Rabu, 05 Juni 2013

FILSAFAT ILMU dan METODOLOGI PENELITIAN (4)




Gratisan Musik

HAKIKAT PRIBADI MANUSIA


MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERFIKIR. Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.

Apa yang dipikirkan ? Terpusat pada diri sendiri: asal mulanya, keberadaan, dan tujuan akhir hidupnya. Pengenalan manusia terhadap segala sesuatu disekelilingnya diawali secara represif : makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula orang tua, saudara, dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Berkat perkembangan alam pikiran dan kesadaranya, manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Kemudian kedudukan, fungsi dan keterkaitan antara satu dengan yang lain, yang membuat esensi dan eksistensi setiap hal menjadi semakin jelas. Pengenalan manusia kemudian berkembang menjadi semakin kreatif. Kreativitas ini memungkinkan manusia membuat makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain, dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, termasuk juga menciptakan grup-grup sosial yang baru.

Selanjutnya, dengan pemikiranya yang kritis dan kreatif manusia memikirkan dirinya sendiri, yaitu hakikatnya sebagai manusia. (Hakikat manusia adalah makhluk. Tuhan yang eksis dalam diri-pribadinya yang otonom, berjiwa-raga, dan berada dalam sifat hakikatnya sebagai makhluk individu yang memasyarakat). Pemahaman tentang kakikat pribadi ini membuat manusia sadar akan adanya berbagai persoalan hidup yang justru bersumber dari kebutuhan dan kepentingan yang dituntut pemenuhanya bagi setiap unsur hakikat pribadinya itu. Kemudian ia sadar akan perlunya pemecahan segala masalah tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya. Untuk itulah manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya , dari yang mistis-religius menuju ke ontologis-kefilsafatan, sampai akhirnya kepada taraf yang paling konkret-fungsional.

Pemikiran yang  mistis-religius (reseptif) adalah menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan, dimana manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya. Pemikiran yang konkret-fungsional bermakna bahwa pemikiran itu mengandung suatu terobosan baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang sedemikian rupa sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan justru bagaimana hukum alam itu bisa dilampaui.

Pemikiran  yang teknologis-fungsional sudah berkembang sampai ke taraf sosial budaya. Jalinan hubungan dengan sesama manusia telah berubah menjadi praktis, pragmatis, dan serba terbatas menurut tingkat keperluan minimal dengan ukuran utama kegunaan bagi diri pribadi. Dari pola pemikiran itu, yang sebenarnya besar saudara bisa menjadi orang lain dan sebalikny, tergantung seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh, bahkan komunikasi dengan orang tua cukup melalui telepon saja. Masyarakat tidak lagi dipandang sebagai tujuan tetapi sebagai alat bagi tujuan-tujuan individu. Masyarakat dirombak, dibangun, dikendalikan, dan dipacu ke arah berbagai produktivitas yang bermanfaat secara praktis dan pragmatis.

Terhadap diri sendiri, manusia mulai bersikap teknis, memfungsikan dirinya sepragmatis mungkin demi dirinya sendiri. Jadwal yang ketat dibuat untuk mengatur dirinya sendiri. Intuisi, perasaan, dan kehendaknya ditekan dan hanya mengikuti berbagai pikiran rasional saja. Tata cara makan, minum dan sebagainya ditinggalkan  dan hanya mengutamakan kesehatan saja, bahkan juga terhadap Tuhan. Hubungan dengan Tuhan sudah diwarnai oleh pemikiran teknologis fungsional. Ibadah tidak lagi dilakukan  karena panggilan hati, tetapi karena perhitungan-perhitungan rasional kewibawaan, simpati, dan sanjungan dari masyarakat.

Perkembangan pemikiran yang semakin teknologis-fungsional mulai memperlihatkan bahayanya. Harus mulai disadari bahwa pemikiran ontologis-kefilsafatan dan mitologis-keagamaan perlu dipertimbangkan agar mampu meluruskan pembelokan-pembelokan pemikiran yang teknologis-fungsional. Perlu diingat bahwa ketiga pemikiran itu ada bersama-sama dalam satu sistem watak dinamika pemikiran manusia. Suatu akibat tidak mungkin ada tanpa sebab, juga sebalikya. Oleh karena itu pemikiran boleh berkembang sefungsional mungkin tetapi tidak harus meninggalkan sama sekali watak ontologis dan yang mitologis-keagamaan itu.

Untuk apa manusia berfikir? Untuk mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia itu ada yang langsung. Tujuan langsung adalah tujuan yang harus dipenuhi selama hidupnya di dunia ini, yaitu kecukupan sandang, pangan dan yang lain, yang hanya bisa dipenuhi dengan melaksanakan teori pemikiran yang fungsional-teknologis karena perkembangan jumlah manusia yang sudah sedemikian pesat. Tetapi jika cara berfikir ini dibiarkan terus berkembang, orang hanya akan mengejar tercapainya tujuan hiudp duniawi saja. Tujuan hidup duniawi adalah awal dari tujuan hidup ukhrawi (tidak langsung). Agar tujuan langsung ini berkesinambungan dengan tujuan tidak langsung, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, baik pemikiran ontologis-kefilsafatan maupun mitologis-keagamaan, perlu dihidupkan kembali. Meskipun tujuan tak langsung ini sulit ditentukan materi dan bentuknya, tetapi sifatnya yang keilahian membuat tingkah laku manusia bersifat normatif keilahian dan kefilsafatan.

Bersambung,....
 
pustaka:
Soetriono dan Rita Hanafie, (2007), Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Andi Offset, Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar