Sains: Syarat Kebangkitan
Produk riil dari
akal adalah sains yang terbukti sangat ampuh dan digdaya. Dalam rentang waktu
pendek, Afganistan dan Irak yang terbelakang luluh lantak oleh produk sains
negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Negara-negara maju yang
menjadi kiblat peradaban saat ini baik
di Barat maupun Timur adalah mereka yang menguasai sains dan teknologinya.
Negara-negara
Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia umumnya
memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah. Tetapi, melimpahnya sumber daya
alam tersebut tidak membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat muslim. Indonesia yang dikenal sebagai negeri
dengan penduduk muslim terbesar di dunia justru terlilit utang dan menjadi
pemasok tenaga kerja kasar. Sumber daya laut yang sedemikian besar terabaikan
dan sumber daya tambang baik minyak maupun emas tidak terkelola sendiri, tetapi
meminta bantuan orang asing. Sebabnya satu, kita Islam tidak menguasai ilmu
pengetahuan, baik teoritis maupun praktis.
Sebagai
ilustrasi, pada tahun 2000 lalu, Islamic Educational Scientifik and Cultural
Organization (SESCO) melaporkan bahwa sebanyak 57 negara Islam yang tergabung
dalam OKI dan memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk
dunia, mendiami wilyah seluas 26,6 juta kilometer persegi, dan menyimpan 73
persen cadangan minyak dunia, memiliki GNP hanya sebesar 1,016 miliar dolar AS.
Suatu angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan GNP negara maju seperti
Prancis yang berpenduduk kurang dari 60 juta jiwa dan mendiami wilayah sekitar setengah
juta kilometer persegi serta mempunyai GNP sebesar 1,293 miliar dolar AS.
Kenyataan
tersebut terjadi karena negara-negara maju, termasuk Prancis, mendasarkan
pertumbuhan ekonominya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara
negara-negara Islam hanya bergantung pada input
yang bersifat kualitatif semata. Dunia Islam yang pernah menjadi raksasa di bidang sains dan teknologi
sampai abad pertengahan, kini memasuki melenium ketiga hanya tampil sebagai
bangsa-bangsa pinggiran dan serpihan belaka.
Globalisasi
dunia yang telah memasuki tahap tiga juga tidak dinikmati oleh mayoritas negeri
berpenduduk muslim, kecuali Malaysia. Padahal, globalisasi, khususnya
globalisasi tahap tiga, membuka kesempatan luas kepada setiap negara untuk
bermain di dalamnya asalkan dapat memengaruhi pasar. India yang terkenal
sebagai negara dengan kemiskinannya, kini mulai bisa bersaing dengan Amerika
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini terjadi setelah pada tahun 2000 India
menanam investasi besar-besaran dalam bidang teknologi informasi, pemasangan
kabel optik bawah laut dan satelit dengan harga komputer yang makin murah dan
menjamur di mana-mana. Penemuan search
engine seperti Google, penemuan perangkat lunak baru, pemakaian internet
dan sistem operasi Windows yang melanda hampir seluruh bumi memungkinkan negara
seperti India tumbuh dan bersaing dengan Amerika.
Orang India
tidak harus pergi ke Amerika untuk dapat bekerja pada perusahaan Intel atau
IBM. Ribuan orang terpilih bekerja di Bangalore untuk memenuhi order perusahaan
perusahaan di bidang teknologi informasi ataupun pembuat perangkat lunak dari
Eropa maupun AS. Pemberian order dapat dilakukan lewat surat elektronik (e-mail) atau telepon. Pertemuan dengan
mitra kerja dapat dilakukan lewat telekonferensi tanpa haru melakukan
perjalanan ke luar negeri. Orang-orang India, dengan gaji yang lebih rendah dan
kualitas pekerjaan yang sama, telah mencuri lapangan kerja orang AS tanpa harus
berpindah ke Amerika. Perusahan-perusahaan swasta, seperti Intel, HP, dan IBM,
lebih memilih orang-orang India untuk mendapatkan untung.
Cina telah
tumbuh menjadi negara pengekspor terbesar kedua setelah AS. Sebelumnya posisi
ini diduduki Meksiko, tetangga terdekat AS yang menikmati keuntungan geografis
dalam mengekspor barangnya. Cina telah memenuhi pasar AS dengan produk komponen
komputer, komponen elektrik, tekstil, barang-barang kebutuhan olahraga, dan
mainan anak-anak. Para pemain globalisasi dari Asia masih terbatas dari India,
Cina, Taiwan, Korea, Singapura, dan Malaysia, yakni negara-negara yang sangat
memerhatikan sains.
Cina dan India,
yang sering digambarkan sebagai negeri yang kumuh karena kepadatan penduduknya,
merupakan negara yang mempunyai tradisi ilmu yang kukuh. Keduanya merupakan
negeri kontributor yang signifikan dalam dunia ilmu fundamental khususnya
fisika. Chen Ning yang kelahiran Heffei, Cina, tahun 1922 dan Tsung Dao Lee
kelahiran Saghai tahun 1926 menerima Nobel Fisika pada 1957. Sedangkan Chein-Shiung
Wu yang lahir di Shanghai pada 1912 merupakan ahli fisika wanita penemu
penyimpangan paritas pada peluruhan beta inti dan mendapat anugerah Wolf pada tahun 1974. C.V. Raman adalah ahli fisika
India yang mendapat hadiah Npbel fisika tahun 1930. M.K.Bose, namanya
diabadikan bersama Einstein dalam fungsi distribusi statistika untuk partikel
berspin bulat, yaitu statistik Bose-Einstein. Homi Jehangir Bhaba, yang lahir
di Bombay pada 1909, dikenal dengan teori hamburan elektron-positron, sedangkan
Saraj Narayan Gupta kelahiran Haryana dikenal di dalam teori elektrodinamika
kuantum.
Perhatain
negara-negara Islam terhadap sains dari pengembanganya masih sangat rendah.
Merujuk data Science Citation Index 2004, 46 negara Islam memberi kontribusi 1,17
persen pada penerbitan karya ilmiah dunia. Angka ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan sumbangan satu negara seperti India dan Spanyol yang
masing-masing 1,66 persen dan 1,48 persen. Sebanyak 20 negara Arab menyumbang 0,55
persen dari total karya ilmiah dunia, sedangkan satu Israel saja menyumbang 0,89
persen. Sementara negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, atau Jepang
berturut-turut menyumbang 7,1 persen, 7,9 persen, dan 8,2 persen, apalagi
Amerika yang 30,8
Masalah tersebut
terkait dengan anggaran yang disediakan untuk kepentingan pengembangan sains
dan teknologi, termasuk kegiatan riset dan pengembangan serta dukungan atas
aktivitas ilmiah lainya. Negara-negara Islam hanya mengalokasikan anggaran
belanja sebanyak 0,45 persen dari GNP, sedangkan negara-negara maju yang
tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
menghabiskan dana sebanyak 2,30 persen dari GNP untuk keperluan yang sama.
Ketersediaan sumber daya manusia untuk mendukung kegiatan riset dan
pengembangan di negara-negara Islam juga terbatas. Secara rata-rata,
negara-negara Islam memiliki 8,8 ilmuwan, insinyur, dan teknisi per 1.000
penduduk, dibandingkan dengan negara-negara OECD yang memiliki 139,3 atau 40,7
di negara-negara maju di luar OECD.
Angka-angka
terakhir yang juga kurang menggembirakan ini diperparah oleh kenyataan lain,
yaitu terjadinya migrasi tenaga ahli (brain
drain) ke negara-negara maju. Dalam tiga dekade terakhir, lebih dari 500
ribu ilmuwan dari negara-negara Dunia Ketiga berimigrasi ke Eropa, Amerika,
Kanada dan Australia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 55 persen berasal dari
Asia, Iran, Pakistan, dan Turki adalah tiga negara Islam di kawasan Asia yang
paling banyak kehilangan ilmuwan akibat brain
drain ini. Hal yang sama dialami oleh Mesir, Aljazair, dan Maroko yang
mewakili kawasan Afrika. Demikian pula Suriah, Lebanon, dan Yordania yang
menjadi representasi negara Arab. Dua ilmuwan muslim terkemuka, Dr.Abdus Salam
dan Dr.Ahmed Zeweil, masing-masing meraih hadiah Nobel Fisika dan Kimia,
setelah hijrah dari Pakistan ke Inggris dan dari Mesir ke Amerika. Mereka
sebagian ilmuwan, tidak tumbuh dan berkembang di negeerinya sendiri, tetapi di
negara Barat.
Singkat kata,
Barat, Jepang, India, dan Cina maju karena ilmu pengetahuan. Dunia Islam masih
memerlukan banyak ilmuwan dari berbagai bidang. Hanya dengan ilmilah, selain iman, harga diri
muslim dapat kembali ditegakkan.
Hai
orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapanngan di
dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan bila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah,
niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti
apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah [58]; 11)
Tanpa sains,
umat Islam tidak akan mampu mengelola sumber daya alam yang umumnya melimpah di
negeri-negeri muslim. Tanpa sains, umat Islam hanya menjadi konsumen yang
bergantung dan akhirnya mudah didikte orang lain.
.........
Pustaka:
Sofyan Abdul
Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan
Publishing House. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar