola perbedaan (diversity) di tempat kerja. Karena suatu organisasi dimana akan terdapat banyak variasi serta perbedaan dalam berbagai hal, akan membuat masalah yang sederhana dapat kompleks karena perbedaan pandangan dari berbagai macam manusia yang juga berlatar belakang yang sangat berbeda pula.

Selain itu pula, diversity relatif dipandang sebagai keragaman dalam ras, ideologi, dan lain sebagainya. Namun dalam penerapannya bersifat fleksibel terhadap perubahan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Seperti pendapat Schein (dalam pembahasan oleh Matteson dan Ivancevich, 1999), bahwa kultur merupakan pola dari asumsi dasar yang dicari, digali dan dikembangkan oleh grup itu sendiri sebagai pembelajaran untuk menghadapi masalah internal serta eksternal secara terintegrasi. Pandangan-pandangan individu yang berbeda harus diperhatikan organisasi dalam menetapkan berbagai kebijakan yang akan mempengaruhi tugas, tanggung jawab, struktur organisasi serta sistem penghargaan. Karena berpengaruh pada sikap saat melaksanakan tangung jawab. Sikap yang termotivasi dengan baik sangat diharapkan, hal itu dapat didukung dengan reward  yang dengan hasil kerja. Selain itu, beban tugas disesuaikan kemampuan personal, dan job descriptions yang jelas akan mendukung kinerja yang baik. Pendapat Bowen, Leford, dan Nathan (1991), menyampaikan mengenai the new selection model: hiring for person organization fit, yaitu menilai semua lingkungan kerja, menentukan tipe personal yaang diperlukan, menguji kecocokan individu terhadap kebutuhan organisasi, dan memberdayakan kesesuaaian individu terhadap kebutuhan organisasi. Allen dan Montgomery (2001), menyatakan anggota organisasi itu dapat dipandang atau dibagi sesuai dengan situasi dan keadaan yang sedang mereka lalui saat itu dan berhubungan dengan kesiapan mereka dalam menghadapi diversity, yaitu terdiri dari organisasi yang bersifat monnolithic, pluralistic, dan multiculture,. Jadi untuk penerapannya pada organisasi harus hati-hati karena kegagalan akan sulit diperbaiki dan akan memakan waktu serta biaya.

Pengelolaan Diversity Dan Hubungannya Terhadap Organizational Outcomes. Manajemen SDM secara garis besar dihadapkan pada dua macam keragaman (kultural dan personal), dituntut mampu mengambil keputusan strategik. Brickson (2000), menunjukan organisasi yang berorientasi pada relasional memberikan organizational outcomes yang mampu meminimalkan kekurangan dan memaksimalkan keuntungan adanya diversity, dimana individu serta grup relatif lebih produktif tanpa pengaruh negatif yang sering menyertai keragaman. Ini merupakan hasil pengelolaan terhadap personal yang dijelaskan bahwa struktur organisasi, tugas, dan reward mempengaruhi orientasi identitas (personal, relational, dan collective) yang kemudian memberikan respon yang berupa kesadaran, pengaruh, perilaku dari masing-masing individu baik dari kelompok mayoritas ataupun kelompok minoritas yang saling berinteraksi, dan terakhir merupakan pencapaian outcomes organisasional. Peningkatan efektifitas, pengeloaan diversity dapat dioptimalkan melalui proses seleksi dan rekrutmen yang dilakukan dengan tepat, dengan tidak hanya memperhatikan person job fit yaitu berupa penilaian KSA-knowledge, skill, and ability (Bowen, Leford, dan Nathan, 1991). Selain itu harus mempertimbangkan person organization fit, yang meliputi kesesuaian nilai, tujuan, dan kepribadian karyawan dengan budaya organisasi. Kesalahan-kesalahan yang dapat menghambat dalam rekruimen dan seleksi, seperti yang disebutkan oleh Fernandez-Araoz (1999) sebagai the ten deadlly traps (pendekatan secara reaktif, spesifikasi yang tidak realistik, mengevaluasi orang dengan aturan yang absolut, menerima orang dengan nilai yang terlihat, mempercayai referensi dari orang lain, bias "Just Like Me", pendelegasian yang tidak jelas, wawancara yang tidak terstruktur, dan tekanan politik). Pendapat Bowen, Leford, dan Nathan (1991), merekrut karyawan baru tidak harus memecat karyawan lama namun lebih diberdayakan kualitas maupun kinerjanya. Hal itu juga mendukung pendaapat Schuler (1990), bahwa paradigma lama organisasinya yang dirubah ke arah paradigma baru, bukan dengan cara memecat karyawan lama, melainkan melalui repositioning SDM, yang di dalamnya terdapat empat isu utama, sebagai berikut mengelola kompetensi karyawan, mengolola diversity SDM, mengelola peningkatan kompetitif, dan mengelola tuntutan ke arah globalisasi. Langkah-langkah tersebut di atas mampu menunjang new rules of human resource in flexible organizations (Walker, 1988).

Pengelolaan diversity dalam SDM relatif tergantung pada tingkat penekanan pada diversity, tipe diversity, dan perilaku para manajer terhadap para keragaman SDM (Dass dan Parker, 1999). Lebih lanjut lagi, mereka menggabungkan perspektif diversity dan respon strategik (perspektif penolakan, perspektif diskriminasi dan keadilan, serta perspektif akses dan legitimasi). Pengoptimalan efektifitas pengelolaan manajemen SDM disamping membangun sinergi individual outcomes terhadap organizational outcomes juga untuk menjawab tantangan kopetitif yang meliputi globalisasi, profitabilitas melalui pertumbuhan, teknologi, modal intelektual, dan perubahan yang berkelanjutan (Ulrich, 1998). Selain itu juga diperlukan: dukungan dari para eksekutif serta manajemen senior, waktu yang panjang, mempertimbangkan kekuatan kultur yang dirubah, dan biaya yang relatif banyak.

1. Kegagalan Dalam Kebijakan Pengelolaan Diversitas
Ambisi sebuah organisasi dalam merubah atau menerapkan suatu kebijakan adalah sangat sering terjadi selain itu pula sebagai alasan untuk menerapkan tren yang sedang berkembang saat itu. Dengan kata lain bahwa konsultan menyarankan kebijakan tersebut tanpa melihat terlebih dahulu kemampuan serta kesiapan dari para anggota organisasi tersebut.

Kegagalan penerapan salah satu praktek dalam manajemen sumber daya manusia adalah kebijakan diversity, yaitu gagal dalam membuat transisi atau peralihan dari kerangka organisasi monolothic menuju ke resiko yang berhubungan dengan masyarakat yang serius dan implikasi dasar finasial yang negatif (Allen dan Montgomery, 2001). Diberikan contoh kegagalan tersebut, adalah berupa program spesial yang berkelanjutan serta sering direncanakan secara tidak lengkap serta tidak berkesinambungan di dalam implementasinya.

Mereka berusaha untuk menciptakan lingkungan yang multikultur yang sebenarnya tidak pernah terealisasi karena kadang-kadang adanya usaha berupa outsourcing. Padahal belum tentu tenaga yang disewa dari luar tersebut dapat mengerti masalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh suatu perusahaan. Selain itu pula perlu diperhatikan bahwa kegagalan karena dukungan reward yang kurang mendukung.

Beberapa identifikasi alasan mengapa kebijakan diversity sering gagal:
1) Saat perusahaan akan memulai program tersebut, diversity dipandang sebagai cara terakhir penanganan praktek sumber daya manusia atau karena konsultan dari luar merekomendasikan penerapan program itu, daripada berusaha untuk menciptakan program dari dalam yang sesuai dengan kondisi perusahaan saat itu.
2) Banyak organisasi memilih program berupa an off-the-self atau one-size-fits-all. Jarang memilih program yang berdasarkan pada keunikan kultur organisasi tersebut, kekuatan internal, kelemahan dan kebutuhan serta implementasinya oleh konsultan internal dari organisasi itu sendiri.
3) Selain itu, kegagalan karena hanya sebatas pelatihan saja. Tidak pernah mencapai poin untuk merealisasikan dalam praktek-praktek. Manajemen puncak hanya sebatas janji-janji saja, tidak ada usaha dalam mewujudkan, sehingga karyawan tidak termotivasi dalam mempraktikkan yang didapat dari program pelatihan itu (Allen dan Montgomery, 2001).

2. Penerapan Perubahan Organisasional Dalam Konteks Diversitas
Cox (1991, dalam pembahasan Allen dan Mpntgomery, 2001), mengetengahkan beberapa sikap secara organisasional yang mengarah ke diversity, yaitu: pertama, tentang organisasi monolithic-yang berada pada level pengembangan sedikit akan penghargaan terhadap diversity; kedua, tentang otganisasi pluralistik-merupakan organisasi yang dicirikan dengan lebih banyak perbedaan dalam set/rancangan pegawai karena organisasi dibuat untuk usaha khusus menyewa serta mempromosikan anggota minoritas; dan, yang ketiga adalah organisasi multikultur-mengandalkan nilai diversity yang mereka ciptakan dalam pegawai mereka dan perbedaan anggota digali untuk dapat saling belajar dan mengadopsi norma atau nilai dari group minoritas. Diversity dalam penerapannya di organisasi perlu didukung oleh kondisi lingkungan yang multikultural. Karena diperlukan variasi yang luas dalam penerapan serta pemikiran dari para anggota organisasi yang bersangkutan.

Kemudian dalam mendukung kebijakan dalam organisasi, diajukan teori dari Lewin (Robbins, 1996) tentang penanganan terhadap sikap-sikap penolakan penerapan kebijakan dalam sebuah organisasi,disebut sebagai pendekatan ke pengololaan perubahan organisasional:
1. Unfreezing. Merupakan upaya perubahan untuk mengatasi tekanan-tekanan baik daari keengganan individual maupun kelompok. Pendapat dari allen dan Montgomery (2001), bahwa pelaksanaan program diversity dapat sukses bila ada sikap atau tindakan timbal balik dari pimpinan perusahaan.
2. Moving. Sekali perusahaan mengambil langkah-langkah awal untuk unfreeze suatu kultur, manajemen perusahaan itu harus bergerak melalui beberapa langkah untuk mencapai perubahan kultur organisasi secara komplit. Sebuah tindakan yang sinergi antar praktek dan aplikasi secara pas atau tepat seakan membantu meyakinkan bahwa implementasi diversity yang lebih sukses. Allen dan Montgomery (2001), menambahkan bahwa sebuah tipe organisasi yang multikultur akan menghasilkan lebih baik untuk bersaing dalam peningkatan marketplace yang beraneka ragam.
3. Refreezing. Merupakan tindakan memantapkan suatu intervensi perubahan dengan mempertimbangkan antara kekuatan dorong dan kekuatan tarik. Arti kekuatan ddorong adalah kekuatan yang mengarahkan perilaku menjauhi status quo. Allen dan Montgomery (2001) menambahkan, yaitu tindakan refreezing ditandai dengan penyalarasan kebijakan organisasi, prosedur, dan sistem penghargaan untuk mengekalkan kultur yang baru.

Tingkatan Sosiaal di Lingkungan Kerja. Perilaku orang akan terus berbeda setiap harinya, baik pemikirannya, keputusan pengambilan masalah dan masih banyak lagi. Namun dari cara pandang orang itulah yang perbedaan timbul antara satu orang dengan orang lain. Dinamika ketidaksamaan kualitas seseorang merupakan akar dalam organisasi secara hierarki berdasarkan pada karakteristik staatus (seperti jenis kelamin, umur, penghasilan, atau pendidikan). Perbedaan tersebut yang merupakan karakteristik status dapat dikatakan miik beberapa grup sosial. Evaluasi sosial dari karakteristik status untuk grup/kelompok sosial dalam lingkungan kemasyarakatan memperbolehkan untuk melihat pengaturan secara hierarki mengenai hubungan sosial antar manusiia.

Sedangkan gambaran sikap dari kelas sosial merupakan gambaran yang berdasarkan pada dimensi ekonomi. Seperti penghasilan, jabatan, dan pendidikan yang menyediakan struktur ekonomi dari kelas lingkungan sosial. Jika kelas sosial membentuk sosial kapital dalam lingkungan sosial, dan diharapkan dapat menemukan perbedaan kelas dalam persepsi orang dari tempat kerja. Sedangkan hubungan antara kelas sosial dan tempat kerja juga berperan dalam kehidupan dirumah. Carter (1994, dalam Harvey dan Allard, 2002), mencatat adanya prosedur otomatisasi di tempat kerja berdampak identitas kelas pekerja akan dibawa bersamaan dengan diri atau keberadaan mereka (Aquirre, dalam pembahasan oleh Hervey dan Allard, 2002).

Perlu dicatat adaalah bahwa kelas sosial bukan  merupakan faktor yang dapat men-diversity di tempat kerja. Namun perlu diperhatikan mengenai kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu pertama kelas sosial merupakan dimensi yang dinamis di tempat kerja yang kemudian perlu melihat pengorganisasian ekonomi yang berbeda dari masing-masing didasarkan pada latar belakang kelas pekerja, sedangkan yang kedua adalah perhatian juga pada perubahan demografik dalam lingkungan sosial suatu negara serta dampaknya di tempat kerja (Harvey dan Allard, 2002).

Kebudayaan Versus Diversity dalam Manajemen Sumber Daya Manusia. 
Bergeraknya berbagai hal di era kompetitif secara global, mempengaruhi berbagai bidang kehidupan manusia termasuk salah satunya bisnis dan manajemen yang lebih cepat berkembangnya daripada masa silam. Sedangkan pada tingkat individual, kehidupan yang tadinya berada di linngkungan yang kecil (village) makin berkembang dengan mobilitas internasional dan atau lingkungan cross-cultural dalam tim global secara temporer. Dengan kata lain lebih populer dengan sebutan virtual teams (Allard dan Harvey, 2002).

Terdapat tiga mekanisme yang sifatnya kritikal untuk menjelaskan perbedaan kultur yang orijin, yaitu religion, languange; geographical proximity, oleh Ronen dan Shenkar (1985, pembahasan oleh Rao dalam Harvey dan Allard, 2002). Kultur atau budaya mempunyai tiga layers, yaitu:
1. Layer 1 adalah behavior symbols seperti festival dan cara berpakaian.
2. Later 2 adalah attitude, ritual, dan structure seperti sikap yang mengarah pada wanita di tempat kerja.
3. Layer 3 adalah core value, beliefs seperti etika kerja.

Agama berdampak kuat pada level core value dan kepercayaan. Sebagai contohnya adalah berupa arti dari bekerja dalam kultur yang berbeda, asumsi-asumsi kultur dan etika. Agama membedakan (bertentangan) dalam penekanan mereka pada peraturan kerja di kehidupan. Seperti dalam Agama Protestan mengajarkan bahwa manusia harus bekerja keras di dunia dan kelak akan di surga sebagai penghargaannya. Filosofi Agama Hndu menaawarkan dharma atau tangan sebagai salah satu dari empat keselamatan. Oleh karena itu terdapat hubungan antar agama dan kultur terhadap perkembangan ekonomi. Analisisnya adalah bahwa kultur secara jangka panjang mempunyai nilai ketekunan, menawarkan  relationship, penghematan dan semua mempunyai peran dalam cepatnya pertumbuhan ekonomi.

Selain itu pula bahwa agama secara global mempunyai fokus pada aspek-aspek etika yang berbeda. Seperti dalam lingkungan kehidupan secara Islam memfokuskan pada kesejehteraan semua, dengan kata lain merupakan isu socioeconomic. Kemudian tentang dampak dari adanya kalender, jadwal dan jam kerja yang berbeda karena adanya kultur dan agama atau kepercayaan yang berbeda, harus diperhatikan karena akan mempunyai pengaruh pada pengaturan aktivitas di tempat kerja. Seperti dalam Islam ada bulan puasa selama satu bulan, kemudian dalam Agama Budha ada libur untuk memperingati Hari Waisak dan masih banyak lagi yang lain. Semua itu mempengaruhi aktivitas dalam bekerja. Jadi konflik pun dapat muncul sehingga manajer dituntut dapat secara bijaksana dan mempertimbangkan tren-tren tersebut agar dapat menemukan jalan untuk mengatasi dampak yang negatif tersebut. Karena telah diketahui bahwa agama dan kultur mempunyai banyak layer dan dapat saling mempengaruhi satu orang dengan orang yang lain (Harvey dan Allard, 2002). 

Dampak Pengelolaan Keragaman Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Organisas. 
Salah satu praktek dalam manajemen sumber daya manusia adalah kebijakan penerapan diversity yang sering dilihat sebagai perbedaan dalam bentuk fisik seperti perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, dan perbedaan agama atau kepercayaan. Namun seperti yang telah dibahas di atas yaitu pendapat dari Distefano dan Maznevski serta Harvey dan Allard, bahwa inti dari arti diversity lebih ke arah cara berpikir, perpendapat, bersikap serta bertindak yang heterogen sehingga dapat memandang suatu masalah dari berbagai sudut sehingga beraneka ragam ide serta pemikiran yang berguna untuk kemajuan dan kesejahteraan anggota organisasi.

Seperti yang dicontohkan oleh Johston dan Packer (1987, dalam pembahasan Richard dan Johnson, 2001), bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh para manajer di Amerika adalah mengindentifikasi mengenai integrasi antara para perempuan dan kaum minoritas masuk ke dalam tenaga kerja. Kemudian Richard dan Johnson (2001) mencoba mengetengahkan atribut-atribut organnisasional yang mendukung penerapan diversity dengan menggunakan Strategic Human Resource Management Theory (SHRM). Teori SHRM tersebut mencoba untuk menghubungkan antara kebijakan-kebijakan sumber daya manusia dan hasil atau outcomes organisasional. Prakteknya seperti salah satunya adalah komposisi sumber daya manusia yang dinilai kefektifannya dalam rangka menghadapi strategi bisnis, strategi sumber daya manusia, ketidakpastian lingkungan, dan outcomes organisasi (Wright dan McMahan, 1992, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001).

Diversity dalam Strategi Bisnis 
Kenyataan mengatakan bahwa strategi dalam bisnis akan mempengaruhi atau menggerakkan praktek-praktek pada manajemen sumber daya manusia. Strategi juga merupakan implikasi dari untuk hubungan diversity pada orientasi kinerja. Kemudian Snow dan Miles (1984, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001) mengetengahkan tipologi implikasi dari diversity yaitu designing strategic human resource management systems berupa:
1. Strategi berupa prospectors, tujuan bisnisnya: mengeluarkan produk baru dan peluang pasar, tujuan SDM: menciptakan tempat kerja yang responsif dan sensitif terhadap pasar serta bijaksana dalam mengasumsikan resiko dari inovasi, sedang tujuan diversity: menciptakan tempat kerja yang beraneka ragam dalam berbagai hal untuk menciptakan kreativitas dan responsif.

2. Strateginya: defenders, tujuan bisnisnya: meluaskan market share melalui kestabilan, pengembangan jalur produk secara mantap, volume tinggi dan orientasi pada harga rendah. Tujuan SDM: menciptakan efisiensi dan keefektifan tenaga kerja yang fokus pada produksi produk serta kualitas. Sedang tujuan diversity: manajemen diversity diarahkan pada sosialisasi tenaga kerja ke dalam norma-norma organisasional dan rutinitas.

3. Strateginya berupa: analyzers, tujuan bisnis: kombinasi dari prospectors dan defenders. Menciptakan kestabilan jalur produk dengan identifikasi produk baru dalam jalurnya. Tujuan SDM: menciptakan dan efisiensi serta efektif bagi tenaga kerja yang difokuskan pada produkasi produk dan kualitas yang dapat mengidentifikasi peluang pasar. Dan tentang tujuan diversity: mensosialisasikan tenaga kerja ke dalam rutinitas standar tetapi dengan orientasi grup yang lebih besar dalam mengidentifikasikan peluang pasar dalam pasar tertentu.

Diversity dalam Strategi SDM 
Banyak perusahaan atau organisasi yang berusaha untuk mengadopsi sistem kerja sumber daya manusia. Dalam hal strategi sumber daya manusia, kadang homogenitas lebih dipandang cocok dalam suatu sistem SDM, misalnya untuk pengurangan biaya (Arthur, 1994, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001). Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya kesepakatan dan konsekuensi dari praktek serta penerapan diversity dalam organisasi dan juga merupakan pengelolaan yang terus menerus sepanjang waktu.

Diversity dalam Ketidakpastian Lingkungan 
Pendapat dari Cox dan Blake (1991, dalam pembahasan oleh Richard dan Johnson, 2001), mencatat bahwa keefektifan manajemen diversity memajukan fleksibilitas secara organisasional. Karena dengan perbedaan pandangan dari berbagai macam pemikiran maka diharapkan akan lebih fleksibel dan luas variasinya dalam menghadapi permasalahan yang ada. Jadi dengan lingkungan yang tidak menentu, maka organisasi yang fleksibel dapat beradaptasi dengan setiap perubahan yang ada tesebut. Oleh karena itu orientasi pada diversity akan mendukung keadaan seperti tersebut di atas.

SIMPULAN 
Memahami suatu isu strategik, diversity, dalam dunia Manajemen SDM bukan hal yang mudah untuk dapat dipraktekkan dalam sebuah organisasi. Beberapa hal harus dipelajari mulai dari kematangan atau kesiapan personal organisasi itu, lingkungan internal dan eksternal yang mendukung pelaksanaannya, serta sikap dan motivasi dari para eksekutifnya, sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik. Namun, perlu dimengerti bahwa diversity bermula dari para individu yang membawa perbedaaan banyak dalam berbagai hal, bukan keragaman atau perbedaaan yang berasal dari luar untuk diterapkan ke dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, diversity sangat menarik dan penting untuk ditelaah lebih jauh dan dikupas secara mendalam dari berbagai sudut pandang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. S., & Montgomery, K. A., (2001), “Applying an organizational development approach to creating diversity”, Organizational Dynamics, 32 (2) pp. 149-161
Bowen, D. E., Ledford, Jr., G.E., & Nathan, B. R., (1991), “Hiring for the organization, not the job”, Academy of Management Executive, 5 (4) pp.35-51.
Brickson, S., (2000), “The Impact of Identity Orientation on Individual and Organizational Outcomes in Demographically Diverese Settings”, Academy of Management Review, 25 (1) pp.82-101.
Dass, R., & Parker, B., (1999), “Strategies for managing human resources diversity: from resistence to learning”, Academy of Management Executive, 13 (2) pp. 68-80.
Dreher, G. F., & Dougherty, T. W., (2001), Human Resource Strategy: A Behavioral Perspective for the General Manager. McGraw-Hill Irwin.
Distefano, J. J., & Maznevski, M.. L., (2000), “Creating value with diverse teams in global management”, Organizational Dynamics, 29 (1) pp. 45-63.
Dyer, L. D., & Reeves, T., (1995), “Human resource strategies and firm performance: What do we know and where do we go?”, International Journal of Human Resource Management, 6(3) pp.656-670.
Fernandez-Araoz, C., (1999), “Hiring without firing”, Harvard Business Review, July-August pp.109-120.
Harvey, C. P., & Allard, M. J., (2002), Understanding and Managing Diversity. 2nd edition. Prentice Hall.
Ivancevich, J.M.,dan Matteson, M.M., (1999), Organizational Behavior and Management, 5 th edition, McGraw-Hill, Singapore.
Richard, O. C., & Johnson, N. B., (2001), “Understanding the impact of human resource diversity practice on firms performance”, Journal of Management Issues, XIII (2) pp. 177-195, Summers.
Robbins, S. P., (1996), Perilaku Organisasi: Konsep - Kontroversi – Aplikasi. PT. Prenhallindo, Jakarta.
Schuler,R. S., (1990), “Repositioning the human resource function: Transformation or demise?”, Academy of Management Executive. 4 (3) pp.49-60.
Thomas, D. A., & Ely, R. J., (1996), “Making Differences Matter: A New Paradigm for Managing Diversity”, Harvard Business Review. September-October.
Ulrich, D., (1998), “A new mandate for human resource”, Harvard Business Review, January–February pp.124-134.
Walker, J. W., (1988), “Managing human resource in flat, lean and flexible organizations: Trends for the 1990’s”, Human Resource Planning, 11 (2) p.125-132.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar