Prototipe Sains Islam: Teori Atom
Asy’ariyah
Ilmu pengetahuan
nonmetafisis Aristotelian pernah dikembangkan secara intensif di Dunia Islam
jauh sebelum Barat melakukanya. Seiring dengan pudarnya peradaban Islam, Barat
secara pelan tetapi pasti mengambil alih kepemimpinan peradaban dari orang
Islam, termasuk di dalamnya metodologi pengembangan ilmu pengetahuan. Kini,
ketika peradaban Barat sangat dominan, Islam dengan pernik ilmu pengetahuannya
yang sangat kaya menjadi tidak tampak sama sekali. Kini, ilmu pengetahuan
identik dengan Barat.
Sebagai contoh,
teori atom selalu dikembalikan pada konsep barat, baik modern maupun klasik
(Yunani). Sepotong kapur putih yang digoreskan pada papan tulis akan
meninggalkan bekas goresan putih, tulisan di papan. Saat tulisan di papan
dihapus, termpak adanya debu debu putih beterbangan. Debu-debu tersebut
merupakan potongan kecil kapur yang menempel di papan tulis yang kemudian
dihapus, sebagian lengket pada penghapus, sebagian lagi berterbangan di udara.
Kenyataan ini memunculkan pertanyaan, apakah debu-debu tersebut masih dapat
dibuat lebih kecil atau lebih halus lagi? Untuk menjawab pertanyaan seperti
ini, orang melompat ke masa lalu, tepatnya dua puluh lima abad silam.
Leucippus dan
Democritus dicatat sebagai perenung awal yang memberi perhatian dan membuat
rumusan bagi elemen kecil, bahkan terkecil dari segala sesuatu. Kedua pimikir
ini menyatakan bahwa setiap benda dapat dipecah sampai bentuk akhir yang tidak
dapat dipecaah atau dibagi lebih lanjut, yang disebut atomos atau singkatnya
atom. Inilah inti pandangan atomisme yang menyebutkan bahwa realitas terdiri
atas banyak unsur yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.
Democritus
mendeskripsikan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa atom-atom dibedakan
melalui tiga cara; bentuknya (seperti huruf A dan N), urutanya seperti AN dan
NA), dan posisinya (seperti N danZ). Atom tidak mempunyai kualitas dan
jumlahnya tidak terhingga. Sebagaimana pandangan Parmenides, atom-atom itu
tidak dijadikan dan kekal, tetapi Leucippus dan Democritus menerima keberadaan
ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri atas dua hal yang penuh yaitu
atom-atom dan yang kosong.
Democritus
membuat perumusan lebih jauh, yakni kaitan antara jiwa dan atom. Menurutnya,
jiwa juga terdiri atas atom-atom. Proses pengenalan manusia tidak lain sebagai
interaksi antaratom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil
yang terdiri atas atom-atom dan berbentuk seperti benda itu). Eidola ini masuk
ke dalam pancaindra dan disalurkan ke dalam jiwa yang juga terdiri atas
atom-atom. Manusia dapat melihat karena atom-atom bersentuhan dengan atom-atom
eidola lain. Kualitas-kualitas manis, pahit, panas, dingin, dan sebagainya,
semuanya bersifat kuantitatif belaka. Atom jiwa yang bersentuhan dengan atom
licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa
pahit, sedangkan bersentuhan dengan atom berkecepatan tinggi mengakibatkan rasa
panas, dan seterusnya. Dengan pandangannya tentang jiwa ini, Democritus juga
dapat dipandang sebagai tokoh materialisme, pandangan yang menyatakan tidak ada
apa pun kecuali materi.
Pandangan yang
jelas-jelas bertentangan dengan pandangan Dunia muslim ini seolah-olah
merupakan satu-satunya teori atom yang pernah ada. Masalah ini memang pernah
mendapat perhatian serius di kalangan sarjana muslim sepuluh abad silam, di
antaranya oleh Abu Bakr Al-Baqillani, salah seorang pengikut kalam atau
teknologi mazhab Asy’ariyah. Di dalam Islam, atomisme dikembangkan dan
merupakan hasil dari pandangan-dunia mereka yang diturunkan dari teks-teks suci
Al-Qur’an.
Tuhan diketahui
memiliki banyak Nama, Atribut, dan Sifat. Setiap aliran teologi tumbuh dan
berkembang atas dasar penerimaan pada satu sifat dominan. Teologi Asy’ariyah
bertumpu pada atau bertitik tolak dari penerimaan tindakan sewenang-wenang
Tuhan. Menurut Al-Asy’ari, dorongan hebat dibalik tindakan Tuhan adalah “apa
yang diinginkan-Nya” dan “karena kehendak-Nya”.
Penerapan
prinsip “karena kehendak-Nya” pada aktivitas Tuhan di alam melahirkan gagasan occasionalism yang didefinisikan sebagai
kepercayaan akan kemahakuasaan Tuhan dalam kesendirian-Nya. Tuhan terlibat
langsung dalam penyelenggaraan alam semesta, dan keterlibatan langsung pada
peristiwa-peristiwa di alam semesta dipandang sebagai manifestasi lahiriah
kesempatan-Nya (accasion). Implikasi accasionalism ini adalah segala sesuatu
dan segala peristiwa di alam semesta secara substansial bersifat terputus-putus
dan saling bebas. Tidak ada kaitan antara satu peristiwa dan peristiwa lain
kecuali melalui kehendak Ilahi. Di dalam perspektif kesewenang-wenangan Tuhan
ini, bila peristiwa A terkait atau berhubungan dengan peristiwa B, hubungan ini
tidak terjadi secara alamiah, tetapi karena Tuhan menghendaki demikian. Dengan
demikian, okasionalisme menyangkal kausalitas atau hukum sebab akibat.
Atomisme Asy’ari
dapat dipandang sebagai deskripsi kalamnya dalam elemen-elemen penyusun dunia
ciptaan atau alam semesta dan merupakan konsekuensi langsung atas prinsip
keterputusan substansial segala sesuatu. Alam didefinisikan sebagai segala
sesuatu selain Tuhandan terdiri dari dua unsur yang berbeda, atom dan aksiden.
Sebagaimana atomisme Democritus, atom dipostulatkan sebagai al-juz al lazì lȃ yatajazzȃ, “bagian
yang tidak dapat dibagi”. Partikel-partikel ini merupakan satuan paling
fundamental yang dapat eksis dan darinya seluruh alam dibangun.
Ada tiga
karakteristik atomisme dari Al-Baqillani yang mampu menjadi penyangga
metafisika teologi Asy’ariyah. Pertama, atom-atom
tidak mempunyai ukuran atau besar, dan homogen. Artinya, atom merupakan dimensionless entities, yakni tanpa
panjang, tinggi, dan lebar, tetapi terpadu membentuk benda yang mempunyai
dimensi. Atom-atom ini berbeda dari atom-atom Leucippus dan Democritus yang
memiliki besar. Kedua, jumlah atom
tertentu atau berhingga (finite). Di
sini Asy’arriyah menolak infiniteness dari
semua mazhab atomis Tunani dengan basis argumentasi skriptual yang jelas,
yakni:
Supaya
Dia mengetahui, sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah
Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung
segala sesuatu satu per satu. (QS Al-Jinn [72]: 28).
Segala sesuatu
terhitung, dan sesuatu yang terhitung adalah tertentu, berhingga. Ketiga, atom-atom dapat musnah atau
lenyap secara fitrah; atom tidak dapat bertahan untuk dua saat. Al-Baqillani
mendefinisikan aksiden (‘arad) sebagai
sesuatu yang tidak bertahan lama dengan basis skriptural Surah Al-Anfal [8]:
67:
Kamu
menghendaki harta benda duniawi (‘arad) sedangkan Allah menghendaki pahala
akhirat (untukmu)...
Akhirat kekal,
bertahan lama, sedangkan ‘arad sebentar
dan pasti musnah seperti ditegaskan dalam ayat berikut:
Yang
menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka
tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (QS.
Al-Ahqaf [46]: 25)
Pada setiap
momen waktu, atom mewujud dan melewati ekstensi. Durasi setiap atom (baqa’) adalah sekejap. Atom-atom
tercipta, musnah, tercipta lagi, musnah lagi, dan seterusnya. Eksistensinya
yang sesaat ini dimungkinkan melalui keterlibatan Tuhan secara terus-menerus,
mencipta, memusnahkannya sampai Tuhan ingin berhenti.
Alam semesta
yang tampak ini dalam perspektif atomisme Asy’ariyah dejilaskan sebagai
berikut. Alam tersusun dari atom-atom dan aksiden-aksiden serta mengalami pensiptaan,
penghancuran, dan pemusnahan yang terus menerus. Ketika Tuhan menciptkan atom
suatu benda, Dia juga menciptakan di dalamnya aksiden-aksiden yang membuat atom
itu mewujud. Saat atom-atom itu lenyap, Tuhan menggantinya dengan atom-atom dan
aksiden-aksiden yang jenisnya sama, selama Tuhan menginginkan benda yang sama
tetap ada. Jika Tuhan menginginkan suatu mukjizat terjadi – misalnya,
transformasi dari tongkat menjadi ular dalam sekejap- Tuhan akan menghentikan
penciptaan atom-atom dan aksiden-aksiden yang membentuk tongkat, dan secara
serentak menggantikannya dengan atom-atom dan aksiden-aksiden yang membentuk
ular.
Atomisme
Asy’ariyah memberi implikasi-imlikasi sebagi berikut. Pertama, pada tingkat atomik, kita tidak dapat berbicara tentang
perpindahan atom yang sama dari satu titik ke titik yang lain. Kita harus
berbicara pemusnahan di titik semula, penciptaan kembali pada titik kedua, dan
hilang diantara keduanya. Dengan demikian, eksistensi ruang hampa atau
ketiadaan dipertegas, tetapi kita tidak mempunyai konsep jarak Newtonian. Kedua, alam semesta merupakan wilayah
keterpisahan (discontinue) dengan
entitas yang saling bebas atau tidak saling memengaruhi. Artinya, tidak ada
kausalitas antara satu momen eksistensi dan momen
selanjutnya. Menurut Asy’ariyah, keseragaman urutan peristiwa alamiah hanyalah
penampakan dan tidak nyata, dalam artian tidak memiliki eksistensi objektif.
“Sebab-Akibat” itu tidak lebih dari sekedar konstruksi mental atau kebiasaan
dalam pikiran manusia.
Hal yang perlu
digarisbawahi dari atomisme Asy’ariyah adalah: Pertama, gagasan ini murni dibangun atas dasar fondasi wahyu. Kedua, mempunyai kesamaan dengan teori
atom modern. Konsekuensi penting dari kenyataan kedua ini adalah menguji
kembali asumsi-asumsi yang mendasari pandangan epistemologi dan metodologi
ilmiah yang diterima saat ini. Atomisme Asy’ariyah menyiratkan adanya
kemungkinan cara dari metode yang digunakan dalam sains modern, tetapi berhasil
merumuskan teori atom yang mempunyai kesamaan implikasi dengan fisika kuantum.
...
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar