Inovasi Atau Improvement? Kesenjangan Antara Akademisi Dengan Praktiksi
Dalam suatu acara pelatihan kepada para perencana yang dilakukan oleh
sekolah bisnis dan manajemen suatu institut terkemuka di Bandung,
diadakan suatu sesi studi kasus, dimana setiap kelompok diminta untuk
membuat suatu rencana strategis untuk dapat mencapai sasaran atau tujuan
dari masing-masing bagian, kebetulan ada kelompok yang mempresentasikan
tentang suatu penyelenggaraan pelatihan penanggung jawab teknik badan
usaha konstruksi, yang kondisi eksisting mengalami kendala dimana minat
para penanggung jawab teknik badan usaha konstruksi untuk menjadi
peserta pelatihan tersebut yang sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan
jumlah peserta yang juga sangat minim.
Oleh sebab itu, salah satu rencana strategis yang
dibuat saat itu adalah dengan mengubah metode pelatihan, yang sebelumnya
dilakukan di suatu ruang rapat hotel menjadi langsung dilakukan
dilapangan atau diproyek, dengan harapan para peserta pelatihan dapat
merasakan manfaat langsung dari pelatihan. Proses mengubah metode
pelatihan inilah yang disebut sebagai suatu inovasi oleh kelompok yang
mempresentasikan.
Namun demikian, trainer saat itu tidak setuju dengan sebutan inovasi, dan cenderung menyebutnya sebagai perbaikan atau improvement. Yang
menarik adalah, terjadi pertanyaan dari kelompok tersebut, apa
perbedaan antara inovasi dengan improvement, yang dijawab oleh trainer
bahwa dalam improvement yang cenderung dilakukan adalah suatu perubahan
yang tidak besar, seperti perubahan metode pelatihan, perubahan tempat,
perubahan trainer dan lain sebagaimnya, sedangkan inovasi yang cenderung
dilakukan adalah perubahan-perubahan besar (tidak disebutkan contohnya
seperti apa).
Selanjutnya kelompok tersebut bertanya, lalu apa
esensi membedakan antara inovasi dengan improvement, yang dijawab oleh
trainer, dampak melakukan inovasi adalah terjadinya peningkatan
pencapaian tujuan diatas 100 %, sedangkan improvement dibawah 50 %.
Setelah itu, terlihat adanya ketidakpuasan dari kelompok tersebut atas
jawaban sang trainer, yang menurut saya sangat beralasan.
Pertanyaan apa esensi mengotak-ngotakkan inovasi
dengan improvement tidak dapat dijawab dengan baik. Lalu apa gunanya
kita membedakan antara inovasi dengan improvement dan mengapa kita harus
membedakan hal tersebut. Analogi yang dapat digunakan adalah, misalnya
katakanlah dilakukan suatu improvement (perubahan yang tidak besar)
seperti memberikan honor peserta 1 juta per orang (yang sebelumnya tidak
diberikan honor peserta), namun materi, tempat, trainer semua sama
(artinya perubahan kecil), hasil yang didapat bisa jadi lebih dari 100 %
(jumlah peserta kemungkinan besar naik 2 kali lipat), yang artinya
secara proses menurut sang trainer hal tersebut adalah improvement,
namun secara hasil merupakan inovasi (menurut sang trainer lebih dari
100%). Ketidakkonsistenan terjadi ketika kita mencoba mengotak-ngotakan
antara improvement dengan inovasi.
Dari cerita tersebut, sebuah opini terbentuk dalam pikiran saya
bahwa dalam suatu ilmu manajemen yang merupakan ilmu non-eksakta,
perbedaan cara berpikir antara akademisi dengan praktisi dapat terjadi.
Akademisi cenderung berpikir sesuai dengan apa yang mereka baca lalu
memberikan justifikasi (meskipun saya berkeyakinan tidak semua akademisi
seperti itu). Sedangkan praktisi cenderung berpikir praktis
(sepertinya namanya) apa yang dapat dilakukan agar tujuan dapat dicapai,
dalam cerita ini entah itu inovasi entah itu improvement, yang penting
tujuan dapat dicapai sehingga menghasilkan kinerja yang baik. Bagi
praktisi, mengotak-ngotakan suatu rencana strategis harus memiliki
alasan yang jelas mengapa harus dikotak-kotakan, sedangkan bagi
akademisi, karena hal tersebut adalah berdasarkan literatur, maka itu
harus dipegang, entah itu memiliki alasan atau tujuan tertentu atau
tidak (sekali lagi saya berkeyakinan tidak semua akademisi seperti itu).
Namun demikian, hal itu bukan berarti seluruh pendidikan akademis
itu tidak baik. Dalam pandangan saya, pendidikan akademis khususnya
untuk disiplin ilmu yang tidak sepenuh eksakta, dapat dikatakan
berhasil apabila terbentuk suatu cara berpikir yang sistematis dalam
mengelola suatu sistem dalam peserta pendidikan akademis tersebut.
Segala macam teori, literatur atau lain sebagainya, harus dilihat dari
sudut pandang azas manfaat bagi pencapaian tujuan. Jika kita tidak dalam
kondisi dimana mengotak-ngotakkan inovasi dengan imrovement adalah
penting bagi pencapaian tujuan, maka buat apa hal tersebut dilakukan.
Pengotak-ngotakkan antara inovasi dengan improvement pada suatu kondisi
mungkin diperlukan, misalnya dalam hal kita ingin melakukan analisis
risiko dari suatu pengambilan keputusan. Inovasi dalam kondisi tertentu
mungkin memiliki risiko yang sangat lebih tinggi dibandingkan jika hanya
dilakukan suatu improvement, padahal kondisi saat itu, peningkatan
sangat signifikan dalam pencapaian tujuan tidak terlalu diperlukan.
Sehingga keputusan dalam lingkup improvement menjadi keputusan yang
lebih cenderung untuk dilakukan.
Penerapan suatu teori tanpa didasari oleh kemampuan melihat
kebutuhan suatu sistem akan cenderung tidak memiliki manfaat. Begitu
pula sebaliknya, kemampuan meilhat kebutuhan suatu sistem tanpa memiliki
suatu sistematika berpikir seperti teori-teori yang ada pun cenderung
tidak akan menghasilkan manfaat (meskipun saya lebih cenderung menyukai
untuk menjadi orang yang seperti ini).
SUMBER:
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/12/21/inovasi-atau-improvement-kesenjangan-antara-akademisi-dengan-praktiksi-621520.html/UNDUH 23/12/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar