Kamis, 13 Juni 2013

Bapakku, Pemimpi





Mengapa aku tidak boleh berhenti bermimpi?
Dia seorang anak kampung yang menjadi bukti nyata kalau mimpi seorang anak kecil dapat menjadi kenyataan meski mimpi itu gila. Bermimpi menginjakkan kaki di sebuah negara bernama United States of America. Mimpi yang pada tahun 50-an sangat tidak mungkin terjadi bagi anak kampung. Kampung bernama Mata Air yang pada tahun 2000-an pun masih dijangkau dengan berjalan kaki dan belum dialiri listrik. Kampung yang tak banyak orang tahu dimana kampung itu berada (sampai saat ini).
Seperti anak lelaki kampung umumnya, dia seorang gembala. Bukan si gembala sapi tapi si gembala kerbau. Sambil duduk bernyanyi diatas kerbaunya, dia sering bersenandung walau suaranya tetap tidak sebagus Josh Groban tapi dia tetap menjadi lelaki paling percaya diri. Setiap ada kesempatan dalam acara adat dia akan dengan senang hati diminta menyanyi bahkan kadang menurutku cenderung memaksa untuk bernyanyi.
Sewaktu kerbaunya asyik memakan rumput, dia membaringkan diri di bawah pohon. Memandang langit. Bertanya-tanya apakah ada kehidupan lain selain kehidupan di Mata Air, Tanah Jawa dan Tiga Dolok dan kampung-kampung lain di sekitar kampungnya. Sekali-kali dia bergantian melihat langit dan kerbaunya, kemudian dirinya sendiri. Akankah dia hidup sebagai penggembala kerbau seumur hidupnya? Menikahi salah satu anak perempuan di kampung dan melahirkan anak-anaknya yang kemudian nanti akan menjadi petani dan penggembala kerbau?
Bapaknya seorang petani dan mamanya menjadi seorang petani juga. Saudara-saudara perempuanya juga menghabiskan waktu di sawah sepulang sekolah. Sebagai anak lelaki satu-satunya dia bertugas menggembalakan kerbau. Akankah hidupnya sama dengan kehidupan Bapaknya?
Dia melihat langit.
“Pasti ada kehidupan yang lain disana. Orang-orang lain selain dirinya”.
Dia bertekad untuk mencari tahu. Dia harus tahu.
Akhirnya hari untuk tahu pun datang. Diapun tahu, dunia bukan hanya Mata Air dan sekitarnya. Dunia ini luas. Gurunya menyebutkan beberapa lagi nama negara. Bukan hanya Indonesia, negaranya. Belanda, Jepang, Singapura, Amerika dan masih banyak lagi. Namun, sebuah negara yang dia ingat betul adalah Amerika. Negara yang dia tidak bisa lepaskan dari pikirannya. Gurunya bilang negara itu paling berkuasa. Mengapa? Pertanyaan itu memicu lahirnya sebuah mimpi kecilnya. Mimpinyapun dimulai.
“Aku harus menginjakkan kakiku di Amerika Serikat”, bisiknya. Mimpi itupun dia simpan dengan sangat rapi.  Mimpi yang setiap hari dia bisikkan ke dirinya. Tiada hari tanpa memikirkan cara untuk dapat menginjakkan kaki disana. Dia tahu dan sadar bahwa bersekolah adalah langkah utama untuk mewujudkan mimpi itu.
Si anak kampungpun mulai mengejar mimpinya. Tidak peduli kala dia sedang membicarakannya maka teman-temannya atau orang-orang yang mendengarnya akan tertawa. Mana mungkin anak kampung Mata Air bisa ke Amerika? Orang Jakarta saja belum tentu bisa.
Namun, dia tidak berhenti bermimpi. Gurunya berkata:” gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”. Itu yang dia lakukan. Dia menggantungkan mimpinya  setinggi bintang. Walaupun kelak mimpinya hanya bisa setinggi bulan,dia tidak peduli. Dia hanya yakin bahwa mimpinya harus tetap digantungkan setinggi langit dan harus diraih.
Berpuluh-puluh tahun dia mengejar mimpinya. Sampai kadang dia juga meragukan mimpinya sendiri namun akhirnya dia berhasil bangkit. Saat dia menikah, dia membagikan mimpinya kepada istrinya. Dia bahagia, istrinya bisa menerima mimpi itu. Sampai dia memiliki anak-anaknya sendiri, diapun terus mengajak anak-anaknya untuk bermimpi. Membantu anak-anaknya untuk bisa membuat sebuah mimpi dan belari mengejar apapun untuk mewujudkan mimpi itu.
Pada usianya yang ke-42, akhirnya mimpi untuk menginjakkan kaki di United States of America menjadi sebuah kenyataan. Mimpi ternyata bisa diwujudkan, meski ia setinggi bintang di langit. Dia menggantungkan mimpinya setinggi langit dulu. Bekerja dan berusaha mengejar mimpi itu. Mentulikan telinganya sendiri untuk semua pesismisme yang ada disekitarnya. Dia memelihara mimpinya dengan baik dan rapi. Dengan perlahan namun pasti dia menjadikan mimpi itu sebuah kenyataan.
Dia bangga menjadi anak kampung Mata Air pertama yang menginjakkan kaki di Amerika. Melihat patung Liberty dengan matanya sendiri, menyentuhnya. Menghirup udara di depan gedung Putih, udara yang sama yang dihirup George Bush saat itu. Kekuatan mimpi membawanya sampai sejauh ini. Senyum merekah di wajahnya. Senyum bahagia dan kemenangan.
Lelaki si penggembala kerbau itu, adalah Bapakku. Jadi mengapa aku tidak boleh berhenti bermimpi?Karena aku punya bukti hidup, bahwa mimpi akan terwujud pada hari baiknya. Suatu hari nanti akupun akan tersenyum lebar melihat mimpiku terwujud. 




jgn letih mencintaiku

pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2013/06/12/bapakku-pemimpi-564406.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar