Rabu, 22 Mei 2013

Mengatasi Syndrome Perubahan





Sindrome perubahan
Suatu waktu seorang rekan kerja mengeluhkan kepada saya tentang adanya perubahan struktur baru di perusahaan tempat kami bekerja. “Lama-lama kita kerja seperti robot, ada perubahan struktur baru, dan semua harus sesuai SOP, imbuhnya dengan nada sedikit meninggi.
.............................

Memang perubahan bentuk, sifat dan fungsi struktur (baca: transformasi) perusahaan bisa dipastikan akan mendapat respon beragam dari karyawan. Bahkan dalam skala yang ekstrim transformasi itu bisa menjadi momok bagi sebagian karyawan yang sudah merasa “nyaman” dengan struktur dan cara kerja yang lama.
Secara psikologis, sebenarnya manusia memiliki naluri untuk mempertahankan kesenangan  dengan status dan keadaan yang sedang dinikmatinya. Itulah sebabnya setiap perubahan akan direspon dengan berbagai macam sikap, mulai dari  ”menghindar” sampai kepada “menolak”
Dalam dunia usaha, perubahan terhadap struktur manajemen sesungguhnya merupakan sebuah keharusan, tujuannya agar  perusahaan tetap mampu mempertahankan kinerjanya memperoleh profit dari hasil usahanya. Transformasi  juga merupakan sebuah keniscayaan agar dalam tempo yang singkat perusahaan dapat tetap meningkatkan daya saingnya dengan para kompetitornya.
Disinilah sisi menariknya bagi para manager Human Capital, karena transformasi (perubahan dalam skala yang luas) struktur perusahaan bukan hanya berdampak pada kondisi psikologis karyawan, tetapi juga akan berdampak pada peningkatan jumlah karyawan yang mengundurkan diri.
Karena itu dalam mengatasinya diperlukan kreatifitas yang komprehensif dan inovatif.  Berikut sharing pengalaman yang patut dicoba:
1.      Pemetaan: hal ini penting dilakukan bukan hanya untuk mengetahui kuantitas karyawan yang merespon secara negatif , tapi juga perlu mengukur sampai dimana kualitas penolakan mereka, apakah mereka mutlak menolak karena merasa kehilangan peluang (jenjang karir dimulai dari nol lagi) atau karena takut terhadap tantangan. Yang mesti diwaspadai adalah jika mayoritas karyawan  menolak transformasi karena takut menghadapi tantangan. Itu artinya tidak jalan lain selain “amputasi” dalam istilah ketenagakerjaan adalah “PHK”
2.      Assessment: pengkajian dilakukan untuk mengetahui respon negatif karyawan terhadap transformasi struktur di perusahaan disebabkan oleh ketidakpuasan atau ketikdakpastian.
3.      Treatment: keberhasilan transformasi perusahaan bukan hanya dtentukan kegiatan konkretnya tapi juga pemilihan treatmentnya harus sesuai dengan akar masalanya.
Pada umumnya dalam menghadapi transformasi, ditemukan dua masalah yaitu: 1) ketidakpuasan 2) ketidakpastian

Ø  Treatment Ketidakpuasan
o    Treatment pada alasan ketidakpuasan: pada umumnya ketidakpuasan lahir dari kurangnya pendekatan dan sosialisasi, sehingga treatment terhadap issue seperti ini dapat diperbaiki dengan sosialisasi. Ketidakpuasan itu sendiri sebenarnya bentuk penerimaan yang kecil terhadap transformasi struktur. Akan tetapi karena kurangnya sosialisasi, sehingga menyebabkan munculnya resistensi. Kesimpulannya ketidakpuasan sejatinya adalah problem komunikasi

Ø Treatment Ketidakpastian
o    Treatment pada ketidakpastian: problem ini lebih berat karena bukan  hanya menyangkut masalah komunikasi, tapi sudah menyangkut masa depan karyawan yang bersangkutan di perusahaan ini. Pada umumnya masalah ini lahir karena akumulasi kekecewaan yang akut pada jenjang karir/renumerasi yang kurang baik, dan otorisasi yang berbelit-belit. Sekali problem itu menyangkut “perut bagian tengah”, maka treatmentnya pun harus bersifat komprehensif sebagai berikut:
§  Treatment pada otorisasi: perlu dipertegas dulu, apakah pengurangan otoritas memang menjadi salah satu tujuan dari transformasi atau bukan. Jika bukan, maka Manager Human Capital harus berinisiatif membuka dialog dengan semua lini. Manager HC harus memerankan dirinya sebagai katalisator bagi semua lini yang ada di perusahaan.
§  Namun jika pengurangan otorisasi memang tujuan transformasi maka Manager Human Capital harus memiliki program jangka panjang yang bisa membuat mereka yang kehilangan sebagian atau keseluruhan otoritas tetap memiliki nilai tambah di perusahaan. Misalnya penambahan kompensasi dan benefit yang  bersifat investatif dan jangka panjang misalnya beasiswa S2, asuransi pendidikan untuk keluarga, hard and soft skill training.
·         Intinya problem ketidakpastian ini menyangkut kontrak emosional antara karyawan dengan perusahaan, sehingga manager Human  Capital harus menunjukkan pada karyawan bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan di perusahaan itu.
·         Memang tidak mudah menentukan program atau kegiatan apa yang dapat mengembalikan keterikatan emosional karyawan dengan perusahaan. Semua sangat tergantung pada pengenalan Manager Human Capital yang bersangkutan di lingkungan perusahaannya.
Selanjutnya, problem ketidakpastian sebagai dampak dari transformasi juga bisa disebabkan oleh core value yang menjadi filosofi transformasi struktrur manajemen kurang bisa diterjemahkan oleh direksi atau owner ke level bawah sehingga ketika terjadi perubahan besar dalam struktur perusahaan banyak karyawan yang salah paham.
Dalam konteks ini, manager Human Capital pun harus berani berdialog dengan direksi dan pemilik perusahaan agar membuka core value yang mendasari transformasi manajemen. Disamping itu, data-data akurat tentang urgensi transformasi untuk perusahaan tersebut harus dipublikasikan secara intensif, baik melalui bulletin, papan pengumuman . Syukur jika data tersebut juga menampilkan perusahaan kompetitor, sehingga karyawan perlahan-lahan memahami maksud dan tujuan transformasi struktur perusahaan.
Pemahaman yang benar dan tepat terhadap filosofi transformasi akan mengembalikan kepercayaan diri karyawan dan keterikatan emosional mereka terhadap perusahaan. Karena memang hakikatnya transformasi harus dilalui dengan keteladanan, kesabaran, dan jiwa pejuang.
Fitrah dari transformasi itu sendiri sesungguhnya adalah agar perusahaan tetap survive ditengah persaingan bisnis yang sangat ketat. Dengan transformasi, maka nalar perubahan di dalam diri setiap karyawan akan dipaksa untuk digunakan, sehingga kemampuan adaptasi kembali maksimal.
Dengan kemampuan adaptasi yang maksimal maka karyawan dengan tulus akan belajar hal-hal yang baru, mengasah keahlian baru, dan mencoba cara baru, sehingga untuk itulah transformasi sesungguhnya menjadi wajib bagi setiap perusahaan yang ingin tetap survive dan maju.
Selamat mencoba

pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/05/22/mengatasi-syndrome-perubahan--558250.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar