Aku terus menatap keluar dinding kaca kafe. Secangkir kopi di
atas meja mulai mendingin tak disentuh. Sekali lagi aku mengembuskan
napas panjang. Seharusnya aku tak kesini, seharusnya aku tak mengiyakan
permintaanmu untuk bertemu disini, seharusnya aku tak menyetujui untuk
menunggu.
Mungkin inilah yang disebut pertemuan terlarang. Aku yang sudah
memiliki kekasih tetapi masih saja menemuimu, masa laluku yang sudah
hampir dua tahun tak pernah aku temui lagi sosoknya.Tapi aku tak bisa
menyangkal bahwa hatiku bersorak gembira saat kau mengajakku bertemu.
Ya. Aku merindukanmu selama ini. Dan kau tahu bagaimana rasanya
merindukan seseorang yang seharusnya tidak boleh dirindukan? Rasanya
menyesakkan.
“Hai! Sudah lama? Maaf ya tadi ada sedikit urusan mendesak.” Katanya santai sambil duduk di hadapanku.
Aku menatapmu lekat, meyakinkan diriku bahwa sosok yang saat ini dihadapanku adalah benar dirimu.
“Hei, kau memesan kopi? Bukankah kau tidak suka kopi sama sekali?” Tanyanya heran.
“Aku hanya ingin memesannya, rasanya menyenangkan menatap secangkir
kopi hitam. Aku merasa sedang mengenang kita.”Kataku sambil memainkan
cangkir kopiku. “Cinta kita seperti kopi hitam dalam gelas, ia
mengendap. Tak terlihat, namun ada. Itu kan yang terakhir kamu bilang
tentang cinta kita?”
Kau tertegun menatapku.
“Masih adakah kopi dalam gelas itu sekarang?” Tanyaku
pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2013/06/09/cinta-dalam-kopi-567276.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar