Kamis, 13 Juni 2013

Segelas Susu





Segurat senyum yg terlukis dari wajahnya memberi kesan antara bersyukur dan bingung. Bersyukur karena ia masih bisa mengendus kembali beberapa jenis bebauan yang ada di kamarnya. Bingung karena lensa kacamatanya yang tiba-tiba kembali mengkilat, utuh tanpa retak layaknya baru beli meski warna silver di gagangnya tetap memudar.
“Ah, kenapa ga sekalian saja semuanya diganti” celotehnya.
Keningnya pun mengerut saat turun dari kasurnya dan mengambil kacamata yang terbaring di atas meja rias.
“Ada dua orang tersangka” gumamnya sembari mengucek matanya yang masih tertutup dengan belek.
Prediksinya, Bapak yang cukup sering ke kota untuk menemui sanak saudaranya suatu waktu mengganti lensanya tanpa sepengetahuan si empunya kacamata. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Bapaknya tidak punya pekerjaan. Dia membuang nafasnya lemah.
Kakaknya yang jarang pulang kerumah namun ia seorang guru SMP. Pikirannya menerawang. Terakhir kacamata ini dipakai olehnya yang kemudian secara ajaib ada di dalam kamarnya, di atas meja rias. Kepalanya mengangguk pasti. Ia pun membuang nafasnya kuat.
Kacamata itu dibolak-balik berharap mengingat lensa sebelah mana yang dulu retak. Namun otaknya terlalu malas untuk itu. Perutnya diusap searah jarum jam. Dengan langkah yang agak tergesa, ia menuju kamar mandi yang bertetangga dengan dapur.
Selepas membasuh muka yang telah berhasil membongkar kasus kacamatanya, ia melangkah ke dapur. Rutin ia membuat susu. Tangannya cekatan merampok gelas bening yang menggelayun di ranting rak piring. Gelas itu ia letakkan tepat sejajar di belakang termos. Keningnya kembali berkerut, lipatannya lebih banyak ketimbang di kamar tadi. Gelas itu menganga seolah ingin memulai tawanya. Benar! Si gelas menertawakan si perampok. Matanya layu karena lingkaran hitam yang terpatri di bawah matanya. Kedipan matanya kuat berharap penglihatan bisa lebih jelas.
Sebuah sendok makan dengan siap siaga bertengger di samping gelas. Lekas ia mengambilnya. Dua sendok susu disusul setengah sendok gula longsor dengan bebasnya ke dalam gelas. Tawaan gelas pun berhenti.
Sendok berdiri tegap di dalam gelas. Ia pun mengambil termos. Air dalam termos itu terjun dengan derasnya ke dalam gelas. Maka diaduklah sendok itu dengan cepatnya. Entah berapa puluh kali adukan. Gelas itu serasa tahu apa yang dia rasakan, perasaannya campur aduk seperti ketiga komponen yang ada di dalam gelas itu.
Ia kembali mengusap perutnya. Berhentilah adukan itu. Ia pun bergegas menuju ruang tengah sembari menenteng segelas susu yang panas. Sendoknya ia tinggalkan.
Kursi merah yang tepat berada di depan tv ia duduki. Gelas susu itu pun ia simpan di atas lantai berkeramik putih. Ia tidak mempunyai ilmu debus namun ia punya kesabaran untuk menunggu air susu itu cukup hangat untuk diminum. Tv yang terdiam di channel program infotainment itu terasa membisu. Matanya terpusat kesana namun isinya kosong. Tatapannya pun pindah ke gelas susu. Ia menghela nafas panjang namun lemah mengingat kejadian yang membuat tawaan di dapur tadi muncul.
***
Siang kemarin ia merebahkan tubuhnya dikasur. Dengan tatapan mata yang kosong, ia menggulingkan badannya ke kiri dan ke kanan. Seperti itu berulang-ulang. Menyiapkan mental. Dia namakan seperti itu.
60 menit di kali dua. Kurang lebih seperti itu. Mungkin lebih sedikit. Ia mengambil handphonenya yang sedari tadi diam membisu di sampingnya. Kedua jempolnya bergetar. Namun jantungnya lebih dulu bersikap tidak normal. Ia menghempaskan nafasnya perlahan. Kilatan matanya jernih. Jempol itu telah menyelesaikan tugasnya dengan apik. “Hi. Apa kabaaar?” Sebuah kalimat sederhana yang nampak di layar handphonenya.
Seiring berangsurnya waktu, jantungnya mulai bersikap seperti biasa. Begitupun dengan kedua jempolnya. Langit menghempaskan selimut gelap, menaburkan berjuta bintang yang berkilat sama persis dengan kilatan mata tadi. Ia merangkul segenggam harapan bahwa ada kalimat sederhana lainnya yang muncul setelah kalimat tadi namun bukan berasal dari jempolnya. Harapan itu sungguh besar sebesar perjuangan yang telah ia torehkan.
Jarum pendek menunjuk angka 3. Alunan do’a terdengar sayap-sayap menggambarkan di kamar lain ORANG yang telah melahirkannya sedang melakukan shalat tahajud. Matanya layu. Semakin dan semakin layu. Harapan yang ia genggam lambat laun terjatuh dari kepalannya sedikit demi sedikit. Namun masih tersisa meski tidak banyak. Dia menggenggam handphonenya sampai tak tersadar matanya yang lelah itu menutup dengan sendirinya.
***
Dia mengambil gelas susu itu. Merangkulnya dengan kedua tangan. Sejenak ia pejamkan mata merasakan kehangatan yang gelas itu berikan dengan secerca harapan hatinya bisa merasakan hal yang sama. Kemudian matanya dibuka. Ia menghabiskan susu itu dalam sekali tegukan. Dengan sinis ia menatap gelas yang kosong itu. Gelas itu kembali menertawakannya.
Sebelah tangannya masih memegang gelas, tangannya yang lain menyeka air mata yang hampir melewati kelopak matanya.
“Lingkaran hitam di mata ini hanya segaris perjuanganku yang belum usai. Dan air mata ini adalah bukti ketulusanku. Orang yang telah melukiskan itu semua tidak tahu betapa kalimat sederhana seperti “Baik” yang muncul setelah kalimat sederhana yang aku buat itu akan sangat berarti meski hanya terdiri dari 4 huruf.” Gumamnya.
Ia pun menambahkan, “Aku sayang dia. Aku merindukannya. Aku sangat mengaguminya.”


Bandung, Juni 2013

pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/06/13/segelas-susu-568528.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar