Struktur Lingkungan
Lingkungan Internal. Lingkungan internal adalah lingkungan organisasi yang berada dalam organisasi dan secara normal memiliki immplikasi langsung dan khusus pada perusahaan. Perusahaan sendiri menurut pola pikir sekarang merupakan kumpulan dari berbagai macam sumber daya, kapabilitas, dan kompetensi yang nantinya dapat digunakan untuk membentuk market position tertentu. Dengan demikian, analisis lingkungan internal mencakup analisis mengenai sumber daya, kapabilitas, dan kompetensi yang dimiliki perusahaan.
Dewasa ini, akibat dinamisnya perubahaan, perhatian terhadap lingkungan internal semakin hari semakin dominan. Bahkan para ahli strategi kemudian berpendapat bahwa reaktif terhadap perubahan lingkungan eksternal yang begitu dinamis seyogianya tidak lagi menjadi perhatian utama manajemen perusahaan karena belum sempat bereaksi terhadap suatu perubahan, perubahan lain sudah terjadi dan mengubur asumsi yang sebelumnya akan diaplikasikan. Reaktif terhadap perubahan lingkungan eksternal dapat menjadikan organisasi ataupun individu tidak melakukan apa-apa dan menjadi penonton dalam persaingan. Dengan demikian, yang perlu mendapat perhatian serius manajemen perusahaan adalah mampu menciptakan kapabilitas dan kompetensi inti yang sulit ditiru pesaing demi tercapainya keunggulan bersaing yang diinginkan.
Sumber utama kompetensi inti perusahaan sesungguhnya adalah kapabilitas organisasi, sedangkan sumber kapabilitas adalah sumber daya yang dimiliki perusahaan tersebut. Jika perusahaan-perusahaan dianologi seperti sebuah pohon, kompetensi adalah akar menghujam yang menyuburkan dahan dan ranting demi terciptanya produk akhir. Kompetensi ini merupakan dasar keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan sedikit mengenai masing-masing komponen analisis lingkungan internal perusahaan.
Sumber Daya (Resources). Sumber daya sering diartikan sebagai input yang dibutuhkan perusahaan untuk suatu proses produksi atau operasi. Secara sederhana sumber daya perusahaan dapat dikelompokkan menjadi tangible, intangible, dan human resources.
Tangible reources adalah sumber daya yang nilainya terlihat dalam data akutansi dan mudah sekali diidentifikasi dan dievaluasi, contohnya sumber daya keuangan, sumber daya fisik, dan organisasi.
Intangible resources adalah sumber daya yang tidak terlihat dalam neraca keuangan perusahaan, misalnya teknologi, inovasi, dan reputasi.
Sumber daya manusia (human resources) sengaja dipisah karena sifatnya spesifik, yaitu relatif sulit dan kompleks dalam penilaiannya. Manusia memang jelas terlihat, namun sumber daya yang disumbangkan kepad perusahaan adalah keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan mengambil keputusan. Istilahnya modal manusia (human capital). Keterampilan dan kemampuan seseorang dapat diukur melalui prestasi kerja, pengalaman, dan kualifikasi. Akan tetapi, semua ini hanyalah indikator atas potensi seseorang. Biasanya, manusia bekerja dalam suaut tim. Akibatnya, sukar untuk mengukur secara langsung sumbngan yang diberikan seorang pekerja kepada perusahannya. Oleh karena itu, perusahaan pun menggunakan jumlah jam kerja, penampilan, dan sikap.
Belakangan banyak pula perusahaan yang menilai pekerjanya berdasarkan penilaian sitematik dan terperinci berdasarkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku. Selanjutnya, dikembangkan penilaian terhadap para pekerja untuk bekerja sama secara efektif karena kapabilitas perusahaan tidak hanya bergantung pada sumber dayanya yang beraneka ragam, tetapi juga kemampuannya untuk menyatukan sumber-sumber daya tersebut. Sumber daya manusia yang efektif bergantung pada hubungan antara par pekerja secara individu, yang secara keseluruhan merupakan jenis intengible resources lain, yaitu budaya perusahaan (corporate culture).
Kapabilitas (Capability). Kapabilitas adalah kumpulan sumber daya yang menampilkan tugas atau aktivitas tertentu secara integratif. Biasanya, kapabilitas perusahaan ditentukan berdasarkan dua pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan fungsional dan (2) pendekatan rantai nilai (value Chain).
Pendekatan fungsional menentukan kapabillitas perusahaan secara relatif terhadap fungsi-fungsi utama perusahaan, seperti pemasaran, penjualan dan distribusi, keuangan dan akutansi, sumber daya manusia, produksi, dan organisasi secara umum.
Pendekatan value chain menentukan kapabilitas perusahaan berdasarkan serangkaian kegiatan berurutan yang merupakan sekumpulan aktivitas nilai (value activities) yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, memasarkan, mengirim, dan mendukung produk dan jasa. Value activities ini dapat dipandang sebagai building blocks organisasi dalam menciptakan produk atau memberikan jasa kepada pelanggnnya.
Value chain yang dikembangkan oleh Porter ini menganalisis aktivitas-aktivitas nilai secara rinci dan memberikan analisis mengenai bagaimana suatu organisasi melaksanakan aktivitasnya, bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut berinteraksi, dan apa kepentingan setiap aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas ini dibagi dalam dua kategori yaitu aktivitas utama yang terlibat dalam penciptaan fisik produksi atau jasa, serta penjualan dan pengirimannya kepada pembeli, dan aktivitas pelayanan purnajual dan aktivitas pendukung yang melengkapi aktivitas-aktivitas utama dengan berbagai fungsi, seperti sumber daya manusia, pengadaan, pengembangan dan teknologi, serta dukungan administratif.
Dengan kata yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa konsep mata rantai nilai tambah Porter ini hanya menjelaskan bahwa setiap mata rantai, baik yang utama maupun pendukung, dapat menambah nilai pada produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, membawa masuk bahan mentah dari luar ke pabrik akan menimbulkan perubahan kegunaan tempat (place utility). Tadinya bahan mentah tersebut ada diluar pabrik, sekarang siap diolah menjadi produk jadi. Ketika bahan tersebut diolah, terjadilah kegunaan bentuk (form utility). Bentuknya sekarang menjadi barang jadi (finished goods) yang memberikan nilai tambah. Kalau barang jadi ini siap dijual dan berada di pasar, terjadi lagi kegunaan tempat. Karena letaknya di pasar dan agar proses ini berjalan dengan mulus, harus ada aktivitas pemasaran yang menyangkut berbagai aspek, sehinngga menjadi barang bermerek (branded goods) dengan nilai jual tertentu. Barang bermerek (branded goods) dengan nilai jual tertentu ini juga dipengaruhi oleh pelayanan yang menyertai produk tersebut sehingga terjadilah suatu paket yang dibeli konsumen. Untuk mendukung terjadinya aliran penambahan nilai, ada empat hal yang menjadi pendukung, yaitu infrastruktur, teknologi, sumber daya manusia, dan fungsi pembelian.
Untuk lebih jelasnya, Gambar memperlihatkan uraian mekanisme rantai nilai yang dikembangkan oleh Porter.
Gambar: Mekanisme Rantai Nilai
Kedua pendekatan tersebut (fungsional dan rantai nilai) banyak digunakan oleh perusahaan untuk membentuk kapabilitas perusahaan. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, kapabilitas hanya dapat dibentuk jika ada kerja sama yang terjalin di antara berbagai sumber daya dalam perusahaan (resources team). Pada organisasi yang kompleks, kapabilitas memengaruhi struktur hierarki perusahaan tersebut. Semakin tinggi tingkat kapabilitas, semakin banyak pula intgrasi antarkapabilitas yang tingkatnya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam hal ini sangat diperlukan perpaduan di antara kapabilitas fungsional yang ada dalam perusahaan.
Kompetensi Inti (Core Competence). Jika perusahaan dianalogikan sebagai pohon sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kompetensi merupakan akar yang menumbuhkan pohon secara keseluruhan. Mati hidupnya pohon sangat bergantung pada akarnya. Kompetensi inilah yang membuat perusahaan dapat memiliki daya saing yang berkelanjutan. Kompetensi ini bersumber dari kapabilitas dan sumber daya ataupun kapabilitas yang merupakan kompetensi inti perusahaan.
Kompetensi inti, yang dipopulerkan oleh Hamel dan Prahalad, merupakan sekumpulan keterampilan dan teknologi yang memungkinkan perusahaan menyediakan manfaat tertentu kepada pelanggan. Di Sony contohnya, manfaat bagi pelanggan adalah packetability dan kompetensi intinya adalah miniaturisasi. Di Federal Express manfaat yang ditawarkan adalah penyerahan paket tepat waktu yang didukung oleh kecanggihan manajemen logistik sebagai kompetensi intinya. Logistik juga menjadi kompetensi inti Wal Mart untuk menyediakan manfaat beragam pilihan barang, ketersediaan barang, dan nilai bagi pelanggan. Dan, Motorola memberikan manfaat komunikasi yang tak terbatas kepada pelanggan dengan dukungan wireless communication sebagai kompetensi intinya.
Dari berbagai contoh di atas terlihat bahwa komitmen yang diberikan perusahaan untuk membangun kompetensi inti baru adalah komitmen untuk menciptakan atau menyempurnakan sekumpulan manfaat bagi pelanggan, bukan komitmen pada peluang produk-produk tertentu. Komitmen Sony pada pocketability sudah mendahului penemuan walkman, pesawat CD portable, dan televisi saku. Dengan demikian, komitmen pembangunan kompetensi inti lebih didasarkan pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap manfaat yang memberikan kemampuan kepada perusahaan untuk menyampaikan sekumpulan manfaat kepada pelanggan, bukan pada hasil keuangan rinci untuk produk atau jasa baru tertentu.
Jika dihubungkan dengan kapabilitas, semua kompetensi inti merupakan kapabilitas, tetapi tidak semua kapabilitas merupakan kompetensi inti. Hanya kapabilitas yang memiliki kriteria tertentu yang dapat dikategorikan sebagian kompetensi inti. Kriteria tersebut di antaranya:
a) Valuable Capabilities – kapabilitas yang memungkinkan perusahaan memanfaatkan peluang dan meminimalkan ancaman eksternal.
b) Rare Capabilities – kapablitas yang dimiliki oleh sangat sedikit pesaing.
c) Imperfectly Imitable Capabilities – kapabilitas yang tidak mudah dikembangkan oleh perusahaan lain.
d) Nonsubtitutable Capabilities – kapabilitas yang tidak dapat disubtitusikan.
Penjelasan sederhana mengenai kompetensi ini dapat dilihat pada gambar:
Gambar: competencies; The rots of competitiveness
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika perusahaan dianalogikan sebagai suatu pohon besar, kompetensi-lah akarnya. Batang pohon dan cabang-cabangnya yang dianalogikan sebagai core product juga ditumbuhkan dari kompetensi sehingga menyuburkan ranting-ranting (business units) yang menumbuhkan daun, bunga, dan buah (end products).
Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa kompetensi tidak harus dan tidak boleh dijadikan penghalang untuk berubah bila perusahaan memang memerlukannya. Bila kompetensi inti yang lama berubah sejalan dengan globalisasi, perusahaan harus menemukan kompetensi yang baru. Namun, bila kompetensi yang baru ini tidak ditemukan, akan timbullah competitive disadvantage. Oleh karena itu, temukanlah kompetensi baru dengan cara mempertahankan dan meyokong kompetensi inti yang sudah ada dan secara simultan mengembangkan serta membentangkan apresiasi ke depan untuk menemukan dan menghasilkan kompetensi inti baru.
.......
Pustaka:
Musa Hubeis dan Mukhamad Najib (2008), Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya Saing Organisasi, PT Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.