Senin, 10 Juni 2013

Biola di Sudut Kamarku






Biola di sudut kamarku
Tergeletak, tak lagi berlagu
Dawainya terbungkus rapi
Memenjara harmoni dalam syair
yang tak pernah tercipta
Biola di sudut kamarku
Mendadak tertawa pilu
Mencurhatkan nada-nada cita yang tak tampak bahagia
Menyanyikan irama duka tanpa rasa
Tapi selebihnya ia bungkam
“Itu lebih baik daripada berkata tanpa guna”, ucapnya.
Biolaku pernah bernyanyi dulu
tentang sebuah lagu tanpa sajak
Berlantun begitu lama
Namun kini, aku tak tau
Mengapa biola tak lagi berlagu?
“Aku tak mampu jika tanpa kamu,” katanya
Kenapa? kenapa tak bisa?
Biola terdiam
Nyaris ia merebahkan semua asanya
“Aku biola, hanya bernada dengan cinta”
Biolaku memelas
Tatapannya sendu, namun kosong
“Aku butuh kamu. Kenapa kita tidak berirama bersama?”
Napasku putus-putus
Menghela setiap rasa dalam dada
Kosong.
Untuk apa berirama jika tak mampu merasa
Biola mungkin butuh aku
Ya, tepatnya aku yang dulu
Tapi, aku tak bisa melihatnya terpojok di kamarku
Melagukan nyanyian tak berirama
Tanpa nada
Tanpa suara
Bahkan, ia pun tak tau siapa pengarangnya
Biolaku terus mempertanyakan ceritanya
Kisah tanpa narasi dan tangga nada
Suaranya semakin fals
Hampa.
Orang lain hanya menebak-nebak alur Sang Sutradara
Tapi aku dan biola
Meniti irama pada oktaf yang berbeda
Untuk satu tujuan : bahagia.
Biola di sudut kamarku
Masih terbungkus kaku
Seperti hatiku yang terpenjara ambisiku

Yogyakarta, 2 Mei 2013
di tengah riuh kumandang adzan subuh

Defirentia One



http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2013/06/09/biola-di-sudut-kamarku-563546.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar