Minggu, 09 Juni 2013

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan Nasional





Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang.
Wacana ketahanan pangan nasional kita merupakan topik yang tidak akan pernah selesai selama Indonesia tidak bisa mengamankan pasokan kebutuhan pangan domestiknya. Sudah banyak kajian dibuat, kebijakan disusun, aksi implementasi dilakukan serta menyekolahkan para pegawai negara sampai pada level tertinggi dalam dunia pendidikan dengan menggunakan anggaran negara yang tidak sedikit. Namun tetap saja masalah ini sebagai masalah krusial yang tidak pernah selesai.

Carut marut ketahanan pangan nasional -tidak bisa tidak- mesti menjadi perhatian utama para pengelola negara. Akan menjadi tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kekuatan militer yang mumpuni tanpa adanya kemampuan mengamankan ‘perut’ rakyatnya. Ketahanan pangan merupakan benteng pertahanan utama di tengah gejolak dunia, adanya perubahan iklim global yang masih ditambah dengan peningkatan populasi.

Sudahkah Pemerintah Berusaha?
Banyak kritik yang ‘ditembakkan‘ kepada pemerintah atas berbagai hal terkait dengan pengelolaan negara, termasuk dalam sektor pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Namun harus diakui secara jujur bahwa pemerintah sudah berupaya untuk menjawab, meskipun terkadang dengan kebijakan yang tidak tepat sasaran, tidak memiliki keberpihakan penguatan internal, kebijakan yang tidak bersinergi, bahkan kebijakan blunder.

Dalam konteks pertanian, pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan yang cukup ‘njlimet’ untuk dipahami dalam mendorong peningkatan produktivitas semisal subsidi pupuk, bantuan peralatan pertanian dsb. Namun kenyataan di lapangan banyak ketidaktepatan sasaran, bahkan penyalahgunaan di level eksekusi teknis, baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi end-user, yaitu petani.

Terlepas dari masalah di atas, sinergisitas antar instansi juga terlihat tidak baik dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kita bisa saksikan betapa infrastruktur pendukung roda ekonomi di sektor pertanian sangat memprihatinkan. Pembangunan waduk sebagai reservoir air irigasi teknis sangat minim dibangun, sementara waduk yang ada kekurangan debit air karena pada hulu sungai yang menyuplai air ke waduk hutannya sudah terkikis habis.

Ironi lain pada memompa peningkatan produktivitas adalah kondisi pendukung transportasi seperti jalan yang selalu saja bermasalah, baik pada penambahan jalan baru maupun pemeliharaan jalan lama. Akibatnya pergerakan barang menjadi sangat terhambat dan tentu saja akan mengganggu rantai distribusi, baik dari sisi waktu maupun perawatan perangkat transportasi.

Demikian juga dengan kekhawatiran akan penurunan kualitas lahan pertanian akibat penggunaan masif pupuk kimia sebenarnya sudah diperlihatkan oleh pemerintah. Namun dukungan untuk menggunakan pupuk organik guna membantu mengembalikan kesuburan tanah belum mendapat prioritas. Kebijakan yang terus dirubah seputar pupuk organik seakan memberi sinyal bahwa pupuk organik tidak boleh berkembang karena dianggap mengancam pupuk kimia.

Keberpihakan Kebijakan dan Nasib Ketahanan Pangan Kita
Kebijakan lain yang tidak berpihak pada penguatan internal bahkan menjadi blunder adalah membuka keran impor pada komoditas yang masih dapat kita hasilkan sendiri. Impor buah, impor gula pasir, impor garam, impor beras dan lain sebagainya. Memang secara harga, produk impor tersebut memberikan harga yang lebih murah dibanding produk lokal dan membuat daya beli masyarakat konsumen akan tertolong. Namun bagaimana dengan petani sebagai produsen? Inilah bundernya kebijakan tersebut.

Dengan persaingan harga yang tidak imbang, tentu saja petani tidak akan memiliki minat melanjutkan usaha taninya karena harga jual yang didapat tidak lagi menguntungkan karena ditekan dengan harga produk impor sejenis. Pilihan yang dilakukan akhirnya adalah alih usaha dari pertanian ke bidang lain atau bahkan bergerak ke kota untuk menjadi buruh pabrik dan pegawai.

Jikapun masih bertahan berusaha di sektor pertanian, maka komoditas lain yang lebih menguntungkan akan menjadi pilihan yang diambi ketimbang menanam komoditas yang tidak bisa memberikan keutungan ekonomis tersebut. Kita bisa melihat alih lahan besar-besaran seperti di Lampung dimana lahan-lahan yang ada dikonversi menjadi lahan singkong. Ironisnya lagi, singkong tersebut bukanlah untuk kepentingan pangan, namun lebih kepada kepentingan energi bio etanol. Atau di Sumatera Utara petani beramai-ramai beralih dari tanaman jeruk ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti coklat, vanilli dan kopi.

Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kita tidak memiliki komoditas-komoditas yang diunggulkan dan memiliki produktivitas stabil bahkan meningkat yang minimal sanggup memenuhi kebutuhan domestik kita.

Petani kita hanya menjadi pengikut tren pasar dan menghindari kompetisi dengan produk impor. Jika musim ini tanam pepaya dan ternyata kalah harga dengan pepaya impor, maka musim depan ganti tanam jagung. Begitu seterusnya sehingga akhirnya tidak ada kepastian stabilitas produksi atas sebuah komoditas. Itupun jika tetap berprofesi sebagai petani.

Menjadi petani seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah biaya produksi tinggi, terkadang pendukung produksi seperti pupuk langka dan sulit didapatkan masih ditambah dengan harga jual yang sangat merugikan dibanding biaya produksi.

Dalam konteks ketahanan pangan nasiional, maka pola pengikut tren seperti ini akan membahayakan karena bisa saja pada satu musim kita swasembada, namun pada musim lain kita menjadi importir yang paripurna.

Di sinilah keberpihakan kebijakan menjadi kunci. Dan keberpihakan tersebut dilakukan oleh negara-negara lain untuk mengamankan pasokan domestik mereka. Penentuan harga, strategi beli pada saat panen kelebihan produksi, kemudahan pinjaman permodalan dan sebagainya sudah diambil negara-negara tersebut dan kini saatnya merek memetik hasil, yaitu ketahanan pangan yang ujung-ujungnya adalah penguatan kedaulatan dan eksistensi negara.

Alternatif Strategi Perlu Persiapan dan Sosialisasi
Pesimisme kita akan kemampuan meningkatkan produksi, terutama pangan pokok beras membuat banyak pihak terutama pemerintah menggaungkan perlunya divesifikasi pangan pokok. Sebenarnya ketergantungan akan beras ini adalah buah dari kebijakan blunder yang dibuat di masa Presiden Soeharto dan mematikan pangan pokok lokal yang sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia. Dan pemerintah saat ini nampaknya melihat harus mengembalikan keanekaragaman pangan pokok sebagai antisipasi ketahanan pangan kita.

Masalahnya kemudian adalah apakah divesifikasi sudah dipersiapkan tersosialisasi dengan baik. Persiapan dimaksud adalah strategi pencapaian produksi yang disesuaikan dengan target penurunan konsumsi beras nasional. Berapa target penurunan konsumsi dan bagaimana strategi kita meningkatkan komoditas pangan yang menjadi substitusi beras tersebut? Nampaknya belum ada persiapan ke arah sana.

Demikian juga komoditas yang akan dipilih perlu dipertimbangkan dengan kecukupan gizi konsumen. Kita sudah punya standar gizi minimal dan tentunya standar itulah yang digunakan untuk memberi rekomendasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk yang akan mensubtitusi beras. Nampaknya hal ini juga belum terlihat. Yang ada justru ‘kehebohan’ wacana pengurangan konsumsi beras, tanpa melihat standar kecukupan gizi tersebut.

Lihat saja program ‘One Day No Rice’ yang digagas walikota Depok. Apakah dengan pengurangan konsumsi beras, maka tidak berdampak ketimpangan kebutuhan gizi? Sekali lagi, perlu persiapan dan sosialisasi. Jangan bertindak reaktif atas kondisi karena pangan bukanlah urusan statistik dan solusi jangka pendek. Perlu persiapan matang dan sosialisasi dan hal itu mesti dilakukan di tingkat nasional supaya berdampak pada ketahanan pangan nasional bukan hanya berdampak pada satu wilayah saja atau bahkan hanya berdampak pada polularitas personal belaka.

Berbagai masukan tentunya sudah diketahui pemerintah sebagai aktor utama. Berbagai kebijakan sudah pernah digulirkan dan dilakukan meski belum sesuai harapan. Hal itu sudah menunjukkan adanya kemauan. Namun kemauan tanpa keberanian serta mengurangi ego masing-masing pihak yang terlibat hanya akan menjadi solusi jangan pendek.
Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang.

pustaka:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/06/09/membangun-ulang-ketahanan-pangan-nasional-563576.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar