PENGETAHUAN, ILMU, DAN FILSAFAT
KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN. Yang dimaksud kebenaran ilmu pengetahuan (lazim disebut kebenaran keilmuan atau kebenaran ilmiah) adalah pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek forma (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu sistem yang relevan. Pengetahuan yang demikian tahan uji, baik dari verifikasi empiris maupun yang rasional, karena cara pandang metode, dan sistem yang dipakai bersifat empiris dan rasional secara silih berganti.
Ada tiga teori pokok tentang kebenaran keilmuan ini, yaitu:
1. Teori Saling Hubungan (coherence theory). Sering disebut teori konsistensi, karena menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai kebenaran. Bradley mengatakan bahwa suatu proposisi itu cenderung benar jika koheren dengan proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya itu dengan pengalaman. Kaum idealis menandaskan bahwa kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide kita, karena semua hal yang kita ketehaui itu adalah ide-ide, bukan barang atau halnya sendiri. Oleh karena itu kebenaran terletak pada saling hubungan di antara ide-ide tentang sesuatu yang ditangkap di alam pikiran. Tingkat saling hubungan adalah ukuran bagi tingkat kebenaran itu sendiri. Semakin terdapat saling saling hubungan diantara ide-ide yang makin meluas maka akan menunjukan kesahihan kebenaran yang semakin jelas pula. Dalam dunia pengadilan, misalnya, semakin kuat saling hubungan antara seluruh kesaksian, maka semakin kuat pula adanya kebenaran itu.
Menghadapi teori koherensi ini, orang mudah untuk menerimanya begitu saja karena memang logis dan dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan. Namun demikian saling hubungan di antara ide-ide itu secara logis bisa saja palsu atau bohong. Maka perlu kita sangsikan kemampuan implikasi fakta itu sendiri. Bukankah ide tentang fakta itu hanya merupakan sebagian dari fakta itu sendiri? Lebih dari itu teori ini menekankan pada sifat rasional yang intelektual. Padahal realitas itu ada dalam dirinya sendiri yang juga mempunyai sifaat irrasional. Dengan demikian bukankah teori ini gagal dalam memberikan jaminan kehidupan sehari-hari? Mungkin ya, tetapi paling tidak dengan teori ini kita mendaptkan gambaran yang mapan tentang kebenaran menurut segi tertentu, yaitu segi yang rasional.
Ada tiga teori pokok tentang kebenaran keilmuan ini, yaitu:
1. Teori Saling Hubungan (coherence theory). Sering disebut teori konsistensi, karena menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai kebenaran. Bradley mengatakan bahwa suatu proposisi itu cenderung benar jika koheren dengan proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya itu dengan pengalaman. Kaum idealis menandaskan bahwa kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide kita, karena semua hal yang kita ketehaui itu adalah ide-ide, bukan barang atau halnya sendiri. Oleh karena itu kebenaran terletak pada saling hubungan di antara ide-ide tentang sesuatu yang ditangkap di alam pikiran. Tingkat saling hubungan adalah ukuran bagi tingkat kebenaran itu sendiri. Semakin terdapat saling saling hubungan diantara ide-ide yang makin meluas maka akan menunjukan kesahihan kebenaran yang semakin jelas pula. Dalam dunia pengadilan, misalnya, semakin kuat saling hubungan antara seluruh kesaksian, maka semakin kuat pula adanya kebenaran itu.
Menghadapi teori koherensi ini, orang mudah untuk menerimanya begitu saja karena memang logis dan dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan. Namun demikian saling hubungan di antara ide-ide itu secara logis bisa saja palsu atau bohong. Maka perlu kita sangsikan kemampuan implikasi fakta itu sendiri. Bukankah ide tentang fakta itu hanya merupakan sebagian dari fakta itu sendiri? Lebih dari itu teori ini menekankan pada sifat rasional yang intelektual. Padahal realitas itu ada dalam dirinya sendiri yang juga mempunyai sifaat irrasional. Dengan demikian bukankah teori ini gagal dalam memberikan jaminan kehidupan sehari-hari? Mungkin ya, tetapi paling tidak dengan teori ini kita mendaptkan gambaran yang mapan tentang kebenaran menurut segi tertentu, yaitu segi yang rasional.
Bersambung,..
pustaka:
Soetriono dan Rita Hanafie, (2007), Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Andi Offset, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar