Rabu, 12 Juni 2013

Aku Ingin Menyapa Matahariku


loveNatuna.com

Mengapa aku lupa kebiasaaanku sendiri. sudah sangat rentan kah ingatan ini hingga sesuatu yang paling indah pun aku tak ingat. Apa saja yang telah kulakukan hingga aku lupa rutinitasku. Betapa sangat pikunnya aku, aku sangat rindu dengan kebiasaanku yang mungkin aneh dan tidak hebat sama sekali. Dulu aku sering bercerita padanya, mengucapkan selamat pagi dan harapan baru kepada langit pagi. Dari bilik rumah selalu kusempatkan meliriknya, menyampaikan segala harapanku. Terkadang sambil mengisi genthong selesai shubuh, kucari seberkas cahyamu dari balik gemerisik bambu belakang rumahku. Sapuan angin yang menyejukkan menyentuh wajahku menelusuk menuju hatiku penuh damai. Bintang-bintang beranjak sembunyi dibalik terangnya mentari pagi. Aku senang menikmati suasana shubuh. Rumah sebelah yang selalu ramai dengan celotehan pagi hari sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk 5 orang anaknya yang masih kecil. Semua merengek meminta jatah saku juga berebut pisang goreng mbok pon yang bagiku tidak enak.

Tetapi, orang-orang disekitarku sering sekali ngopi di warung mbok yang mulai shubuh sudah menjamu tamu-tamu. Ia tak pernah marah, sekalipun para pengunjungnya hanya membeli sebatang rokok dan secangkir kopi untuk nunut duduk hingga mentari menjadi sangat terang. Mereka masih saja duduk-duduk dengan berbagai obrolan tanpa tema. Tetapi, anehnya segala macam berita juga dimulai dari secangkir kopi dan pisang goreng hangat di warung mbok pon. Obrolan itu merupakan bentuk control social, agar setiap pribadi tidak tampil terlalu mencolok di depan warga desa yang umumnya sangat seragam dan tenang. Agar tidak menjadi tema utama di warung mbok pon. Bahkan, obrolan itu bisa berlanjut saat bertegur sapa di sungai atau di sawah. Sungguh, infotaintment pagi lebih marak di warung itu. Daripada para pembawa acara kondang yang berdandan necis, obrolannya kurang seru. Semua menjadi tidak ada apa-apanya bila sudah masuk dalam berita warung mbok pon. Berita mbok pon pun aku dengar dari bapak, yang sesekali juga ngopi dan ikut mengobrol tak berarah. Bahkan, saat ramai-ramainya pilkada, warung mbok pon pun jadi target para politikus daerah untuk berkampanye.

Ahh, warna pagi hari di desa. Itu yang paling aku suka saat menikmati shubuh, saat matahari mulai mengintip bumi. Saat semua mata mulai terpicing dan menggeliat untuk menyimpan kekuatan melewati sehari yang pasti melelahkan. Aku sangat senang melewati pagi, saat rumput masih basah oleh embun. Menusuk kaki telanjang yang masih malas untuk menekan bumi. Saat udara begitu sejuk menusuk setiap pori kulit dan hawa itu aku sangat hafal, sepoinya membuatku merasa menjadi orang yang paling dekat dengan alam. Bercengkerama dengan mentari dan awan yang mulai ditinggal oleh kermerlip bintang. Dan bintang ufuk itu dua berjajar dengan cahaya yang tidak sama terang, selalu berdampingan dan menunggu hingga matahari benar-benar menjadi merah terang, sangat setia mereka mengikuti peredaran mentari.

Kuucapkan salam terhangat untuk matahari. Kuucapkan tanpa kata dan media. Hanya tersenyum dan memandangnya. Sungguh, sinarnya tidak menyakitkan. Aku ceritakan setiap detik semangat hidupku, tentang harapan yang tiada henti, tentang himpitan jiwa, hingga kutunjukkan betapa besarnya kekuatan hidupku. Aku katakan padanya, betapa aku ingin sepertinya. Berbagi dan terus dibutuhkan, selalu dinanti kehadirannya saat hujan mendera dan guntur menggempur bumi. Aku sangat iri pada matahari pagiku. Tetapi, aku juga sangat sayang padanya. Karena hampir dari separuh usiaku, kuhabiskan waktu shubuhku dengan berbicara dengannya. Saat siang menyengat kulitku. Tak sekalipun aku berniat menoleh padanya. Aku selalu berlindung dari satu pohon ke pohon yang lain. Mengharap setiap keteduhan dari rindangnya akasia di sekolahku. Ya, akasia tempat yang terindah saat matahari mulai galak dan menjadi tidak hangat. Daun-daunnya selalu berguguran seakan brokoli besar itu tidak pernah kehabisan cadangan daun. Tidak peduli musim hujan maupun kemarau, tetap saja daunnya menggembung hijau. Matahari sulit menembus keramahan akasia dengan keangkuhan sinarnya karena akasia sangat bersahaja dan sederhana. Daunnya sangat menyejukkan dan tidak sombong. Tidak bermahkota tapi terlihat elegan, tidak berkayu besar seperti beringin.

Akasia sangat sederhana, bila sempat amatilah ia, meski hanya sekedar berteduh dan menikmati sepoinya di siang hari. Daun-daunnya yang berserakan mengotori halaman. Tapi bagiku. terlihat berserakan beraturan bertentangan dengan hijaunya daun muda yang bergerak kuat bertahan di tempa angin. Ya, semua berjalan berdampingan hingga menciptakan harmoni yang indah. Dari balik hijaunya akasia mentari siang yang ganas menjadi lembut. Cahayanya menjadi keemasan dan berpendar. Ahh, indah sekali. Aku merasa mereka adalah para sahabat yang bisa mengartikan setiap pantulan jiwaku dengan suara alam yang hanya aku dan mereka yang mengerti artinya. Kami mempunyai bahasa sendiri, yang hanya kami sendiri saja yang mengerti. Dan mungkin setiap orang yang melewati hari bersama mentari dan hijaunya akasia akan memiliki cerita berbeda. Aku menantinya di bawah akasia.

Kujadikan siangku bersamanya, saat bajuku masih berseragam. Saat itu imajiku sangat liar. Kubiarkan setiap gerak dan momentum hidupku berkelana bersama nyanyian mentari pagi dan gerakan akasia. Dan kini aku sangat rindu hari-hari itu. Mentari senja tampak anggun dengan lembayung berawan di ufuk barat. Nyanyian cenggeret masih lantang dulu. Anak-anak bermain layang-layang berlarian di sawah yang baru saja ditanami. Suara mereka lepas tanpa beban. Mengejar layangan putus dengan sekuat tenaga. Tidak berpikir untuk memperolehnya. Hanya senang saja berlarian bersama teman sebelum mandi di sungai dan pergi ke langgar untuk mengaji. Benang-benang dipersiapkan sejak siang tadi. Berharap layangan kesayangannya menjadi pemenang. Sungguh, bebas mereka dan terkendali dalam benang yang di ulur dan ditarik bersamaan. Dari bilikku, sepanjang hari kuamati banyak hal dan menghadirkan banyak cerita. matahari senja tak sesejuk mentari pagi. Nuansanya berbeda dan tawanya mengajak untuk bergegas beristirahat. Semakin ranum cahayanya, tawa anak-anak pun berlahan hilang. Teriakan mereka berangsur pudar kearah kamar mandi dan berganti dengan suara sumbang dari arah langgar kecil. Suara bacaan yang ramai tetapi setiap telinga mengenal suara-suara kecil itu bersumber. Tenangnya mentari senja.

Lampu-lampu rumah mulai menyala, menghadirkan pijar-pijar malam yang panjang. Waktunya merangkum cerita sepanjang hari yang dilalui bersama orang-orang terkasih. Bila, hati sedang tak enak, sudah cukup membuka jendela kamar dan melihat mentari hilang dari tiga perempat hingga benar-benar tak terlihat. Berubah seketika menjadi malam dengan pijar-pijar kecil bintang. Ahh, alam betapa maha sempurnanya Gusti Allah. Rasanya, aku sudah sangat lama meninggalkan kebiasaanku. Kedewasaan membuatku menjadi jauh dengan senyum mentari. Bahkan aku sering gelisah bila mentari pagi mulai menyapa. Tak pernah sekalipun kusempatkan meski hanya untuk meliriknya. Mengapa peruabahan usia ini membuatku menjadi semakin keras saja. Mengapa waktu yang bergulir membuatku lupa akan banyak hal. Sudahkan kepala ini terlalu banyak terbebani oleh pikiran yang tidak baik hingga kepolosan itu berpendar dan bahkan terhilangkan. Aku sangat rindu masa itu. Tapi mentari terus mendorong waktu ke depan.

Aku hanya bisa melihat jejak kakiku saat senja datang. Saat air mata ini berderai melihat jejak yang tak tentu arah. Jauh dari peta kehidupan yang kubuat saat dulu. Jika saja mentari tidak pernah seganas itu saat siang, jika saja kutemukan banyak akasia di setiap kali aku berjalan. Pasti aku akan sering berteduh di bawah gerombol daunnya. Tetapi, aku sudah tidak sering melihat akasia lagi. Atau memang aku sudah melupakannya. Aku sudah tidak ingat lagi, kapan aku mulai berhenti bercakap dengan akasia. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali kulihat mentari pagi tersenyum padaku. Aku sibuk dengan hidup dan diriku. Senja ini aku duduk berhadapan dengannya. Di tempat yang jauh berbeda. Bukan, kamarku yang biasa dulu aku mengintip anak-anak bermain layang-layang.

Aku terduduk di sungai di tengah pematang. Meski, berbeda nuansa ini, tetapi matahari itu masih sama. Meski sekarang, kurasakan ia lebih lama berpijar. Tetapi, sejuknya dan lembutnya senja itu masih sama. Setelah, lama berdiam dan hanya memandangnya. Aku tahu, telah jauh aku dari diriku di waktu yang dulu. Waktu yang bergulir bersama mentari telah menyimpan jejak-jejakku dalam memorinya. Tinggal kubuka dan kubaca. Tak terasa air mataku meleleh. Betapa panjang waktu yang kulalui. Betapa banyak aku menjadi manusia yang sangat keras kala mentari siang memanasi bumi. Mengapa saat siang itu aku lupa pada akasia, aku lupa senja mampu menghapus duka. Hanya cukup dengan sejenak waktu berbagi, bahkan untuk berbagipun aku tidak cukup ikhlas. Kini aku cukup mengerti mengapa sebabnya aku sangat iri padamu mentari pagi. Cahayamu mencapai sekalian alam. Membuatku tersadar, aku bukanlah siapa-siapa. Senja ini, untuk pertama kali setelah sekian lama aku melewatkanmu. Diantara gedung tinggi, tumpukan buku dan panjangnya diskusi. Kusempatkan menyapamu lagi…dan kukatakan padamu, masihkah kau ingat pada sahabat dan kekasihmu ,..MENTARI? Aku ingin bercerita lagi seperti dulu. Mengamati kisah-kasih pagi dan berbagi saat senja.
rindu diskusi.kisahkasih.desa.kota









pustaka:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/06/13/aku-ingin-menyapa-matahari-lagi-564606.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar