Filsafat Ilmu dalam
Perspektif Al-Qur’an
Apa itu Ilmu ? Al-Qur’an telah dipandang
oleh kaum Muslimin sebagai kitab induk segala ilmu, karena prinsip-prinsip
segala ilmu telah dicanangkan di dalamnya. Demikian juga kalau kita teliti,
Al-Qur’an telah memuat prinsip-prinsip utama filsafat ilmu (epistemologi), yang
kalau kita elaborasi bisa menghasilkan sebuah teori ilmu yang komprehensif.
Sekalipun tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar, tetapi Insya Allah saya
akan berusaha mengelaborasi semaksimal mungkin aspek-aspek penting dari
epistemologi Qur’an. Di bagian ini akan didiskusikan pengertian atau definisi
dari yang kita sebut ilmu ini, baik menurut para ilmuwan Muslim maupun
Al-Qur’an sendiri.
Arti harfiah
ilmu (‘ilm) adalah pengetahuan, dari
kata dasar ‘alima yang berarti
“mengetahui.” Namun dalam tradisi ilmiah Islam, ilmu bukanlah sembarang
pengetahuan, tetapi pengetahuan yang real.
Salah satu definisi ilmu yang diberikan oleh para ilmuwan Muslim adalah “pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya” (ma’rifat
al-syay’ ‘ala mȃ huwa bihi). Kata “sebagaimana adanya” ini mengandung
pengertian “sesuai dengan kenyataan atau realitasnya.” Jadi sebuah pengetahuan
baru dikatakan ilmiah, apabila ia “berkorespondensi” dengan kebenaran atau realitasnya. Ini penting dikemukakan di
sini, karena banyak pengetahuan yang kita yakini, tapi ternyata belum mencapai
tingkat ilmiah, yakni belum sebagaimana adanya. Seperti ungkapan “bintang
kecil, dilangit yang biru,” belum bisa dikatakan sebagaimana adanya, karena
ternyata bintang tidak kecil dan langit pun tidak biru. Bahwa bintang memang
terlihat kecil ya, tapi sesungguhnya ia sangat besar, langit hanya terlihat
biru karena bias atmosfir yang memantukan sinar matahari. Ketika matahari tak
nampak, maka bias pun hilang dan langit akan terlihat hitam. Jadi kesan indrawi
kita belum tentu melaporkan sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena itu, ilmu
harus dibedakan dengam kesan.
Itu sebabnya
para ilmuwan Muslim, mengkontraskan ilmu dengan opini (ra’y), dimana opini adalah pengetahuan yang didasarkan bukan pada
realitas objeknya, tetapi pada informasi-informasi yang belum teruji
kebenarannya. Istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan fenomena ini
adalah dugaan, perkiraan, sangkaan (zann).
Zann menurut Al-Qur’an tidak akan membawa atau memberi kita suatu kebenaran, sedangkan
ilmu akan membawa kita kepada kebenaran. “Mereka tidak punya ilmu tentang itu,
tetapi hanya mengikuti prasangka belaka,
padahal sesungguhnya prasangka itu
tidak akan berfaeda apa pun terhadap kebenaran” (53;28). Oleh karena itu, kita
dianjurkan untuk menghindarkan banyak prasangka, karena sebagian prasangka itu
nista. “Hindarilah banyak berprasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.”
(49;12).
Definisi ilmu
sebagaimana dikemukakan di atas ini sangat penting kita pahami, karena perintah
menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban. “Menuntut atau mencari ilmu adalah
kewajiban bagi setiap individu Muslim, laki-laki maupun perempuan,” demikian
Nabi kita menyampaikan pesannya buat kita. Perintah ini menurut saya sama
dengan perintah untuk mencari kebenaran, karena ilmu tidak lain daripada
kebenaran, yakni kebenaran dari sebuah objek yang sedang kita teliti. Namun,
sayang kebanyakan motivasi para pelajar kita dalam menuntut ilmu, kebanyakan
bukanlah mencari kebenaran, tetapi yang lain (semisal ijazah, diploma, naik
pangkat, atau mencari pekerjaan)
Tipologi Ilmu. Mencari ilmu sama dengan
mencari kebenaran, namun kita juga tahu bahwa Kebenaran Terakhir (the Ultimat
Truth) adalah Allah sendiri, yang sering dinamai al-Haqq, sang Kebenaran.
Karena itu, mencari ilmu akan sama dengan mencari kebenaran, dan mencari
kebenaran akan sama dengan mencari Allah. Namun dalam tradisi Islam, karena
keunikan Allah, yang tidak sama dengan suatu apa pun (42:11), maka dzat atau esensi Allah tidak bisa kita kenal.
Dalam sebuah hadits Qudsi, yang sering digunakan oleh para Sufi, Allah
digambarkan sebagai “Harta Terpendam (Kanz
Makhfiyy),” yang berarti tersembunyi (makhfiyy)
dan karena itu hadits yang sama Allah menyatakan bahwa Ia ingin dikenal, lalu
Dia menciptakan alam semesta, lewat mana kita bisa mengenal-Nya. Ada sebuah
hadits yang mengingatkan kita akan hal ini. “Pikirkanlah olehmu alam ciptaan
Allah, tapi jangan memikirkan zat (esensi) Nya, niscaya engkau akan binasa.”
Dalam perspektif
Al-Qur-an alam semesta adalah ayat atau tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan
keberadaan Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam, ada tanda-tanda (keberadaan
Allah) bagi mereka yang berakal.” (3:190). Dengan demikian, alam adalah sarana
lewat mana kita diharapkan bisa mengenal sang Kebenaran, Allah Swt, dengan cara
mempelajarinya. Dari mempelajari alam semesta ini, muncullah ilmu-ilmu alam,
baik yang berkenaan dengan langit dan alam semesta, maupun tentang bumi yang
kita huni ini, atau apa yang ada di antara keduanya. Inilah yang kita sebut
sebagai ilmu-ilmu umum. Selain alam semesta, Allah Swt, juga menurunkan kitab
suci Al-Qur’an sebagai ayat-ayat Allah jenis lain dalam bentuk bacaan atau
ucapan. Ayat-ayat ini diturunkan sebagai bukti kebenaran kenabian Muhammad Saw,
dan juga untuk menambah keimanan seseorang. “Apabila dibacakan ayat-ayatnya,
maka bertambahlah iman mereka” (8;2), jelas “ayat-ayat yang dibacakan” tersebut
adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan ini,
jelaslah bagi kita bahwa Allah Swt, menyajikan kepada kita dua macam ayat,
sebagi sarana bagi kita untuk mengenal-Nya, satu ayat-ayat kawniyyah berupa alam,
dan yang lain adalah ayat-ayat kawliyyah berupa Al-Qur’an. Dan
melalui pengkajian yang intensif terhadap kedua macam ayat tersebut, muncullah
dua macam ilmu, yang kita kenal dengan istilah ilmu-ilmu agama (syar’iyyah atau naliyyah) dan ilmu-ilmu umum (ghyr
syar’iyyah atau ‘aqliyyah).
Ilmu-ilmu agama muncul sebagai hasil kajian yang mendalam terhadap Al-Qur’an
sebagai ayat qawliyyah, sedangkan ilmu-ilmu
umum muncul sebagai hasil kajian yang mendalam terhadap alam sebagai ayat qawniyyah.
Pembagian ilmu
ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum, sebenarnya kurang tepat. Karena sepertinya
ilmu-ilmu umum tersebut tidak punya nilai keagamaan. Sebenarnya kedua jenis
ilmu diatas sama-sama memiliki nilai keagamaan, kalau saja dalam mempelajari
alam semesta kita mengkajinya sebagai ayat-ayat Allah. Al-Jȃhizh dalam pengantar buku zoologinya, Kitȃb al-Hayawȃn, mengatakan bahwa zoologi (ilmu hewan) merupakan
cabang dari ilmu agama, karena tujuan utama pengkajiannya adalah untuk
menunjukan kebesaran Allah sebagaimana terlihat pada hewan. Namun, karena
kebanyakan ahli ilmu sekarang tidak lagi membaca alam semesta yang dijadikan
objek kajiannya sebagai ayat Allah, maka tidak lagi terkandung nilai-nilai
keagamaannya, karena ilmu-ilmu modern sudah mengalami proses sekularisasi.
Kalau kita kembali membaca alam sebagai ayat Allah, sebagaimana kita membaca
Al-Qur’an, maka baik dalam ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum akan terlihat
jelas nilai-nilai keislamannya.
Objek-objek Ilmu. Yang saya maksud
dengan objek-objek ilmu adalah semua hal (entitas) yang menjadi sasaran
penelitian atau pengkajian seorang ilmuwan. Pertanyaannya adalah apa saja yang
boleh menjadi objek ilmu dalam pandangan Al-Qur’an? Pada prinsipnya, semua
ciptaan Allah, yang dipahami sebagai ayat-ayat Allah, menurut Al-Qur’an boleh
menjadi objek-objek ilmu. Maka Allah, menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya (sebagai ayat-ayat-Nya) dengan hak (46:3) Allah Swt,
akan menunjukan tanda tanda kebesaran-Nya yang terlihat di cakrawala (al-ȃfȃq) dan dalam diri manusia sendiri
(fi anfusihim) (4:53) sebagai objek
ilmu atau perenungan manusia. Kita juga dihimbau untuk memperhatikan langit,
bagaimana ia ditinggikan (88;17), diciptakan dan ditinggikan tanpa tiang
(31:10;13:2), memperhatikan burung-burung yang terbang di angkasa dengan mudah
(16:79), matahari sebagai pelita yang terang benderang (17:16), awan-awan yang
bergerak berarak-arak dan dengan tersusun rapi (24:43), bumi bergerak antara
langit dan bumi (2:164), serts bintang-bintang yang diciptakan Allah sebagai
hiasan langit (37:6).
Selain
benda-benda yang terlihat di langit dan di angkasa Allah Swt, juga menjadikan
benda-benda yang ada di bumi sebagai objek-objek yang patut manusia renungkan.
Apakah tidak engkau perhatikan bagiamana unta diciptkan, langit ditinggikan
bagaimana gunung dipancangkan dan bagaimana bumi dihamparkan (88:17). Demikian
juga pantas untuk dijadikan objek pengkajian manusia bagimana bumi yang mati
(tandus), kemudian dengan air hujan yang jatuh dari langit Allah hidupkan
kembali dengan cara menumbuhkan biji-bijian yang hasilnya kita makan. Demikian juga dengan kebun-kebun yang tumbuh
di permukaan bumi setelah disuburkan dengan air yang memancar dari mata
air-mata air yang ada di sana, sehingga banyak buah dihasilkan sebagai bahan
pangan manusia (36;33-35). Begitupun kita diminta untuk memperhatikan
perkembangan janin dalam rahim ibu (23;14) dan bagaimana Allah membentuknya sebagaimana
yang ia suka (3;6), dan banyak lagi objek ilmu yang dapat kita temukan di bumi
ini. Pendek kata, semua objek ilmu yang ada didalamnya dari mulai benda-benda
mineral, tumbuhan, hewan dan manusia, semuanya adalah objek yang sah dari ilmu
pengetahuan kita.
Selain objek
alamiah yang kasat mata, Al-Qur’an juga meminta kita untuk merenungkan apa-apa
yang ada di balik fenomena alam, atau objek-objek metafisik. Kita diminta untuk
merenungkan siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi? (14;19), siapakah
yang telah menggiring awan hujan dan menyusunya bertumpuk-tumpuk? (24;43),
siapakah yang mengisi sumur-sumur kitasetelah mereka kering? (67;30), dan siapa
yang menundukan matahari dan bulan untuk kepentingan manusia (14;33) dan banyak
lagi ayat serupa itu. Semuanya bahan perenungan dan penellitian kita. Tentu
saja ayat-ayat tersebut di atas menunjukan dengan jelas kepada kita bahwa di
balik fenomena alam yang sangat mengagumkan itu, ada “aktor agung” yang
bertanggung jawab atas semua yang terjadi di alam ini, yang kita sebut Allah,
Tuhan semesta alam.
Selain Allah,
Al-Qur’an juga menyingkapkan adanya makhluk-makhluk hidup yang ada bukan saja
di bumi ini, tetapi juga makhluk-makhluk yang ada dilangit, yang semuanya
dikatakan “bertasbih kepada-Nya.” (22;18), seperti malaikat, yang selalu
bertasbih dan mensucikan Allah (2;30), jin yang diciptakan dari lidah api
(55;15) dan juga “Setan yang diutus Allah kepada orang-orang kafir.” (19;83)
tentang “roh (ruh) manusia yang
dihidupkan Tuhan pada manusia,” yang tentunya adalah gaib bagi manusia dan
digambarkan tidak akan musnah dengan kematian bahkan akan terus hidup untuk
mepertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya selama di dunia ini. Maka sebesar
apa pun kebaikan kita pasti akan diperlihatkan, demikian juga sebesar apa pun
kejahatan kita akan diperlihatkan di sana (99;7-8); tentang alam akhirat yang
tentunya ghaib bagi manusia, lengkap dengan “sorga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai,” (3;15) yang luasnya sebesar langit dan bumi dan dijanjikan
untuk orang-oranng yang bertakwa” (3;133) dan neraka yang baranya terdiri dari
manusia dan batu-batuan,” yang dijanjikan bagi orang-orang kafir” (2;24). Yang
menarik juga adalah pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa bukan hanya
makhluk-makhluk yang hidup saja yang mampu bertasbih, tetapi juga
entitas-entitas yang biasa kita sebut sebagai makhluk mati (inorganik). Ini
berarti bahwa di balik semua benda-benda alami, ada kekuatan spritual yang
bertanggung jawab atas semua aktivitasnya.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an, objek-objek pengetahuan mannusia
tidak terbatas hanya pada objek-objek fisik saja – yang membentang dari alam
semesta sampai diri manusia – tetapi juga entitas –entitas metafisik, yang tak
nampak pada mata kita, tetapi yang telah bertanggung jawab atas segala apa yang
terjadi pada entitas-entitas fisik yang dapat kita jumpai di alam semesta.
Selain
objek-objek yang telah disinggung di atas, Al-Qur’an juga meminta kita untuk
memperhatikan apa yang terjadi pada bangsa-bangsa yang telah mendahului kita.
Dengan kata lain, kita diajak Al-Qur’an untuk memperhatikan sejarah, sebagai
pelajaran. Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana akibat dari orang-orang sebelum mereka, padahal mereka lebih dahsyat
kekuatannya (30:9; 35:44; 40:21). Menurut Al-Qur’an, sejarah perlu kita jadikan
objek penelitian kita, karena di dalamnya ada pelajaran (‘ibrah) dan petunjuk
(hidayah) bagi kita yang hidup sesudahnya. Menurut Sayyed Hossein Nasr,
pengkajian sejarah yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan semata-mata ceritera
masa lalu saja, tetapi merupakan peringatan agar hal serupa tidak terjadi pada
diri kita, karena kalau kita lengah, maka sifat-sifat buruk orang seperti
Fir’aun tidak mustahil akan menjadi milik kita, dan nasib yang menimpa mereka
juga akan menimpa diri kita. Sementara itu Al-Qur’an menanyakan, “tidakkah
mereka jadikan petunjuk betapa banyak umat sebelum mereka yang Kami binasakan?”
(32:26)
Alat-alat Ilmu. Sejauh ini kita baru
berbicara tentang objek-objek pengetahuan kita. Pertanyaan berikutnya dengan
apa kita bisa mengetahui objek-objek tersebut? Seperti telah kita singgung
diatas, manusia diminta untuk merenungkan beegitu banyak objek ilmu, tetapi
objek ilmu yang begitu banyak dan beragam tersebut tidak mungkin dapat kita
ketahui kalau kita tidak punya (atau diberi) alat-alat untuk mengetahuinya.
Maka pertanyaannya sekarang adalah alat-alat apakah yang Allah berikan kepada
kita, menurut perspektif Al-Qur’an. Dalam salah satu ayat dinyatakan bahwa
“manusia terlahir dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, maka (agar
manusia mengetahui sesuatu Allah menciptakan bagi manusia pendengaran (al-sam’), penglihatan (al-abŝar) dan pengertian (al-af’idah)” (16;78). Tentu saja
pendengaran adalah kemampuan untuk mendengar yang harus direalisasikan dengan
alat indera telinga (uźun/ȃźȃn),
penglihatan dengan mata (‘ayn/a’yun),
dan pengertian dengan hati (qalbi/qulub).
Ini adalah tiga alat yang seringkali disinggung dalam Al-Qur’an, dengan mana
manusia dimungkinkan untuk mengetahui alam sekitarnya (melalui pendengaran dan
penglihatan) dan alam-alam yang lebih tinggi yang dapat diketahui lewat hati (qalb).
Dengan
penglihatan, kita bisa mengetahui keberadaan dari hampir semua benda-benda
fisik, dari mulai langit dan alam semesta yang luas, sampai kepada
makhluk-makhluk kecil yang ada di hadapannya. Dengan mata yang diciptakan
sebagai alat penglihatan, manusia tealh melakukan pengamatan (observasi) yang
seksama tentang alam fisik ini, dan terciptalah berbagai disiplin ilmu fisika,
dari mulai astrofisika (hasil pengamatan terhadap langit, dan bintang
gemintan), metodologi (hasil pengamatan terhadap objek-objek yang ada antara
langit dan bumi), kimia (hasil pengamatan terhadap unsur-unsur materi), fisika
(hasil pengamatan terhadap materi, bentuk, ruang, waktu, dan gerak) mineralogi
(hasil pengamatan terhadap batu-batuan, logam, dan benda-benda cair), botani
(hasil pengamatan terhadap hewan), anatomi (hasil pengamatan terhadap tubuh
manusia) dan psikologi (hasil pengamatan terhadap aktivitas mental manusia).
Melalui teling,
kita bisa memperoleh informasi yang penting yang tidak bisa diperoleh lewat
penglihatan. Kalau dengan melalui penglihatan kita bisa mengerti ayat-ayat kawniyyah, maka melalui pendengaran
inilah maka kita bisa mengerti dan memahami ayat-ayat qawliyyah, berupa ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab
penting lainnya. Kalau tulisan bisa diserap melalui penglihatan, maka kata-kata
bisa diserap lewat pendengaran, pernyataan-pernyataan Nabi tentu dapat
ditangkap melalui pendengaran demikian juga kuliah-kuliah seorang guru dapat
ditangkap melalui pendengaran.
Kalau mata bisa
mengamati objek-objek fisik, dan telinga untuk mencerap makna kata-kata, maka
dengan alat apakah kita bisa memahami objek-objek metafisik? Seperti
dikemukakan di atas, bahwa agar manusia bisa memahami objek-objek ilmu, maka
Allah menciptakan indera (disimbolkan dengan penglihatan dan pnedengaran)5
dan hati (disimbolkan dengan fuȃd dan qalb).6 Sementara jelas, bahwa indera dimaksudkan untuk
menangkap objek-objek indrawi, maka hati tampaknya dimaksudkan untuk menangkap
objek-objek yang non fisik. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa salah satu
fungsi hati (qalb) adalah untuk
melakukan penalaran (ya’qilūn)7 (22;46)
yakni penalaran logis, yang intinya “mengambil kesimpulan tentang yang belum
diketahui dari yang sudah diketahui.” Misalnya mengamati fenomena alam untuk
kemudian menyimpulkan adanya sang Pencipta di balik itu semua (14;19), atau
setelah merenungkan betapa langit dibangun tanpa tiang, (31;10) maka kita
menyimpulkan pastilah ada yang maha kuasa yang telah melakukannya.
Di tempat lain,
Al-Qur’an juga menyinggung fungsi lain dari qalb
yaitu untuk memahami (yafqahu).
Memahami bisa berarti tertaangkapnya maksud dari sebuah ungkapan atau kalimat,
yang tentunya tidak bisa semata-mata ditangkap oleh mata atau telinga. Mata bisa
melihat, tetapi yang mampu memahami bukanlah mata itu sendiri, melainkan hati.
Dalam tradisi Islam, kata “fiqh”
berarti pemahaman, yakni pemahaman tentang agama, seperti tercermin dalam kata
“tafaqqahu fi al-din,” yakni memahami
ajaran agama. Demikian juga bukan pendengaran yang sebenarnya bisa memahami
makna sebuah ungkapan atau kalimat, melainkan hati (qalb).
Selain itu, hati
juga berfungsi untuk melakukan perenungan (tadabbur).
“Al-Qur’an menyatakan: “mereka punya hati untuk melakukan perenungan” (22;46).
Dengan ini, kkita mengerti bahwa salah satu fungsi hati adalah melakukan
perenungan (refleksi) misalnya terhadap ayat-ayat Allah, sehingga dengan itu
hati kita bisa melihat dan memahami apa yang tidak bisa diserap melalui indera.
Dengan ini saya melihat bahwa hati berfungsi ganda bisa sebagai akal, yang
melakukan penalaran, bisa juga sebagai intuisi yang bisa menembus misteri alam
menuju sang Kebenaran.
Selain melakukan
penalaran logis, hati manusia juga bisa menangkap hal-hal lalin yang lebih
bersifat spritual atau immaterial
daripada yang bisa dilakukan oleh nalar dan pikiran. Menurut Al-Qur’an, hati dapat digunakan untuk
berzikir kepada Allah, seperti dinyatakan Al-Qur’an, “tidaklah mampu orang yang
Kami kunci hatinya untuk mengingat Kami
(‘an zkrina),” (18;28), untuk
menerima hidayah, seperti pernyataannya “barangsiapa beriman maka Allah memberi
petunjuk kepada hatinya” (64;11), dan bahkan untuk menjadi tempat bagi malaikat
Jibril (al-Rūh al-Amin) ketika
menyampaikan wahyu dari Allah, seperti diungkapkan Al-Qur’an, “Dan sesungguhnya
(Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan Allah, Tuhan selluruh alam, yang dibawa
turun oleh al-rūh al-amìn (Jibril),
ke dalam hatimu agar engaku termasuk orang yang diberi peringatan (26;192-4).
Inilah alat-alat ilmu yang diberikan Allah kepada manusia yang disinggung dalam
Al-Qur’an: telinga, mata dan hati,8
dengan mana manusia dibimbing ke aarah menemukan sang Kebenaran.
Metode Ilmiah. Setelah bicaara tentang
objek-objek ilmu dan alat-alat yang dipakai untuk meneliti dan memahami
objek-objek tersebut, maka pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana alat-alat
tersebut mampu menjalankan fungsinya tersebut. Adalah menarik untuk menyimak
perrnataan Al-Qur’an yang berulang-ulang menyatakan, “mereka punya mata, tetapi
mereka tidak melihat; mereka punya telinga, tapi mereka tidak mendengar, mereka
memiliki hati (qulūb), tapi tidak
melakukan penalaran (7;179). Menurut saya ayat-ayat tersebut bukan hanya
sebagai kritik, tetapi juga menyampaikan pesan bahwa yang dimaksud mendengar (yasma’ūn), melihat (yubsirūn) dan menalar (ya’qilūn)
bukanlah asal mendengar, melihat dan berfikir. Karena selama telinga, mata dan
hati itu sehat, maka pastilah kita semua melakukannya.
Ketika Al-Qur’an
mengatakan “mereka punya telinga tetapi tak mendengar, punya mata tetapi tidak
melihat,” maksudnya adalah tidak melihat dan mendengar dengan sungguh-sungguh
atau sebagaimana mestinya, yakni dengan cara/metode yang benar. Al-Qur’an
seringkali menggunakan kata “yanzuru”
ketika kita diperintah untuk melihat dengan sungguh-sungguh atau merenung,
seperti dalam ayat’ “apakah engkau tidak perhatikan bagaimana unta diciptakan,
langit ditinggikan, gunung-gunung dipancangkan dan bumi dihamparkan.” (17;20).
Tetapi,
Al-Qur’an menggunakan kata “tara” ketika kita diminta memperlihatkan apa yang
ada dibalik fenomena alam. “Tidakkah engkau lihat (a lam tara), siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
yang menurunkan untukmu hujan dari langit?” (27;60). “Tidakkah engkau lihat
bahwasanya Allah adalah pencipta langit dan bumi,” (14;19), “Apakah tidak kau
llihat (renungkan) ketika sumurmu menjadi kering di waktu pagi, siapakah yang
menjadikannya melimpah?” (67;30).
Jadi, yang
dimaksud melihat di sini adalah
“melihat dengan penuh perhatian,” sehingga tidak ada yang terluput dari
pengamatan kita. Dalam tradisi ilmiah Islam, cara melihat seperti ini disebut
metode observasi atau metode eksperimen (tajribì).
Dan metode ini digunakan secara luas dalam pengamatan mereka terhadap fenomena
alam baik yang menyangkut bidang astronomi, fisika, biologi, psikologi, dan
sebagainya. Al-Qur’an menanyakan siapakah yang telah menggeser bayang-bayang,
ketika Allah bisa membuatnya diam kalau Ia mau” (25;45).
Adapun hati (qalb atau fu’ȃd) merupakan organ ilmu yang bersifat spritual. Kalau dillihat
bahwa salah satu fungsi hati adalah penalaran, maka saya cenderung mengatakan
bahwa hati sebagai alat untuk berpikir penalaran (ya’qilūn) bisa disebut akal, walaupun
Al-Qur’an sendiri tidak pernah menggunakan kata “akal” dalam bentuk kata benda.9 Adapun cara kerja akal adalah dengan melakukan penalaran logis (logical reasoning) yakni menarik dari fakta (misalnya fenomena alam yang menakjubkan) atau pernyataan-pernyataan (premis) yang telah diketahui, sebuah kesimpulan yang sebelumnya tidak diketahui. Misalnya, setelah memperhatikan “penciptaan langit dan bumi dan turunnya hujan dari langit” (29;44) yang kita amati melalui indera (terutama mata), maka kita menyimpulkan bahwa di sana (di balik fenomena tersebut) mesti ada suatu Dzat yang maha Tinggi yang telah menciptakan (khalaqa) dan membuat (ja’ala) hal itu terjadi. Atau setelah menyimak pertanyaan “ketika sumurmu kering diwaktu pagi, siapakah yang telah membuatnya melimpah? (67;30), maka kita menyimpulkan bahwa mesti ada Wujud yang Maha Kuasa yang telah melakukan itu semua, yang kita sebut Tuhan. Banyak contoh dalam Al-Qur’an di mana kita bisa melakukan penalaran akal. “Demikianlah allah menghidupkan yang mati dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan (ayat-ayat)-Nya agar kamu berpikir/melakukan penalaran (la’allakum ta’qilūn) (2;73), Mengapa engkau menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu... mengapa tak aku renungkan (afalȃ ta’qilun)?” (2;44), dan “sungguh telah Kami jelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Ku agar kamu renungkan” (57;17)
Al-Qur’an sendiri tidak pernah menggunakan kata “akal” dalam bentuk kata benda.9 Adapun cara kerja akal adalah dengan melakukan penalaran logis (logical reasoning) yakni menarik dari fakta (misalnya fenomena alam yang menakjubkan) atau pernyataan-pernyataan (premis) yang telah diketahui, sebuah kesimpulan yang sebelumnya tidak diketahui. Misalnya, setelah memperhatikan “penciptaan langit dan bumi dan turunnya hujan dari langit” (29;44) yang kita amati melalui indera (terutama mata), maka kita menyimpulkan bahwa di sana (di balik fenomena tersebut) mesti ada suatu Dzat yang maha Tinggi yang telah menciptakan (khalaqa) dan membuat (ja’ala) hal itu terjadi. Atau setelah menyimak pertanyaan “ketika sumurmu kering diwaktu pagi, siapakah yang telah membuatnya melimpah? (67;30), maka kita menyimpulkan bahwa mesti ada Wujud yang Maha Kuasa yang telah melakukan itu semua, yang kita sebut Tuhan. Banyak contoh dalam Al-Qur’an di mana kita bisa melakukan penalaran akal. “Demikianlah allah menghidupkan yang mati dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan (ayat-ayat)-Nya agar kamu berpikir/melakukan penalaran (la’allakum ta’qilūn) (2;73), Mengapa engkau menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu... mengapa tak aku renungkan (afalȃ ta’qilun)?” (2;44), dan “sungguh telah Kami jelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Ku agar kamu renungkan” (57;17)
Fungsi lain dari
akal (hati yang melakukan penalaran) adalah “berpikir” atau mennurut istilah
Al-Qur’an tafakkur, yang cara kerjanya mirip sekali dengan melakukan penalaran
(ya’qilun), misalnya ayat yang
mengatakan: “demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat Allah agar
kamu bertafakkur” (la’allakum tatafakkarūn)
(2;219), dan “Apakah sama (keadaan) orang yang buta dan orang yang melek,
tidakkah kamu pikirkan?” (6;50). Jelas “tafakkur” di sini bukan sembarang
berpikir tetapi berpikir berdasarkan penalaran. Metode (cara) penalaran yang
seperti ini dalam tradisi Islam disebut “metode demonstratif” (burhȃnì).10
Itu adalah
cara-cara bekerja hati, sedangkan fungsi utama hati adalah mendapat petunjuk (hidȃyah). Adapun cara hati untuk
memperoleh “hidayah” berbeda dari cara indera dan akal, karena cara hati
memperoleh “hidayah” berbeda dari cara indera dan akal, karena cara hati
memperoleh hidayah ini akan melibatkan amal-amal spritual, seperti berzikir
(13:28) dan membersihkan hati dari macam-macam penyakit (marad) yang akan menghalangi datangnya hidayah ke dalam hati. Dengan
demikian hati kita menjadi sehat (al-qalb
al-salim) (26:89;37:84;50:33).
Dalam perkara
pengetahuan inti (intuisi), tampaknya pelaku utama bukanlah manusia tapi Allah
Swt. Di dalam Al-Qur’an banyak pernyataan yang mengatakan bahwa Allah sang
pemberi hidayah. Al-Qur’an bertanya, “siapakah yang akan memberi petunnjuk
selain Allah; tidakkah kau diberi peringatan?” (45:23), “siapakah yang bisa
memberi petunjuk kepada seseorang yang telah Allah sesatkan?” (30:29), jawabnya
tidak ada, kecuali Allah. “Allah menyesatkan orang yang Ia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada orang yang Ia kehendaki; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (14:4) dan “sesunggunya bbukan engkau (ya
Muhammad) yang memberi petunjuk kepada siapa yang engkau cintai, tapi Allahlah
yang memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki.” (28:56). Di sini
tampaknya, tugas utama mannusia hanyalah mempersiapkan diri (isti’dȃd) melalui dzikir dan pembersihan
diri.
Meskipun pada
hakikatnya memberi petunjuk atau menyesatkan manusia adalah hak istimewa Allah,
tetapi tidak berarti manusia tidak punya andil atau pilihan apa pun. Karena dalam
Al-Qur’an Allah memberi indikasi-indikasi siapa-siapa saja yang akan Ia beri
petunjuk, dan siapa yang tidak. Sebagai contoh, di satu sisi dikatakan bahwa
Allah tidak akan memberi petunjuk pada “orang-orang yang fasik” (2:62;63:6), “orang-orang
yang zhalim” (2:25;3:86), “orang-orang kafir” (2:264;5:76), “orang-orang
berkhianat” (12:52), “para pendusta” (39:3;40:28), dan lain-lain. Tapi di sisi
lain, Allah juga mengatakan akan memberi petunjuk kepada “orang yang mengikuti
dan mencari ridha-Nya ke jalan yang selamat,” (5:16), “oarang-orang yang telah
diberi ilmu,” (34:6), “orang-orang yang bertaubat” (42:13) dan “orang-orang
yang beriman dan mengikuti agama” (64:11;4:175).
Dengan demikian,
jelaslah bagi kita bahwa hidayah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang
di dalam hatinya terdapat sifat-sifat “buruk” yang tersebut diatas: fasik,
kufr, zhalim, khianat, dan dusta, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai penyakit
(marad) (2:10). Sifat-sifat buruk ini
pada gilirannya bisa dipicu oleh hal-hal lain, seperti “kecintaan yang
berlebihan terhadap dunnia dibanding akhirat” (16:107), “mengikuti hawa nafsu”
(28:50), “kesombongan (mutakabbir)
dan “kesewenang-wenangan” (jabbȃr) (40:35), dan sifat-sifat lainnya, seperti
kemunafikan (nifȃq) dan sifat
ragu-ragu ( rayb) di hati mereka.
Dengan ini,
jelaslah bahwa tugas manusia dalam memperoleh hidayah ini adalah melakukan
persiapan (isti’dȃd) dengan cara
membersihkan hati dan jiwa mereka dari segala penyait, yang disebut dalam
Al-Qur’an tatahhur al-qulūb) (5:41)
atau yang dikenal dalam tasawuf dengan tazkiyat
al-nafs. Selanjtunya kita dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang mendorong
diberikannya hidayah, seperti bertaubat, mencari keridhaan Allah, menuntut ilmu
dan mempertebal iman. Barulah, setelah itu serahkan semuanya kepada kehendak
Allah. Kalau Ia berkenan maka mudah bagi Allah untuk memberi hidayah kepada
siapa uyang Ia kehendaki.
Begitulah kemudian
hidayah datang sebagai penyingkapan kepada hati (mukȃsyafah), dalam berbagai bentuknya seperti “percakapan” Allah
langsung seorang hamba, seperti dalam kasus Nabi Musa a.s, (4:164)), “pengajaran
langsung dari Allah,” seperti dalam kasus Nabi Adam a.s, (2:31), atu turunya
malaikat (al-rūh al-amìn) ke dalam hati, seperti dalam kasus Nabi Muhammad Saw.
(2:97;26:194).
Metode yang
diperikan di atas – pembersihan hati dan pembinaan mental dengan amal-amal yang
terpuji sampai datangnya petunjuk atau ilmu ke dalam hati seseorang dalam
bentuk mukȃsyafah – dalam tradisi
ilmiah Islam lazimnya disebut metode intuitif (irfȃni).
.......
5
Dalam tradisi ilmiah Islam (terutama Ibn sina) indera dibagi ke dalam dua
bagian, yang pertama indera lahir, yaitu: mata, teling, hidung, lidah dan kulit
dan indera batin, yaitu fantasia, representasi, imajinasi, estimasi, dan
memori. Lihat Ibn Sinȃ, Avicenne’s Psychology, ter, Fazhur Rahman, London,
Oxford University Press, 1952, hal: 25-28.
6 Menurut
Hakim al-Turmudzi, qalb dan fu’ad adalah sama-sama hati, namun fu’ad adalah
lapisan hati yang lebih dalam, sedangkan lapisan paling dalamnya adalh lubb,
dan lapisan paling luar adalah shadr (suduūr).
7 Ya’qilu,
tentu dapat diasosiasikan, dengan kata akal (‘aql), namun ternyata kata akal
tidak terdapat dalam Al-Qur’an melainkan kata kerja ya’qilu, sehingga banyak
ulama, seperti Ibn Hazm, Ibn Taymiyya dan Ibn Qayyim, yang mengatakan bahwa akal
itu bukan sebuah entitas tetapi adalah fungsi dari akal.
8 Ada
uraian yang lebih lengkap tentang alat-alat ilmu yang didiskusikan oleh
al-Ghazali dalam bukunya Misykat al-Anwȃr,
sebagai penafsiran sufistik terhadap surat al-nur ayat 35. Setidaknya ada lima
alat ilmu tersebut yaitu Indera, yang disimbolkan dengan misykȃt, akal (yang disimbolkan dengan mishbȃh), imaginasi (zujȃjȃh),
daya pikir (syajarah mubȃrakah) dan
hati (zaytunah).
9 Oleh
karena itu, sarjana seperti Ibn Hazm,
Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim tidak mau memandang akal sebagai substansi
immaterial, tetapi sebagai salah satu fungsi hati.
10Selain
metode demonstratif, sebenarnya ada banyak metode logis yang telah dibicarakan
oleh para filosof Muslim (falasifah),
seperti dialektik (jadali), rhetorik
(khithȃbì) dan poetik (syi’ri). Tetapi
yang dipandang paling baik dan akurat, adalah metode burhani. Selanjutnya lihat
Mulyadhi Kartenegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta: Baitul Ihsan
(BI), 2006, bab terakhir metode ilmiah.
......
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar