Paradigma-Paradigma Filsafat
Perbedaan Paradigma Modernisme Dan Postmodernisme. Postmoderisme, sebagai paradigma, tidak memiliki bentuk tubuh yang utuh seperti modernisme, tetapi ia “merepresentasikan bersatunya unsur-unsur dari orientasi yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan” (Resenau, 1992, dalam Triyuono). Postmodernisme tidak memperhatikan tapal batas yang ketat dari isme yang membatasi isme yang satu dengan isme yang lain. Ini berarti postmodernisme menyesuaikan, mentransformasikan, dan mentransendensikan, misalnya, strukturalisme, romantisme, fenomonisme, nihilisme, peulisme, eksistensialisme, herminetika, marxisme barat, teori kritik, anarkhisme.
Dengan melihat realitas, postmoderisme cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada alat yang cukup untuk mempresentasikan realitas. Ia juga menolak pandangan realitas yang mengasumsikan adanya kebebasan (independent) dari proses mental individual dan komunikasi intersubyektif (Resenau, 1992). Sebaliknya, moderisme mengklaim bahwa realitas eksternal dapat diteukan, digambarkan, dan dipahami. Fakta yang mengatakan modernisme dapat menemukan realitas sebenarnya didasarkan pandangan realisme (realism). Realisme menyakini realitas sebagai “dunia nyata yang tersusun atas struktur yang keras, berwujud, dan relatif permanen” (Burrell dan Morgan, 1979). Bagi seorang realis, realitas sosial eksis secara independen dari pelaku sosial dan berada “di luar sana” realitas sudah ada sebelum individu itu masuk (Morgan dan Smircich, 1980)
Sementara beberapa postmodernisme sebaliknya mengambil pandangan nominalisme (nominalism). Nominalisme memahami bahwa “realitas sosial yang berbeda secara eksternal dari kognisi seseorang tersusun tidak lebih dari nama-nama, konsep-konsep, dan label-label yang digunakan untuk menyusun realitas dan “dimanfaatkan” sebagai kreasi artivisial yang kegunaannya didasarkan pada kenyamanan untuk “mendeskripsikan, memahami, dan menegosiasi dunia ekternal” (Burrel dan Morgan, 1979).
Memahami relaitas sosial secara independen eksis dari manusia sebagai makhluk yang kreatif, maka modernisme mencoba menghasilkan pengetahuan berdasarkan hipotesis epistemologis dan laawan-hipotesis secara obyektif, yaitu pendekatan hipotesis deduktif. Pendekatan tidak hanya sebagai metode ilmiah. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa postmodernisme “mengorganisasikan ilmu pengetahuan disekitar personal, intuitif, dan epistemologis. Oleh karena itu ilmu pengetahuan, menurut postmodernisme, bersifat subyektif. Implikasi dari hal ini adalah bahwa tidak ada apa yang dinamakan ilmu bebas dari nilai. Namun beerdasarkan pada obyektivitas, modernisme menganggap ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas nilai. Pandangan positivistik modernisme menganggap bahwa kausalitas dan prediksi adalah bagian yang sangat penting untuk menerangkan. Pandangan ini merupakan konsekuensi pemahaman realitas sosial yang berada di luar, dan eksis secara independen dari, manusia. Realitas, dalam pengertian ini, dapat secara tepat diukur, dan hubungan sebab akibat yang eksis secara inheren dalam realitas dapat secara tepat ditentukan. Namun postmodernisme lebih menyukai intertekstualitas dari pada kausalitas dan prediksi. Resenau, 1992, dalam hal ini mengatakan: Intertekstualitas interaktif secara absolut menunjukan penolakan yang kuat atas kemungkinan kausalitas langsung karena di dunia ini setiap sesuatu dihubungkan dengan cara interaktif absolut, prioritas temporal, yang dibuttuhkan oleh kausalitas, adalah hampir tidak mungkin untuk ditetapkan.
Menurut Resenau (1992), kausalitas dan prediksi dapat dicapai dengan baik jika penelitian dilakukan secara obyektif. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan modern bersih dari nilai dan perasaan subyektif manusia, karena nilai dan perasaan, meurut postmodernisme, dapat membuat penelitian dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan menjadi bias. Sebaliknya, postmodernisme setuju bahwa nila, pertanyaan-pertanyaan normatif, perasaan dan emosi, semuanya merupakan bagian dari produk intelektual manusia. Adalah suatu hal yang tidak perlu meniadakan unsur-unsur ini dalam proses produksi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, pemikiran normatif, perasaan dan emosi merupakan bagian yang esensial yang digunakan, dalam konteks metode,. Untuk menafsirkan dan menekonstruksi realitas sosial yang kompleks. Secara implisit berarti tidak ada aturan metode yang formal dan kaku sebagaimana dikemukakan oleh modernisme. Apabila dilihat dari orientasi postmodernisme adalah pada metode-metode yang dapat diaplikasikan pada ruang lingkup yang luas dari sebuah fenomena, berfokus pada apa yang ada pada posisi marginal. Mengungkap keunikan, berkonsentrasi pada sesuatu yang misterius, dan menghargai sesuatu yang tidak dapat diulang (Resenau, 1992).
Metode-metode postmodernisme, di mana secara metodologis adalah postpositivist atau anti-positivist (Sugiarto, 1996) memandang perasaan, pengalaman personal, empati, omosi, intuisi, pertimbangan subyektif, imajinasi dan ragam bentuk kreativitas dan permainan sebagai bagian yang sangat penting. Oleh karena itu postmodernisme mengakui dua pendekatan metodologis, yaitu interpretasi, bagi postmodernisme, dipahami sebagai interprestasi tak terbatas.
Paradigma Interpretif. Pendekatan dalam bingkai positivisme sangat bertolak-belakang dengan pendekatan dalam bingkai interpretif. Dalam pendekatan interpretif telah dipasang rambu-rambu bahwa prinsip-prinsip yang terdapat dalam ilmu alam tidak bisa diambil dan dimasukan begitu saja ke dalam ilmu-ilmu sosial. Karakteristik ilmu sosial sangat berbeda dengan karakteristik ilmu alam, sehingga bagi paham interpretif, sumber dari perilaku sosialdalam tataran ontologi dianggap tidak terletak di luar aktor. Hal itu berarti bahwa realitas sosial sebenarnya secara sadar dan secara aktif dibangun sendiri oleh individu-individu. Setiap individu mempunyai potensi untuk memberi makna apa yang dilakukan. Realitas sosial adalah produk dari interaksi antar individu yang sangat sarat makna.
Apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan oleh interpretif, ada tiga prinsip dasar dalam membaca fenomena, yaitu:
Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya;
Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain, dan;
Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.
Ketiga prinsip dasar tersebut pertama-tama disusun oleh asumsi bahwa setiap individu bisa melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Individu juga tidak pasif, memiliki kemampuan untuk membaca situasi yang melingkupi hidupnya. Pola interaksi yang dikembangkan oleh individu dalam aktivitas sosialnya terutama ditentukan oleh bagaimana individu tersebut menafsirkan situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan demikian perhatian teori interaksi simbolik banyak difokuskan pada aspek-aspek interaksi sosial. Baik yang memelihara stabilitas maupun yang mendorong perubahan individu seharusnya melihat dirinya sendiri dan menafsirkan situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar tersebut, interpretif menawarkan metodologi yang lebih menekankan pada pemahaman makna dengan melakukan empati terhadap sesuatu aktivitas dan menempatkan suatu aktivitas yang ada dalam masyarakat. Bermacam-macam makna bisa teruntai dari situasi jalinan interaksi. Konsekuensinya kemudian adalah bahwa suatu aktivitas bisa melahirkan bermacam-macam analisis.
Menangkap dan memahami realitas sosial melalui teori dan kategori dianggap terlalu menyederhanakan hakikat dan sifat realitas sosial itu sendiri, yang selalu mengalami perubahan situasi dengan sifat-sifat yang melekat dalam aktor-aktor yang menjadi pendukungnya. Menangkap dan memahami realitas sosial menurut perpektif ini hanya bisa dilakukan melalui proses interaksi (Kana, L Nico, 1982). Karena yang ditekankan adalah proses interaksi maka pernyataan-pernyataan hipotesis seharusnya dihindari. Pernyataan hipotesis semacam itu bisa menyempitkan analisis, karena hal-hal penting yang tidak tercakup dalam pernyataan hipotesis bisa terabaikan. Validitas juga dianggap tidak terletak pada ketepatan pengukuran hubungan kausal antar variabel, tetapi justru pada cara bagaimana realita terbangun melalui proses antar aktor (Usman, 1998).
Menurut Nasim Butt (1996), suatu paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang biasanya digunakan (positivism) mengganti dengan paradigma enterpretif.
Kegiatan penelitian mempunyai tujuan ganda, yakni di samping upaya untuk menghasilkan sains, juga memberikan bukti bahwa suatu paradigma bisa dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan modern dan satu sama lain tidak bertentangan. Di sampin itu dalam paradigma ini (entrepretif) juga ada pengakuan akan kebebasan manusia untuk mengubah dirinya dan keadaan alam sekitarnya, yang juga sesuai dengan pendapat yang ada dalam bidang ilmiah. Paham yang mengakui kekuatan akal manusia, kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatannya, dan paham yang mengakui berlakunya hukum alam.
Paradigma tersebut secara filosofis telah memenuhi kriteria dan ciri-ciri penelitian ilmiah, baik ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Dengan landasan kebenaran, penelitian ini mengakui bahwa apa yang diteliti merupakan kondisi dan realita sosial yang berada pada status quo dan hal ini merupakan ciptaan Tuhan. Oleh karena itu hakikat penelitian adalah menemukan realitas sosial yang sama-sama diakui kebenarannya, dan kebenaran yang diperoleh dapat berupa kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik insaniyah dan kebenaran transendental. Kebenaran transendental adalah kebenaran tertinggi dan bersifat final. Kebenaran ini bersifat laten, maupun manifest dalam bentuk temuan hasil penelitian. Ini merupakan ontologinya. Cara untuk memperoleh kebenaran tersebut tidak hanya mengandalkan kemampuan akal budi manusia, akan tetapi selalu mellibatkan petunjuk (wahyu) dan subyektivitas peneliti. Jadi perpaduan antara keduanya dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran empirik transendental yang dinamakan epistemologi, sedangkan aksiologisnya adalah aplikasi temuan yang didasarkan kondisi dan situasi pada waktu di lapangan berdasarkan logika dan subyektivitas pribadi.
Kegiatan penelitian, baik yang bersifat empiris maupun ekplorasi, membutuhkan suatu metodologi dalam melaksanakan kegiatannya. Pemilihan metodologi menjadi begitu penting dalam penelitian dikarenakan pemilihan metodologi yang sesuai akan mempengaruhi kualitas pengetahuan yang diperoleh (diproduksi). Triyuwono (1997:24) mengatakan bahwa metodologi dalam diskursus ilmu pengetahuan merupakan bagian yang sangat penting dan sangat vital karena merupakan pola (pattern) yang digunakan untuk memproduksi ilmu pengetahuan (teori). Dengan kata lain, bentuk ilmu pengetahuan sepenuhnya ditentukan oleh warna dan bentuk metodologi yang didesain oleh ilmuwan. Oleh karena itu pemilihan metodologi yang sesuai dengan disiplin ilmu harus menjadi pijakan utama.
Sementara itu, dalam metodologi penelitian yang baru mengenal adanya scientifik, mainstream, atau positivistic. Apabila ilmuwan tidak mencoba mengenal metodologi yang lain, dikuatirkan hanya akan memproduksi ilmu pengetahuan yang hanya sebatas apa yang telah diterima pada saat ini. Pemikiran demikian didasarkan oleh pengamatan bahwa banyak mahasiswa maupun pengajar mengalami hambatan dalam melakukan penelitian. Salah satu penyebab adalah kurang bervariasinya paradigma dalam metodologi. Paradigma yang dikenal baru satu, yaitu positivisme. Sejauh ini aliran positivisme selalu berupaya melakukan penelitian dengan mengevaluasi hubungan antarvariabel dengan hasil yang menyatakan signifikansi antar variabel tersebut.
Dalam evaluasi dan analisisnya, aliran positivisme sangat mendambakan penggunaan alat statistik. Semua kasus diupayakan untuk dilihat dan disederhanakan mennjadi rumusan statistik. Akibatnya, seorang peneliti yang mencoba menjelaskan proses perkembangan sistem informasi dalam organisasi akan kebingungan apabila dipaksa untuk merumuskannya. Hal tersebut akan membuat sesuatu menjadi sulit apabila apa yang telah diteliti tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi ilmu pengetahuan yang diproduksi (Sawajuono; 1997:2). Lebih lanjut Sukoharsono (1996:2) mengatakan bahwa dalam penelitian perlu dipahami bahwa untuk pelaksanaan awal riset diperlukan penyelesaian atas topik bahasan dan paradigma. Paradigma ini adalah satu usaha untuk membantu memahami fenomena sosial yang akan diteliti. Hal ini ditegaskan pula oleh Kuhn (1970:125-130) dengan mengonseptualkan paradigma yang terdiri dari teori-teori dan metode-metode. Sekalipun banyak ilmuwan yang berbeda pendapat, tetapi popularitas pembahasan paradigma Kuhn ini sulit untuk ditandingi. Mengingat kondisi di atas maka penggunaan paradigma positivisme pada satu metodologi justru akan sangat membatasi pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuhn yang menyatakan bahwa pembahasan paradigma merupakan hal yang sangat menarik karena akan mempengaruhi ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Teori Kritik. Kritik merupakan metode yang mutlak perlu dikembangkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya perkembangan ilmu ekonomi pertanian. Kritik dapat diartikan sebagai refleksi baik dari pihak individu atau masyarakat atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal. Dengan refleksi itu manusia mengeyahkan kekuatan asing yang membelenggu kesadaran sejatinya. Jadi kritik merupakan pembebasan individu dan masyarakat dari irrasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Mengingat arti kritik tersebut maka tanpa kritik, paradigma (obyek studi, teori dan metode) yang telah melembaga akan menjelma menjadi ideologi. Dalam hal ini kecenderungan psikologis seorang peneliti adalah memelihara dan mempertahankan teori. Oleh karena itu yang diperlukan dalam setiap perkembangan ilmu adalah falsifikasi. Namun demikian persoalan tidak berhenti pada titik falsifikasi atau kritik tidak bisa berhenti sebagai kritik semata-mata tetapi juga memerlukan counter critic karena kritik secara sadar atau tidak juga akan berubah menjadi ideologi. Dengan kata lain, pelembagaan saling kritik dalam ilmu pengetahuan merupakan prasyarat yang mutlak perlu sebagai upaya menemukan obyektivitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Weber menekankan perlunya liberalisasi berpikir dalam suatu penelitian atau pembebasan diri ilmuwan dari ideologi politik pada saat menganalisis persoalan yang ada sehingga metode kritik akan melembaga menjadi ideologi dan kritik juga tidak imun terhadap kritik yang lain. Kalau ini terjadi maka kebiasaan saling kritik akan melembaga dan memperkokoh fondasi pendewasaan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kritik merupakan bagian dari sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kegiatan akademik demi intersubyektivitas ilmiah.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Hardiman (1990: 56-57), teori kritik itu memakai metode dialektika tertentu yang mengarah ke masa depan. Kekuatan kritik termuat dalam metode dialektika itu sendiri karena pemikiran dialektis mencari kontradiksi-kontradiksi dalam kenyataan kongkret. Metode dialektis itu, menurut Horkheimer dalam Hardiman (1990:58), memiliki empat karakter, yaitu:
Teori kritik bersifat historis, yang artinya teori ini diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang kongkret dan berpijak di atasnya. Dengan kata lain, teori ini melakukan apa yang disebut Horkheimer dan kawan-kawan sebagai kritik imanen terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi.
Teori kritik disusun dalam kesadaran akan keterlibatan historis para pemikirnya dan juga teori ini kritik pada dirinya sendiri dalam artian bahwa setiap teori sangat mungkin jatuh ke dalam salah satu ideologi, dimana pada teori tradisional (positive) yang menguntungkan kesahihannya pada ferivikasi, sedangkan teori ini mempertahankan kesahihannya melalui kritik dan refleksi terhadap dirinya.
Sebagai akibat metode dialektik, teori ini memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Hal ini berkaitan dengan maksud ingin menelanjangi kedok-kedok ideologi yang menutupi, manipulasi, ketimpangan, dan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat.
Teori kritik ini bermaksud untuk mendorong transformasi masyarakat yang lebih kritis tehadap sesuatu.
Dengan memperhatikan keempat karakteristik teori kritik maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori kritik mempunyai tujuan pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka, dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosial. Sedangkan kalau ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa dengan adanya teori kritik ini para ilmuwan dan peneliti diharapkan tidak hanya menerima ilmu pengetahuan begitu saja tetapi akan lebih dapat memacu perkembangan ilmu pengetahuan, seperti halnya menerima paradigma positivisme untuk membuktikan kesahihan ilmu pengetahuan (mempertahankan status quo), bahkan menentang kondisi yang sudah ada, hal ini seperti yang dipahami oleh paradigma kritikal.
Paradigma Kritikal. Dalam ilmu sosial banyak ahli mengarakteristikkan paradigma penelitian. Burrel dan Morgan (1994:3) mengategorikan ilmu sosial dalam empat paradigma, yaitu paradigma fungsionalis, interpretatif, radikal humanis, dan radikal strukturalis. Dari keempat paradigma ini, masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam penelaahan penelitian. Dapat dipastikan bahwa setiap paradigma akan mempunyai penekanan dalam membahas/meneliti suatu masalah/fenomena yang akan diriset. Keempat paradigma ini bersumber pada mekanisme asumsi yang bersumber pada dua dimensi ekstrem, yaitu dimensi subyektif dan obyektif.
Menurut Triyuwono (1988:4), paradigma kritikal merupakan paradigma yang menganggap bahwa penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengekspose hubungan nyata (riel relations) yang dibawah “permukaan” mengungkap mitos dari ilusi, dan menekankan pada usaha menghilangkan kepercayaan dan ide-ide yang salah, menekankan pada pembebasan dan pemberdayaan. Hal ini didasari oleh anggapan hakikat diri manusia yang dinamis, manusia sebagai pencipta destinasi hidupnya, manusia yang ditekan, dieksploitasi, dibatasi, dicuci otak, diarahkan, dikondisikan, dan ditutupi dalam upaya mengaktualisasikan potensinya. Konsekuensi dari anggapan ini adalah bahwa paradigma ini memandang realitas sosial sebagai realitas yang sangat kompleks (yang tampak dan nyata), penuh dengan kontradiksi, konflik, tekanan, dan eksploitasi, sehingga tidak mengherankan bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai alat yang digunakan untuk membebaskan dan memberdayakan manusia dan juga menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas dari nilai (not value free).
Paradigma kritikal menurut Burrel dan Morgan (1994:31) dibagi menjadi dua, yaitu paradigma humanis radikal dan paradigma strukturalis radikal seperti dijelaskan berikut ini:
1. Paradigma Humanis Radikal. Paradigma humanis radikal dijelaskan dengan mengembangkan perubahan sosiologi radikal dari subyektivitas. Pendekatan pada ilmu pengetahuan sosial memiliki banyak kelaziman dengan paradigma interpretatif. Dalam pandangan itu dunia sosial adalah perspektif yang cenderung menjadi nominalis, anti-positivis, volantaris dan idegrafik, tetapi kerangka referensinya dilakukan pada pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya merobohkan atau mentransendenkan batasan susunan sosial yang ada.
Humanis radikal menempatkan hampir seluruh penekanan atas perubahan radikal, mode dominasi, emansipasi, pencabutan, dan potensialitas. Konsep konflik dan kontradiksi struktural tidak digambaarkan secara baik dalam perspektif ini, bila mereka merupakan karakteristik pada banyak pandangan obyektif tentang dunia sosial, seperti yang disajikan dalam konteks paradigma strukturalis radikal.
Lebih lanjut Burrel dan Morgan (1994:32-33) menjelaskan bahwa dalam menjaga pendekaatan subyektivitas pada ilmu pengetahuan sosial, perspektif humanis radikal menempatkan penekanan atas keyakinan manusia. Dasar intelektualnya dapat dicari pada sumber yang sama seperti paradigma interpretatif. Marx menyatakan bahwa tradisi idealis adalah yang pertama digunakan sebagai basis untuk filsafat sosial radikal, dan beberapa humanis radiikal yang telah memperoleh inspirasi mereka dari sumber ini. Esensinya membalik kerangka referensi yang tercermin dalam idealisme Hegelian dan dengan demikian menempa dasar humanisme radikal. Paradigma ini juga telah banyak dipengaruhi oleh infusi perspektif fenomenologi yang berasal dari Husserl. Kondisi ini secara bersama-sama memberikan perhatian umum kepada pengeluaran kesadaran dan pengalaman dari dominasi dengan berbagai aspek suprastruktural ideologis pada dunia sosial di mana manusia hidup di luar kehidupan mereka, di mana mereka mencari untuk mengubah dunia sosial melalui perubahan dalam mode pengetahuan dan kesadaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi paradigma humanis radikal didasarkan atas pembalikan pada asumsi yang menjelaskan bahwa paradigma fungsionalis seharusnya tidak mengejutkan. Teori anti organisasi membalik problematika yang menjelaskan bahwa teori organisasi fungsionalis ada pada hampir setiap hitungan.
2. Paradigma Strukturalis Radikal. Teori yang ada dalam paradigma membela sosiologi pada perubahan radikal dari sudut obyektivis. Ketika bersama-sama memberikan pendekatan pada ilmu pengetahuan yang memiliki banyak keserupaan dengan teori fungsionalis, diarahkan pada penyelesaian yang berbeda secara mendasar. Strukturalisme radikal dilakukan pada perubahan radikal, emansipasi, dan potensialitas dalam suatu analisis yang menekankan pada konflik struktural, mode dominasi, kontradiksi dan pencabutan. Mendekati perhatian umum dari sudut pandang yang cenderung menjadi realis, positivis, determinis, dan nomithetic (Burrel dan Morgan 1994:33-34).
Lebih lanjut dikatakannya bahwa humanis radikal menempa perspektif dengan memfokuskan atas kesadaran sebagai dasar untuk kritik radikal dari masyarakat. Strukturalis radikal berkonsentrasi pada hubungan struktural dalam dunia sosial realis. Mereka menekankan pada kenyataan bahwa perubahan radikal dibangun dengan sangat alami dan pada struktur masyarakat masa kini, di mana mereka mencari untuk memberi penjelasan antar hubungan dasar dalam konteks bentuk total sosial. Secara umum semua teori memandang bahwa masyarakat pada masa kini berkarakteristik dengsn konflik mendasar yang menelorkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Melalui konflik dan perubahan ini diketahui bahwa emansipasi orang dari struktur sosial di mana mereka hidup dipandang sebagai akibat.
Keberadaan paradigma humanis radikal dan strukturalis radikal menurut pandangan Ghozali (1996; 47-49) merupakan pendekatan radikal yang memandang masyarakat terdiri dari elemen-elemen yang saling bertentangan satu sama lain dan diatur oleh sistem kekuasaan yang pada gilirannya menimbulkan ketidak-adilan dan keterasingan dalam segala aspek kehidupan. Pendekatan ini berhubungan dengan pengembangan pemahaman akan dunia sosial dan ekonomi dan juga kritik terhadap status.
Dengan menerima ideologi yang dominan dan tidak mempertanyakan hakikat dasar dari kapitalisme, pendekatan fungsional dan interpretatif dipandang mempertahankan dan melegitimasi tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang ada saat ini. Lebih lanjut Ghozali menyebutkan strukturalis radikal memfokuskan pada konflik mendasar sebagai produk hubungan kelas dan struktur pengendalian. Sementara itu humanis radikal menitik-beratkan pada kesadaran individu, keterasingan manusia, dan bagaimana kedua hal ini dapat mendominasi pengaruh ideologi. Perbedaan antara keduanya, strukturalis radikal memperlakukan social world sebagai subyek eksternal dan memiliki hubungan yang terpisah dari manusia tertentu. Sementara itu humanis radikal memfokuskan pada persepsi individu dan interpretasi-interpretasinya (1996).
.......
Pustaka:
Soetriono dan Hanafie (2007), Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Andi Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar