Judul Tulisan: Aku Suka Statusmu
Kategori: Catatan
Penulis: Yus Sapto Harjanto
Sumber: Kompasiana, 12/Januari/2013
@catatanmalam
@Nisabelajarekonomikota@
Ini teori seorang teman tentang ‘reading habits’ atau kebiasaan membaca. Menurutnya generasi yang lahir di jaman saluran televisi baru ada TVRI, mempunyai kebiasaan membaca yang jauh lebih baik tinimbang generasi yang lahir setelah televisi dihiasi dengan beberapa channel baru semacam RCTI, Indonesiar, SCTV dan seterusnya. Di jamannya dulu televisi belum menyita hidupnya, acara-acara yang menarik untuk dilihat bisa dihitung dengan jari (termasuk jumlah pesawat televisi yang belum tentu ada disetiap rumah). Belum lagi energi untuk menghidupkan televisi, yaitu aki sehingga harus dihemat penggunaannya. Dengan kondisi seperti itu maka kebutuhan akan informasi harus dipenuhi dengan cara lain yaitu dengan membaca atau mendengar radio.
Karena teori itu diungkapkan dalam perbincangan antar sesama teman maka saya tak berniat untuk mendebatnya. Saya justru kemudian mengingat kembali jaman itu, saat saya masih kecil dulu. Dan nampaknya teori teman itu benar adanya. Saya lahir di desa kecil tak jauh dari Ibukota Kabupaten (2 km) dan aliran listrik baru kami nikmati sekitar tahun 80-an. Di masa SD dulu, saya hanya menyaksikan televisi di rumah tetangga, saat itu yang punya televisi mungkin baru 3 keluarga. Maka tak heran jika Rabu malam, saat TVRI menayangkan pertunjukkan ketoprak, rumah Mbah Mangun selalu penuh dengan orang-orang yang menonton televisi. Beruntung rumah Mbah Mangun luas sehingga bisa menampung banyak orang.
Saya ingat persis, saat itu acara televisi tidak menjadi bahan perbincangan dengan sesama teman ataupun kalo ada, temanya juga tidak banyak. Saya dan teman-teman bicara yang terkait dengan televisi semisal hendak ada pertandingan tinju kelas berat, maka Muhammad Ali Ken Norton, Leon Spink dan sebagainya mulai kami bicarakan. Di luar itu cerita dalam pergaulan sehari-hari lebih berasal dari buku dan majalah-majalah.
Dua rumah yang selalu menjadi tempat berkumpul adalah rumah kawan yang berlangganan majalah Hai dan satu lagi kawan yang orang tuanya ada di Jakarta lalu sering mengirimkan majalah cerita bergambar. Jika kemudian kami memiliki sedikit uang maka akan berbondong-bondong pergi ke tempat penyewaan komik yang saat itu ada di beberapa tempat. Pada hari-hari tertentu memang ada bus perpustakaan yang akan parkir di lapangan, namun buku-bukunya tidak menarik sehingga jarang kami meminjamnya.
Sewaktu SMP, kami bahkan sering pergi ke Yogyakarta menumpang kereta agar murah ongkosnya. Kami pergi ke toko buku Indira, bukan untuk membeli buku melainkan membaca komik Tintin disana seharian. Dan dalam perjalanan pulang senyum dan tawa selalu tersungging di bibir kami mengingat kekonyolan profesor Calculus dan sumpah serapah kapten Haddock.
Generasi saya atau bahkan kini generasi anak saya tentu saja sulit untuk mencintai dan bersemangat membaca. Kini informasi dengan sangat mudah didapat melalui media baik yang online maupun offline (keping dvd). Semua tampil dengan sajian audio visual sehingga lebih menarik mata untuk melihat. Kalaupun anak-anak sekarang bergaul dengan tumpukkan buku, maka buku-buku itu adalah buku paket pelajaran dari sekolah yang tinggi dan beratnya hampir sama dengan tinggi dan berat tubuhnya.
Berbicara soal kebiasaan membaca, situasi dan kondisi secara umum di negeri kita memang kurang mendukung. Benar bahwa sepuluh tahun terakhir ini industri buku bergairah, muncul publisher-publisher kecil dan mandiri (indie). Jumlah buku yang diterbitkan juga naik secara significant. Namun dibalik itu, kebudayaan popular kita tidak mendukung perkembangan itu. Secara umum kita mengalami lompatan dari budaya tutur ke budaya visual (audio visual). Dua jenis kebiasaan atau kebudayaan yang membuat orang tidak terlalu fokus pada satu pokok persoalan. Televisi misalnya kini salurannya begitu banyak sehingga remote control selalu di pegang di tangan, begitu sebuah tayangan tak menarik atau jeda oleh iklan maka jempol jari akan memencet tombol remote berpindah ke channel lainnya.
Dengan gadget yang semakin canggih, internetpun kini ada ditangan dan menjadi mobile seturut kemana gadget itu dibawa serta. Bacaan tidak selalu lagi dalam bentuk buku melainkan dalam bentuk elektronik karena berbasis web dan blog. Informasi semakin singkat dengan hadirnya microblog dan media sosial. Berbagai macam informasi bisa tersaji satu kali dan berlawanan satu sama lain. Kini dalam soal informasi, masyarakat, warga sosial media di ‘drive’ oleh trending topic.
Saya tak hendak mengatakan jaman saya kecil dulu lebih baik dari pada jaman ini. Tentu saja tidak sama sekali. Secara fasilitas jelas jaman sekarang ini jauh lebih baik dan lebih memudahkan untuk melakukan berbagai hal. Untuk membaca berbagai hal tak perlu saya pergi jauh-jauh mencari toko buku yang membiarkan pengunjungnya membaca buku di dalam tokonya. Dengan koneksi internet baik kabel, wifi maupun berbasis smartphone, informasi dan berbagai jenis buku bisa tersaji di hadapan mata, bahkan bisa diunduh dan kemudian dibaca secara offline.
Namun menurut saya kelebihan generasi yang terlahir di jaman saya kecil adalah gempuran informasinya tidak segencar generasi sekarang ini. Saya dan teman-teman sepermainan lebih mudah memilih, informasi apa yang akan kami konsumsi dan dalami. Sesuatu yang sekarang ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Alhasil apa kegemaran atau kecenderungan informasi yang dibutuhkan oleh generasi sekarang cenderung diarahkan oleh iklan atau trend yang dibangun melalui media. Anak-anak di jaman ini tidak lagi merdeka dalam memilih dan menentukan informasi yang penting untuk mereka.
Dan sebenarnya bukan hanya anak-anak tapi kita semua hampir tak bisa menghindari kecenderungan itu. Kini kita tiba di jaman tahu banyak tapi sedikit menguasai. Kenapa?. Lagi-lagi karena kita lebih senang membaca posting status dan tweet serta ringkasan berita, ketimbang susah-susah membaca buku.
Konon meja-meja mahasiswa sekarang lebih rapi dan bersih, karena dihiasi oleh laptop, notebook, tablet dan smart phone, mengantikan tumpukan buku-buku dan lembar kertas berisi corat-coret pena.
......................................................................ii..................................................................................
@pelautbelajarekonomidesa@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar