Judul Tulisan: Bangsa Pelaut yang Kekurangan Pelaut
Penulis: Michel Sendow
Kategori: Ilmu Ekonomi (Bisnis)
Sumber: kompasiana, 10 Januari 2013
@catatanmalam
@nisaceriadicahayaterangkota@
Bangsa kita adalah bangsa bahari, itu jelas terlihat dengan sebutan ‘Negara Kepulauan’. Kita memiliki lebih dari 17 ribu pulau. Sebagian besar wilayah kita diisi dan dinominasi oleh air. Sebagai Negara Maritim yang besar maka kita juga semestinya memiliki pelaut-pelaut yang memadai, handal dan siap bersaing dengan pelaut-pelaut bangsa lain.
Ketika saya bergabung dengan salah satu perusahaan shipmanagement terbesar nomor dua di dunia , Bernhard Schulte Shipmanagement (BSM) , banyak pengalaman yang benar-benar membuat kepala saya berdenyut-denyut dan pikiran jadi berputar sangat keras. Kenapa ya? Karena ada begitu banyak hal mengemuka dan menggambarkan betapa dunia kepelautan kita mesti banyak berbenah. Salah satu contoh adalah seperti ini, kapal-kapal asing sering tidak menggunakan pelaut Indonesia karena katanya pelaut kita memiliki lack of knowledge, kurang bisa (bahkan tidak bisa) bicara Bahasa Inggris, dan neniliki attitude yang kurang baik (tidak patuh, suka berantem, dan lain-lain). Entah berapa persen kebenarannya, tetaplah kita perlu menyiasatinya sebaik mungkin.
Kita juga sepertinya sangat kekurangan pelaut berkualitas. Ketika banyak permintaan pelaut-pelaut dari pihak asing, baik untuk perwira (officer/ engineer) pun untuk Anak Buah Kapal (ABK/ rating) kita kewalahan menyuplainya. Keadaan seperti ini jelas sangat memprihatinkan.
Dari Dulu Kita Adalah Bangsa Pelaut
Sejarah telah membuktikan bahwa sejak masa-masa yang lalu para pelaut Indonesia sudah sangat terkenal, mereka bahkan telah mendarat di Australia sebelum Inggris menginjakkan kaki di Benua Kanguru itu. Pelaut nusantara yang berasal Bugis ternyata sudah menginjak Australia pada abad ke-17, atau sekitar seratus tahun sebelum petualangan seorang pelaut bernama James Cook dari Inggris, yang katanya menemukan Australia sekitar akhir abad ke 18.
Kejayaan Indonesia sebagai Bangsa Pelaut dan sebagai Negara Bahari sudah dikenal di berbagai penjuru dunia. Itu jaman dulu. Jaman sekarang? Kualitas dan kompetensi (quality, proficiency, competency) pelaut harus terus ditingkatkan dan disesuaikan dengan tuntutan zaman. Di sisi lain, pelaut kita mesti benar-benar mempertahankan kekuatan sejarah, terlebih lagi semangat sebagai bangsa pelaut yang tak boleh redup dan memudar digilas zaman. Sebagai Negara Bahari sudah barang tentu kehormatan dan martabat bangsa juga dapat ditonjolkan melalui kiprah para pelaut kita di dunia internasional. Itu kenyataannya. Kalau pelaut kita jelek, pemilik kapal (ship-owner) dan perusahaan manajemen kapal (ship-management) tidak akan menanyakan siapa pelaut tersebut, tapi asal negara mana pelaut tersebut.
Sejarah memang sudah menunjukkan bukti bahwa sejak zaman dulu para pelaut Indonesia telah berkembang secara signifikan, bahkan memiliki kemampuan penjelajahan yang lebih besar dibanding para pelaut Eropa atau China sekalipun. Itu jelas karena pelaut kita lebih dulu mengarungi Afrika sejak abad ke lima.
Lantas apa yang membedakan pelaut kita dengan para pelaut dari Eropa pada masa itu? Perjalanan para pelaut nusantara ke berbagai belahan dunia adalah untuk membangun komunikasi sosial, melakukan perdagangan terutama rempah-rempah, dan untuk kegiatan lainnya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip kesetaraan semua bangsa. Nah, bagi para pelaut Eropa, kebanyakan pelayaran mereka ke bangsa-bangsa lain sering sekali ditandai dengan pencaplokan atau dalam bentuk penjajahan terhadap suatu wilayah.
Pelaut Kita Masa Kini
Dalam rangka mendukung keberadaan kita sebagai Negara Bahari, pemerintah memang dituntut untuk sesegera mungkin melakukan reorientasi secara sungguh-sungguh untuk terus meletakkan visi bahari sebagai prioritas. Termasuk tentu saja melibatkan berbagai kekuatan kelautan yang ada agar supaya pertumbuhan dan perkembangan perusahaan pelayaran dalam negeri makin maju. Lalu mereka akan memiliki kemampuan mengadakan kapal-kapal milik sendiri. Usaha-usaha tersebut pada gilirannya akan memunculkan minat dan rasa bangga para pelaut kita. Bangga karena dapat menahkodai dan mengawaki kapal-kapal milik bangsa sendiri.
Sekarang mari kita mengintip lebih jauh. Menurut beberapa catatan yang saya peroleh, ternyata jumlah pelaut Indonesia yang kini bekerja di kapal-kapal asing sudah mencapai tidak kurang dari 78.000 orang. Tapi secara global jumlah tersebut masih sangat kurang. Para pelaut tersebut menyumbang devisa nasional sebesar tidak kurang dari Rp 16 triliun per tahun. Sebuah nilai nominal yang fantastis tentu saja, dan ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sumbangsih devisa yang demikian besar mesti mendapat perhatian pemerintah. Coba kita bandingkan dengan devisa yang dihasilkan TKW Indonesia selama setahun yang ‘hanya’ mencapai 3 Triliun lebih. Jadi, peran pemerintah, industri keagenan kapal, perusahaan-perusahaan pelayaran, dan Maritime Training Center (MTC) di Indonesia sangat diharapkan untuk membantu, menolong, dan membesarkan para pelaut Indonesia tersebut.
Di salah satu perusahaan shipmanagement yang saya bantu, untuk gaji seorang perwira mulai dari 3rd Officer sampai posisi Master (captain) adalah sebesar 3.500-11.000 USD per bulan (sekitar 31.5 juta – 100 juta). Kebanyakan pelaut Indonesia bekerja di kapal-kapal luar negeri dengan trading area di berbagai belahan benua, seperti di Eropa, Asia, Amerika Serikat, Australia, dan Afrika. Memang benar, menjadi pelaut yang berkualitas, memiliki attitude yang baik, dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris pasti akan mendapatkan timbal balik bayaran yang sangat bagus.
Dunia Kekurangan Pelaut
Menurut BPSDM Kemenhub, saat ini dunia kekurangan sekitar 83.000 pelaut. Itu tandanya kita masih bisa berpartisipasi lebih besar dan aktif lagi dalam menyuplai kebutuhan tersebut. Di samping hal tersebut dapat mengurangi jumlah pengangguran dalam negeri, juga menyumbang kontribusi devisa yang semakin besar lagi.
Data statistik menunjukkan bahwa total pelaut yang bekerja di seluruh lautan di dunia saat ini mencapai jumlah 1,2 juta pelaut. Nah, negara yang paling banyak menyuplai pelautnya adalah Filipina, yaitu sekitar 400.000 pelaut. Bagaimana dengan Indonesia? Masih sangat jauh lebih rendah dari jumlah pelaut asal Filipina. Untuk kebutuhan dalam negeri sendiri kita butuh sekitar 43 ribu pelaut, 18 ribuan perwira dan 25 ribuan Anak Buah Kapal (ABK).
Bukankah kita Bangsa Pelaut dan Negeri Bahari? Bukankah juga kita adalah negara kepulauan terbesar? Kita bahkan memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, sekitar 240 juta orang. Tapi kenapa yah pelaut kita masih sangat kurang? Mungkin masih banyak yang menyepelekan pekerjaan sebagai pelaut barangkali? Saya sangat berharap ke depannya akan semakin banyak pelaut berkualitas yang bangsa kita miliki. Industri kelautan dan bisnis pelayaran kelak dapat menjadi tulang punggung devisa negara. saya yakini dan amini itu.
Menutup tulisan ini, saya jadi teringat kisah seorang kawan saya yang bilang begini. Bahwa banyak pelaut kita yang tidak jadi melaut karena katanya tidak dibolehkan istri para pelau tersebut. Menurutnya, banyak istri yang takut suaminya berselingkuh apabila mereka melaut dalam jangka waktu yang cukup lama. Saya tertawa dan bilang ke dia seperti ini, kalau untuk urusan itu saya kurang tahu, tapi coba puterin saja lagunya Connie Mamahit, “…..Siapa bilang pelaut mata keranjang….” —-Michael Sendow—-
.......................................................................ii........................................................................
@pelautceriadipedalamandesa@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar