Minggu, 09 Juni 2013

Pelabuhan Cinta Terakhirku



Sendiku terasa lemas dan tak berdaya
saat kau ucap kata-kata manis dari mulutmu
Jantungku berdebar kencang saat kau tatap mataku
Dan hati ini begitu damai saat senyumu merekah
Kesakitan ini terus kurasakan selama bertahun-tahun sejak aku kehilangan dirinya. Ya, dia yang dulu selalu hadir dalam mimpiku. Dia yang selalu mendamaikan hati saat aku tengah berada dalam kegundahan. Namun sungguh aku tak menyangka jikalau itu semua hanya kebahagiaan semu bagiku. Dia pergi setelah menorehkan luka mendalam di hatiku. Entah ini salah siapa. Diriku yang terlalu percaya diri untuk menganggap bahwa dia mencintaiku atau memang dirinya yang terlalu memberi perhatian berlebih padaku.
Yang jelas sekarang baru aku sadari bahwa luka itu hanya akan menusuk sedalam yang kita ijinkan dan menyayat setajam yang ingin kita rasa.
Sekarang, masa setelah dua tahun perpisahan dengannya. Sekilas terbesit kenangan-kenangan indah saat menghabiskan waktu bersamanya. Saat kita berdua merayakan hari ulang tahun kita yang kebetulan jatuh di hari yang sama. Mengenang saat kita mencari ketenangan bersama di taman kampus, yang mempertemukan kita berdua untuk pertama kalinya. Saat itu, aku yang sedang menggoreskan pensil di atas kertas gambarku. Ya, hobiku adalah menggambar sketsa dengan pensil. Saat aku sedang menikmati hobiku itu, tiba-tiba selembar kertas yang terbawa angin terdampar di atas sketsaku. Kubaca apa yang tertulis diatasnya. Sebuah puisi yang sangat indah. Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki di hadapanku. Kualihkan pandanganku padanya. Senyum yang menenangkan pun terpancar darinya.
Itulah sekilas cerita singkat pertemuan kita. Selanjutnya, kita semakin akrab dan sering menghabiskan waktu bersama dengan hobi kita masing-masing. Aku kagum dengan tulisan-tulisan indahnya, sementara dia selalu menyukai hasil lukisan sketsaku.
–**–
Setelah dua tahun kita bersama tanpa ada hubungan yang jelas-kita hanya senang melewatkan waktu bersama-akhirnya dia harus pergi karena melanjutkan pendidikan S2-nya di luar kota, tepatnya di Makassar, tempat darimana dia berasal. Namun satu hal yang terlihat jelas dari pancaran matanya adalah tersirat bahwa dia mencintai aku. Seorang wanita lebih mudah dan peka terhadap perasaan halus itu. Masih aku ingat sebelum kepergiannya, dia mengatakan bahwa cintanya tulus padaku dan hanya akulah satu-satunya wanita yang dia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya di masa depan. Perpisahan itu hanya sementara waktu saja, bukan untuk selamanya.
” Anggaplah ini sebagai ujian kesetiaan cinta kita berdua. Jangan kau ragukan kesetiaanku, dan jangan pula kau teteskan air matamu. Kesedihanmu itu adalah kesedihan bagiku karena hidupmu adalah hidupku jua. “
Sejak perpisahan itu, kita tak lagi pernah bertemu. Komunikasi kita pun terputus begitu saja. Ternyata baru aku sadari bahwa aku sangat cinta padanya.
Kucoba untuk memetakan perasaan ini dalam setiap goresan pensilku. Sesering dan sebanyak apapun aku melakukannya, meskipun jauh perjalanan ini, hati selalu bisa menemukan tempat di mana pelabuhan terakhirnya.
Aku mencoba bertahan dalam penantian, namun yang aku tunggu tak kunjung datang. Mungkin cintaku dan cintanya tak akan berlabuh di tempat yang sama.
–**–
Sekarang aku telah bersama orang lain yang mencintaiku. Dicintai itu memang mudah, dan mencintai itu juga mudah, namun mencintai dan dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sulit. Aku coba ikhlaskan hati ini untuk bisa menerimanya. Aku tak mau terlalu memikirkan orang yang kuragukan cintanya dan mengabaikan orang yang benar-benar mencintaiku, meskipun separuh hatiku masih terbawa olehnya.
Hari ini, adalah sehari sebelum hari pernikahanku. Seharusnya aku merasa senang menantikan hari esok, namun pada kenyataannya hati ini terasa hambar. Firasatku mengatakan hal yang berbeda. Tiba-tiba terlintas bayangannya dalam benakku. Debaran itu terasa kembali. Entah apa yang akan terjadi hari ini aku tak tahu, yang jelas perasaan yang seperti dulu aku rasakan kembali hadir. Namun perasaan ini bukan karena aku akan menghadapi pernikahan.
Kucoba untuk menenangkan diri dengan pergi ke toko buku langgananku bersama sahabatku. Kubaca buku-buku kuliner kesukaanku. Namun entah apa sebabnya aku ingin sekali membelokkan kakiku melihat buku-buku sastra. Sekilas kulihat isinya terlalu membosankan karena kebanyakan bertemakan tentang cinta. Yah, aku tak menyalahkan cintanya, namun manisnya cinta ini sudah tak terasa lagi. Anehnya, ada satu buku tentang kumpulan puisi yang menarik bagiku. Sajak-sajak dalam puisi itu mengingatkanku kembali pada dirinya. Kuurungkan niat untuk membeli buku itu dan mengembalikannya ke tempat semula.
Dalam perjalanan pulang, sahabatku menunjukkan buku-buku yang baru saja ia beli. Dan tak aku sangka sebelumnya bahwa aku ternyata dia membeli buku kumpulan puisi yang tadi sempat aku baca.
Rupanya dia sangat mengagumi pengarangnya. Dia ceritakan pula bahwa si pengarang ini sudah divonis lumpuh seumur hidup karena kecelakaan pesawat yang dia alami saat mau memberi kejutan pada kekasihnya. Cerita ini mengundang rasa ingin tahuku untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Lantas dia pun melanjutkan kisah hidup si pengarang. Si pengarang ini benar-benar mencintai kekasihnya. Semua karya puisinya ia persembahkan untuk kekasihnya. Namun ia takut untuk kembali kepada kekasihnya setelah menyadari kondisi yang menimpanya saat ini. Dia memilih untuk menghilang selamanya.
Entah mengapa aku begitu terharu mendengar cerita tentang si pengarang itu.
Sebelum pulang, temanku memintaku untuk menemaninya ke rumah si pengarang itu untuk meminta tanda tangan padanya.
Setelah beberapa lama, akhirnya kami sampai.
Beberapa kali mengetok pintu, akhirnya terbuka juga. Dan betapa terkejutnya ketika aku melihat orang yang membukakan pintu itu. Seseorang yang aku nantikan selama ini. Keadaanya memang sudah tak seperti dulu lagi. Kursi roda sudah menjadi bagian kehidupannya yang sekarang.
–**–
Aku berharap ini bukan kenyataan. Namun, tak bisa aku hindari lagi. Ingin kulepas segala kepedihan dan merelakan dia pergi sejak dulu untuk selamanya. Ingin kubuang perasaan betapa aku mencintai dirinya dengan setulus hatiku. Sebaliknya, naluriku berkata lain. Dilema hati menerpaku. Aku tak ingin melewatkan banyak waktu lagi untuk kehilangan dirinya, namun bagaimana dengan hati yang lain yang kini telah hadir dalam hidupku?
Sungguh, ini bukan jawaban dari misteri cinta yang aku harapkan selama ini. Hatiku ini bagaikan raga yang sudah tak bernyawa.
Aku pasrahkan hidup ini pada Yang Maha Kuasa.
Yang indah dalam pandangan mataku belum tentu baik bagiku, namun yang terbaik bagi hidupku sudah pasti akan indah selamanya. Jika cintaku dan cintanya tidak berakhir pada pelabuhan yang sama, mungkin itu yang terbaik. Terbaik bagiku dan juga baginya.

pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/06/09/pelabuhan-cinta-terakhirku-563674.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar