Indonesia
dikenal sebagai Negara maritim terbesar di dunia. Namun, hingga kini
karunia alam berupa laut yang diberikan Tuhan kepada bangsa ini belum
dikelola secara optimal. Kehidupan kaum nelayan yang tinggal menetap di
sepanjang pantai kepulauan Nusantara ini masih berada dalam kondisi yang
sangat menyedihkan. Padahal sebagai rasa syukur kita terhadap Allah
SWT, dan tuntutan amanat UUD ’45, bahwa Negara wajib menyejahterakan
rakyatnya, termasuk nelayan di dalamnya, maka sektor kelautan yang
identik dengan sektor perikanan harus dikelola dan dikembangkan
semaksimal mungkin. Salah satu model pengembangan sektor perikanan tersebut adalah melalui pola kemitraan.
Pendahuluan
Di mata dunia, Indonesia paling terkenal dengan sebutan ‘ the archipelago islands’,
dikarenakan negeri ini terdiri dari sekumpulan gugusan pulau-pulau
besar dan kecil, yang total jumlahnya tak kurang dari 17000. Diapit oleh
dua benua besar, yaitu Asia dan Australia, sekaligus dikanngkangi dua samudra, yakni Samudra Hindia di sebelah barat dan selatan, dan samudra Pasifik di sebelah timur laut.
Letak
geografi Indonesia seperti itu, menjadikan negeri ini diselimuti oleh
perairan laut yang luar biasa kaya akan potensi yang terkandung di
dalamnya. Kondisi ini jika kita sadari sungguh suatu karunia Tuhan yang
tak terhingga nilainya bagi kemakmuran bangsa dan Negara sepanjang masa.
Coba perhatikan! Wilayah laut Indonesia mencapai 73,3 % dari total
wilayah NKRI, atau sama dengan
5,8 juta km2 merupakan luas laut. Berbagai macam jenis ikan, besar dan
kecil yang kaya akan sumber gizi, protein dan vitamin bagi
kehidupan manusia di atas bumi ini berada dalam perairan laut kita.
Belum lagi sumber-sumber lain, seperti sumber hayati dan nonhayati,
sebut saja terumbu karang, rumput laut (sea-weed), dan tambang minyak (oil-mining)
bisa dijadikan sektor perekonomian Indonesia yang paling menonjol
potensinya untuk dikembangkan demi kemakmuran rakyat. Semestinya bangsa
Indonesia tidak perlu bingung menentukan arah dan langkah pembangunan
nasional, baik jangka pendek, menengah, lebih-lebih jangka panjang,
sebab dari sektor kelautan saja dipastikan akan mampu menopang laju
pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat yang merupakan amanat UUD
’45 itu.
Sektor Kelautan
Namun faktanya sampai kini pengembangan sektor kelautan kita dapat dikatakan masih berjalan di tempat alias belum beranjak dari keadaan sebelumnya. Upaya-upaya memang tidak sedikit dilakukan,
baik yang bersifat struktural kelembagaan, yang ditandai dengan
berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 di bawah
kepemimpian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga yang bersifat
kultural, yakni membangun kembali citra bangsa kita yang pernah jaya di
masa lampau, dengan jargon yang amat manis; nenek moyangku orang pelaut.
Lalu, kurang-lebih sebelas tahun kemudian, secara kelembagaan mampu
meretas paradigma kebijakan pembangunan kita, yang tadinya hanya
berorientasi ‘darat’, menuju kompilasi yang berorientasi ‘laut’, sebagai
lokomotif pembangunan ekonomi Indonesia.
Seiring
dengan spirit berorientasi ke ‘laut’, lalu muncullah gerakan ‘Revolusi
Biru’. Gerakan ini memang tidak main-main, sebab secara konseptual mampu
melahirkan petisi bersama, yang menjadi flatform
gerakan perubahan; memperkuat kelembagaan dan SDM secara terpadu,
mengelola sumber kelautan dan perikanan secara berkelanjutan (sustainable),
meningkatkan produktifitas dan daya saing berdasarkan iptek, dan
memperluas terjadinya akses pasar domestik dan internasional yang
menggairahkan.
Tak berhenti sampai di situ, flatform gerakan ‘revolusi biru’ ini kemudian dijadikan trademark visi dan misi pembangunan sektor kelautan dan perikanan di masa DR. Fadel Muhammad, yang menakhodai Kementerian Kelautan dan Perikanan priode 2010-2014 (Beliau adalah
salah satu menteri yang direshuffle presiden SBY), dalam dua kalimat
singkat tapi penuh makna sekaligus beban: Indonesia Penghasil Produk
Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015 (visi), dan Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan.
Tapi
nampaknya selama masa reformasi kita berbenah di segala bidang
pembangunan, termasuk sektor kelautan dan perikanan di dalamnya belum
memperlihatkan hasil yang signifikan. Sumbangan devisa Negara dari
sector ini hanya sekitar 1,5 persen, dan sebagian besar nelayan (65%)
hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, sekitar 85 persen dari seluruh
spesies ikan serta biota laut tropis lainnya mengalami kerusakan yang
cukup parah akibat konversi menjadi kawasan pemukiman, industry,
pelabuhan, tambak dan kepentingan lainnya (Prof.Dr.Ir.Rokhmin Dahuri,
2010). (Bersambung) * Penulis, mantan anak laut.
pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/06/21/mengangkat-martabat-kaum-nelayan-kita-1-570731.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar