Senin, 18 Maret 2013

Matematika, Aku Menyerah




Gratisan Musik


 Judul Tulisan: Matematika. Aku MEnyerah
Penulis:  Glory Grant,

@2013.catatatandisenjasunyi



“Anak-anak, besok kita ulangan. Materinya bab 5 tentang Phytagoras. Tolong pelajari di rumah,” kata Bu Guru.
 “Yaaaaahhh…,” seru siswa-siswa saat mendengar kata ulangan dari guru mereka.
“Sekarang buka buku kalian halaman 153. Kerjakan latihan soal yang ada di halaman tersebut!” perintah guru.
Sebagian besar wajah siswa di kelas VIII SMP Negeri 99 yang tadinya muram karena mendengar besok akan ulangan sekarang menjadi bertambah suram.
“Aduh… Kenapa, sih, ada ulangan Matematika?” kata seorang siswa.
“Iya, nih, harus mengerjakan latihan yang banyak pula,” seru siswa yang lainnya.
“Ugh! Latihan soal yang banyak begini mana mungkin selesai sekarang. Bakalan jadi PR, nih!” siswa yang lain menimpali.
Mendengar keriuhan itu, Bu Guru hanya tersenyum. Baginya, keriuhan tersebut sudah biasa. Beliau mengerti bahwa sebagian besar siswa tidak suka dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Lalu beliau melanjutkan pekerjaannya berkeliling di antara meja-meja di kelas untuk mengajari siswa yang tidak bisa mengerjakan latihan.
* * *
Jam sekolah telah usai. Tapi, lima orang siswa kelas VIII masih terlihat berkumpul di halaman sekolah. Mereka tampaknya sedang membahas sesuatu yang penting.
“Siapa di antara kalian yang punya kontak BBMnya Bu Lastri, guru Matematika kita?” tanya Boy kepada keempat orang temannya.
“Buat apa, Boy?” Rian balik bertanya.
“Ah, nanti aku jelaskan! Siapa, ayo, yang punya kontak BBMnya Bu Lastri?” tanya Boy lagi.
Keempat temannya saling memandang. Akhirnya, salah seorang dari kelompok mereka angkat suara.
“Aku punya,” jawab Lusi.
“Nah, bagus kalau begitu!” seru Boy.
“Sekarang, tugasmu adalah menulis status di BBmu. Tulis begini, ‘Aku benci Matematika! Selalu ulangan… selalu latihan… selalu PR… tak ada habisnya!’” lanjut Boy, memberi perintah pada Lusi.
“Gila kamu, Boy! Gimana kalau dibaca Bu Lastri?” protes Mira.
“Iya, Boy. Kasihan nanti Lusi. Bisa-bisa nanti dia dibenci oleh Bu Lastri!” sambung Eko.
“Kalian ini bagaimana, sih! Justru itu biar Bu Lastri tahu kalau Matematika itu memang menyebalkan. Itu juga supaya beliau tahu kalau soal-soal yang diberikan terlalu banyak dan terlalu sering ulangan!” jawab Boy dengan sengit.
Setelah melalui perdebatan yang seru, akhirnya Lusi setuju untuk menuliskan status di BBMnya, seperti yang diminta oleh Boy.
* * *
Hari yang ditunggu pun tiba. Bu Lastri membagikan lembar soal ulangan kepada siswa. Setelah lembar soal dibagikan, siswa-siswa langsung serius mengerjakan ulangan. Bu Lastri berpesan agar siswa mengerjakan sendiri ulangan tersebut.
Sepuluh menit… Dua puluh menit… Waktu pun berlalu. Suasana kelas begitu tenang, tidak seperti pada saat pelajaran berlangsung. Bu Lastri yang sedari tadi mondar-mandir mengawasi siswanya kini menuju ke kursi guru di depan kelas.
Pada saat itulah Boy menendang kursi Eko yang duduk di depannya.
“Pssst… Pssstt… Eko… Berikan kertas jawabanmu!” bisik Boy kepada Eko.
Eko tak menggubris permintaan Boy. Ia tetap serius mengerjakan ulangan.
Sekali lagi, Boy menendang kursi Eko.
“Eko! Ayolah bantu temanmu ini! Satupun jawaban belum kutulis,” pinta Boy.
Eko masih tak bergeming. Ia pura-pura tidak mendengar bisikan dari belakangnya dan tetap serius menyelesaikan jawaban ulangannya.
Boy menjadi kesal karena Eko tidak menggubrisnya. Dengan geram, diambilnya kertas coretan yang ada di hadapannya, dikoyaknya kertas itu menjadi beberapa bagian, dan dibulat-bulatkannya menjadi bola-bola kecil. Lalu, Boy melempar bola kertasnya ke kepala Eko.
Tuk! Satu lemparan mengenai kepala Eko.
Tuk! Lemparan kedua jatuh ke atas meja Eko.
Tuk! Tuk! Boy semakin menjadi-jadi melempari Eko dengan bola-bola kertas karena Eko tak juga menghiraukannya. Dan… Pada saat ia sedang seru-serunya melempar bola-bola kertas, sebuah tangan menarik telinganya.
“Boy! Jadi ini kerjamu??” seru Bu Lastri pada Boy.
Boy mendadak gelagapan begitu tahu Bu Lastri memergokinya melempari Eko dengan bola kertas.
“Eh… Nggak, Bu. Maaf… Anu, saya nggak sengaja, Bu…,” jawab Boy dengan gugup.
“Baiklah! Bawa kertas ulanganmu ke depan kelas, sekarang! Dan, kerjakan di depan sana!” perintah Bu Lastri.
Boy menunduk malu sambil membawa kertas ulangan dan alat tulisnya ke depan kelas. Lalu ia duduk di lantai di bawah papan tulis di depan kelas. Ia merasa bertambah malu karena teman-teman sekelasnya menertawakannya.
* * *
Bu Lastri membolak-balik lembar jawaban ulangan yang ada di tangannya lalu memberi nilai di atas kertas tersebut. Setelah selesai menilai semua lembar jawaban, ia memeriksa kembali setiap lembar jawaban siswanya. Dari 35 orang siswa kelas VIII, hanya lima orang yang mendapat nilai di atas rata-rata, sisanya mendapat nilai 3, 4, 5, bahkan ada yang mendapat nol!
Perasaan guru Matematika itu sangat kecewa. Apalagi jika mengingat sehari sebelum ulangan, salah seorang siswanya menuliskan status ‘Aku benci Matematika…’ Beliau jadi semakin sedih.
‘Apa yang salah dengan Matematika? Apakah metode mengajarku salah? Mengapa anak-anak benci Matematika? Padahal, jika tidak banyak latihan soal, mereka pasti akan sulit mengerti dan sulit mengerjakan soal-soal. Ulangan pun dibuat per bab agar siswa tidak kewalahan mempelajari bahan ulangan. Ulangan satu bab saja mereka tidak mampu, apalagi jika ulangan dua bab atau lebih sekaligus? Tapi, mengapa hanya lima orang siswa saja yang lulus?’ pikir beliau.
Bu Lastri menghela napas panjang. ‘Ah, Matematika… Kurasa, aku ingin menyerah saja…’
* * *
Seminggu setelah ulangan, Bu Lastri membagikan hasil ulangan kepada siswa-siswanya. Setelah semua siswa mendapat hasil ulangan mereka, Bu Lastri memberikan pengumuman.
“Anak-anak, tolong dengarkan, ya. Bagi kalian yang mendapat nilai di bawah rata-rata, lusa nanti harap mengikuti ujian perbaikan atau remedial. Besok, setelah pulang sekolah, akan ada pelajaran tambahan untuk kalian yang akan mengikuti ulangan perbaikan!” begitu kata beliau.
Setelah pengumuman itu, suasana kelas menjadi gaduh. Sebagian besar siswa mengeluh karena harus mengikuti pelajaran tambahan dan ulangan perbaikan. Lalu, salah satu siswa berkata, “Matematika… Aku menyerah saja…”
...............................iiiiii...........................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar