Senin, 19 Agustus 2013

FILSAFAT ILMU dan METODOLOGI PENELITIAN (19)

Ilmu Pengetahuan
Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keingintahuannya itu lebih mendalam. Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna, masih diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih jika dipanasi, diselidikinya pula bagaimanakah air itu, unsur dasarkah, atau paduan dari beberapa unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu? Jika dipanasi memang mendidih, apakah syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan, serta syarat apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersbut? Obyek (air) itu diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri, sejarah membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui sebab yang mendalam atas suatu obyek.

Pengetahua ini, yang berbeda dengan pengetahuan biasa, disebut ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidaklah menghiraukan gunanya. Bisa jadi menusia semata-mata hanya ingin tahu. Kalau akhirnya pengetahuan yang disebut ilmu itu menghasilkan guna bagi yang tahu atau bagi umat manusia pada umumnya, syukurlah. Akan tetapi tujuan utamanya adalah tahu yang mendalam, sedapat mungkin tahu benar, apa sebabnya demikian dan mengapa harus demikian.

Jaman dulu orang cukup bisa hidup dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan sehari-hari. Sekarang dan masa yang akan datang, manusia hanya akan bisa hidup dan mengembangkan kehidupannya dengan ilmu pengetahuan praktis yang mampu menciptakan teknologi mutakhir yang tepat guna (dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ilmu pengetahuan teoritis murni dan filsafati). Dengan demikian ilmu pengetahuan praktis semakin memberikan sifat khusus kepada manusia dewasa ini.

Obyek Materi Dan Obyek Forma. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (opproach), metode (methode), dan sistem tertentu. Jadi pengetahuan yang benar tentang obyek itu tidak bisa dicapai secara langsung dan sifat daripadanya adalah khusus.

Ilmu pengetahuan diciptakan manusia karena disorong oleh rasa ingin tahu manusia yang tidak berkesudahaan terhadap obyek, pikiran, atau akal budi yang menyangsikan kesaksian indra, karena indra dianggap sering menipu. Kesangsian akal busi ini lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesuatu itu, mengapa sesuaut itu ada, bagaiamana keberadaannya dan apa tujuan keberadaannya? Masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan:

*      Ilmu pengetahuan filosofis yang mempersoalkan hakikat atau esensi sesuatu (pengetahuan universal).
*      Ilmu pengetahuan kausalistik, artinya selalu mencari sebab-musabab keberadaannya (pengetahuan umum bagi suatu jenis benda).
*      Ilmu pengetahuan yang bersifat, deskriptif-analitik, yaitu mencoba menjelaskan sifat-sifat umum yang dimiliki oleh suatu jenis obyek.
*      Ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, yaitu yang mencoba memahami norma suatu obyek yang dari sana akan tergambar tujuan dan manfaat dari obyek tersebut.

Obyek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (obyek materi) dan ada yang berupa bentuk (obyek forma). Obyek materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran, atau penelitian keilmuan, bisa berupa benda-benda material maupun maupun non-material, bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide dan konsep-konsep. Obyek materi tidak terbatas pada apakah ada dalam realitas konkret atau dalam realitas abstrak. Obyek materi, yang material maupun yang non-material, sebenarnya merupakan suatu substansi yang tidak begitu saja dengan mudah diketahui. Lebih-lebih yang non material, sedang yang materialpun sebagai suatu substansi mempunyai segi yang sulit dihitung dan ditentukan jumlahnya.

Kenyataan ini mempersulit usaha untuk memahami maknanya. Oleh karena itu, dalam rangka mengetahui maknanya, orang lalu melakukan pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang dimiliki obyek materi itu, dan tentu saja menurut kemampuan seseorang. Cara pendekatan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ‘obyek forma’ atau cara pandang. Cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja, sehingga menurut segi yang satu ini kemudian tergambarlah lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, ‘tujuan’ pengetahuan sudah ditentukan. Manusia sebagai obyek materi, dari segi kejiwaan, keragaan, keindividuan, kesosialan, dan dari segi dirinya sebagai makhluk Tuhan, masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri-sendiri yang berbeda. Oleh sebab itu wajarlah jika pengetahuan yang diperoleh tentang manusia juga berlainan.

Bagi ilmu pengetahuan, perbedaan pengetahuan yang dihasilkan oleh masing-masing segi itu justru harus seperti itu., karena dengan demikian pengetahuan tentang manusia tadi bisa semakin lengkap dan jelas. Jika tinjauannya berbeda tetapi hasilnya sama, ini menunjukan bahwa cara menentukan hal itu tidak benar, dan ini akan mempengaruhi tahapan-tahapan selanjutnya. Dalam keadaan demikian terjadi overlapping yang akan membuat kerancuan. Overlapping bukannya tidak perlu sama sekali, tetapi jika harus dilakukan maka seharusnya diposisikan sekedar sebagai referensi saja. Suatu pendekatan menurut segi tertentu seharusnya dilakukan secara sistematis dan konsisten sesuai dengan ‘benang merah’ lingkupannya.

Menurut obyek formanya, ilmu pengetahuan itu berbeda-beda dan banyak jenis serta sifatnya. Ada yang tergolong ilmu pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), ilmu pengetahuan non-fisis (ilmu pengetahuan sosial dan humaniora serta ilmu pengetahuan ketuhanan) karena pendekatannya menurut segi kejiwaaan. Ilmu pengetahuan fisis termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sementara ilmu pengetahuan non-fisis merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif.

Sistem Dalam Ilmu Pengetahuan. Disamping cara pandang (obyek forma) dan metode ilmiah, dalam rangka mencapai kebenaran ilmiah dari suatu obyek materi maka diperlukan sistem. Sistem adalah hubungan secara fungsional dan konsisten antara bagian-bagian yang terkandung dalam suatu hal atau barang sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Hubungan seperti itu dalam rangka mencapai tujuan, yaitu kebenaran ilmuah.

Cara pandang, metode, dan sistem merupakan hal yang sangat menentukan tercapainya kebenaran ilmiah. Sistem ini mempunyai daya kerja aktif yang menggerakan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan dalam metode yang diatur sedemikian rupa sehingga kontiniutas dan konsistensi daya kerja metode itu mencapai tujuan akhir.

Ada enam sistem yang lazim dikenal dalam ilmu pengetahuan, yaitu:

v  Sistem tertutup. Sistem ini tidak memungkinkan masuknya unsur-unsur baru ke dalamnya. Misal, susunan alam semesta yang merupakan satu kesatuan. Ini terdiri dari unsur-unsur yang jumlah jenisnya tetap dan tidak mengalami perubahan sejak dari mula sampai masa berakhirnya.
v  Sistem tertutup. Sistem ini memang dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi masuknya unsur-unsur baru agar keberadaan sesuatu hal kemungkinan bisa tetap berlangsung. Lebih dari itu agar perkembangan sesuatu itu juga dimungkinkan. Misalnya, kehidupan masyarakat manusia yang memiliki kodrat sebagai makhluk sosial di mana orang yang satu cenderung secara alami bergantung kepada orang lain secara timbal balik. Kecenderungan ini terjadi karena memang bawaannya sendiri, yang dalam diri-pribadinya tidak ada seorangpun mempunyai kesempurnaan. Dengan saling bergantung diti, kekurangan yang sama-sama dimiliki dapat saling tertutupi. Akan tetapi justru kebebasan dan kreativitas individual mutlak bagi keberadaan masyarakat demi perkembangan hidup dan kehidupan manusia.
v  Sistem alami. Sistem ini memang sudah sejak awal merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan yang juga telah ditentukan sejak awal. Misal, susunan alam semesta ini baik secara keseluruhan maupun secara bagian-bagian. Secara keseluruhan telah dikemukakan dalam contoh sistem tertutup. Sedangkan secara bagian-bagian, lihatlah pada diri manusia. Sejak awal manusia memiliki sistem alami yang unik sehingga tidak sama dengan binatang.
v  Sistem buatan. Sistem ini jelas merupakan hasil karya manusia. Hal ini tercipta atau diciptakan secara sengaja untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin kompleks yang disebabkan oleh perkembangan kualitas manusia itu sendiri. Ini terjadi mungkin karena ia memiliki potensi cipta, rasa, dan karsa. Salah satu contoh sistem buatan manusia dapat dilihat pada perkembangan pengetahuan menjadi sistem ilmu pengetahuan yang beraneka ragam semakin mampu berperan atau berfungsi sebagai alat perlengkapan bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
v  Sistem yang Berbentuk Lingkaran. Sistem ini merupakan perkembangan dan sistem buatan, yang dibuat agar lebih memudahkan tercapainya salah satu tujuan hidup. Dalam sistem ini masalah sentralnya sengaja diletakan pada sentral dari suatu lingkaran. Dari sini orang mulai menjelaskan sejauh mana masalah itu dapat mempengaruhi bidang-bidang lainya. Semakin jauh suatu titik dari titik sentral itu maka titik itu akan mendapatkan pengaruh yang semakin lemah. Sistem ini dapat diasosiasikan dengan berkas sinar yang semakin jauh jaraknya maka pancaran daya sinar akan semakin berkurang.
v  Sistem yang Berbentuk Garis Lurus. Sistem ini juga merupakan perkembangan dari sistem buatan. Agar dapat mencapai tujuan yang lebih mudah, sistem ini disusun menurut jenjang-jenjang atau tingkat-tingkat mulai dari yang paling tinggi ke jenjang yang palinng rendah. Susunan ini memperlihatkan suatu tatanan bahwa jenjang yang lebih rendah mendasarkan diri kepada jenjang yang lebih tinggi.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan. Yang dimaksud dengan kebenaran ilmu pengetahuan (lazin disebut kebenaran keilmuan atau kebenaran ilmiah) adalah pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek forma (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu sistem yang relevan. Pengetahuan yang demikian tahan uji, baik dari verifikasi empiris maupun yang rasional, karena cara pandang, metode, dan sistem yang dipakai bersifat empiris dan rasional secara berganti.

Ada tiga teori pokok tentang kebenaran keilmuan ini, yaitu:
v  Teori Saling Hubungan (Coherence Theory). Sering disebut teori konsistensi, karena menyatakan bahwa kebenaran tergantung pada adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai kebenaran. Bradley mengatakan bahwa suatu proposisi itu cenderung benar jika koheren dengan proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya itu koheren dengan pengalaman. Kaum idealis menandaskan bahwa kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide-ide kita, karena semua hal yang kita ketahui itu adalah ide-ide, bukan barang atau halnya sendiri. Oleh sebab itu kebenaran terletak pada saling hubungan di antara ide-ide tentang sesuatu yang ditangkap dialam pikiran. Tingkat saling hubungan adalah ukuran bagi tingkat kebenaran itu sendiri. Semakin terdapat saling hubungan di antara ide-ide yang makin meluas maka akan menunjukan kesahihan kebenaran yang semakin jelas pula. Dalam dunia pendidikan, misalnya, semakin kuat saling hubungan antara seluruh kesaksian, maka semakin kuat pula adanya kebenaran itu.
Menghadapi teori koherensi ini, orang mudah untuk menerimanya begitu saja karena memang logis dan dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan. Namun demikian saling di antara ide-ide itu secara logis bisa saja palsu atau bohong. Maka perlu kita sangsikan kemampuan implikasi fakta itu sendiri. Bukankah ide tentang fakta itu hanya merupakan sebagian dari fakta itu sendiri? Lebih dari itu, teori ini menekankan rasional dan intelektual. Padahal realitas itu ada dalam dirinya sendiri yang juga mempunyai sifat irrasional. Dengan demikian bukankah teori ini gagal dalam memberikan jaminan kepada kehidupan sehari-hari? Mungkin ya, tetapi paling tidak dengan teori ini kita mendapatkan gambaran yang mapan tentang kebenaran menurut segi tertentu, yaitu segi yang rasional.

v  Teori Perseuaian (Correspondence Theory). Kalau teori koherensi diterima oleh kebanyakan kaum idealis, maka teori korespondensi lebih bisa diterima oleh kaum realis. Teori korespondensi ini mengatakan bahwa seluruh pendapat mengenai suatu fakta itu benar jika pendapat itu sendiri disebut fakta yang dimaksud. Dengan kata lain, kebenaran adalah perseuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri.
Terhadap suatu pendapat yang menyatakan bahwa ‘di luar hawanya dingin’ misalnya, maka teori ini menuntut adanya fakta bahwa dingin itu benar adanya atau nayta berada di luar, bukan hanya ide tentang hawa dingin saja. Kalau teori koherensi bersifat rasional-aprioris, maka teori korespondensi ini bersifat empiris-aposterioris. Kalau teori koherensi menekankan adanya saling hubungan di anatara ide-ide secara tepat, logis, dan sistematis maka teori korespondensi menekankan pada apakah ide-ide itu merupakan fakta itu sendiri atau bukan. Persesuaian antara arti yang dikandung di berbagai pendapat dengan apa yang merupakan fakta-faktanya merupakan kriteria bagi teori korespondensi.
Persoalan yang segera muncul dari pelajaran ini adalah pernyataan tentang fakta itu merupakan suatu ide yang sifatnya psikis. Lalu fakta itu sendiri mempunyai sifat yang non-psikis itu bisa sesuai?
Rogers mengatakan bahwa kebenaran itu terletak pada kesesuaian antara esensi atau arti yang diberikan dengan esensi yang terkandung dalam diri hal atau obyek itu sendiri. Tampak jelas dalam pendapat ini bahwa yang bersesuaian itu adalah esensi obyek atau fakta sebagai arti dengan esensi yang terdapat dalam obyek atau faktanya sendiri. Rusel memperjelasnya dengan mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara arti yang terkandung oleh perkataan-perkataan yang telah ditentukan., dan kesesuaiannya berupa identiknya arti-arti tersebut.

v  Teori Kegunaan (Pragmatic Theory). Apa yang dikemukakan oleh teori korespondensi dapat menyelesaikan secara tuntas pekerjaan dalam mencari kebenaran. Tetapi kehidupan sehari-hari menuntut sesuatu yang lebih praktis dan langsung menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Pragmatisme mewarnai pandangannya sebagai berikut:
Pada umumnya teori memandang masalah kebenaran menurut segi kegunaannya. James mengatakan bahwa ‘Tuhan itu ada’ adalah benar bagi seseorang yang hidupnya mengalami perubahan. Kepercayaan yang kuat terhadap adanya Tuhan itu dapat memberikan kesejukan hati, sehingga ada kemampuan batin untuk menerima segala bentuk perubahaan.
Dewey memberikan ilustrasi tentang kebenaran sebagai berikut:
Dimisalkan kita sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri kita berkata dengan yakin bahwa ‘jalan keluarnya adalah ke arah kiri’. Pernyataan ini akan berarti jika kita benar-benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernayataan ini benar apabila arah kiri itu pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yaitu benar-benar dapat membawa kita keluar dari hhutan. Jadi kebenaran menurut pragmatisme ini bergantung kepada kondisi-kondisi yang berupa manfaat (utilliy), kemungkinan dapat dikerjakan (workabillity) dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory results).
Persoalan yang segera muncul adalah apakah asas manfaat yang cenderung subyektif itu justru tidak mengingkari asas obyektivitas sebagai tujuan ilmu pengetahuan dalam dirinya sendiri? Workabillity adalah sesuatu yang munngkin dapat menuntun ke arah pemecahan masalah. Tetapi jika hal ini hanya bergantung sepenuhnya kepada keyakinan, maka spekulasi yang bisa menimbulkan kesesatan perlu dipertimbangkan. Satisfactory resuls juga belum tentu selalu dalam konteks kebenaran. Bukankah kita sering melihat bahwa hal itu justru muncul dari perbuatan-perbuatan yang tidak benar? Banyak pengacara yang puas dengan keberhasilan pembelaannya, padahal perkara itu seharusnya tidak perlu dibela. Banyak pula penyalahgunaan hak yang mendatangkan kepuasan dalam hidup dan kehidupan ini.

Ketiga teori kebenaran itu kelihatannya tidak bisa dipakai sebagai pedoman untuk mengukur kebenaran realitas sebagai obyek materi pada filsafat ilmu pengetahuan karena masing-masing mempunyai titik kelemahan. Namun secara ontologis dan epistemologis tampaknya bisa memberikan jalan keluar bagi pemecahan persoalan yang muncul dalam realitas itu sendiri. Karena ilmu pengetahuan mempunyai aspek yang etis maka teori koheren, koresponden, dan pragmatis perlu dipertimbangkan secara berturut-turut dan bersamaan. Aspek etis ilmu pengetahuan menuntut kegunaan kebenaran obyektif dalam praktik kehidupan sehari-hari sejauh mana kebenaran itu membuahkan konsekuensi-konsekuensi praktis yang dapat menunjang terciptanya kesejahteraan hidup seluruh umat manusia. Kebenaran yang selalu dikerangkakan dalam konteks kemanusiaan seperti itu sungguh akan dapat mendekatkan hubungan antara ilmu pengetahuan alam, ilmu sosial, humaniora, dan keagamaan dalam satu keutuhan yang menyeluruh, karena hanya dengan hubungan yang demikianlah realitas itu akan dapat menentukan posisi dan fungsinya dalam realitas itu sendiri.

.......
Pustaka:
Soetriono dan Hanfie (2007), Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Andi Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar