Sains Islam
Sains adalah
produk manusia seperti halnya musik, film, lukisan, patung, bangunan, dan
banyak lagi lainya. Begitu mendengar alunan suara musik, seseorang dapat
langsung mengenali apakah ia tipe musik keroncong, dangdut, pop, jaz, rock, klasik, atau lainya. Demikian pula
bila melihat film, lukisan, patung, atau bangunan, orang juga dapat segera
mengidentifikasi tipe apa objek yang
dilihatnya. Bahkan, orang dapat mengenali lebih jauh, misalkan musik pop yang
didengarnya kategori menghibur, indah, dan mendidik atau murahan sekedar bunyi,
cengeng, atau seronok.
Setiap produk,
apapun jenisnya pasti membawa tata nilai dan pandangan hidup atau pandangan
dunia dari produsenya. Contoh ekstrem dan gamblang adalah majalah play boy yang pernah diterbitkan di
negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia. Play boy adalah produk yang ssekaligus membawa pesan masyarakat
penganut hidup bebas, termasuk freesex di
dalamnya. Majalah ini pelan tapi pasti akan mengiring pada tradisi dan
kehidupan mesum, membangun masyarakat bebas bagai masyarakat hewan.
“Dan
demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan
binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-maccam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun (QS Fatir
[35];28).
Suatu tata nilai
yang asing dan bertentangan dengan tata nilai muslim sebagai mayoritas
masyarakat Indonesia.
Sains sebagai
produk manusia tidak dapat dikecualikan atau diistimewakan. Ia membawa
pandangan-dunia tertentu dari kreatornya. Bedanya, dibanding dengan produk
lainya seperti disebut di depan, sains selain lebih abstrak juga relatif tidak
memiliki bandingan. Di dunia musik, orang mengenal musik barat, india, musik
padang pasir, atau musik lokal, sedangkan untuk sains, sampai hari ini kita
hanya punya satu sains dominan, yakni sains modern atau sains barat.
Peradaban modern
telah telah mencapai kemajuan material yang luar biasa, tetapi pada saat yang
sama telah melahirkan krisis kemanusiaan yang cukup akut. Biang kerok semua
kejadian itu dituduhkan justru pada sains sebagai panglima peradaban modern.
Apa yang salah dari sains sekarang sehingga perlu dibangun sains alternatif
yang holistik, dan di antaranya adalah sains Islam? Bila sains Islam memang
ada, apa perbedaan utamanya dibanding dengan sains modern?
Secara
sederhana, sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyibak
realitas. Terkait dengan pengertian ini, sains juga menjadi tidak tunggal atau
dengan kata lain akan ada lebih dari satu sains, dan sains satu dengan yang
lain dibedakan pada apa makna realitas dan cara apa yang dapat diterima untuk
mengetahui realitas tersebut. Setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains
selalu berpijak pada tiga pilar utama, yaitu pilar ontologis, aksiollogis, dan epistemologis.
Tiga pilar sains
Islam jelas harus dibangun dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat, lȃ ilȃhȃ illallah dan terdeskripsi dalam
arkȃnul imȃn dan arkȃnul
Islam. Pilar ontologis yakni hal yang
menjadi subjek ilmu, Islam harus menerima realitas material maupun nonmaterial
sebagaimana dikatakan QS Al-Hȃqqah (69): 38-39
Maka
Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak kamu lihat.
Makhluk tidak
dibatasi oleh yang material dan terindra tetapi juga yang imaterial. Tatanan
ciptaan atau makhluk terdiri atas tiga keadaan fundamental, yaitu keadaan
material, psikis, dan spritual. Dalam bahasa kaum sufi, tiga keadaan ini
masing-masing disebut alam nasut, malakut, dan jabarut. Perhatikan fenomena
yang terjadi antara laik-laki dan perempuan sebagaimana direkam oleh Al-Qur’an.
Dan
di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir (QS Ar-Rūm [30]:21)
Tinggi dan berat
badan seseorang baik laki-laki maupun perempuan merupakan kuantitas material,
pertumbuhanya juga dapat dipengaruhi oleh upaya-upaya material, seperti
peningkatan kualitas makanan dan keteraturan olahraga. Selain aspek material,
manusia juga mempunyai aspek lain, seperti kecenderungan, perasaan tentraam,
dan kasih sayang antara lawan jenis laki-laki dan perempuan. Bila kecenderungan
ini sekedar insting material belaka, perkawinan sepasang suami-istri sulit
dipertahankan, khususnya bila keduanya mengalami perpisahaan secara geografis
dalam waktu relatif lama. Perpisahaan lama akan menyebabkan masing-masing
mencari pasangan baru yang lebih dekat secara fisik, tetapi kenyataanya tidak
demikian. Sepasang suami istri atau kekasih yang belum menikah mampu bertahan
sebagai pasangan meski keduanya dipisah cukup jauh dalam waktu lama. Ada rasa
kasih sayang, rasa setia yang imaterial dan inilah keadaan psikis. Sains modern
hanya menerima realitas materi dan pikiran, dan keduanya dipandang sebagai dua
substansi yang sepenuhnya berbeda dan terpisah.
Pilar kedua
bangunan ilmu pengetahuan adalah pilar aksiologis, terkait dengan tujuan ilmu
pengetahuan dibangun atau dirumuskan. Tujuan utama ilmu pengetahuan Islam
adalah dikenalnya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya, sebagaimana
dalam QS Ali ‘Imrȃn (3):191:
Yaitu
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan
sia-sia, Maha-suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Tujuan sains
Islam adalah mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan
oleh Tuhan. Sanis Islam juga bertujuan memperlihatkan kesatuan hukum alam,
kesinambungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan
prinsip Ilahi. Mengenal alam dan hukum setiap spesies tersebut pada Kehendak
Ilahi karena menurut Al-Qur’an, seluruh makhluk selain manusia adalah muslim.
Dengan pemahaman ini, sang ilmuwan menjadi lebih dekat dan tunduk kepada Sang
Pencipta sebagaimana disebutkan dalam QS Fȃtir (35): 28. Tujuan kemaslahatan
bagi umat berupa produk-produk material adalah derivatif dari tujuan final
digapainya Sang Pencipta. Inilah basis aksiologi Islam.
Sains modern
telah bergerak menuju deisme, kepercayaan bahwa Tuhan memulai alam semesta,
tetapi kemudian membiarkanya berjalan sendiri. Jika dianalogikan dengan jam,
peran Tuhan seolah-olah dibatasi sebagai pembuat jam belaka, setelah itu diam
dikejauhan dan membiarkan jam berjalan sendiri sampai rusak. Tuhan yang
pensiun, deus otiosus, karena Tuhan
tidak mempunyai pekerjaan lagi!
Fisiksa Newton
berhasil secara spektakuler menjelaskan sejumlah besar fenomena fisis.
Keberhasilan ini memunculkan perasaan yakin bahwa fisika Newtonian mampu
menjelaskan semua peristiwa. Para ilmuwan yakin bahwa thr ultimste theory telah didapatkan. Keyakinan ini
direpresentasikan oleh James Clerk Maxwell saat tampil memberi kuliah
inaugurasi di Universitas Cambridge pada 1871. Mawll menyatakan optimismenya
bahwa dalam waktu dekat, semua konstanta akan terestimasi. Alasanya, mekanika
klasik dan elektrodinamika, persamaan mendasarnya selain dipandang mampu
menggambarkan semua fenomena fisis juga telah memicu revolusi industri.
Konsep fisika
Newtonian juga atelah diperluas hingga menjadi metafisika materialisme yang
mencakup segala sesuatu. Selain itu, konsep ini juga menegaskan determinisme
yang mengklaim bahwa jika kita mengetahui posisi dan kecepatan setiap partikel
di alam, kita mampu memprediksi semua kejadian di masa depan. Pandangan yang
didukung oleh Pierre Laplace ini bersifat reduksionis karena berasumsi bahwa
entitas keseluruhan ditentukan sepenuhnya oleh perilaku komponen-komponen
terkecilnya. Semua ini meneguhkan deisme dan secara agak ekstrem dinyatakan
oleh Laplace saat menjawab pertanyaan Napoleon.
Suatu ketika
Napoleon menemui Laplace dan berkata, “Tuan Laplace, orang-oang mengatakan
sepada saya bahwa Anda telah menulis buku besar mengenai sistem alam semesta
dan Anda tidak pernah menyebut Sang Pencipta.” Laplace memberi jawaban yang
sangat terkenal, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” Bila sekedar hipotesis
peran saja tidak diperlukan, jelas muskil berharap Tuhan menjadi tujuan dalam
sains modern.
Pilar ketiga dan
terpenting adalah bagaiamana atau dengan apa kita mencapai pengetahuan pilar
epistemologis. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Saw, sekaligus
merupakan sumer intelektuallitas dan spritualitas Islam. Ia merupakan pijakan
bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spritual, melainkan juga bagi semua
jenis pengetahuan. Manusia mempunyai fakultas pendengaran, penglihatan, dan
hati sebagai alat memperoleh pengetahuan.
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (QS An-Nahl [16]: 78).
Manusia melalui
fakultas tersebut memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber. Meskipun
demikian, sumber dari segala sumber pengetahuan tidak lain adalah Tuhan yang
Maha Mengetahui. Salah satu sumber pengetahuan adalah Al-Qur’an. Meski bukan
kitab sains, Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia
secara keseluruhan sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 185:
Bulan
Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan pembeda ....
Al-Qur’an juga
berfungsi sebagai penerang bagi seluruh umat manusia tanpa pandang bulu
sebagaimana dinyatakan dalam QS Ali ‘Imrȃn (3): 138:
(Al-Qur’an)
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa.
Fungsi petunjuk
Al-Qur’an ini juga berlaku bagi kontstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi
petunjuk tentang prinsp-prinsip sains, khususnya selalu dikaitkan dengan
pengetahuan metafisik dan spiritual. Artinya, dalam epistemologi Islam, wahyu
dan Sunnah dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu
pengetahuan. Jelas, hal ini bertentangan dengan sains modern yang pada awal
kelahiranya dengan terang-terangan memproklamasikan perlawanan terhadap doktrin
religius, gereja dan wahyu tidak mendapat tempat dalam bangunan sains.
Sains modern
bahkan mengabaikan dan menyangkal segala aspek metafisik, spritual, dan
estetis, jagat raya. Eddington dan Whitehead menyatakan dengan tepat bahwa
sains modern adalah jenis pengetahuan yang dipilih secara subjektif karena
hanya berurusan dengan aspek-aspek realitas alam semesta yang dapat dipelajari
oleh metode ilmiah. Sains modern dibangun hanya dengan satu metodologi, yakni
metodologi ilmiah yang di ddalamnya terkandung unsur logika, observasi, dan
eksperimentasi.
Logika bukanlah
khas sains modern, jauh sebelumnyapara ilmuwan dan filsuf muslim senantiasa
menggunakan logika dan memandangnya sebagai suatu bentuk hikmah, bentuk
pengetahuan yang sangat diagungkan Al-Qut’an. Di dalam penggunaan logika di
kalangan sarjana muslim, terdapat istilah burhȃn,
istilah yang menunjukan metode ilmiah demonstrasi atau bukti demonstratif.
Al-Ghazali menyatakan bahwa istilah mizȃn
yang biasa diterjemahkan sebagai timbangan, merujuk antara lain pada
logika. Artinya, logika adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang
ide-ide dan pendapat-pendapat untuk sampai pada penilaian yang benar.
Seperti halnya
logika, observasi dan eksperimentasi sudah tersebar luas di kalangan sarjanaa
muslim jauh sebelum masa sains modern. Sebagaimana luasnya penggunaan logika
tidak membawa pada rasionalisme sekuler yang memberontak kepada Tuhan, luasnya
praktik eksperimental tidak mengiring pada empirisme yang memandang pengalaman
indriawi sebagai satu cara empiris untuk
mengetahui sesuatu, metode ilmiah sains modern sulit dibedakan dari metode
ilmiah sains Islam.
Sejarah ilmu
pengetahuan modern sering menyebutkan bahwa peralihan dari pendekatan metafisis
silogististik Aristotelian dalam tradisi Yunani ke observasi dan eksperimen
terjadi pada masa renaisans Eropa dan ditandai oleh Novum Organon (logika baru) dari Francis Bacon. Penyelidikan yang
cermat dan jujur akan mengakui bahwa observasi dan eksperimen telah menjadi
bagian dari aktivitas yang tak terpisahkan dari para sarjana muslim enam atau
tujuh abad sebelumnya.
Kenyataan
tersebut memperlihatkan bahwa para sarjana muslim klasik bukan sekedar
penerjemah dan penerus tradisi dan pola pemikiran Yunani. Para ilmuwan muslim
juuga memberi kontribusi yang signifikan bagi ilmu pengetahuan, yakni observasi
dan eksperimen. Pertanyaan yang relevan adalah apabila tradisi Yunani hanya
mewariskan satu pola pendekatan atas berbagai fenomena yakni pendekatan
metafisis silogistik, dari manakah para ilmuwan muslim mendapat ide orisinal
yakni penggunaan observasi dan eksperimen dalam memahami ciptaan? Satu-satunya
jawaban yang mungkin dan masuk akal adalah pesan yang berulang-ulang dengan
redaksional yang berbeda-beda di dalam kitab Suci Al-Qur’an, seperti alam tarȃ, afalȃ taqilūn, afalȃ tubsirūn,
afalȃ tatazakirūn, dan afalȃ tanzurūn
untuk memahami feno-mena alam. Redaksional yang berbeda ini dapat saja
dipahami secara estetis sebagai unsur keindahan dan variasi ayat-ayat
Al-Qur’an. Namun, pemahaman untuk pengembangan metode observasi dan eksperimen
seperti yang telah dilakukan sarjana muslim terdahulu juga bukanlah hal yang
aneh atau mengada-ada. Satu hal yang jelas bahwa semua itu telah menjadi jiwa,
spirit, dan kerangka berpikir (frame of
mind) para sarjana muslim generasi awal.
Dalam tatanan
ini, epistemologi sains Islam adalah epitemologi sains modern plus atau
diperluas, yakni plus penerimaan wahyu sebagai sumber informasi dan plus
metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan metodologi seperti
penerimaan metode ta’wil. Metode terakhir ini terkait dengan
upaya penyingkapan realitas lebih tinggi, yang hanya mungkin jika pikiran
tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh oleh keberkatan yang tumbuh dari
wahyu karena ruh ditiupkan pada yang menginginkanya. Bagi ilmuwan muslim,
adalah hal yang niscaya untuk sering berdoa meminta pertolongan Tuhan dalam
memecahkan masalah-masalah masalah maupun filosofisnya. Karena itu, dapat dimengerti
mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi
pengetahuan Islam.
..............
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar