Sendiku terasa lemas dan tak berdaya
saat kau ucap kata-kata manis dari mulutmu
Jantungku berdebar kencang saat kau tatap mataku
Dan hati ini begitu damai saat senyumu merekah
Kesakitan
ini terus kurasakan selama bertahun-tahun sejak aku kehilangan dirinya.
Ya, dia yang dulu selalu hadir dalam mimpiku. Dia yang selalu
mendamaikan hati saat aku tengah berada dalam kegundahan. Namun sungguh
aku tak menyangka jikalau itu semua hanya kebahagiaan semu bagiku. Dia pergi setelah
menorehkan luka mendalam di hatiku. Entah ini salah siapa. Diriku yang
terlalu percaya diri untuk menganggap bahwa dia mencintaiku atau memang
dirinya yang terlalu memberi perhatian berlebih padaku.
Yang
jelas sekarang baru aku sadari bahwa luka itu hanya akan menusuk
sedalam yang kita ijinkan dan menyayat setajam yang ingin kita rasa.
Sekarang,
masa setelah dua tahun perpisahan dengannya. Sekilas terbesit
kenangan-kenangan indah saat menghabiskan waktu bersamanya. Saat kita
berdua merayakan hari ulang tahun kita yang kebetulan jatuh di hari yang
sama. Mengenang saat kita mencari ketenangan bersama di taman kampus,
yang mempertemukan kita berdua untuk pertama kalinya. Saat itu, aku yang
sedang menggoreskan pensil di atas kertas gambarku. Ya, hobiku adalah
menggambar sketsa dengan pensil. Saat aku sedang menikmati hobiku itu,
tiba-tiba selembar kertas yang terbawa angin terdampar di atas sketsaku.
Kubaca apa yang tertulis diatasnya. Sebuah puisi yang sangat indah. Tak
lama kemudian, muncul seorang lelaki di hadapanku. Kualihkan
pandanganku padanya. Senyum yang menenangkan pun terpancar darinya.
Itulah
sekilas cerita singkat pertemuan kita. Selanjutnya, kita semakin akrab
dan sering menghabiskan waktu bersama dengan hobi kita masing-masing.
Aku kagum dengan tulisan-tulisan indahnya, sementara dia selalu menyukai
hasil lukisan sketsaku.
–**–
Setelah
dua tahun kita bersama tanpa ada hubungan yang jelas-kita hanya senang
melewatkan waktu bersama-akhirnya dia harus pergi karena melanjutkan
pendidikan S2-nya di luar kota, tepatnya di Makassar, tempat darimana
dia berasal. Namun satu hal yang terlihat jelas dari pancaran matanya
adalah tersirat bahwa dia mencintai
aku. Seorang wanita lebih mudah dan peka terhadap perasaan halus itu.
Masih aku ingat sebelum kepergiannya, dia mengatakan bahwa cintanya
tulus padaku dan hanya akulah satu-satunya wanita yang dia harapkan
untuk menjadi pendamping hidupnya di masa depan. Perpisahan itu hanya sementara waktu saja, bukan untuk selamanya.
”
Anggaplah ini sebagai ujian kesetiaan cinta kita berdua. Jangan kau
ragukan kesetiaanku, dan jangan pula kau teteskan air matamu.
Kesedihanmu itu adalah kesedihan bagiku karena hidupmu adalah hidupku
jua. “
Sejak perpisahan itu, kita tak lagi pernah bertemu. Komunikasi kita pun terputus begitu saja. Ternyata baru aku sadari bahwa aku sangat cinta padanya.
Kucoba
untuk memetakan perasaan ini dalam setiap goresan pensilku. Sesering
dan sebanyak apapun aku melakukannya, meskipun jauh perjalanan ini, hati
selalu bisa menemukan tempat di mana pelabuhan terakhirnya.
Aku
mencoba bertahan dalam penantian, namun yang aku tunggu tak kunjung
datang. Mungkin cintaku dan cintanya tak akan berlabuh di tempat yang
sama.
–**–
Sekarang
aku telah bersama orang lain yang mencintaiku. Dicintai itu memang
mudah, dan mencintai itu juga mudah, namun mencintai dan dicintai oleh
orang yang kita cintai itulah yang sulit. Aku
coba ikhlaskan hati ini untuk bisa menerimanya. Aku tak mau terlalu
memikirkan orang yang kuragukan cintanya dan mengabaikan orang yang
benar-benar mencintaiku, meskipun separuh hatiku masih terbawa olehnya.
Hari
ini, adalah sehari sebelum hari pernikahanku. Seharusnya aku merasa
senang menantikan hari esok, namun pada kenyataannya hati ini terasa
hambar. Firasatku mengatakan hal yang berbeda. Tiba-tiba terlintas
bayangannya dalam benakku. Debaran itu terasa kembali. Entah apa yang
akan terjadi hari ini aku tak tahu, yang jelas perasaan yang seperti
dulu aku rasakan kembali hadir. Namun perasaan ini bukan karena aku akan
menghadapi pernikahan.
Kucoba
untuk menenangkan diri dengan pergi ke toko buku langgananku bersama
sahabatku. Kubaca buku-buku kuliner kesukaanku. Namun entah apa sebabnya
aku ingin sekali membelokkan kakiku melihat buku-buku sastra. Sekilas
kulihat isinya terlalu membosankan karena kebanyakan bertemakan tentang
cinta. Yah, aku tak menyalahkan cintanya, namun manisnya cinta ini sudah
tak terasa lagi. Anehnya, ada satu buku tentang kumpulan puisi yang
menarik bagiku. Sajak-sajak dalam puisi itu mengingatkanku kembali pada
dirinya. Kuurungkan niat untuk membeli buku itu dan mengembalikannya ke
tempat semula.
Dalam
perjalanan pulang, sahabatku menunjukkan buku-buku yang baru saja ia
beli. Dan tak aku sangka sebelumnya bahwa aku ternyata dia membeli buku
kumpulan puisi yang tadi sempat aku baca.
Rupanya dia sangat mengagumi
pengarangnya. Dia ceritakan pula bahwa si pengarang ini sudah divonis
lumpuh seumur hidup karena kecelakaan pesawat yang dia alami saat mau
memberi kejutan pada kekasihnya. Cerita ini mengundang rasa ingin tahuku
untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Lantas dia pun melanjutkan kisah
hidup si pengarang. Si pengarang ini benar-benar mencintai kekasihnya.
Semua karya puisinya ia persembahkan untuk kekasihnya. Namun ia takut
untuk kembali kepada kekasihnya setelah menyadari kondisi yang
menimpanya saat ini. Dia memilih untuk menghilang selamanya.
Entah mengapa aku begitu terharu mendengar cerita tentang si pengarang itu.
Sebelum pulang, temanku memintaku untuk menemaninya ke rumah si pengarang itu untuk meminta tanda tangan padanya.
Setelah beberapa lama, akhirnya kami sampai.
Beberapa kali mengetok pintu, akhirnya terbuka juga. Dan betapa terkejutnya ketika aku melihat orang yang membukakan pintu itu. Seseorang yang aku nantikan selama ini. Keadaanya memang sudah tak seperti dulu lagi. Kursi roda sudah menjadi bagian kehidupannya yang sekarang.
–**–
Aku
berharap ini bukan kenyataan. Namun, tak bisa aku hindari lagi. Ingin
kulepas segala kepedihan dan merelakan dia pergi sejak dulu untuk
selamanya. Ingin kubuang perasaan betapa aku mencintai dirinya dengan
setulus hatiku. Sebaliknya, naluriku berkata lain. Dilema hati
menerpaku. Aku tak ingin melewatkan banyak waktu lagi untuk kehilangan
dirinya, namun bagaimana dengan hati yang lain yang kini telah hadir
dalam hidupku?
Sungguh, ini bukan jawaban dari misteri cinta yang aku harapkan selama ini. Hatiku ini bagaikan raga yang sudah tak bernyawa.
Aku pasrahkan hidup ini pada Yang Maha Kuasa.
Yang
indah dalam pandangan mataku belum tentu baik bagiku, namun yang
terbaik bagi hidupku sudah pasti akan indah selamanya. Jika cintaku dan
cintanya tidak berakhir pada pelabuhan yang sama, mungkin itu yang
terbaik. Terbaik bagiku dan juga baginya.
pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/06/09/pelabuhan-cinta-terakhirku-563674.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar