Epistemologi Ratu
Semut
Sekarang kita
lihat contoh lain bahwa Al-Qur’an mampu menjadi sumber inspirasi bagi
konstruksi bangunan ilmu pengetahuan. Mari kita baca dengan seksama ayat 18 Surah
An-Naml dan mendiskusikanya.
Hingga
ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Hai semut-semut,
masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan
tentaranya sedangkan mereka tidak menyadari.”
Ayat ini bila
dibaca sekilas tampak telah serbajelas dan gamblang, apalagi bila hanya membaca
makna dari terjemahan, bukan dari teks asli. Memang, nuansa ketika membaca
Al-Qur’an dari orang yang tidak memahami bahasa Arab dan nahwu-sharaf sedikit
pun tentu berbeda dengan mereka yang mengerti. Mereka yang tidak mengerti
bahasa Arab akan langsung melihat dan menerima terjemahan apa adanya tanpa
kritik, catatan, atau pertanyaan.
Mereka yang baru
balajar nahwu-sharaf akan melihat sesuatu yang kurang dalam terjemahan
tersebut. Terjemahan minimum “qalat
namlatun” mestinya “(telah) berkata seekor semut betina” bukan “(telah)
berakata seekor semut” tanpa kata betina. Alasannnya, namlatun membawa tanda ta’
marbuthoh sebagai(ۃ
) tanda bagi isim muannaŝ (kata benda
perempuan sehingga semut dimaksud adalah semut betina, bukan semut jantan.
Demikian pula kata yang mendahuluinya adalah qȃlat yang berasal dari qȃla dan
disandari hiya yakni isim damir yang
menunjuk subjek mu’annaŝ dan mufrad (perempuan tunggal).
Terjemahan
“(telah) berkata seekor semut betina” dikatakan minimum karena terjemahan masih
membatasi pada dua kata qȃlst namlatun, belum
melibatkan kata lain dalam kalimat yang sama. Perhatikan kata-kata lanjutan
yang terkait dengan jenis dan isi perkataan sang semut betina tersebut.
Sang semut
betina sedang menyeru “ya ayyuha
an-namlu” yang berarti “Wahai (para) semut”, di sini telah digunakan harf nida. Keterangan ini diperjelas
dengan kalimat lanjutannya “udkhulu
masȃkinakum” menggunakan fi’il ‘amr (kata
kerja perintah) yang berarti) “Masuklah ke dalam rumah-rumah kalian”. Artinya
sang semut betina sedang memerintah untuk masuk.
Selanjutnya,
imajinasi atau personifikasi di dalam kehidupan manusia akan mendapatkan
kenyataan bahwa yang memerintah adalah pemerintah atau perempuan atau pemimpin,
seperti camat, bupati, gubernur, presiden, dan seterusnya. Artinya, semut
betina tersebut adalah pemimpin para semut dan karena berkelamin betina, semut
tersebut adalah ratu. Dengan demikian, terjemahan yang paling pas adalah,
Hingga
ketika mereka sampai di lembah semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar
kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak
menyadari.”
Tetapi,
terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak satu pun yang mengartikan qȃlat namlatun dengan “berkata ratu
semut”, kecuali Mahmud Yunus yang menerjemahkan dengan “berkata raja semut”.
Meski raja dan ratu dapat mempunyai peran sama, keduanya berbeda dalam jenis
kelamin, laki-perempuan atau jantan-betina. Terjemah Departemen Agama RI dalam
bahasa Jawa menyebut “(ratune) semut”. Terjemahan ini selain
kurang tegas karena menggunakan tanda kurung (ratune), dalam bahasa Jawa, ratu juga bermakna raja yang laki-laki
seperti banyak digunakan dalam ungkapan pewayangan. Prabu Puntadewa ratu ing
Ngamarta, Prabu Baladewa ratu ing Mandura, Prabu Kresna ratu ing Dwarawati, dan
seterusnya. Pengertian ini juga digunakan dalam menerjemahkan Surah An-Nas ayat
2, mȃliki al-nȃs dengan “ingkang
ngratoni manungsa” atau “yang merajai manusia”.
Ada juga kritik
atas pemaknaan seperti uraian di depan Namlatun
tidak merujuk pada semut betina, melainkan seekor semut, sedangkan namlun berarti banyak semut (jamak).
Bila kritik ini benar, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apa bahasa Arab
untuk semut betina maupun semut jantan. Bagaimana guru biologi di Kairo atau
Madinah harus menyampaikan kalimat dengan arti “seekor semut betina membawa
sebutir telur” dan “seekor semut jantan mendorong sebutir gula” kepada
murid-muridnya di depan kelas? Dus, kritik
ini tidak kuat.
Hasil sementara
analisis bahasa atas Surah An-Naml ayat 18 menyatakan bahwa pemimpin komunitas
semut adalah ratu. Biolog atau zoolog muslim dapat menjadikan pemahaman ini
sebagai starting point atau titik
tolak penelitiannya. Ratu bagi semut adalah hasil analisis bahasa, bukan teks
apa adanya dari Kitab Suci, al-malikatu (ratu).
Bandingkan dengan keistimewaan lebah, khususnya tentang sarang dan khasiat
lebah seperti yang tersurat dalam QS An-Nahl [16]: 68-69.
Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu, keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang berpikir.
Pertama, Al-Qur’an menggunakan kata an-nahlu untuk judul surah dan objek di
ayat 68. Kedua, dinyatakan secara
jelas bahwa lebah diberi wahyu agar membangun rumah-rumah mereka di
gunung-gunung dan pepohonan dan makan buah-buahan. Ketiga, Al-Qur’an menginformasikan bahwa dari perut lebah keluar
cairan yang dapat diminum dan berfungsi sebagai obat. Dari ayat-ayat ini,
rahasia kelebihan dan keutamaan lebah relatif jelas dan mudah dipahami. Semua
disampaikan menggunakan redaksi yang sangat jelas tanpa perlu analisis bahasa
sebagaimana kasus semut.
Karena ratu
merupakan hasil atau kesimpulan dari analisis bahasa, langkah selanjutnya
adalah konfirmasi lapangan atau laboratorium atas pemimmpin semut. Dalam proses
ilmiah, ratu semut dimunculkan sebagai hipotesis yang perlu diuji kebenarannya
melalui langkah-langkah atau eksperimen terencana di laboratorium. Inilah
contoh dan bentuk konkret epistemologi Islam, sumber informasi awal bagi ilmu
berasal dari Kitab Suci, bukan dari mitos, keraguan, dan curiosity semata.
Laboratorium,
dengan demikian, sekaligus berperan sebagai hakim yang menentukan apakah dugaan
bahwa pemimpin semut adalah betina benar atau salah. Ternyata biologi
membenarkan hipotesis tersebut, bahwa pemimpin semut adalah betina, ratu.
Masalah tidak
berhenti di sini. Pertanyaan lebih lanjut dapat kita ajukan. Mengapa semut
dipilih untuk diabadikan di dalam Al-Qur’an yang diketahui sebagai mukjizat
terbesar sekaligus petunjuk bagi umat manusia sampai akhir zaman? Mengapa bukan
hewan lain, seperti belalang, cacing, kecoa, orong-orong atau hewan lainya?
Apakah kelebihan semut dibandingkan hewan-hewan lain? Atau, ada apa dengan
semut? Cara untuk menjawab pertanyaan ini tidak lain yaitu dengan penelitian
lapangan, laboratorium.
Jawabannya juga
sudah dikuak oleh para ilmuwan di luar Islam. Majalah Reader Diggest yang
terbit pada akhir dasawarsa 70-an pernah menguraikan panjang lebar keistimewaan
semut dibandingkan hewan-hewan lainya. Pertama,
komunitas semut mempunyai sistem atau struktur kemasyarakatan lengkap
dengan pembagian tugasnya. Kedua, masyarakat
semut mengenal sistem peperangan kolektif. Artinya, kelompok semut tertentu
yang dipimpin seekor ratu semut dapat berperang dengan komunitas semut yang
dipimpin oleh ratu lainnya. Hewan lain umumnya bertarung individu-individu. Ketiga, semut mengenal sistem perbudakan.
Telur sebagai harta benda utama dari pihak semut yang kalah perang akan
dikuasai dan diangkut oleh pihak semuut pemenanng. Telur-telur ini akan dijaga
sampai menetas dan bayi semut ini akan dijadikan budak-budak mereka yang
menang. Keempat, semut mengenal
sistem peternakan. Pada daun pohon jambu, mangga, rambutan, atau lainnya,
kadang terdapat jamur putih lembut. Di sana ada hewan kecil berwarna putih yang
menghasilkan cairan manis. Semut tahu hewan ini malas berpindah, karena itu
semut membantu memindahkannya ke tempat baru bila lahan di sekitar itu telah
mulai tandus dan setelah semut memerah cairannya setiap periode waktu tertentu.
Sampai saat ini belum diketahui hewan lain yang mengenal sistem perbudakan dan
peternakan. Kelima, semut mengenal
sistem navigasi yang baik.
Apakah rahasia
semut hanya itu? Wallahu a’lam. Manusia
baru menyibak rahasia dan keistimewaan semut sebanyak itu. Sifat-sifat dan
keistimewaan lain harus diselidiki lebih lanjut melalui riset lapangan dan
laboratorium yang terancang, terjadwal, bahkan terukur. Dengan cara seperti
itulah, ilmu pengetahuan yang maju dan berkembang pesat sekarang dibangun. Sciences start with a little question and
end with bigger questions.
Al-Qur’an adalah
petunjuk bagi manusia, termasuk calon dan ilmuwan muslim. Al-Qur’an menyebutkan
banyak fenomena alam dengan awalan atau akhiran yang sifatnya menantang. Apakah
kita tidak memerhatikan dan memikirkannya. Ada 800 ayat kauniyah, jumlah yang
tidak sedikit dan tidak patut diabaikan. Ayat-ayat tersebut ditampilkan dengan
warna khusus dalam Al-Qur’an yang pembaca pegang ini. Tujuannya, agar mendapat
perhatian khusus, kemudian ditindaklanjuti dengan kajian dan penelitian bagi
lahirnya kembali sains dikalangan muslim. Semua tentu untuk tegaknya
risalah-Nya di muka bumi ini.
Rabi’al-Awwal
1430
......
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar