Rinai percik jiwa yang kini tengah terusik. Menelisik setiap kisi-kisi hati yang penuh dengan bisik. Menderu namun terdengar membisu. Menyatu dalam sebuah kisah yang mengharu biru. Kau pernah berkisah tentang pelangi yang hiasi hari-hari bersama mentari munculkan rona indah pagi. Kau juga pernah berkesah tentang surya yang tinggalkan senja munculkan rona muram durja.
Aku masih mendengarkanmu duhai CINTA, masih mengeja setiap makna dari kata yang kau tata dalam setiap lembar cerita. Namun kadang hati tak mampu imbangi logika yang memaksa tuk terus bersemedi dalam rona bahagia. Saat ini aku masih disisi, tatapI ulas wajah yang tengah berseri nikmati indahnya jatuh hati. Amati setiap senyum bahagia yang sesungguhnya menggores jiwa, memupus asa karena yang kau cinta adalah dia.
Dia mentarimu, kau kisahkan tlah goreskan semburat jingga di angkasa jiwa, membuatnya begitu bertahta di istana cinta. Aku tersenyum dalam pilu, tertolak, terhempas hati retak, namun kutepis semua asa agar kunampak turut bahagia. Mentari dimatamu begitu sempurna tanpa cela, hingga akhirnya mentari tinggal cerita, tinggalkan jejak luka tuk tenggelam bersama senja. Aku masih disisi , namun rona telah berganti terengkuh nyeri yang membaluti setiap ruas hati.
Aku berlari ketepi, hampiri ombak-ombak yang silih berkejaran sepanjang hari. Tinggalkan kau sejenak yang tengah tertikam sesak agar kau leluasa ekspresikan jiwa yang terkoyak. Diantara gemuruh samudera, aku terluka, terisak dalam luka yang kau rasa. Sesal gauli diri, mengapa tak mampu kuungkapkan isi hati sejak cinta mulai bersemi. Aku hanya mampu menanti lukamu terobati dan menanti kau sadari ada cinta yang selalu dampingimu disisi. Ya kuakui betapa pengecutnya diri ini karena hanya berani berbisik pada palung samudera terdalam bahwa aku mencintaimu dalam DIAM.
@2013.catatandalamdiamrindusenja
pustaka:
kompasiana.nur Anisa11/maret/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar