Senin, 23 Desember 2013

CATATAN2

 Inovasi Atau Improvement? Kesenjangan Antara Akademisi Dengan Praktiksi

Dalam suatu acara pelatihan kepada para perencana yang dilakukan oleh sekolah bisnis dan manajemen suatu institut terkemuka di Bandung, diadakan suatu sesi studi kasus, dimana setiap kelompok diminta untuk membuat suatu rencana strategis untuk dapat mencapai sasaran atau tujuan dari masing-masing bagian, kebetulan ada kelompok yang mempresentasikan tentang suatu penyelenggaraan pelatihan penanggung jawab teknik badan usaha konstruksi, yang kondisi eksisting mengalami kendala dimana minat para penanggung jawab teknik badan usaha konstruksi untuk menjadi peserta pelatihan tersebut yang sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan jumlah peserta yang juga sangat minim.
Oleh sebab itu, salah satu rencana strategis yang dibuat saat itu adalah dengan mengubah metode pelatihan, yang sebelumnya dilakukan di suatu ruang rapat hotel menjadi langsung dilakukan dilapangan atau diproyek, dengan harapan para peserta pelatihan dapat merasakan manfaat langsung dari pelatihan. Proses mengubah metode pelatihan inilah yang disebut sebagai suatu inovasi oleh kelompok yang mempresentasikan.
Namun demikian, trainer saat itu tidak setuju dengan sebutan inovasi, dan cenderung menyebutnya sebagai perbaikan atau improvement. Yang menarik adalah, terjadi pertanyaan dari kelompok tersebut, apa perbedaan antara inovasi dengan improvement, yang dijawab oleh trainer bahwa dalam improvement yang cenderung dilakukan adalah suatu perubahan yang tidak besar, seperti perubahan metode pelatihan, perubahan tempat, perubahan trainer dan lain sebagaimnya, sedangkan inovasi yang cenderung dilakukan adalah perubahan-perubahan besar (tidak disebutkan contohnya seperti apa).
Selanjutnya kelompok tersebut bertanya, lalu apa esensi membedakan antara inovasi dengan improvement, yang dijawab oleh trainer, dampak melakukan inovasi adalah terjadinya peningkatan pencapaian tujuan diatas 100 %, sedangkan improvement dibawah 50 %. Setelah itu, terlihat adanya ketidakpuasan dari kelompok tersebut atas jawaban sang trainer, yang menurut saya sangat beralasan.
Pertanyaan apa esensi mengotak-ngotakkan inovasi dengan improvement tidak dapat dijawab dengan baik. Lalu apa gunanya kita membedakan antara inovasi dengan improvement dan mengapa kita harus membedakan hal tersebut. Analogi yang dapat digunakan adalah, misalnya katakanlah dilakukan suatu improvement (perubahan yang tidak besar) seperti memberikan honor peserta 1 juta per orang (yang sebelumnya tidak diberikan honor peserta), namun materi, tempat, trainer semua sama (artinya perubahan kecil), hasil yang didapat bisa jadi lebih dari 100 % (jumlah peserta kemungkinan besar naik 2 kali lipat), yang artinya secara proses menurut sang trainer hal tersebut adalah improvement, namun secara hasil merupakan inovasi (menurut sang trainer lebih dari 100%). Ketidakkonsistenan terjadi ketika kita mencoba mengotak-ngotakan antara improvement dengan inovasi.
Dari cerita tersebut, sebuah opini terbentuk dalam pikiran saya bahwa dalam suatu ilmu manajemen yang merupakan ilmu non-eksakta, perbedaan cara berpikir antara akademisi dengan praktisi dapat terjadi. Akademisi cenderung berpikir sesuai dengan apa yang mereka baca lalu memberikan justifikasi (meskipun saya berkeyakinan tidak semua akademisi seperti itu). Sedangkan praktisi cenderung  berpikir praktis (sepertinya namanya) apa yang dapat dilakukan agar tujuan dapat dicapai, dalam cerita ini entah itu inovasi entah itu improvement, yang penting tujuan dapat dicapai sehingga menghasilkan kinerja yang baik. Bagi praktisi, mengotak-ngotakan suatu rencana strategis harus memiliki alasan yang jelas mengapa harus dikotak-kotakan, sedangkan bagi akademisi, karena hal tersebut adalah berdasarkan literatur, maka itu harus dipegang, entah itu memiliki alasan atau tujuan tertentu atau tidak (sekali lagi saya berkeyakinan tidak semua akademisi seperti itu).
Namun demikian, hal itu bukan berarti seluruh pendidikan akademis itu tidak baik. Dalam pandangan saya, pendidikan akademis khususnya untuk disiplin ilmu  yang tidak sepenuh eksakta, dapat dikatakan berhasil apabila terbentuk suatu cara berpikir yang sistematis dalam mengelola suatu sistem dalam peserta pendidikan akademis tersebut.  Segala macam teori, literatur atau lain sebagainya, harus dilihat dari sudut pandang azas manfaat bagi pencapaian tujuan. Jika kita tidak dalam kondisi dimana mengotak-ngotakkan inovasi dengan imrovement adalah penting bagi pencapaian tujuan, maka buat apa hal tersebut dilakukan.  Pengotak-ngotakkan antara inovasi dengan improvement pada suatu kondisi mungkin diperlukan, misalnya dalam hal kita ingin melakukan analisis risiko dari suatu pengambilan keputusan. Inovasi dalam kondisi tertentu mungkin memiliki risiko yang sangat lebih tinggi dibandingkan jika hanya dilakukan suatu improvement, padahal kondisi saat itu, peningkatan sangat signifikan dalam pencapaian tujuan tidak terlalu diperlukan. Sehingga keputusan dalam lingkup improvement menjadi keputusan yang lebih cenderung untuk dilakukan.
Penerapan suatu teori tanpa didasari oleh kemampuan melihat kebutuhan suatu sistem akan cenderung tidak memiliki manfaat. Begitu pula sebaliknya, kemampuan meilhat kebutuhan suatu sistem tanpa memiliki suatu sistematika berpikir seperti teori-teori yang ada pun cenderung tidak akan menghasilkan manfaat (meskipun saya lebih cenderung menyukai untuk menjadi orang yang seperti ini).

SUMBER:
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/12/21/inovasi-atau-improvement-kesenjangan-antara-akademisi-dengan-praktiksi-621520.html/UNDUH 23/12/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar