Kamis, 23 Mei 2013

Hidupku Pesantrenku



Pagi itu matahari bersinar cerah menjalankan rutinitasnya untuk memberikan energi kehidupan kepada seluruh makhluk hidup di muka bumi. Di suatu tempat yang cukup luas berdiri gedung-gedung kokoh yang dihiasi tulisan kaligrafi bernafaskan Islam, tempat yang biasanya jauh dari hiruk pikuk kendaraan dan keramaian, dimana hamparan sawah disekelilingnya mengirimkan angin segar bagi siapa saja yang berada disana. Namun saat itu ada pemandangan yang berbeda, banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di tempat itu terutama para orang tua dan anak-anaknya, banyak kendaraan dari mulai motor sampai mobil keluar masuk tempat itu, terlihat para orang tua dan anak-anaknya menurunkan berbagai barang bawaan dari mulai pakaian bahkan ada yang membawa seperangkat alat tidur. Itulah suasana dimana telah masuknya tahun ajaran baru (2007) di suatu Pesantren yang bernama Pesantren Persatuan Islam 67 Benda yang bertempat di Tasikmalaya, Kota yang terletak di provinsi Jawa Barat dan terkenal dengan julukan “Kota Santri”.
Di tengah keramaian terlihat seorang anak remaja bertubuh gempal, kulit putih dengan wajah orientalnya yang khas, sehingga ketika orang belum kenal dengan dia, pasti akan menebak bahwa dia adalah orang Tionghoa atau orang Cina yang salah masuk tempat karena tempat yang sedang ia masuki adalah Pesantren, akulah Azhar seorang anak yang berasal dari keluarga sederhana lahir dari pasangan suami istri. Ayahku bernama Oey Lian Tjoe yang kemudian berganti nama menjadi Arif Budiman dan ibuku bernama Siti Rosyidah, ayahku adalah seorang muallaf keturunan Tionghoa kemudian menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari keluarga Islam, maka lahirlah aku sebagai anak pertama dari buah cinta mereka disusul dengan keempat adikku sehingga aku menjadi anak pertama dari lima bersaudara.
Aku tergolong anak yang penakut, semenjak kecil aku selalu ingin dekat dengan ibu bahkan ketika sudah duduk dibangku SD, masih harus ditemani ayah atau ibu untuk belajar di kelas. Seiring berjalan waktu aku telah lulus tingkat Tsanawiyyah dengan kemudian mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke Pesantren yang memiliki sistem mondok, seorang penakut seperti aku akhirnya memberanikan diri untuk jauh dari orang tua dan mengenyam pendidikan di suatu pesantren 3 tahun lamanya.
Ketika aku melangkahkan kakiku masuk ke tempat itu terlihat di sekelilingku gedung-gedung tempat santriwan dan santriwati melakukan aktifitas belajarnya karena di Pesantren ini murid laki-laki dan murid perempuan berada pada satu lokasi. Ketika aku berjalan pandanganku tertuju kepada sebuah tulisan yang beralaskan kayu bertuliskan Abu Bakar As-Sidiq dengan lafadz Arab, aku baru menyadari bahwa gedung-gedung di sekeliling Pesantren ini diberi nama dengan nama-nama sahabat terkhusus Khulafatu Rasyidin, dan akulah salah satu santri yang akan memakai gedung itu sebagai sarana untuk menuntut ilmu.
Setelah aku berjalan semakin ke belakang maka aku menemukan tempat yang aku cari, yaitu asrama putra, tempat yang akan aku tinggali selama mencari ilmu di Pesantren ini, aku melihat daftar-daftar nama santri baru untuk mencari dimana ruangan tempatku tidur, akhirnya kutemukan nama Azhar Lujjatul Widad, yang menunjukkan bahwa aku benar-benar telah menjadi bagian dari keluarga besar Pesantren ini, dan aku telah memiliki jatah tempat tidur di Pesantren ini. Aku masuk ke salah satu ruangan dan mencari lemariku, satu ruangan terdiri dari 18-20 orang, memang cukup padat, namun saya terima saja apa yang telah disediakan.
Hari-hari pertama di Pesantren adalah waktunya untuk beradaptasi, karena aku yakin kemampuan beradaptasi adalah salah satu kunci agar betah hidup di Pesantren, karena tidak sedikit orang yang tidak tahan dengan kehidupan Pesantren, ketika mereka tidak pandai beradaptasi dan berusaha untuk mengenal satu sama lain. Kehidupan di Pesantren adalah gambaran kehidupan nyata yang nanti akan kita jalani setelah lulus jadi santri, kita akan bersentuhan dengan banyak kalangan, dengan berbagai macam karakteristik orang yang sangat bervariasi, dengan latar belakang yang berbeda dan kepribadian yang berbeda, sehingga kedewasaan kita semakin dilatih, jiwa bijak kita semakin terasah, dan daya juang kita untuk mencari ilmu dan menjalani realita kehidupan akan ditempa sehingga kita kuat untuk menghadapi segalanya.
Karena berawal dari kemauan sendiri dan ikhlas semata-mata untuk mencari ilmu, kehidupan Pesantren mulai kunikmati, dari mulai dibangunkan sebelum subuh oleh para Rois (santri senior yang membina asrama), antri ketika mau mandi, bahkan antri ketika mau makan. Dan dari semua aktifitas itu tersimpan kenangan-kenangan yang tak terlupakan, karena hal-hal yang sebetulnya tabu dilakukan menjadi mungkin dilakukan ketika kita hidup di Pesantren, dari mulai makan bersama dalam suatu wadah besar, bahkan mandi dengan menggunakan handuk yang sama yang dipakai oleh beberapa orang.
Teman-temanku sekelaspun bermacam-macam dan orangnya unik-unik, satu sama lain memberikan julukan yang sebetulnya tidak pantas bahkan terkesan rasis dan menghina, namun entah kenapa justru hal tersebut adalah cara kita berkomunikasi satu sama lain, dan itu memang aneh, bahkan sampai saat ini pun aku masih belum mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Dan hal ini bukan merupakan perbuatan yang harus dicontoh.
Tak terasa satu tahun telah berlalu aku hidup di Pesantren, telah banyak tambahan-tambahan ilmu yang aku dapat, baik ilmu umum ataupun agama. Aku terkesan dengan salah seorang ustadz yang mengajarku beliau adalah Kyai Siddiq Amin, MBA. (alm) yang tiada lain adalah Pimpinan Pesantren dimana tempat aku belajar, dengan perawakannya yang cukup besar kemudian nada suaranya yang berat mengisyaratkan sosok yang syarat akan ilmu dan memiliki kharismatik, sehingga setiap santri yang bertemu dengannya pasti merasa kikuk bahkan sedikit rasa takut, bukan karena beliau galak namun karena kharismanya yang begitu kuat sehingga ketika para santri melihat beliau dari kejauhanpun sudah bisa merasakan kharismanya, itulah beliau Ustadz Sidiq kami memanggilnya, namun di usianya yang ke-54 beliau meninggalkan kita semua, karena telah dijemput oleh Allah SWT, hal itu jelas menyisakan duka yang sangat mendalam terkhusus bagi kita para santri dan umumnya warga masayarakat dan seluruh kalangan sampai para elitis, karena beliau adalah sosok yang sangat disegani oleh semua orang, kebijaksanaanya dan keluhuran budinya membuat beliau selain memimpin Pesantren juga memimpin salah satu ormas Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada beliau.Amin
Satu tahun adalah waktu yang sangat cukup bagiku untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan Pesantren, Alhamdulillah berkat kasih sayang Allah dan usahaku untuk belajar aku mendapatkan hasil belajar yang cukup lumayan di tahun pertama meskipun belum bisa menjadi yang terbaik di kelasku. Tahun kedua adalah tahun yang lebih berat khususnya bagi kita santri Aliyah, Muallimin kita mengistilahkannya, karena pada tahun ini selain belajar kita juga akan diangkat menjadi Pembina pondok yang sekaligus menjabat menjadi staf Rijalul Ghad itulah istilah OSIS yang ada di Pesantren kita. Waktu itu tepat setelah semester pertama di kelas dua selesai, dimulailah acara pemilihan ketua RG (Rijalul Ghad) yang baru, dan tugas angkatanku lah yang akan memangku amanah itu, para senior kita mengadakan pengkandidatan calon yang akan menjadi ketua RG selanjutnya, berbagai aspek dalam acara itu di uji dari mulai pengetahuan, wawasan sampai sikap kepemimpinan, acara itu berlangsung selama beberapa bulan, hingga akhirnya terpilihlah empat orang yang akan dibawa ke Musyawarah Besar, semua calon adalah temanku dan yang sangat mengejutkan dan sempat tidak percaya aku adalah satu dari keempat orang itu, entah kenapa aku terpilih menjadi kandidat, padahal secara pengalaman masih banyak teman-teman yang lain yang telah lebih lama tinggal di Pesantren karena aku baru masuk ke Pesantren setelah lulus tingkat MTs. Namun keterkejutanku belum berakhir karena pada puncaknya akulah yang malah terpilih menjadi ketua RG. Akulah yang akan meneruskan amanah para senior untuk membimbing adik kelas, para santri di Pesantren, yang jumlah jelas tidak sedikit, ratusan orang harus menjadi amanahku agar kegiatan Pondok tetap berjalan dengan semestinya. Dengan rasa percaya dan tidak percaya aku mulai berusaha sadar bahwa aku telah ditunjuk sebagai pemimpin. Seorang Azhar yang dulunya sangat cengeng dan penakut, sekarang telah dipilih untuk memimpin ratusan santri di Pesantren, ini amanah yang memang sangat berat, namun aku teringat firman Allah SWT dalam Q.S Al-Anfal: 27

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul (Muhammad), dan juga janganlah kamu menghianati amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui”.
Maka dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim aku akan memegang amanah ini sebaik-baiknya dan menjalankan sampai batas maksimal kemampuanku dan aku percaya seluruh teman-temanku akan saling membantu dan mendukung serta memegang amanah ini bersama-sama.
Aku dan teman-teman segera merumuskan berbagai program kerja yang akan dijalankan selama masa jabatan, dari mulai program yang sifatnya rutin, sampai temporal, dari mulai program yang berorientasi pembinaan pondok sampai kegiatan santri yang bersifat keorganisasian dan even-even layaknya organisasi siswa di sekolah lain.
Hingga pada suatu kesempatan kita akan mengadakan even yang sudah menjadi tradisi di Pesantren yaitu acara Haflah Imtihan dan Pekal Amal, yang disingkat HIPA acara ini merupakan simbol dari telah berakhirnya masa pembelajaran selama satu tahun dan bersiap untuk menghadapi tahun ajaran berikutnya. Didalamnya terdapat beragam acara dari mulai penampilan-penampilan dari anak-anak Diniyyah Ula Pesantren Benda, bazaar buku, bazar makanan dan banyak lagi acara lainnya sehingga acara ini tidak hanya bisa dinikmati oleh santri namun oleh warga masayarakat sekitar yang ikut menikmati kemeriahaan acara kami. Panitia yang dilibatkan adalah santriwan dan santriwati,kelas 1 dan 2 Muallimin, yang mana 2 Muallimin adalah kelas kita para pengurus RG dan UG, perlu diketahui juga bahwa sistem organisasi di Pesantren kita cukup unik, organisasi santriwan dan santriwati berbeda memiliki nama masing-masing dan untuk santriwati namanya Ummahatul Ghad yang disingkat UG, ketuanya pun berbeda, aku hanya mengetuai dan membina santri sedangkan santriwati ada pembinanya sendiri yaitu UG, namun ketika kita mengadakan even besar seperti HIPA ini maka kepanitiaan digabung menjadi satu, RG dan UG bekerjasama untuk menyukseskan acara ini, kita memanfaatkan SDM satu Muallimin karena acara ini memang cukup membutukan banyak tenaga, terutama dibagian bazar makanan nantinya. Sebagai ketua RG aku menunjuk Pahmi Ruslan yang tiada lain adalah teman sekelasku dan teman seperjuangan dalam membina RG ini sebagai ketua Pelaksana (Organizing Committee). Kita semua membentuk struktur kepanitiaan sebaik mungkin, membagi tugas-tugas yang harus dikerjakan agar semua persiapan acara bisa berjalan maksimal.
Ketika waktu acara HIPA akan segera dimulai, tepat setelah aku bersama teman lainnya menymapaikan surat undanga acara HIPA ke salah satu Pesantren di kota Garut musibah yang tidak diduga-duga menimpaku, tubuhku tiba-tiba merasakan panas yang sangat sehingga terpaksa harus beristirahat dirumah. Sudah beberapa hari aku dirumah sakitku tak kunjung sembuh padahal aku sudah berobat beberapa kali, orangtuaku sudah semakin panik karena melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, bahkan aku telah mengeluarkan banyak darah dari hidung namun orangtuaku belum membawaku ke rumah sakit karena beberapa dokter yang memeriksaku mendiagnosa bahwa aku hanya terkena demam biasa. Hidungku hanya ditutupi dengan kapas agar darah tidak terus keluar, hingga pada akhirnya pukul 11 malam kepanikan keluargaku memuncak, karena aku telah muntah darah, orangtuaku langsung mengambil keputusan membawaku kerumah sakit, tetanggaku yang memiliki mobil membantu mengantarkanku ke rumah sakit Jasa Kartini Tasikmalaya, malam itu untuk pertama kalinya aku merasakan kasur rumah sakit, memang sungguh tidak mengenakan dan aku berharap kejadian itu tidak akan terulang lagi, dengan kondisiku yang semakin lemah kondisiku antara sadar dan tidak sadar, kulihat dengan mata samar beberapa perawat menghampiriku dan membawa beberapa alat medis, kemudian mereka mulai mengusap kedua pergelangan tanganku dengan obat penahan rasa sakit, dan dua tusukan jarum infus menusuk bebas kekedua lenganku, karena kondisiku yang sudah lemah maka pihak RS memutuskan menusukkan jarum infus ditangan kanan dan kiriku. Ditempat lain ibuku sedang berbicara dengan dokter, “bu, kenapa ibu baru membawa anak ibu ke rumah sakit sekarang ??!! lihatlah kondisinya sudah begitu parah, anak ibu positif terkena DBD (Demam Berdarah), kalau telat sedikit lagi akibat nya bisa fatal bu.” Ujar dokter dengan nada yang agak marah.
Ibuku hanya terdiam dan menangis melihat semua yang sedang terjadi. Ayah dan ibuku melupakan waktu tidurnya, semalaman mereka terus mengkhawatirkanku. Sementara aku masih terbujur lemah di kasur dengan kedua infusan di lenganku, satu jam sekali perawat menghampiriku untuk mengambil darahku sebagai sampel untuk diteliti hal itu terjadi terus menerus sampai esok pagi.
Sementara itu, kabar bahwa kondisiku semakin lemah dan dibawa ke rumah sakit sampai ke Pesantren, dengan segera teman-temanku dan Asatidz dengan segera menengokku ke rumah sakit, dalam kondisi sangat lemah aku sangat senang teman-teman dan guruku bisa menengokku, ketika melihat teman-teman aku menjadi teringat kembali tugasku untuk menjalankan acara HIPA, sementara tubuhku malah terbaring lemah di rumah sakit, suasana haru tenjadi, ketika beberapa temanku yang tidak sanggup melihat kondisiku seperti itu, mencucurkan air matanya, aku menjadi semakin terharu ketika salah seorang Ustadz menghampiriku kemudian memegang jidatku dengan penuh kelembutan dan dengan berurai air mata mendoakanku agar cepat sembuh, aku berusaha sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan air tangis, karena aku percaya Allah akan berada denganku dibantu dengan kekuatan do’a yang dipanjatkan oleh orang-orang disekelilingku.
Namun takdir berkata lain pihak rumah sakit tidak sanggup untuk menangani penyakitku, sehingga aku harus dirujuk ke RS Hasan Sadikin di kota Bandung dengan segera ambulan membawaku ke Bandung. Hari-hari itu menjadi hari terberat yang harus kujalani, namun aku sadar ini adalah cobaan atau bahkan peringatan dari Allah SWT, aku pasrah dengan semua keadaan yang terjadi, aku tahu Allah lah yang mengatur semua ini, apapun kehendak makhluk ketika kehendak Allah berkata lain maka terjadilah.
Di Bandung kondisi belum bisa dikatakan membaik, karena kondisiku malah semakin memburuk sehingga aku harus dibawa keruang ICU, ruangan yang tidak satupun orang mau masuk kedalamnya, semakin dekat keruangan ICU semakin terdengar suara mesin-mesin medis yang sedang bekerja, kengerianku semakin memuncak bahwa setelah aku menyadari bahwa disekelilingku semua orang yang ada disana tubuhnya dipenuhi dengan kabel-kabel dan selang, termasuk aku, dan tidak ada satu orangpun yang sadar kecuali aku, yang membuatku semakin bersyukur kepada Allah dari mulai sakit sampai kondisiku semakin melemah bahkan sampai masuk ruang ICU, aku sadar sepenuhnya apa yang sedang terjadi padaku, aku tidak mengalami pingsan ataupun hilang kesadaran, dan ibuku juga bersyukur atas hal itu.
Sementara itu, teman-temanku di Pesantren sudah mengetahui kondisiku yang sekarang, teman-temanku tidak berhenti untuk terus mengajak semua santri mendo’akan kesembuhanku, semua orang berharap Allah segera mengangkat penyakitku dan itu juga yang menjadi harapanku, aku ingin sekali berkumpul kembali bersama keluarga dan teman-teman di Pesantren seperti sediakala. Teman-temanku baik RG ataupun UG hanya bisa mengobati kerinduan kepadaku dengan mendengarkan “Muhasabah Cinta” nya Edcoustic.
Dengan izin Allah SWT, dan berkat semua orang yang telah mendo’akanku, serta keinginanku agar tetap bertahan hidup, Alhamdulillah aku bisa melewati masa-masa kritis, hingga akhirnya kesehatanku berangsur membaik, aku bisa pulang ke rumah meskipun kondisiku masih memerlukan istirahat total. Tak pernah ku membayangkan aku akan melewati hari-hari yang sangat menakutkan dalam hidupku, namun aku bersyukur semuanya bisa kulewati, dan aku masih diberikan kesempatan untuk merasakan nikmatnya menghirup udara di muka bumi ini.
Setelah beberapa hari aku beristirahat di rumah, aku telah siap untuk kembali ke Pesantren, bahagia rasanya ketika aku tiba di depan gerbang hijau yang terbentang, ya itulah gerbang Pesantren ku, dengan suatu haru beberapa asatidz yang melihatku kembali langsung memelukku dan mencucurkan air mata, seraya berkata, “Alhamdulillah ya Allah sudah sembuh kau nak?”, “Alhamdulillah Ustadz ini semua berkat do’a dari semuanya terimakasih ustadz.”ujarku. kemudian teman-temanku menyambutku dengan perasaan haru sekaligus senang, dan akupun benar-benar telah merindukan mereka semua, nikmat rasanya bisa kembali berkumpul dengan semaunya.
Acara HIPA pun digelar dan aku sangat bangga kepada semua panitia, mereka bekerja dengan giat dan penuh kesungguhan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan sampainakhirnya acara kami berjalan dengan lancar, meriah dan sukses. Kita semua puas akan kinerja kita. Mengakhiri kepanitiaan ini serentak kita bertahmid “Alhamdulillahirabbilalamin”.
Tahun ketiga telah memasuki babaknya, waktu memang sangat cepat berlalu, rasanya baru kemarin aku melangkahkan kakiku ke Pesantren ini,m memilih ruangan untuk tempatku tidur, namun sekarang kami telah memasuki ujung waktu dalam menempuh pendidikan, kelas 3 difokuskan untuk lulus ujian dan menghadapi jenjang karir masa depan, masa jihad di RG pun telah berakhir dan saatnya aku menurunkan estafet perjuangan ke adik kelasku, banyak sekali pencapaian yang telah kita kerjakan selama menjabat, banyak inovasi yang kami melakukan da;am program kerja baik RG maupun UG yang tentunya tidak terlepas dari kekurangan dan kekeliuran kita semua. Ujian Nasional semakin mendekat, teman-teman bersiap untuk menghadapinya, singkat cerita semua ujian telah kami lewati, saat mendebarkan terjaid ketika kita menunggu pengumuman kelulusan, atas kuasa Allah angkatan kita 100% dinyatakan lulus, kami sangat bersyukur dan bahagia, namun disisi lain kami juga sangat sedih karena ini merupakan pertanda bahwa kita semua akan berpisah.
Aku ingat, malam itu adalah malam perpisahan dengan semua santri, di gedung itu kita melakukan acara perpisahan dengan semua teman-teman dan adik kelas, tak mampu ku menuliskan betapa sedihnya saat itu, huruf-huruf yang ada di keyboard ini tak cukup untuk melukiskannya. Momen-momen selama 3 tahun kembali bermunculan saat aku berpelukan dengan teman-teman. Aku tak sanggup menahan air mataku, ketika ku semakin teringat dengan semua kenangan yang telah dilewati bersama, hingga ku berpelukan dengan temanku Pahmi Ruslan, dia berkata: “zar, kaulah teman yang telah membuatku bangga, kau hebat, kau telah membuatku bersyukur bisa mempunyai teman seperti kamu.” Aku hanya membalas dia dengan pelukan dan tangisan dan kita saling mendo’akan satu sama lain kelak kita akan menjadi orang-orang sukses. Amin
Setelah acara perpisan berakhir, malam itu aku duduk dan termenung di depan ruangan asrama, ditemani dinginnya malam yang semakin menusuk seraya menengadahkan mukaku ke langit, sambil tersenyum aku bergumam” Langit Pesantren malam ini sangat cerah, selamat malam Pesantrenku.”

pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/05/24/hidupku-pesantrenku-562579.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar