Jumat, 26 Juli 2013

AL-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan (10)



Prototipe Sains Islam: Teori Atom Asy’ariyah
Ilmu pengetahuan nonmetafisis Aristotelian pernah dikembangkan secara intensif di Dunia Islam jauh sebelum Barat melakukanya. Seiring dengan pudarnya peradaban Islam, Barat secara pelan tetapi pasti mengambil alih kepemimpinan peradaban dari orang Islam, termasuk di dalamnya metodologi pengembangan ilmu pengetahuan. Kini, ketika peradaban Barat sangat dominan, Islam dengan pernik ilmu pengetahuannya yang sangat kaya menjadi tidak tampak sama sekali. Kini, ilmu pengetahuan identik dengan Barat.

Sebagai contoh, teori atom selalu dikembalikan pada konsep barat, baik modern maupun klasik (Yunani). Sepotong kapur putih yang digoreskan pada papan tulis akan meninggalkan bekas goresan putih, tulisan di papan. Saat tulisan di papan dihapus, termpak adanya debu debu putih beterbangan. Debu-debu tersebut merupakan potongan kecil kapur yang menempel di papan tulis yang kemudian dihapus, sebagian lengket pada penghapus, sebagian lagi berterbangan di udara. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan, apakah debu-debu tersebut masih dapat dibuat lebih kecil atau lebih halus lagi? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, orang melompat ke masa lalu, tepatnya dua puluh lima abad silam.

Leucippus dan Democritus dicatat sebagai perenung awal yang memberi perhatian dan membuat rumusan bagi elemen kecil, bahkan terkecil dari segala sesuatu. Kedua pimikir ini menyatakan bahwa setiap benda dapat dipecah sampai bentuk akhir yang tidak dapat dipecaah atau dibagi lebih lanjut, yang disebut atomos atau singkatnya atom. Inilah inti pandangan atomisme yang menyebutkan bahwa realitas terdiri atas banyak unsur yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.

Democritus mendeskripsikan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara; bentuknya (seperti huruf A dan N), urutanya seperti AN dan NA), dan posisinya (seperti N danZ). Atom tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Sebagaimana pandangan Parmenides, atom-atom itu tidak dijadikan dan kekal, tetapi Leucippus dan Democritus menerima keberadaan ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri atas dua hal yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong.

Democritus membuat perumusan lebih jauh, yakni kaitan antara jiwa dan atom. Menurutnya, jiwa juga terdiri atas atom-atom. Proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antaratom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri atas atom-atom dan berbentuk seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam pancaindra dan disalurkan ke dalam jiwa yang juga terdiri atas atom-atom. Manusia dapat melihat karena atom-atom bersentuhan dengan atom-atom eidola lain. Kualitas-kualitas manis, pahit, panas, dingin, dan sebagainya, semuanya bersifat kuantitatif belaka. Atom jiwa yang bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit, sedangkan bersentuhan dengan atom berkecepatan tinggi mengakibatkan rasa panas, dan seterusnya. Dengan pandangannya tentang jiwa ini, Democritus juga dapat dipandang sebagai tokoh materialisme, pandangan yang menyatakan tidak ada apa pun kecuali materi.

Pandangan yang jelas-jelas bertentangan dengan pandangan Dunia muslim ini seolah-olah merupakan satu-satunya teori atom yang pernah ada. Masalah ini memang pernah mendapat perhatian serius di kalangan sarjana muslim sepuluh abad silam, di antaranya oleh Abu Bakr Al-Baqillani, salah seorang pengikut kalam atau teknologi mazhab Asy’ariyah. Di dalam Islam, atomisme dikembangkan dan merupakan hasil dari pandangan-dunia mereka yang diturunkan dari teks-teks suci Al-Qur’an.

Tuhan diketahui memiliki banyak Nama, Atribut, dan Sifat. Setiap aliran teologi tumbuh dan berkembang atas dasar penerimaan pada satu sifat dominan. Teologi Asy’ariyah bertumpu pada atau bertitik tolak dari penerimaan tindakan sewenang-wenang Tuhan. Menurut Al-Asy’ari, dorongan hebat dibalik tindakan Tuhan adalah “apa yang diinginkan-Nya” dan “karena kehendak-Nya”.

Penerapan prinsip “karena kehendak-Nya” pada aktivitas Tuhan di alam melahirkan gagasan occasionalism yang didefinisikan sebagai kepercayaan akan kemahakuasaan Tuhan dalam kesendirian-Nya. Tuhan terlibat langsung dalam penyelenggaraan alam semesta, dan keterlibatan langsung pada peristiwa-peristiwa di alam semesta dipandang sebagai manifestasi lahiriah kesempatan-Nya (accasion). Implikasi accasionalism ini adalah segala sesuatu dan segala peristiwa di alam semesta secara substansial bersifat terputus-putus dan saling bebas. Tidak ada kaitan antara satu peristiwa dan peristiwa lain kecuali melalui kehendak Ilahi. Di dalam perspektif kesewenang-wenangan Tuhan ini, bila peristiwa A terkait atau berhubungan dengan peristiwa B, hubungan ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi karena Tuhan menghendaki demikian. Dengan demikian, okasionalisme menyangkal kausalitas atau hukum sebab akibat.

Atomisme Asy’ari dapat dipandang sebagai deskripsi kalamnya dalam elemen-elemen penyusun dunia ciptaan atau alam semesta dan merupakan konsekuensi langsung atas prinsip keterputusan substansial segala sesuatu. Alam didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhandan terdiri dari dua unsur yang berbeda, atom dan aksiden. Sebagaimana atomisme Democritus, atom dipostulatkan sebagai al-juz al lazì lȃ yatajazzȃ, “bagian yang tidak dapat dibagi”. Partikel-partikel ini merupakan satuan paling fundamental yang dapat eksis dan darinya seluruh alam dibangun.

Ada tiga karakteristik atomisme dari Al-Baqillani yang mampu menjadi penyangga metafisika teologi Asy’ariyah. Pertama, atom-atom tidak mempunyai ukuran atau besar, dan homogen. Artinya, atom merupakan dimensionless entities, yakni tanpa panjang, tinggi, dan lebar, tetapi terpadu membentuk benda yang mempunyai dimensi. Atom-atom ini berbeda dari atom-atom Leucippus dan Democritus yang memiliki besar. Kedua, jumlah atom tertentu atau berhingga (finite). Di sini Asy’arriyah menolak infiniteness dari semua mazhab atomis Tunani dengan basis argumentasi skriptual yang jelas, yakni:
Supaya Dia mengetahui, sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu. (QS Al-Jinn [72]: 28).

Segala sesuatu terhitung, dan sesuatu yang terhitung adalah tertentu, berhingga. Ketiga, atom-atom dapat musnah atau lenyap secara fitrah; atom tidak dapat bertahan untuk dua saat. Al-Baqillani mendefinisikan aksiden (‘arad) sebagai sesuatu yang tidak bertahan lama dengan basis skriptural Surah Al-Anfal [8]: 67:
Kamu menghendaki harta benda duniawi (‘arad) sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat (untukmu)...

Akhirat kekal, bertahan lama, sedangkan ‘arad sebentar dan pasti musnah seperti ditegaskan dalam ayat berikut:
Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (QS. Al-Ahqaf [46]: 25)

Pada setiap momen waktu, atom mewujud dan melewati ekstensi. Durasi setiap atom (baqa’) adalah sekejap. Atom-atom tercipta, musnah, tercipta lagi, musnah lagi, dan seterusnya. Eksistensinya yang sesaat ini dimungkinkan melalui keterlibatan Tuhan secara terus-menerus, mencipta, memusnahkannya sampai Tuhan ingin berhenti.

Alam semesta yang tampak ini dalam perspektif atomisme Asy’ariyah dejilaskan sebagai berikut. Alam tersusun dari atom-atom dan aksiden-aksiden serta mengalami pensiptaan, penghancuran, dan pemusnahan yang terus menerus. Ketika Tuhan menciptkan atom suatu benda, Dia juga menciptakan di dalamnya aksiden-aksiden yang membuat atom itu mewujud. Saat atom-atom itu lenyap, Tuhan menggantinya dengan atom-atom dan aksiden-aksiden yang jenisnya sama, selama Tuhan menginginkan benda yang sama tetap ada. Jika Tuhan menginginkan suatu mukjizat terjadi – misalnya, transformasi dari tongkat menjadi ular dalam sekejap- Tuhan akan menghentikan penciptaan atom-atom dan aksiden-aksiden yang membentuk tongkat, dan secara serentak menggantikannya dengan atom-atom dan aksiden-aksiden yang membentuk ular.

Atomisme Asy’ariyah memberi implikasi-imlikasi sebagi berikut. Pertama, pada tingkat atomik, kita tidak dapat berbicara tentang perpindahan atom yang sama dari satu titik ke titik yang lain. Kita harus berbicara pemusnahan di titik semula, penciptaan kembali pada titik kedua, dan hilang diantara keduanya. Dengan demikian, eksistensi ruang hampa atau ketiadaan dipertegas, tetapi kita tidak mempunyai konsep jarak Newtonian. Kedua, alam semesta merupakan wilayah keterpisahan (discontinue) dengan entitas yang saling bebas atau tidak saling memengaruhi. Artinya, tidak ada kausalitas  antara satu momen eksistensi dan momen selanjutnya. Menurut Asy’ariyah, keseragaman urutan peristiwa alamiah hanyalah penampakan dan tidak nyata, dalam artian tidak memiliki eksistensi objektif. “Sebab-Akibat” itu tidak lebih dari sekedar konstruksi mental atau kebiasaan dalam pikiran manusia.

Hal yang perlu digarisbawahi dari atomisme Asy’ariyah adalah: Pertama, gagasan ini murni dibangun atas dasar fondasi wahyu. Kedua, mempunyai kesamaan dengan teori atom modern. Konsekuensi penting dari kenyataan kedua ini adalah menguji kembali asumsi-asumsi yang mendasari pandangan epistemologi dan metodologi ilmiah yang diterima saat ini. Atomisme Asy’ariyah menyiratkan adanya kemungkinan cara dari metode yang digunakan dalam sains modern, tetapi berhasil merumuskan teori atom yang mempunyai kesamaan implikasi dengan fisika kuantum.    
...
Pustaka:
Sofyan Abdul Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan Publishing House. Bandung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar