Kamis, 16 Mei 2013

Jalan Panjang dan Terjal Menuju Kemandirian Pangan Nasional




Gratisan Musik



Membicarakan kemandirian pangan nasional sama artinya kita berbicara tentang Kabupaten dan kota sebagai locus (pusat) dan basis utama dari muncul dan kokohnya kemandirian itu. Megapa demikian? Ketika pemerintah pusat berbicara akan pentingnya meningkatkan target pertumbuhan produksi pangan nasional, para stakeholder pertanian dan pangan di daerahlah yang bekerja paling getol untuk mewujudakannya. Karena ingat, kebutuhan kita akan apa pun — terutama pangan — mayoritas berasal dan disediakan oleh kabupaten atau kota.
Celakanya, menuju pertengahan tahun 2013 ini, kekhawatiran bakal “mewabahnya” krisis pangan nasional telah merebak di berbagai kalangan pengamat dan pegiat pangan nasional, terutama kita konsumen bahan produksi pangan nasional. FAO memprediksi harga pangan dunia akan tetap tinggi dan fluktuatif selama setidaknya hingga hampir satu dekade ke depan. Padahal, ancaman dan kekhawatiran akan muncul dan “mewabahnya” krisis pangan tak pernah hilang. Kini, berdasarkan sumber dari majalah Tempo edisi Maret 2013, penduduk dunia berjumlah 7 miliar jiwa dan akan bertambah menjadi 9 miliar pada tahun 2045.

Prediksi ini, mengharuskan setiap negara untuk bersiap diri dan mengantisipasi ancaman krisis pangan. Indonesia pun benar-benar berada pada posisi yang harus siap tanpa kecuali.
Kita sama-sama mafhum, bahwa hampir seluruh kebutuhan pangan kita dipenuhi melalui kran impor. Kedelai, salah satunya, hampir 70% kebutuhan kedelai nasional berasal dari USA. Padahal kedelai merupakan bahan dasar pokok utama untuk membuat makanan tradisional dan paling digemari rakyat Indonesia, yakni Tempe. Ironis bukan? Kita masih ingat, akibat melonjaknya harga kedelai pada 2012 lalu, industri tahu-tempe dalam negeri sangat terguncang. Ibu-ibu rumah tangga kita berteriak menangis karena mahalnya harga tempe dan tahu di pasaran sebagai ekses derivatif atau turunan dari kenaikan harga kedelai dunia. Tambahan pula, industri kedelai dalam negeri tidak dilindungi oleh desain kebijakan pemerintah pusat yang mampu memberdayakan petani kedelai, agar kita mampu mencukupi sebagian besar kebutuhan kedelai kita secara nasional. Belum lagi, kalau saya hadirkan kenyataan yang akan menyayat dan mencabik-cabik kita lebih dalam lagi. Anda tahu, kebutuhan kita akan garam 70% berasal dari Australia, Bawang Putih kita 95% impor, Bawang Merah kita 70% impor, Kentang kita impor, gandum, dan sekian banyak komoditas pangan lainnya, yang kesemuanya anda dapat peroleh data-data valid dan lengkapnya dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan LSM-LSM yang bergerak di bidang pangan dan pertanian adalah impor. Apalagi, kalau kita berbicara tentang beras, kita akan mengernyitkan dahi kembali dan bahkan menahan nafas, karena kebutuhan akan komoditas beras, kita pun masih sangat bergantung pada impor beras dari Vietnam, Thailand, dan lain-lain.

Banyak kendala yang mengakibatkan sustainibility (keberlanjutan) pertanian dan produksi pangan kita tak bisa diterapkan dengan baik. Diantaranya konversi lahan persawahan besar-besaran dan lahan produktif pangan lainnya untuk keperluan sektor industri manufaktur yang tak berhubungan dengan pertanian dilakukan bahkan dengan melalui desain kebijakan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah pusat. Akibatnya semakin terbatasnya lahan akibat alih fungsi dan degradasi lahan menjadi sebab utama kita kekurangan produktivitas pangan hasil dalam negeri dan menyebabkan kita mengimpor secara masif untuk komoditas-komoditas yang saya sebutkan di atas. Ada juga alih fungsi lahan pertanian pangan ke komoditas lain, seperti minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil). Celakanya pembukaan lahan pertanian, persawahan dan komoditas pangan yang baru tak dapat dilakukan secara masif. Mengapa demikian? Karena lahan-lahan produktif yang dapat dimanfaatkan untuk menanam komoditas pangan nasional sudah beralih fungsi menjadi perkantoran, perusahaan, ladang sawit, jalan tol, dan perumahan elit.

Data BPS menyatakan, periode 1983-1993 total alih fungsi lahan pertanian menjadi tak produktif lagi mencapai 1,,28 juta hektare. Tiap tahun, lahan pertanian di negara kita berkurang 27 ribu hektare. Pada tahun 2015 negara kita diprediksi akan defisit lahan sawah sampai mencapai angka 730 ribu hektare (sumber BPS). Defisit lahan ini berdasarkan pada asumsi perhitungan jumlah penduduk kita pada 2015 sekitar 255 juta jiwa, konsumsi beras nasional 38,49 juta ton/tahun, dengann konsumsi perkapita 135kg/orang/tahun (sumber Tempo, 2013). Pulau Jawa menjadi daerah yang banyak sekali kabupaten/kotanya mengalami defisit lahan pertanian akibat dari alih fungsi lahan tadi, dibandingkan daerah lain di Indonesia. Walaupun daerah kabupaten/kota lainnya pun memiliki kecenderungan mengalami kenaikan alih fungsi lahan yang sama.

Diperlukan sebuah kebijakan dan political will yang benar-benar serius dari pemerintah kita baik pusat maupun kabupaten/kota. Presiden melalui kementerian pertanian perlu melakukan moratorium (penghentian) alih fungsi lahan pertanian. Moratorium itu minimal untuk 3 tahun dari sekarang, sampai 2015.  Walaupun ini cenderung instan, namun daripada mencetak lahan sawah baru yang belum tentu kabupaten/kota punya kebijakan seperti ini. Minimal kita menyelesaikan dulu problem di hulu. Sambil kemudian kabupaten/kota mendesain ulang tata ruang dan tata wilayah secara mendasar, membuat blue print (cetak biru) kemunculan lahan-lahan pertanian baru yang tidak boleh dialih fungsikan lagi setelah 2015.

Kabupaten/kota pun jangan sampai hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan pangan untuk daerahnya saja, alias hanya berpikir lokal, namun juga berorientasi untuk membantu pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan bersinergi secara optimal, baik dengan kabupaten/kota lain dan pemerintah pusat. Semoga harapan akan terciptanya kemandirian pangan nasional bukan menjadi jalan panjang dan terjal  yang tak berujung di negara kita. Amin.

pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/05/14/jalan-panjang-dan-terjal-menuju-kemandirian-pangan-nasional-560244.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar