Loyalitas Kerja Vs Loyalitas Nurani
Pagi-pagi saya sudah disodori selembar kertas yang diketik dengan rapi untuk ditandatangani. Apa ini?
Sudah, baca dulu. Kata Pak HRD-nya.
Oh, ternyata lembaran penilaian untuk kinerja saya selama setahun ini.
Enggan membaca dan menandatangani sebenarnya.
Saya beralasan tidak ada pengaruhnya
dengan segala penilaian itu. Tetapi Pak HRD beralasan itu sudah tugas
manejemen untuk memberikan penilaian. Silakan baca-baca dulu barangkali
ada keberatan dengan penilaian yang diberikan.
Ya sudah, saya terima bersih saja.
Sekadar formalitas saya lirik-lirik saja sekilas lembaran penilaian yang
tergeletak di atas meja. Lalu langsung ke bawah di mana tertera: ijin
nihil, sakit nihil, dan terlambat 11 kali.
Loh, loh, kenapa bisa terlambat
sebelas kali? Padahal belum pernah. Lah, tidurnya saja di pabrik! Yang
benar ini? Perasaan telat absen karena kelupaan cuma dua tiga kali.
Langsung saya protes.padahal kata pnya terima saja? Tidak konsisten
rupanya saya.
Ditanyalah ke bagian absensi. Tentu
perasaan saya beda dengan yang terekam dalam file komputer. Ditemukan
kalau memang ada sebelas kali ketelatan antara semenit dua menit.
Ya, ampun, semenit dua menit tetap dianggap telat? Soalnya ada perusahaan yang memberikan toleransi 15 menit. Pernah mengalami.
Mau tidak mau keberatan juga saya
ajukan. Walau menyadari itu kesalahan sendiri. Penyakitnya kambuh. Ya
masalahnya, jam lima pagi sudah mulai kerja, terus kelupaan absen. Tapi
dianggap telat. Bagaimana rela?
Kalau telat semenit dua menit dianggap telat. Tapi kalau lewat jam kerja sejam dua jam tidak dianggap lembur. Komplain saya.
Dengan gagah perkasa Pak HRD memberi
kuliah singkat: Kalau kamu lupa absen dan telat itu berhubungan dengan
kedisiplinan. Kalau ada kelebihan jam kerja itu namanya loyalitas.
Kenapa bisa begitu? Ups, sudahlah.
Saya malas berdebat soal beginian. Rela tidak rela ya terima saja dengan
aturan ini selama mau kerja. Kalau saya tidak rela bisa apa? Yang lain
sepertinya rela-rela saja dengan aturan ini. Tidak komplain seperti
saya.
Lagi ketelatan yang ada tidak ada sanksi pemotongan gaji atau teguran. Cuma buat penilaian saja untuk perhitungan kenaikan gaji.
Nah, ini dia masalahnya. Karena
tahun lalu sudah dengan semangat membaca lembaran penilaian yang
mendapat nilai di atas 80, kenaikan gajinya cuma lima puluh ribu rupiah.
Keren kan?
Mengalami kejadian ini, pikiran saya
malah melayang ke soal loyalitas dan merasa sedih. Kalau sama
perusahaan saya diminta harus loyalitas soal waktu kerja dan rela
menerimanya.
Kenapa sama Tuhan saya tidak
berusaha untuk loyalitas ya? Tentu loyalitas berbuat kebaikan yang
diperintahkan dan loyalitas tidak melakukan yang dilarang. Memalukan.
Menyedihkan memang, saya harus lebih
memilih memliki loyalitas pada perusahaan yang cuma memberi saya gaji
sekian rupiah. Tetapi lalai untuk loyalitas pada Tuhan yang telah
memberikan kehidupan.
Kenapa juga saya tidak lebih memilih
loyalitas kepada nurani yang akan memberikan kecerahan hidup dan
menerangi jalan kegelapan yang terbentang?
Tambah menyedihkan lagi, demi loyalitas kerja adakalanya harus menghianati loyalitas pada nurani.
@refleksidiriuntukmenerangihati
sumber:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/25/loyalitas-kerja-vs-loyalitas-nurani-619669.html/unduh/26/12/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar