Epilog (15)
Sebenarnya
sampai disini prinsip-prinsip epistemologi Qur’ani telah diuraikan. Namun ada
beberapa fakta menyangkut epistemologi yang penting untuk dikemukakan sebagai
komplemen (pelengkap) kepadanya. Setidaknya ada dua poin yang akan didiskusikan
di sini: pertama, berkenaan dengan “ilmu perolehan” (the Acquired Knowledge)
dan kedua, berkenaan dengan “Ilmu Husuli”
dan Ilmu Huduri.” Mari kita mulai
dengan yang pertama:
Acquired
Knowledge dan Revealed Knowledge.
Kata “acquire” menurut kamus Webster
adalah “memperoleh atau mendapatkan sesuatu melalui usaha atau tindakan
sendiri”11 sehingga “acquired
knowledge” berarti ilmu yang diperoleh oleh diri sendiri dari luar. Dalam
dikusi filsafat yang dimaksud “akal perolehan (al’aql al-mustafȃd)”, yaitu akal yang telah mampu memperoleh ilmu
dari akal kesepuluh atau akal aktif yang sering diidentikan dengan malaikat Jibril.”
Sedangkan “revealed knowledge” adalah
pengetahuan yang “diwahyukan Allah ke dalam hati manusia.” Sekalipun
kedua-duanya berasal dari Allah, dalam kasus “the acquired knowledge” manusia diberi peran aktif, sedangkan dalam
kasus “the revealed knowledge” manusia
bersikap pasif.
Dalam perspektif
Al-Qur’an pada prinsipnya ilmu itu berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri
mengatakan “Dialah yang mengajarkan dengan pena, mengajarkan manusia ilmu yang
belum ia ketehaui” (96:45). Demikian juga, “Dialah yang mengajar Adam (nenek
moyang manusia) segala nam (ilmu)” (2:31). Dengan begitu dapat disimpulkan
bahwa baik ilmu perolehan maupun ilmu yang diwahyukan, keduanya berasal dari
Allah. Hanya saja, kadang ilmu diberikan secara langsung sebagai hadiah, atau
diberikan “ melalui usaha manusia” setelah sebelumnya Allah memberikan petunjuk-petunjuk
tentang bagaimana cara memperolehnya. Jenis ilmu yang pertama inilah yang kita
sebut ilmuperolehan (the acquired
knowledge) dan yang kedua ilmu yang diwahyukan (the revealed knowledge).
Ilmu Perolehan (Acquired Knowledge). Ilmu perolehan, seperti telah disinggung
di atas, merupakan ilmu yang diperoleh manusia dengan alat-alat yang telah
Allah berikan, yaitu mata, telinga, dan akal (hati rasional), melalui metode
eksperimen dan demonstratif ilmu-ilmu apa saja yang bisa kita bangun melalui
observasi indera dan penalaran rasional, jawabnya tak pasti, tapi kalau kita
mau bercermin pada apa yang dicapai oleh para ilmuwan agung Islam pada masa
kejayaannya, maka kita bisa melihat ilmu-ilmu apa saja yang telah dikembangkan
dalam karya-karya mereka.
Dalam
klasifikasi ilmu yang dibuat oleh Ikhwȃn al-Shfȃ dan Ibn Sina (w.1073), kita
bisa mengetahui ilmu-ilmu apa saja yang bisa dihasilkan oleh observasi dan
penalaran manusia. Pertama ilmu dibagi ke dalam dua bagian teoritis dan
praktis. Ilmu teoritis dibagi ke dalam fisika, matematika dan metafisika.
Berikut ini
adalah beberapa disiplin-disiplin ilmiah yang telah dihasilkan oleh para
ilmuwan Muslim dan observasi mereka:
Ø
astrofisika, yang berhubungan dengan langit dan
alam semesta,
Ø
meteorologi, yang berhubungan dengan benda-benda
yang ada di antara langit dan bumi,
Ø
fisika dasar, yang menyangkut materi, bentuk,
ruang, waktu, dan gerak,
Ø
minralogi, yang berkitan dengan benda-benda
mineral, seperti batua-batuan dan logam-logaman dan cairan,
Ø
botani, yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan,
baik secara fisiologis, maupun psikologis,
Ø
zoologi, yang berhubungan dengan hewan, baik
yang menyangkut klasifikasinya, fisiologi maupun psikologinya,
Ø
anatomi, yang berhubungan dengan tubuh manusia,
Ø
kedokteran, yang berhubungan dengan kesehatan
manusia, dan
Ø
psikologi, yang berhubungan dengan jiwa manusia.
Sedangkan
melalui “penalaran rasional” manusia telah menghasilkan ilmu-ilmu matematika
dan metafisika. Ilmu matematika memiliki beberapa cabang, misalnya
Ø
aritmetika, yang berhubungan dengan angka,
Ø
geometri, yang berhubungan dengan bentuk-bentuk
dan ukuran ruang,
Ø
astronomi, yang berhubungan dengan peredaran
benda-benda langit,
Ø
musik, yang berhubungan dengan harmoni, dan
Ø
geografi, yang berhubungan dengan permukaan
bumi, termasuk gunung-gunung, lembah, danau, laut dan permukiman manusia.
Adapun ilmu
metafisika memiliki beberapa cabang, seperti:
Ø
ontologi, yang mempelajari wujud secara umum,
Ø
teologi, yang mempelajari tentang Tuhan,
Ø
kosmologi, yang mempelajarii alam raya dan
strukturnya,
Ø
antropologi, yang mempelajari hakikat manusia,
dan
Ø
eskatologi, yang mempelajari hari akhir, atau
tepatnya mempelajari jiwa setelah bercerai dengan badan.
Semua disiplin
ilmu yang tersebut di atas biasanya disebut ilmu-ilmu rasional (al-‘ulūm al-‘aqliyyah), dalam tradisi
ilmiah Islam termasuk ke dalam ilmu-ilmu filsafat atau hikmah.12 Dalam
pandangan Al-Qur’an, hikmah dipandang berasal (yakni diturunkan) “oleh Allah
kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya” (2:269). Hikmah adalah kata lain dari
filsafat, dan para filsuf mengakui bahwa untuk memperoleh ilmu filsafat ini
mereka harus berusaha keras, dan ini tentunya berbeda dengan para Nabi yang
memperoleh ilmunya tanpa usaha, tetapi lebih sebagai hadiah dari Allah Swt.
Ilmu Yang Diwahyukan (Revealed Knowledge). kalau dibagian pertama, kita membicarakan
tentang ilmu perolehan yang melibatkan usaha manusia, maka dibagian kedua ini
kita akan berbicara tentang ilmu yang diperoleh sebagai “hidayah” dari Allah,
yang bisa berupa wahyu (dalam kasus Nabi) atau ilham (dalam kasus para wali).
Kalau ilmu jenis pertama diperoleh lewat pengamatan indera dan penalaran akal,
maka ilmu jenis kedua (the revealed
knowledge) ini diperoleh lewat hati (qalb
atau fuȃd), seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Berbicara
tentang ilmu yang diwahyukan, yang menandai kenabian seseorang, al-Fȃrabi (w.
950) membagi kenabian menjadi dua kenabian besar (greater prophecy) yang kemudian disebut “nubuwwah” dan kenabian kecil (lesser
prophecy) yang mungkin bisa kita sebut “walȃyah“
(kewalian). Bentuk konkret dari jenis kenabian yang pertama adalah “kitab” (dalam
konteks Islam adalah Al-Qur’an), yang diturunkan sebagai “hidayah” bagi
manusia, dan jenis kenabian yang kedua tentunya adalah “karya-karya agung
tasawuf” yang banyak ditemukan dalam khazanah dan warisan Islam.
Adapun ilmu-ilmu
yang muncul dari mengkaji, memahami dan merenungkan kitab ini adalah apa yang
disebut oleh Ibn Khladun sebagai “ilmu-ilmu naqliyyah”
(transmitted sciences) atau yang biasa kita sebut “ilmu-ilmu agama.”
Sebagai
“hidayah” maka Al-Qur’an telah menjadi sumber informasi yang luar biasa,
terutama bagi disiplin-disiplin ilmu agama, yang menyangkut hukum – ibadah dan
mu’amalah), maupun keyakinan-keyakinan teologis, dan juga menyangkut amal-amal
batin dan spritualitas. Ddengan demikian Al-Qur’an telah menjadi pusat
perhatian, penelitian, pengkajian dan
perenungan dari para sarjana (‘ulama’),
dan dari sini muncullah disiplin-disiplin ilmu agama yang seperti disinggung
o;eh Ibn Khaldun meliputi bidang-bidang:
Ø
Ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘ulum Al-Qur-an), yang
meliputi banyak cabang seperti Qirȃat,
Asbȃb al-Nuzūl, Makkiyyah dan Madaniyyah,
Tafsir, dll.
Ø
Ilmu-ilmu Hadits (‘ulūm al-Hadits), yang meliputi antara lain ilmu dirȃyah dan riwȃyah, studi biografi (‘ilm
al-rijȃl), kritik Hadis (jarh wa
al-ta’dil), mukhtalaf al-hadits, dll.
Ø
Fiqh dan Ushul Fiqh, yang mengkaji tentang
tata-cara beribadah yang dideduksi (istinbȃth)
dari ayat-ayat Al-Qur’an, dan Ushul Fiqh, yang membicarakan tentang metode atau
prinsip-prinsip pendeduksian tersebut.
Ø
Ilmu Kalam (Teologi Islam), yang merupakan
elaborasi rasional terhadap konsep dan rukun-rukun iman, dan
Ø
Tasawuf (‘ilm
al-tashawwuf), yang merupakan buah pengalaman mistik/intuitif, dan
elaborasi dari konsep ihsȃn.
Yang menarik
untuk diperhatikan adalah bahwa sekalipun Al-Qur’an merupakan sumber utama
ilmu-ilmu agama (al-‘ulūm al-naqliyyah),
tetapi Al-Qur’an juga bisa menjadi sumber informasi yang menakjubkan bagi
ilmu-ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyyah).
Dan itu terjadi karena Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang
persoalan-persoalan agama, tetapi juga berbicara dan bahkan memberi penjelasan
yang sangat bermanfaat berkenaan dengan fenomena alam. Misalnya saja pernyataan
Al-Qur’an bahwasanya “Allah menciptakan segala makhluk hidup dari air” (21:30),
tentu merupakan informasi yang penting dalam bidang biologi, bahwa “langit dan
bumi tadinya satu, kemudian kami pisahkan keduanya” (21:30), dan bahwa “Allah
selalu memperbaharui penciptaan” (55:29), yang penting untuk kajian
astrofisika; yang penting bagi fisika, bahwa janin melalui tahap-tahap evolusi
yang rumit dalam rahim, dari mulai “saripati tanah, sperma, (nuftah), sesuatu
yang melekat (‘alaqah), segumpal
daging (mudgah), tulang-belulang (al-izȃm), daging (lahm) dan terakhir bentuk yang lain berupa janin manusia
(23:11-14), yang tentunya merupakan penting untuk kajian embriologi.
Dengan ini
jelaslah, bahwa Al-Qur’an telah menjadi bukan hanya sumber utama ilmu-ilmu
agama tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi ilmu-ilmu non-agama, atau
rasional. Banyak buku telah ditulis
mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan fenomena alam,13
atau yang dikenal dengan istilah “ayat-ayat kauniah” bahkan ada juga kitab
tafsir yang khusus membahas tentang ayat-ayat kauniah tadi.
Ilmu-ilmuHusūlì
dan ilmu-ilmu Hudūri. Sebagai penutup dari lampiran ini, kita akan
membahas sedikit tentang apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu husūlì (knowledge by correspondence) dan ilmu-ilmu hudūrì (knowledge by presence).
Sebenarnya cikal bakal semua ilmu adalah ilmu hudūrì, yakni ilmu yang berkenaan dengan diri (self-knowledge). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ilmu hudūrì merupakan pondasi bagi semua
ilmu, baik itu ilmu rasional maupun intuitif. Perbedaan yang paling fundamental
antara ilmu hudūrì dan ilmu husūlì adalah bahwa yang pertama
bersifat langsung (immediate) tanpa
sebuah media apa pun, sedangkan ilmu husūlì
sangat tergantung pada media, baik itu kata-kata, representasi, maupun simbol.
Pada prinsipnya,
boleh dikatakan bahwa semua ilmu yang telah disampaikan dengan kata-kata atau
konsep itu adalah ilmu husūlì, tak
peduli apakah ia berasal dari pengalaman inderawi, rasional atau intuitif. Contohnya:
semua karya tulis para sufi, baik dalam bentuk prosa maupun puisi termasuk pada
ilmu husūlì sekalipun ia berasal dari
pengalaman batin mereka. Demikian juga semua pengetahuan yang dirasakan secara
langsung oleh si subjek, apakah ia pengalaman inderawi atau intuitif, semuanya
bisa dikatakan sebagai ilmu hudūrì. Misalnya:
rasa sakit yang kita rasakan ketika kita terluka, dan bukan ungkapan rasa sakit
yang kita ucapkan pada kawan kita, termasuk ilmu hudūrì, dan tentu saja pengalaman batin para Nabi dan para wali
pada saat mengalaminya adalah ilmu hudūrì.
Satu lagi
karakteristik dari ilmu hudhuri adalah bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan
cara hudūrì, tidak bisa terkena kategori
“salah” atau “benar.” Kategori salah dan benar hanya berlaku bagi ilmu-ilmu husūlì, karena disini dituntut adanya
korespondensi antara yang diungkapkan dan yang dialami. Belum tentu yang
diungkapkan bisa benar-benar mewakili apa yang dialami. jalȃl al-Dìn Rūmì (w. 1273), yang dikenal
sebagai penyair cinta paling besar, misalnya pernah berkata:
Seribu satu
penjelasan tentang cinta telah aku berikan,
tetapi ketika
cinta itu sendiri datang kepadaku,
aku malu dengan
semua penjelasan itu.
Sedangkan dalam
ilmu hudūrì yang disifati dengan
pengetahuan tentang diri (self-knowledge)
di mana subjek dan objek adalah sama, kesenjangan itu tidak ditemukan. Di sini apa
yang kita ketahui adalah sama dengan adanya, dari sinilah muncul istilah “to know is to be.”
Demikianlah sebuah
pengantar yang bisa saya persembahkan kepada Anda. Semoga ini bisa memberikan
sedikit informasi yang dibutuhkan oleh para pembaca Budiman, ketika kita
mendekati Al-Qur’an dari perspektif keilmuan, sesuai dengan tema terjemahan “Mushfaf
al-‘Alim.” Akhirnya kepada Allah-lah kita kembalikan segala urusan, karena
Dialah pemilik sejati ilmu pengetahuan.
Panorama
Serpong, 8 Maret 2011.
......
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
........
11 Lihat
Webster’s New Word Dictionary of the American Language, Cleaveland and NewYork
The Work Publishing Company: 1964; hal 13.
12 Bahwa fisafata diidentifikasi dengan hikmah,
bisa kita lihat dalam beberapa buku filsafat yang terkenal, seperti Hikmah
al-Isyrȃq, karangan Suhrawardi, al-Hikmah al-Muta’aliyyah, karangan Mullȃ
Shadrȃ yang isinya tak lain daripada ajaran-ajaran filsafat Suhrawardi atau
Mullȃ Shadrȃ.
13 Salah
satunya yang pernah diterbitkan Mizan, Ayat-Ayat Semesta, karangan Dr. Agus
Purwanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar