Kamis, 13 Juni 2013

I Love You, Papa




Musim memang mulai sulit ditebak. Meskipun telah memasuki bulan Juni, hujan deras masih seringkali datang. Seperti sekarang, semenjak sore tadi hingga merambat malam, belum ada tanda-tanda guyuran air dari langit bersama sedikit angin dingin ini akan sepenuhnya berhenti. Beberapa saat mereda, namun kemudian gemericiknya menyapa kembali. Seolah berlomba riuhkan tetesnya pada daun-daun jambu air yang tumbuh melebat di halaman rumah ini. Rumah Anita, janda satu anak yang beberapa waktu lamanya ini ingin kujadikan bagian dari hidupku. Walau hingga sekarang, kepastian itu tak kunjung datang. Bukan aku yang bimbang, tapi wanita lembut ini yang kutahu dan mencoba maklum tentang keraguannya padaku. Apakah aku sanggup dan mampu menghadapi kenyataan? Itu yang kuyakini menjadi pertanyaan abadinya, yang selama ini selalu kubaca dari teduh matanya.
Steven, lelaki kecil yang bulan depan berulang tahun ke lima ini masih juga belum merubah gerakan tubuhnya. Duduk termangu menghadap ke jendela. Pandangan matanya yang selalu lurus itu hanya terpaku seolah ingin menembus dan menghitung satu persatu derai hujan yang jatuh ke rerumputan. Beberapa menit berlalu, aku baru sadar akan rasa perih di lengan kananku. Gigitannya terakhir kali tadi begitu kerasnya, membuatku sedikit menahan diri untuk mengusiknya lagi. Hanya mencoba tetap duduk disampingnya, menemani dan larut dalam lautan lamunannya. Rasa kaget yang dulu ada, berlarut masa telah lama menghilang. Yang bersemayam kini adalah trenyuh serta kasihan lalu berujung kedekatan. Meskipun itu hanya dalam hatiku, sebab sejauh ini aku tak tahu dan sulit menafsirkan, apakah Steven telah mengenalku. Apalagi, mungkinkah ia akan percaya padaku? Sedangkan Anita, mamanya sendiri selama ini masih terombang-ambing dalam bimbang, karena Steven adalah sosok yang menjadi kekuatan hidupnya. Setelah kepedihan-kepedihan masa lalu yang beruntung dia masih bersedia berbagi cerita denganku.
“ Kopinya, Mas Surya, mumpung masih panas..”
“ Wow,..trims, An..”
Berbalut busana kasual tanpa riasan, kulihat Anita begitu anggun saat melangkah mendekat. Rambutnya yang memilih ia potong pendek tak mengurangi aura keibuan yang melekat. Bahkan bagiku, jenjang leher dan tengkuk yang bersih putih itu adalah bagian dari banyak pesonanya. Aku sekian lama memang telah jatuh cinta.
Kuteguk perlahan secangkir kopi hitam yang ia hidangkan, setelah kuhirup aroma uap panas khas yang mengepul menari. Lalu menikmati hangatnya cahaya serta teduh telaga dari wajah wanita di depanku ini. Namun senyumnya sedikit tersela oleh selidik mata berbalut kuatir, saat memergoki bekas luka di lenganku ketika terpampang tanpa sengaja sembari meraih minuman hangat ini.
“ Astaga, Mas! Tanganmu? Dalam sekali gigitan itu..?!”
“ Ohhh,..ini,..nggak papa, Nit..”
Wajah lembutnya sedikit mengeras. Perlahan ia beringsut mendekat ke arah jendela. Kulihat pertempuran kesabaran yang terjadi di sana. Ia menegur anaknya dengan porsi yang sepertinya lebih tegas, meski tetap tak menghilangkan sedikit pun kesan sayangnya. Ah, entah. Aku belum begitu mengerti komunikasi antar mereka. Yang kulihat, Steven tetap tajamkan pandang kosongnya kepada hujan, hanya sedikit anggukan yang sangat perlahan. Hampir tak terlihat itu sebagai sebuah gerakan.
“ Maafkan Steven, Mas..”. Kali ini ada sedikit kaca di sudut-sudut matanya. Seolah bendungan kokoh yang sekian lama ia rintis  mulai terkikis. Keraguannya semakin menyeruak datang. Lebih mendekati pada sebuah simpul tentang keyakinan.
“ Nit. Tak usah terlalu kaupikirkan. Bukankah Steve sudah biasa melakukan ini?”
“ Mas. Kumohon, menyerahlah. Aku tak yakin kau akan sanggup”.
“ Kenapa kau begitu yakin?”
“ Maaf, papa kandungnya pun tak sanggup. Memilih pergi dan campakkan perkawinan kami”
“ Apalagi aku? Begitu maksudmu? Bujangan yang pasti hanya menginginkan mamanya?”
Anita termangu. Terdiam. Ia larikan pandangannya pada Steven dan hujan. Tak membantah sodoran tanyaku dengan sebuah alasan ataupun berkelitnya jawaban. Aku membaca dengan benar keraguan hatinya.
“ Kuharap kau mengerti , Mas. Aku tak ingin kepahitan-kepahitan itu kembali datang. Apalagi jika kau terpaksa menjadi bagian keping lukanya”
“ Anita. Kau menyayangi Steven, kan?”
Ah. Bodohnya aku yang selalu saja gugup saat Anita tergulung bimbang. Pertanyaan ini jelas tak butuh jawaban. Tentu saja Anita hanya diam.
“ Oke. Oke. Sorry. Tolong jujur kau jawab.  Apakah kau mencintaiku?”
“ Kau tahu tentang itu, Mas” . Meski lirih, kulihat ada tersipu di rona wajah keibuannya.
“ Lalu, kenapa kau masih saja ragu?”
“ Maafkan aku. Aku hanya kasihan padamu”
“ Please Anita. Jangan kau minta aku menyerah”
“ Ini menyangkut tentang Steven, Mas. Ia adalah bagian dari hidupku”
“ Bagian hidupku juga! Sekarang, kau boleh saja masih ragu. Tapi, percayalah pada waktu..”
“ Sampai kapan kau akan bertahan?”
“ Sampai kau dan Steven katakan,..iya!”
Anita kembali jeda. Menghela nafas yang begitu berat serta panjang. Sama seperti yang aku lakukan. Palingkan pandang yang sama ke arah Steven yang masih belum berubah kebekuannya. Dan kami pun saling adu pandang. Aku dan Anita, sedikit ternganga. Di sana, ketika hujan mulai mereda, sisakan tetes-tetes gerimis, perlahan kami lihat bibir Steven bergumam. Hampir menyerupai bisikan dengan suara “, Iya..”. Lalu semakin lama semakin mengeras menjadi teriakan. Persisnya, jeritan , sembari tangan mungilnya menghentak-hentak kaca jendela. “ Iyaa! Iyaaaaaa!!!”
“ Steve, mulai mengantuk, Mas..”
Sedikit tergagap, sebab masih belum hilang rasa heran serta balutan tanya. Anita segera beranjak ke arah rak DVD, dengan cekatan ia raih sebuah keping lalu diputarnya. Lagu itu mengalun merdu. Kesukaan Steven sebagai pengantar tidurnya. Seperti biasa, tak lama kemudian, dalam dekapan kasih mamanya, Steven pun terlelap. Entah, apa yang diimpikannya. Aku hanya berharap, mimpi-mimpi kami adalah sama.
“ Sudah malam, Nit. Hujan sudah reda. Aku pulang, ya..”
“ Mas Surya. Sekali lagi, maafkan tadi, ya? Hati-hati di jalan..”
“ Oke, met istirahat..”
Kukecup sepintas kening wanita yang bagiku mulia ini, lalu kening anaknya. Beranjak ke teras, langkahku terasa ringan. Dingin sisa hujan ini seperti hilang ditelan kehangatan yang entah darimana datang. Ketika perlahan, Anita kembali memanggilku.
“ Mas Surya..”
Dan saat ku berpaling, kulihat senyumnya begitu indah, dengan aliran bening di pipinya.
“ Kenapa, Nit?”
“ Aku jawab sekarang saja…, ..IYA…!”
Kupeluk keduanya, debar hati ini seolah saling tersatukan. Bersama iringan lagu kesukaan Steven yang kini melenakannya.
“ Thanks. Sekarang istrirahatlah kalian. Besok saja kau ulang itu..”
Anita mengangguk, semakin erat memeluk Steven. Senyum dan lambaian tulus itu begitu menenteramkan. Hingga saat aku benar-benar melangkah pulang, seiring gerimis yang masih menyiram, merdu lantunan lagu itu masih terngiang.
Give me an answer of love,
I need an answer of love.
Rain and tears in the sun
but in your heart
you feel the rainbow waves.
Rain and tears both I shun,
for in my heart
there’ll never be a sun.
Rain and tears are the same,
but in the sun
you’ve got to play the game.
Beristirahatlah kekasih-kekasihku. Anita …Steven, kita akan bermain bersama. Janganlah ragu, yakinlah, esok aku kembali datang, untuk kalian. Aku pun ingin terlelap malam ini, dalam mimpi yang kuharap menjelma nyata. Pada hari yang pasti kan datang nanti, panggillah aku dan katakan “ I Love You, Papa..”
 I Love You, Natuna.

pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2013/06/12/i-love-you-papa-568280.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar