Bila
kita berbicara mengenai tentang makna hidup maka itu berarti pula kita
membicarakan mengenai arti menjadi manusia, karena hidup yang kita maksud
disini bukanlah hidup dalam konteks vegetatif (nutritive, reproduksi dan
tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif,sensasional dan mobile)
tetapi lebih dari itu, yaitu hidup sebagai hewan yang dapat berpikir - kalau
kita meminjam istilah manusia menurut Aristoteles - atau hidup sebagai suatu
makhlukh yang memiliki kesadaran.
Memikirkan
manusia sama saja memikirkan sesuatu yang lebih luas dari pada ruang angkasa
dan lebih dalam daripada samudera manapun. Manusia sampai sekarang adalah
sesuatu yang tetap menjadi misterius, lebih misterius dibanding legenda manapun
yang pernah di kuak oleh Arkeologi dan ilmu sejarah modern. Semakin banyak
spesialisasi bidang ilmu pengetahuan yang objek materialnya adalah manusia
semakin tebal pula hijab kemisteriusan manusia.
Dalam
tradisi Ilmu Pengetahuan dan filsafat ada kesamaan tujuan saat melakukan
penelitian, pembedahan ataupun penjelasan terhadap manusia yaitu mengetahui
hakikat, essensi ataupun hukum yang merupakan intisari dari manusia sesuai
dengan asumsi-asumsi serta metodologi yang mendasarinya. Hakikat manusia ini
disebut dengan The Real I, setiap bidang pengetahuan ataupun aliran pemikiran
memiliki interpretasi tersendiri terhadap the Real I.
Ironisnya
semakin cabang-cabang ilmu dan pemikiran tersebut mengeksplorasi tema manusia
secara tidak sadar telah terjadi proses detachment (penjarakan/pengelakan) yang
berlapis (stratified) terhadap manusia dan kemanusiaan. Hal ini disebakan
karena The Real I adalah sesuatu yang abstrak dan murni ide sedangkan dalam
aktivitas pengkonsepsian dan teoritisasinya menggunakan bahasa yang sifatnya
konkrit dan kondisional. Sehingga hakikat manusia dan kemanusiaan yang sifatnya
universal telah terkotak-kotak dan terpotong-potong ke dalam manusia dan
kemanusiaan yang relatif.
Tapi
itulah tragedi dalam bidang pemikiran, kita harus rendah hati mengakui
keterbatasan kita dalam membangun diskursus ataupun konsepsi tentang manusia,
sebab sudah menjadi takdir kita terlempar dalam dunia dimana kita berada dalam
struktur dan jejaring teks atau tanda. Tetapi hal itu tidak menjadikan kita
orang yang pesimis dan tidak melakukan pengkonsepsian apapun terhadap manusia
dan kemanusiaan kita, sebab pengkonsepsian kita adalah salah satu bentuk
keterlibatan kita dalam kemanusiaan kita, sebab apalah artinya kita sebagai
manusia tetapi kita absen dalam drama kemanusiaan.
Maka
dari itu tulisan ini adalah hasil proses refleksi atau pemaknaan terhadap
kemanusiaan. Proses pemaknaan adalah sesuatu yang memelihara kedirian manusia.
Maka tidak selayaknya bila sebuah pemaknaan di paksakan pada pihak lain, hal
ini hanya akan menghancurkan otonomi orang lain bahkan diri kita sendiri.
Sejak kita menjadi manusia, maka seringkali
disadari ataupun tidak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mendasar seperti “Apakah Tujuan Hidup Kita ?”,”Apa perbadaan mendasar antara
Manusia dengan Binatang ?”, “Apa makna kita hidup dalam dunia ini?” dan
sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan
ini biasanya disebut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ada beberapa cara yang dapat di tempuh apakah
melalui dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci kegamaan, apakah
melalui metode ilmiah atau biasa kita sebut dengan sains atau kita melakukan
penalaran filsafatis.
Bila
kita mencari jawabannya melalui dogma-dogma agama maka jalan ini tidak akan
membawa pada kepuasan intelektual dikarenakan Religions way of knowledge yang
seringkali tidak menggunakan argumentasi yang kritis di samping dominannya
klaim kebenaran (truth claim) apalagi bila kita dihadapkan dengan pluralitas
paham keagamaan, bayangkan apabila setiap agama memberikan jawaban yang
dogmatik, maka hal ini akan membawa kita kepada kebingungan.
Sedangkan
jika kita melalui jalan sains maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang
positivistik, alih-alih mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis malah
yang terjadi adalah gambaran manusia yang operasionalistik mekanistik dan ini
akan mereduksi kompleksitas dimensi keberadaan manusia.
Untuk
mengantisipasi kedua hal di atas maka kita dapat menggunakan penalaran
filsafatis, filsafat dapat mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara
berpikir positivistik dari sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama dan
sains, agama dan sains dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian diperluas
dan di elaborasi lanjut dengan pisau filsafat.
Tapi
sekali lagi saya tekankan bahwa walaupun kita menggunakan pisau filsafat ini
tidak berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai kepada gambaran manusia apa
adanya. Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban final tetapi untuk
mencari kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru.
Salah
satu titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat adalah
pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang bersangkutan
apakah realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas material atau juga
termasuk realitas ide, abstrak atau yang immaterial. Tapi di sini kita tidak
akan mempertajam membahas hal tersebut.
Kita
mungkin telah mengetahui apakah secara teoritif ataupun secara intuitif bahwa
hal yang paling mendasar dari segala realitas apakah itu diri kita ataupun benda-benda
yang ada disekitar kita atau realitas imajianal yang kita beri pengakuan
padanya adalah keberadaan/wujud/eksisten. Keberadaan adalah fondasi atau
prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas. Kalau kita membawanya ke
dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah limpahan anugerah paling
awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas tersebut melakukan atau
dikenai kejadian apapun.
Apalah
artinya keharuman bunga mawar jika bunga mawrnya tidak memiliki kebaradaan,
apalah artinya ketampanan apabila menusia yang dapat menyandang predikat
tersebut belum menyandang keberadaan. Bahkan sebelum kita berpikir apa-apa yang
sifatnya teoritik konseptual kesadaran akan keberadaan diri kita adalah sesuatu
yang sifatnya primordial jadi sifatnya lebih intuitif dibanding hasil dari
penalaran. Saya ada dulu sebelum saya membahas keberadaan dalam tulisan ini. Menurut
saya kesadaran akan keberadaan adalah kesadaran yang tertua atau paling purba, kita
tidak akan memakan makanan kalau kita tidak yakin jika diri kita ada dan objek
makanan kita ada pula.
Setelah
kita mengetahui bahwa diri kita ada, pertanyaan yang muncul adalah apakah ada
perbedaan antara beradanya manusia dengan beradanya benda-benda dan makhlukh
lain selain manusia. Jawabannya adalah positif. Secara intuitif pula kita dapat
membedakan diri kita sebagai manusia dengan benda-benda mati di sekitar kita
semisal batu, pasir dan meja begitu pula dengan tumbuhan dan binatang atau
hewan. Kita sebagai manusia selalu merasa sewot dengan sekitar kita, kita sewot
dengan tatanan rumah kita, kita sewot dengan cita rasa makanan kita, kita sewot
dengan penampilan kita, kita sewot dengan kebradaan tumbuhan dan binatang
disekitar kita, kita adalah makhlukh yang selalu ingin campur tangan terhadap
alam ini.
Kita
merasa bukan sebagai manusia yang utuh apabila kita hanya makan, buang air dan
istirahat, kita membutuhkan sesuatu yang lain yaitu mengotak-atik secara
kognitif dan pragmatis realitas disekitar kita. Itulah manusia tidak hanya
eksisten/ ada secara sederhana/ ada dalam realitas tapi manusia melampaui itu,
manusia bereksistensi/ ada secara dinamis/ bersama dalam realitas.
Manusia
menyadari selalu ada perubahan pada dirinya dan lingkungannya apakah itu cepat
atau lambat dengan kata lain manusia bukan hanya ada tetapi mansia selalu
mengalami proses menjadi (becoming) dan ingin campur tangan dengan proses
kemenjadiannya itu, dia ingin mengarahkan kemenjadiannya, dialah yang ingin
meciptakan apa jadinya dirinya di masa depan. Itulah sebabnya mengapa manusia
dalam filsafat perennial disebut dengan teomorfis atau makhlukh penjelmaan
Tuhan di muka bumi, karena dia ingin menandingi kesibukan Tuhan.
“Kesibukan”,
merupakan ciri manusia menurut Martin Heidegger. “Kesibukan” membuat manusia
selalu resah dan tidak tenang. Dunia bagi manusia bukanlah sesuatu yang ‘apa
adanya” tetapi keberadaanya selalu di “apakan” dan di “bagaimanakan”. Dunia
bagi manusia bukanlah dunia yang telanjang, tetapi dunia yang dibungkus dengan
persepsi-persepsi kemanusiaan.
Antara manusia dan dunia terjalin hubungan yang
sangat mesra. Tanpa manusia kita tidak bisa membayangkan kata “dunia” sekalipun
bisa lahir, karena “dunia” merupakan penanda yang sifatnya manusiawi terhadap
petanda dunia riil yang berada diluar manusia, walaupun begitu penanda ini
takkan bisa berhasil mewakili referensi objektifnya dengan transparan, selalu
ada distorsi makna.Tanpa dunia manusia tidak akan ada, karena dunia merupakan
rahim eksistensi manusia. Dunia membuat manusia menubuh, sekaligus panggung
untuk menampakkan daya ruhaninya.
Kesibukan
manusia tidaklah hanya pada tataran pragmatis, tetapi juga terjadi pada tataran
kognitif spiritual. Setiap saat manusia melakukan pemaknaan terhadap dunianya,
menyanyakan ulang pemaknaan sebelumnya, manyangsikan dan membongkarnya. Dan
pada saat manusia tak henti-hentinya memaknai dunianya, saat itu pula dia
memkanai dirinya. Memaknai dunia secara terus-menerus berarti mereposisi
dirinya secara terus menerus dalam jejaring dunia, dan menggali potensi
kemanusiaanya secara terus-menerus.
Filsafat
ada untuk membantu manusia memaknai dirinya dan dunianya. Filsafat akan terus
menerus melahirkan pertanyaan-pertanyaan untuk mendeteksi
kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang tiada batasnya. Kemungkinan-kemungkinan
pemaknaan ini merupakan cermin bagi kemungkinan-kemungkinan cara mengada dari
manusia. Dan ini tak, akan pernah selesai.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar