kembang samudera
menjadi ikatan
suci
perjuangan
KITA
............................
desakukotamu
kotamudesaku
.............
MERDEKA
.............................
.............................
Joni adalah seorang montir di sebuah bengkel. Dia juga pemilik bengkel tersebut. Joni memulai usaha bengkelnya sekitar tiga tahun silam setelah ia ‘kapok’ berdagang di Kota Kembang, Bandung bersama kedua orangtuanya. Sejak Joni menikah dan punya anak, dia memutuskan untuk tinggal di desa. Joni adalah teman saya sejak kecil. Sebelumnya dia memiliki passion pada dunia elektronik. Saya masih ingat betapa ia hafal betul komponen elektronik dan menjelaskan satu per satu kepada saya, mirip dosen teknik elektronika. Dia pun melanjutkan di sebuah sekolah menengah kejuruan dan mengambil jurusan Listrik Instalasi. Setelah saya pergi ke Jakarta untuk kuliah, ternyata minat Joni berubah dari listrik ke mesin. Entah apa yang memnbuatnya mengurungkan niatnya jadi ahli elektronik. Tapi yang jelas, sekarang dia ahli mesin. Sama sekali jauh dari latar belakang pendidikan formalnya. Joni hampir satu-satunya generasi muda yang tidak merantau dari desa.
Merantau bagi anak muda di desa kami seakan hal yang wajib. Untuk mendapatkan ‘nasib’ yang lebih baik banyak orang muda merantau ke kota besar. Sekitar 75% penduduk desa saya melakukan urbanisasi seperti ke Jakarta, Bandung, dan Purwakarta. Ada pula yang ke luar jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Fenomena Zero Marginal Product of Labor adalah pemicunya. Mata pencaharian asli penduduk desa kami adalah petani. Lahan pertaniannya berjenis tadah hujan. Tidak ada sistem irigasi memadai. Tambahan satu orang pekerja di sektor pertanian tidak akan menambah output produksi. Para pemuda kami berpikir bahwa lebih baik mereka mengikuti jejak orangtuanya yang ternyata cukup sukses mendulang rejeki di kota besar meski pekerjaan di kota besar adalah sektor informal/usaha mikro. Ada yang jualan soto, bakso&mie ayam, bubur, dan bahkan pekerja bangunan. Namun jangan salah penghasilan mereka cukup besar (kecuali pekerja bangunan). Sektor makanan merupakan sektor yang tidak pernah lesu meski krisis ekonomi seperti apapun menghadang. Beberapa sebab yang menyebabkan sektor ini melemah hanya isu negatif seperti penggunaan Borax dan daging tikus pada bakso. Hal ini karena setiap hari orang selalu butuh makan. Margin profit yang didapat oleh para perantau ini sangat besar. Dari perkiraan kasar hasil pengamatan saya di lapangan, harga pokok penjualan makanan hanya mencapai kira-kira 30% dari harga penjualan. Margin profitnya 70%. Jika ingin dicari laba bersihnya, beberapa beban dikurangkan seperti sewa tempat, ‘jasa preman’, dan listrik.
Akan tetapi, keberadaan perantau inilah yang menyebabkan eksternalitas negatif dan membuat pusing para pejabat Pemda kota tujuan perantau. Pasalnya, keberadaan mereka menyebabkan kepadatan penduduk dan memantik masalah lain. Kemacetan adalah contoh nyata. Kemacetan timbul karena banyak orang dalam suatu waktu melakukan mobilitas dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Sampai kapan pun, Jakarta tidak akan mampu mengatasi kemacetan, tata ruang yang buruk jika laju urbanisasi ini tidak dapat ditekan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia diproyeksikan akan mencapai 68% pada tahun 2025. Di Pulau Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya lebih tinggi dari Indonesia secara total. Untuk tingkat propinsi, BPS menghitung bahwa empat propinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 %, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten.
Ekternalitas urbanisasi akhirnya juga menyentuh ke sektor-sektor vital lainnya seperti pelayanan umum, pendidikan, dan kesehatan. Untuk membuat KTP seseorang bisa dikenakan biaya puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Biaya pendidikan akhirnya naik terutama pada sekolah-sekolah swasta. Jamkesmas dan Jampersal tidak bisa menyentuh perantau yang kurang mampu karena tidak ada KTP setempat atau tidak terdaftar sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang yang mampu malah mendapatkannya.Beberapa tuna wisma harus hidup di tempat-tempat kumuh seperti di kolong jembata. Diantara tuna wisma tersebut adalah manusia gerobak. Sebuah acara di TV menyiarkan bagaimana manusia gerobak itu hidup. Pada acara tersebut, ditayangkan bahwa Bapak sedang menjaga gerobaknya bersama istri dan tujuh anaknya. Mereka adalah kaum yang termarjinalkan.
Pada akhirnya pembangunan desa adalah solusi dari segala permasalahan di atas. Otonomi daerah sudah lebih dari satu dekade. Pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk mengelola daerahnya sendiri di luar urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, hukum, agama, dan Keuangan Pusat (APBN). Namun, kenyataannya adalah beberapa daerah tidak sanggup mengoptimalkan keleluasaan itu dan justru ‘keblinger’ dengan proyek mercusuar seperti pembangunan monumen megah, gedung bagus, dan jalanan mulus. Bahkan ada daerah yang kaya sumber daya alam pun, rakyatnya banyak yang miskin. Pendapatan kapita regional yang besar ternyata tidak diimbangi dengan distribusi pendapatan yang merata. Koefisien gini membesar sehingga kurva lorentz melebar. Pemerintah daerah lupa bahwa desa adalah penyokong kota . Banyak komoditas pertanian datang dari desa. Padahal tanpa itu, kota dapat lumpuh. Desa merupakah supplier tenaga kerja bagi industri yang berkembang di kota. Beberapa tenaga kerja tersebut tak jarang yang bersifat unggulan dan memiliki kemampuan melebihi rata-rata. Hal yang paling penting adalah penduduk desa jauh lebih banyak daripada penduduk kota. Jika desa tidak berkembang, maka kesinambungan pembangunan daerah akan terancam berhenti atau malah mengalami degradasi.
Pertanyaannya adalah, bagaimana caraya membangun desa? Pertanyaan ini memang seharusnya dijawab dengan merumuskan beberapa strategi berdasarkan beberapa tools manajemen strategik yang ada, diantaranya adalah analisis SWOT (strenght, weakness, opportunity, and Threat). Analisis ini paling mudah digunakan terutama untuk sektor publik/non profit. Akan tetapi ada rumusan umum yang dapat dipakai. Langkah pertama adalah meningkatkan skill para generasi muda. Banyak diantara pemuda desa kami yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi karena biayanya yang tinggi. Oleh sebab itu sebaiknya akses ke sekolah vokasi/menengah kejuruan dipermudah. Hal itu agar setelah mereka mendapatkan keterampilan yang memadai, pekerjaan akan mudah mereka dapatkan, bahkan mereka ciptakan sendiri. Cara ini sukses bagi sebagian orang. Hanya saja tidak banyak yang benar-benar bekerja sesuai dengan latar pendidikannya tersebut di desa.
Pendidikan vokasi tidak bisa berjalan sendiri. Oleh karena itu perlu infrastruktur yang memadai seperti pembangunan jalan yang layak dan pembangunan jaringan teknologi informasi. Kemajuan suatu daerah berbanding lurus dengan kecepatan mobilitas barang/jasa dan mobilitas data/informasi. Rendahnya infrastruktur ini tak jarang membuat investor asing frustasi dan akhirnya menarik investasinya ke negeri tetangga yang infrastrukturnya lebih baik. Hal itu karena infrastruktur yang rendah akan mempertinggi biaya produksi.Bottleneck produksi dapat terjadi akibat truk yang mengangkut bahan baku terjebak kemacetan di jalan. Biaya untuk membayar jalan tol sangat jauh lebih sedikit daripada biaya yang ditanggung akibat penundaan produksi. Di desa kami, tidak ada saluran irigasi. Ketika musim kemarau seperti ini, petani tidak dapat menggarap sawah dan/atau ladangnya. Pembangunan irigasi ini sangat diperlukan.
Untuk mengelola informasi lebih efektif dan efesien, perlu kiranya dibangun sebuah sistem informasi pedesaan. Sistem informasi ini terhubung dengan dinas-dinas yang ada di pusat daerah. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi terkait kondisi real yang terjadi di sebuah desa sehingga Pemda dapat mengambil keputusan yang tepat dan tepat. Sebagai contoh adalah saat informasi kerusakan jalan. Kelurahan/desa dapat langsung menginformasikan kerusakan tersebut langsung ke dinas pekerjaan umum. Contoh lain adalah saat kejadian luar biasa seperti merebaknya kasus DBD dengan cepat di suatu desa. Perangkat desa dapat memberikan informasi kepada puskesmas dan dinas kesehatan untuk menanganinya dengan cepat. Informasi yang disampaikan tersebut bersifat komprehensif alias tidak sepotong-sepotong untuk pengambilan keputusan yang tepat. Lebih lanjut, Febrian Wahyu Hersanto dalam proposalnya yang berjudul “Grand Design Bright Care” mengatakan bahwa untuk membangun sebuah desa ada empat langkah yang bisa dilakukan yakni “one village one product, one village one foster, one village one clinic, one village one system information”
Pendidikan vokasi adalah langkah awal yang cukup mudah. Namun yang perlu diingat adalah tidak semua penduduk desa ingin mengambil sekolah kejuruan. Beberapa diantaranya ingin menempuh pendidikan tinggi, akan tetapi, orangtua mereka tidak mampu.Oleh karena itu perlu gerakan orang tua asuh seperti jaman orde baru. Selain itu perlu diversifikasi agar banyak orang dapat terlibat di dalamnya yakni membuat yayasan/foundation. Program “one village, one foster” adalah salah satu implementasi program tersebut.
“One village, one product” adalah cara pembangunan desa seperti yang telah dilakukan di Thailand oleh Thaksin Sinawatra. Langkah ini berarti memfokuskan sebuah sebuah desa untuk mengembangkan sebuah produk yang unggul secara kualitas dan terpenuhi kuantitasnya berdasarkan kebutuhan pasar yang ada. Strategi ini adalah menunjang pertumbuhan industri pariwisata di sana. Sebagaimana kita tahu, Industri pariwisata di Thailand maju pesat meski jumlah obyek wisatanya tidak sebanyak Indonesia. Model “one village one produk” mempermudah setiap rumah tangga industri untuk bekerjasama dengan rumah tangga industri lain jika mereka kekurangan bahan baku, peralatan, bahkan pekerja .Ini adalah salah satu cara mempertahankan competitive advantage kolektif untuk meraih ‘kemenangan bersama’.
Kesehatan merupakan salah satu unsur pembangunan manusia yang direpresentasikan dalam Human Development Indeks (HDI). Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Oleh karena itu pembangunan kesehatan juga harus lebih diarahkan ke desa dengan bentuk program kuratif maupun preventif. Pembangunan kesehatan yang preventif adalah seperti penyuluhan kesehatan secara kontinu dan berkesinambungan. Tanpa keduanya penyuluhan tidak akan efektif. Pembangunan kesehatan yang kuratif dengan pengadaan satu klinik untuk satu desa (one village, one clinic). Sekarang setiap desa banyak yang sudah memiliki polindes atau puskesmas pembantu. Akan tetapi akses ke dokter umum pun masih harus ke kecamatan. Bahkan akses ke dokter spesialis pun masih harus ke kota kabupaten. Kedepannya perlu kebijakan untuk memperluas sebaran para dokter tersebut agar lebih merata.
Dengan pembangunan desa, berarti masalah makro ekonomi dalam jangka menengah maupun panjang dapat diselesaikan . Selain itu, tujuan otonomi daerah akan tercapai. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang optimal dan berkesinambungan akan tercapai untuk sebesar-besarnya kesejahteraan Indonesia.
pustaka:
ttp://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/05/11/cara-membangun-desa-558842.html
pustaka:
ttp://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/05/11/cara-membangun-desa-558842.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar