Rabu, 25 Desember 2013

catatan2

Loyalitas Kerja Vs Loyalitas Nurani

 

Pagi-pagi saya sudah disodori selembar kertas yang diketik dengan rapi untuk ditandatangani. Apa ini?
Sudah, baca dulu. Kata Pak HRD-nya. Oh, ternyata lembaran penilaian untuk kinerja saya selama setahun ini. Enggan membaca dan menandatangani sebenarnya.
Saya beralasan tidak ada pengaruhnya dengan segala penilaian itu. Tetapi Pak HRD beralasan itu sudah tugas manejemen untuk memberikan penilaian. Silakan baca-baca dulu barangkali ada keberatan dengan penilaian yang diberikan.
Ya sudah, saya terima bersih saja. Sekadar formalitas saya lirik-lirik saja sekilas lembaran penilaian yang tergeletak di atas meja. Lalu langsung ke bawah di mana tertera: ijin nihil, sakit nihil, dan terlambat 11 kali.
Loh, loh, kenapa bisa terlambat sebelas kali? Padahal belum pernah. Lah, tidurnya saja di pabrik! Yang benar ini? Perasaan telat absen karena kelupaan cuma dua tiga kali. Langsung saya protes.padahal kata pnya terima saja? Tidak konsisten rupanya saya.
Ditanyalah ke bagian absensi. Tentu perasaan saya beda dengan yang terekam dalam file komputer. Ditemukan kalau memang ada sebelas kali ketelatan antara semenit dua menit.
Ya, ampun, semenit dua menit tetap dianggap telat? Soalnya ada perusahaan yang memberikan toleransi 15 menit. Pernah mengalami.
Mau tidak mau keberatan juga saya ajukan. Walau menyadari itu kesalahan sendiri. Penyakitnya kambuh. Ya masalahnya, jam lima pagi sudah mulai kerja, terus kelupaan absen. Tapi dianggap telat. Bagaimana rela?
Kalau telat semenit dua menit dianggap telat. Tapi kalau lewat jam kerja sejam dua jam tidak dianggap lembur. Komplain saya.
Dengan gagah perkasa Pak HRD memberi kuliah singkat: Kalau kamu lupa absen dan telat itu berhubungan dengan kedisiplinan. Kalau ada kelebihan jam kerja itu namanya loyalitas.
Kenapa bisa begitu? Ups, sudahlah. Saya malas berdebat soal beginian. Rela tidak rela ya terima saja dengan aturan ini selama mau kerja. Kalau saya tidak rela bisa apa? Yang lain sepertinya rela-rela saja dengan aturan ini. Tidak komplain seperti saya.
Lagi ketelatan yang ada tidak ada sanksi pemotongan gaji atau teguran. Cuma buat penilaian saja untuk perhitungan kenaikan gaji.
Nah, ini dia masalahnya. Karena tahun lalu sudah dengan semangat membaca lembaran penilaian yang mendapat nilai di atas 80, kenaikan gajinya cuma lima puluh ribu rupiah. Keren kan?
Mengalami kejadian ini, pikiran saya malah melayang ke soal loyalitas dan merasa sedih. Kalau sama perusahaan saya diminta harus loyalitas soal waktu kerja dan rela menerimanya.
Kenapa sama Tuhan saya tidak berusaha untuk loyalitas ya? Tentu loyalitas berbuat kebaikan yang diperintahkan dan loyalitas tidak melakukan yang dilarang. Memalukan.
Menyedihkan memang, saya harus lebih memilih memliki loyalitas pada perusahaan yang cuma memberi saya gaji sekian rupiah. Tetapi lalai untuk loyalitas pada Tuhan yang telah memberikan kehidupan.
Kenapa juga saya tidak lebih memilih loyalitas kepada nurani yang akan memberikan kecerahan hidup dan menerangi jalan kegelapan yang terbentang?
Tambah menyedihkan lagi, demi loyalitas kerja adakalanya harus menghianati loyalitas pada nurani.
@refleksidiriuntukmenerangihati

sumber:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/25/loyalitas-kerja-vs-loyalitas-nurani-619669.html/unduh/26/12/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar