Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang.
Wacana ketahanan pangan nasional kita merupakan
topik yang tidak akan pernah selesai selama Indonesia tidak bisa
mengamankan pasokan kebutuhan pangan domestiknya. Sudah banyak kajian
dibuat, kebijakan disusun, aksi implementasi dilakukan serta
menyekolahkan para pegawai negara sampai pada level tertinggi dalam
dunia pendidikan dengan menggunakan anggaran negara yang tidak sedikit.
Namun tetap saja masalah ini sebagai masalah krusial yang tidak pernah
selesai.
Carut marut ketahanan pangan nasional -tidak bisa
tidak- mesti menjadi perhatian utama para pengelola negara. Akan menjadi
tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kekuatan militer yang
mumpuni tanpa adanya kemampuan mengamankan ‘perut’ rakyatnya. Ketahanan
pangan merupakan benteng pertahanan utama di tengah gejolak dunia,
adanya perubahan iklim global yang masih ditambah dengan peningkatan
populasi.
Sudahkah Pemerintah Berusaha?
Banyak kritik yang ‘ditembakkan‘ kepada pemerintah
atas berbagai hal terkait dengan pengelolaan negara, termasuk dalam
sektor pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Namun harus
diakui secara jujur bahwa pemerintah sudah berupaya untuk menjawab,
meskipun terkadang dengan kebijakan yang tidak tepat sasaran, tidak memiliki keberpihakan penguatan internal, kebijakan yang tidak bersinergi, bahkan kebijakan blunder.
Dalam konteks pertanian, pemerintah sudah membuat
berbagai kebijakan yang cukup ‘njlimet’ untuk dipahami dalam mendorong
peningkatan produktivitas semisal subsidi pupuk, bantuan peralatan
pertanian dsb. Namun kenyataan di lapangan banyak ketidaktepatan
sasaran, bahkan penyalahgunaan di level eksekusi teknis, baik dari sisi
pemerintah maupun dari sisi end-user, yaitu petani.
Terlepas dari masalah di atas, sinergisitas antar
instansi juga terlihat tidak baik dan cenderung berjalan
sendiri-sendiri. Kita bisa saksikan betapa infrastruktur pendukung roda
ekonomi di sektor pertanian sangat memprihatinkan. Pembangunan waduk
sebagai reservoir air irigasi teknis sangat minim dibangun, sementara
waduk yang ada kekurangan debit air karena pada hulu sungai yang
menyuplai air ke waduk hutannya sudah terkikis habis.
Ironi lain pada memompa peningkatan produktivitas
adalah kondisi pendukung transportasi seperti jalan yang selalu saja
bermasalah, baik pada penambahan jalan baru maupun pemeliharaan jalan
lama. Akibatnya pergerakan barang menjadi sangat terhambat dan tentu
saja akan mengganggu rantai distribusi, baik dari sisi waktu maupun
perawatan perangkat transportasi.
Demikian juga dengan kekhawatiran akan penurunan
kualitas lahan pertanian akibat penggunaan masif pupuk kimia sebenarnya
sudah diperlihatkan oleh pemerintah. Namun dukungan untuk menggunakan
pupuk organik guna membantu mengembalikan kesuburan tanah belum mendapat
prioritas. Kebijakan yang terus dirubah seputar pupuk organik seakan
memberi sinyal bahwa pupuk organik tidak boleh berkembang karena
dianggap mengancam pupuk kimia.
Keberpihakan Kebijakan dan Nasib Ketahanan Pangan Kita
Kebijakan lain yang tidak berpihak pada penguatan
internal bahkan menjadi blunder adalah membuka keran impor pada
komoditas yang masih dapat kita hasilkan sendiri. Impor buah, impor gula
pasir, impor garam, impor beras dan lain sebagainya. Memang secara
harga, produk impor tersebut memberikan harga yang lebih murah dibanding
produk lokal dan membuat daya beli masyarakat konsumen akan tertolong.
Namun bagaimana dengan petani sebagai produsen? Inilah bundernya
kebijakan tersebut.
Dengan persaingan harga yang tidak imbang, tentu
saja petani tidak akan memiliki minat melanjutkan usaha taninya karena
harga jual yang didapat tidak lagi menguntungkan karena ditekan dengan
harga produk impor sejenis. Pilihan yang dilakukan akhirnya adalah alih
usaha dari pertanian ke bidang lain atau bahkan bergerak ke kota untuk
menjadi buruh pabrik dan pegawai.
Jikapun masih bertahan berusaha di sektor
pertanian, maka komoditas lain yang lebih menguntungkan akan menjadi
pilihan yang diambi ketimbang menanam komoditas yang tidak bisa
memberikan keutungan ekonomis tersebut. Kita bisa melihat alih lahan
besar-besaran seperti di Lampung dimana lahan-lahan yang ada dikonversi
menjadi lahan singkong. Ironisnya lagi, singkong tersebut bukanlah
untuk kepentingan pangan, namun lebih kepada kepentingan energi bio
etanol. Atau di Sumatera Utara petani beramai-ramai beralih dari tanaman
jeruk ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti coklat,
vanilli dan kopi.
Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kita
tidak memiliki komoditas-komoditas yang diunggulkan dan memiliki
produktivitas stabil bahkan meningkat yang minimal sanggup memenuhi
kebutuhan domestik kita.
Petani kita hanya menjadi pengikut tren pasar dan
menghindari kompetisi dengan produk impor. Jika musim ini tanam pepaya
dan ternyata kalah harga dengan pepaya impor, maka musim depan ganti
tanam jagung. Begitu seterusnya sehingga akhirnya tidak ada kepastian
stabilitas produksi atas sebuah komoditas. Itupun jika tetap berprofesi
sebagai petani.
Menjadi petani seperti sudah jatuh tertimpa tangga.
Sudah biaya produksi tinggi, terkadang pendukung produksi seperti pupuk
langka dan sulit didapatkan masih ditambah dengan harga jual yang
sangat merugikan dibanding biaya produksi.
Dalam konteks ketahanan pangan nasiional, maka pola
pengikut tren seperti ini akan membahayakan karena bisa saja pada satu
musim kita swasembada, namun pada musim lain kita menjadi importir yang paripurna.
Di sinilah keberpihakan kebijakan menjadi kunci.
Dan keberpihakan tersebut dilakukan oleh negara-negara lain untuk
mengamankan pasokan domestik mereka. Penentuan
harga, strategi beli pada saat panen kelebihan produksi, kemudahan
pinjaman permodalan dan sebagainya sudah diambil negara-negara tersebut
dan kini saatnya merek memetik hasil, yaitu ketahanan pangan yang
ujung-ujungnya adalah penguatan kedaulatan dan eksistensi negara.
Alternatif Strategi Perlu Persiapan dan Sosialisasi
Pesimisme kita akan kemampuan meningkatkan
produksi, terutama pangan pokok beras membuat banyak pihak terutama
pemerintah menggaungkan perlunya divesifikasi pangan pokok. Sebenarnya
ketergantungan akan beras ini adalah buah dari kebijakan blunder
yang dibuat di masa Presiden Soeharto dan mematikan pangan pokok lokal
yang sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia. Dan pemerintah saat ini
nampaknya melihat harus mengembalikan keanekaragaman pangan pokok
sebagai antisipasi ketahanan pangan kita.
Masalahnya kemudian adalah apakah divesifikasi
sudah dipersiapkan tersosialisasi dengan baik. Persiapan dimaksud adalah
strategi pencapaian produksi yang disesuaikan dengan target penurunan
konsumsi beras nasional. Berapa target penurunan konsumsi dan bagaimana
strategi kita meningkatkan komoditas pangan yang menjadi substitusi
beras tersebut? Nampaknya belum ada persiapan ke arah sana.
Demikian juga komoditas yang akan dipilih perlu
dipertimbangkan dengan kecukupan gizi konsumen. Kita sudah punya standar
gizi minimal dan tentunya standar itulah yang digunakan untuk memberi
rekomendasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk yang akan
mensubtitusi beras. Nampaknya hal ini juga belum terlihat. Yang ada
justru ‘kehebohan’ wacana pengurangan konsumsi beras, tanpa melihat
standar kecukupan gizi tersebut.
Lihat saja program ‘One Day No Rice’ yang digagas
walikota Depok. Apakah dengan pengurangan konsumsi beras, maka tidak
berdampak ketimpangan kebutuhan gizi? Sekali lagi, perlu persiapan dan
sosialisasi. Jangan bertindak reaktif atas kondisi karena pangan
bukanlah urusan statistik dan solusi jangka pendek. Perlu persiapan
matang dan sosialisasi dan hal itu mesti dilakukan di tingkat nasional
supaya berdampak pada ketahanan pangan nasional bukan hanya berdampak
pada satu wilayah saja atau bahkan hanya berdampak pada polularitas
personal belaka.
Berbagai masukan tentunya sudah diketahui
pemerintah sebagai aktor utama. Berbagai kebijakan sudah pernah
digulirkan dan dilakukan meski belum sesuai harapan. Hal itu sudah
menunjukkan adanya kemauan. Namun kemauan tanpa keberanian serta
mengurangi ego masing-masing pihak yang terlibat hanya akan menjadi
solusi jangan pendek.
Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan
membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi
bangsa Indonesia di masa mendatang.
pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/06/09/membangun-ulang-ketahanan-pangan-nasional-563576.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar