Paradigma Fikih (4)
Kejayaan
umat Islam sekarang tinggal kenangan karena negeri-negeri muslim umumnya masih
terbelakang, bodoh, dan miskin. Akhir abad 14 Hijriah, Dunia Islam sempat
menggaungkan abad 15 hijriyah sebagai abad kebangkitan muslim. Gaung kebangkitan
ini terus terdengar sampai hampir dua dasawarsa awal abad ke-15.
Di
kota-kota besar di Indonesia diselenggarakan berbagai kegiatan, seperti
festival seni muslim. Kisah kehebatan para sarjana muslim generasi awal juga
mendominasi panggung cerita untuk menumbuhkan motivasi umat. Tetapi sayang,
cerita-cerita kehebatan para ilmuwan muslim masa lalu tersebut seperti tidak
berdampak sedikit pun dan seolah menjadi cerita pengantar tidur, bahkan sampai
saat ini. Artinya, umat Islam tetap tertidur dan terbelakang setelah
berulang-berulang mendengar cerita tersebut. Alih-alih umat berubah sikap dan
melangkah maju, yang terjadi malah kecenderungan sebaliknya. Kisah dan tayangan
irasional serta mengingkari akal sehat di media cetak dan elektronik justru digandrungi
masyarakat.
Diskusi
dan seminar yang membahas masalah keterbelakangan umat Islam pun telah banyak
dilakukan. Bila dicermati dengan seksama, tema, isi dan kesimpulan seminar atau
konferensi seolah-olah membenarkan pernyataan yang bernada menggugat dari
Syaikh Jauhari Thanthawi, guru besar Universitas Kairo. Di dalam tafsirnya, Al-Jawahir, Syaikh Thanthawi menulis
bahwa di dalam Kitab Suci Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah, ayat tentang alam semesta,
dan hanya sekitar 150 ayat fiqih. Anehnya, para ulama telah menulis ribuan
fiqih, tetapi nyaris tidak memerhatikan serta menulis kitab tentang alam raya
dan isinya.
Umat
dan para ulama banyak menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan dana untuk
membahas persoalan fiqih, dan sering berseteru serta bertengkar karenanya.
Mereka lalai atas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, dan
kelap-kelipnya bintang. Mereka abaikan gerak awan dilangit, kilat yang
menyambar, listrik yang membakar, malam yang gelap gulita, dan mutiara yang
gemerlap. Merka juga tak tertarik pada aneka tumbuhan di sekitarnya, binatang
ternak maupun binatang buas yang bertebaran di muka bumi, dan aneka fenomena
serta keajaiban alam lainya.
Selain disibukkan
dengan urusan fiqih, pengalaman dan pengamalan keagamaan kita memang cenderung
esoteris dan mengabaikan serta meremehkan akal. Padahal secara empirik, akal
sangat powerful. Al-Qur’an sendiri
tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata akal dalam bentuk verbal, seperti afalaˉta’qilūn, “apakah engkau tak
berpikir”. Sepuluh ayat lainya menggunakan kata verbal pikir, seperti la’allakum tafakkarū “agar engkau
memikirkanya”. Teguran agar manusia menggunakan akalnya seoptimal mungkin.
.........
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar