Kamis, 20 Juni 2013

Mengangkat Martabat Kaum Nelayan Kita (1)


Indonesia dikenal sebagai Negara maritim terbesar di dunia. Namun, hingga kini karunia alam berupa laut yang diberikan Tuhan kepada bangsa ini belum dikelola secara optimal. Kehidupan kaum nelayan yang tinggal menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara ini masih berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Padahal sebagai rasa syukur kita terhadap Allah SWT, dan tuntutan amanat UUD ’45, bahwa Negara wajib menyejahterakan rakyatnya, termasuk nelayan di dalamnya, maka sektor kelautan yang identik dengan sektor perikanan harus dikelola dan dikembangkan semaksimal mungkin. Salah satu model pengembangan sektor perikanan tersebut adalah melalui pola kemitraan.
Pendahuluan
Di mata dunia, Indonesia paling terkenal dengan sebutan ‘ the archipelago islands’, dikarenakan negeri ini terdiri dari sekumpulan gugusan pulau-pulau besar dan kecil, yang total jumlahnya tak kurang dari 17000. Diapit oleh dua benua besar, yaitu Asia dan Australia, sekaligus dikanngkangi dua samudra, yakni Samudra Hindia di sebelah barat dan selatan, dan samudra Pasifik di sebelah timur laut.
Letak geografi Indonesia seperti itu, menjadikan negeri ini diselimuti oleh perairan laut yang luar biasa kaya akan potensi yang terkandung di dalamnya. Kondisi ini jika kita sadari sungguh suatu karunia Tuhan yang tak terhingga nilainya bagi kemakmuran bangsa dan Negara sepanjang masa. Coba perhatikan! Wilayah laut Indonesia mencapai 73,3 % dari total wilayah NKRI, atau sama dengan 5,8 juta km2 merupakan luas laut. Berbagai macam jenis ikan, besar dan kecil yang kaya akan sumber gizi, protein dan vitamin bagi kehidupan manusia di atas bumi ini berada dalam perairan laut kita. Belum lagi sumber-sumber lain, seperti sumber hayati dan nonhayati, sebut saja terumbu karang, rumput laut (sea-weed), dan tambang minyak (oil-mining) bisa dijadikan sektor perekonomian Indonesia yang paling menonjol potensinya untuk dikembangkan demi kemakmuran rakyat. Semestinya bangsa Indonesia tidak perlu bingung menentukan arah dan langkah pembangunan nasional, baik jangka pendek, menengah, lebih-lebih jangka panjang, sebab dari sektor kelautan saja dipastikan akan mampu menopang laju pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat yang merupakan amanat UUD ’45 itu.
Sektor Kelautan
Namun faktanya sampai kini pengembangan sektor kelautan kita dapat dikatakan masih berjalan di tempat alias belum beranjak dari keadaan sebelumnya. Upaya-upaya memang tidak sedikit dilakukan, baik yang bersifat struktural kelembagaan, yang ditandai dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 di bawah kepemimpian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga yang bersifat kultural, yakni membangun kembali citra bangsa kita yang pernah jaya di masa lampau, dengan jargon yang amat manis; nenek moyangku orang pelaut. Lalu, kurang-lebih sebelas tahun kemudian, secara kelembagaan mampu meretas paradigma kebijakan pembangunan kita, yang tadinya hanya berorientasi ‘darat’, menuju kompilasi yang berorientasi ‘laut’, sebagai lokomotif pembangunan ekonomi Indonesia.
Seiring dengan spirit berorientasi ke ‘laut’, lalu muncullah gerakan ‘Revolusi Biru’. Gerakan ini memang tidak main-main, sebab secara konseptual mampu melahirkan petisi bersama, yang menjadi flatform gerakan perubahan; memperkuat kelembagaan dan SDM secara terpadu, mengelola sumber kelautan dan perikanan secara berkelanjutan (sustainable), meningkatkan produktifitas dan daya saing berdasarkan iptek, dan memperluas terjadinya akses pasar domestik dan internasional yang menggairahkan.
Tak berhenti sampai di situ, flatform gerakan ‘revolusi biru’ ini kemudian dijadikan trademark visi dan misi pembangunan sektor kelautan dan perikanan di masa DR. Fadel Muhammad, yang menakhodai Kementerian Kelautan dan Perikanan priode 2010-2014 (Beliau adalah salah satu menteri yang direshuffle presiden SBY), dalam dua kalimat singkat tapi penuh makna sekaligus beban: Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015 (visi), dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan.
Tapi nampaknya selama masa reformasi kita berbenah di segala bidang pembangunan, termasuk sektor kelautan dan perikanan di dalamnya belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Sumbangan devisa Negara dari sector ini hanya sekitar 1,5 persen, dan sebagian besar nelayan (65%) hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, sekitar 85 persen dari seluruh spesies ikan serta biota laut tropis lainnya mengalami kerusakan yang cukup parah akibat konversi menjadi kawasan pemukiman, industry, pelabuhan, tambak dan kepentingan lainnya (Prof.Dr.Ir.Rokhmin Dahuri, 2010). (Bersambung) * Penulis, mantan anak laut.

pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/06/21/mengangkat-martabat-kaum-nelayan-kita-1-570731.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar