Kajian Konsep
Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada pandangan
hidup kolektif dalam organisasi atau collective mental programming yang
berkembang dalam suatu organisasi
pembelajar (learning
organization) atau suatu komunitas pembelajar.
Komunitas-komunitas pembelar menurut Ryan (Chawla & Renesch, 1995), merupakan tempat dimana relasi-relasi selalu dibina dengan baik; keterbukaan dan keragaman (diversity)
dihargai; rasa ingin tahu menjadi supremasi;
eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan.
Menurut Marquardt & Reynolds (1994), budaya pembelajaran organisasi adalah budaya
yang menghargai pembelajaran, mendorong dan memberi kompensasi atas pengambilan
resiko, dan budaya dimana semua bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri
maupun pembelajaran dari pihak-pihak lain.
Dimensi-Dimensi
Budaya Pembelajaran Organisasi
Budaya pembelajaran dapat dipahami dari dimensi-dimensinya. Model
budaya pembelajaran organisasi dikembangkan mengacu pada pendekatan
Denison. Menurut Denison (1990), pengembangan budaya organisasi pada
umumnya menggunakan dua dimensi sebagai titik rujukan. Pertama, fokus
utama pengembangan budaya (berfokus terhadap pengembangan dinamika
internal organisasi atau terhadap dinamika lingkungan eksternal
organisasi). Kedua, pandangan mengenai perubahan (menekankan
perubahan dan fleksibilitas, atau stabilitas dan keteraturan).
Ada empat dimensi budaya
organisasi, yaitu keterlibatan (involvement), konsistensi (consistency),
kemampuan beradaptasi (adaptability), dan misi (mission).
Dimensi-dimensi ini menunjukkan bahwa
budaya organisasi berkepentingan dengan upaya menjaga eksistensi dan
keberhasilan organisasi dengan menyeimbangkan tuntutan akan penyesuaian yang
cocok dengan lingkungan eksternal yang sekaligus didukung oleh dan dalam rangka
memelihara integrasi iternal organisasi.
Prinsip keseimbangan dianut
dalam mengelola kebutuhan akan perubahan di satu sisi, dan keteraturan atau
prediktabilitas di sisi lain. Organisasi
yang gagal cenderung terlampau menekankan salah satu dan mengabaikan yang
lainnya. Misalnya saja, organisasi terlalu mempertahankan aturan-aturan
sehingga mengalami status quo dan otoritarianisme, dan gagal melakukan
perubahan. Sebaliknya, organisasi yang terlalu menekankan perubahan dan
kebebasan (demokrasi) tanpa memberi perhatian semestinya atas tatanan-tatanan
minimal bagi integrasi internal dapat menjerumukan diri dalam situasi anarkis
atau anomali.
Kegagalan juga dapat terjadi ketika
organisasi terlalu berfokus pada keadaan internal, sehingga lalai atau tidak
memadai dalam mempertahankan eksistensinya pada orbitnya. Kecenderungan
lainnya, perusahaan terlalu berfokus pada kepentingan eksternal tanpa dukungan
koherensi atau integrasi internal. Dalam situasi terakhir ini, perusahaan tidak
cukup memiliki energi kolektif dan terpadu yang dibutuhkan dalam menyambut
perubahan-perubahan dan melayaninya secara unggul.
Jadi, model ini memberikan
wawasan tentang pentingnya pengembangan budaya (pembelajaran) organisasi yang
terpadu, selaras, seimbang, dan memadai.
Model Budaya Pembelajaran Komperehensif
Model komperhensif dari budaya
pembelajaran organisasi berkaitan
dengan tingkatan pembelajaran,
budaya
organisasi, perilaku organisasi mengenai perubahaan, dan dimensi-dimensi
budaya
pembelajaran organisasi.
Setiap dimensi budaya
pembelajaran dikembangkan hingga mencapai tataran treble loop learning, menjangkau
asumsi-asumsi dasar atau beliefs organisasi dalam suatu keselarasan di
antara tiga lapisan budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan perilaku
memadai dari organisasi.
Keseluruhan budaya pembelajaran merupakan suatu bauran
(mixture) yang memadai bagi setiap organisasi, meskipun dapat ditemukan
adanya suatu kisaran yang dihuni secara umum oleh himpunan (cluster)
organisasi dalam lingkungan, habitat, atau tingkat kemajuan yang relatif
sama.
Bersumber dari model Borzsony dan Hunter (1996)
tentang tingkatan pembelajaran terhadap budaya organisasi dan perilaku,
menggambarkan bahwa model komprehensif menunjukan adanya hubungan antara
budaya, perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran. Single-loop learning berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak
organisasi dan perilaku “allowed to
learn/change.
Pembelajaran pada tataran double loop-learning berkaitan dengan sikap (attitudes) atau nilai-nilai (values)
dari budaya organisasi dan perilaku organisasi adalah “able to learn/change. Sedangkan triple-loop
learning berkaitan dengan lapisan terdalam dari budaya organisasi berupa
keyakinan-keyakinan dan perilaku “willing
to learn/cahnge.
Secara teoritis, learning organization
akan semakin meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran
dikembangkan hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi
dasar atau beliefs dari organisasi.
Dimensi Keterlibatan (Involvement)
Gagasan pokok keterlibatan adalah budaya
organisasi yang efektif menekankan prinsip-prinsip keterlibatan (involvement),
partisipasi, dan
keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan kepentingan-kepentingan
organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra, 1995). Dengan begitu akan
tercipta rasa kepemilikan dan tanggung jawab, sehingga komitmen terhadap
organisasi akan meningkat. Untuk itu, dibutuhkan lebih sedikit sistem
pengendalian (eksplisit) yang ketat, atau terjadi peningkatan kapasitas
bertindak secara otonom.
Budaya organisasi menekankan pada pandangan bahwa setiap karyawan/anggota sebagai manajer yang bertanggung jawab atas
aset-aset perusahaan. Ini berarti bahwa setiap pribadi bertanggung jawab untuk mengatur
diri sendiri. Pada tatanan sistem, perusahaan menerapkan pelibatan karyawan
dalam kepemilikan dan keberhasilan perusahaan, misalnya menerapkan Employee
Share Ownership Program (ESOP) dan/ atau “profit sharing.”
Dimensi Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya
yang kuat dari
organisasi. Penekanannya
adalah adanya sistem-sistem pengendalian implisit,
didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem
pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman (rules) dan
aturan-aturan (regulations).
Dengan kata lain, budaya yang kuat
menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara luas
oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective
definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara
terpadu yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang
partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995). Intinya, perspektif ini
menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas.
Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah
bahwa system pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang
diinternalisasi, merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau
konsistensi normatif.
Hal ini memungkinkan organisasi melakukan
tindakan-tindakan terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di
antara anggota organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi terhadap
lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai yang
dianut (Denison, 1990; Denison & Mishra, 1995). Intinya, dimensi ini
menekankan kemampuan organisasi untuk memperoleh konsensus dan menghasilkan
tindakan-tindakan terkoordinasi.
Dimensi Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung
kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan, menterjemahkan
signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan-perubahan kognitif,
perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan kesempatan
perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang. Aspeknya
ada tiga. Pertama, kemampuan untuk memahami (perceive)
dan menanggapi lingkungan eksternal. Kedua, kemampuan untuk
menanggapi para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas
untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi sejumlah
perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi
(Denison, 1990)
Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota
organisasi mengenai fungsi dan tujuan
organisasi (Denison, 1990). Manfaat dari misi adalah (1) memberikan purpose and meaning, serta
sekumpulan alasan-alasan non ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra,1995) sehingga
perilaku organisasi memperoleh
basis intrinsik atau basis spiritual; (2) memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction), atau menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok
bagi organisasi dan anggota anggotanya. Denison mengatakan bahwa sense of mission ini,
antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga
anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini menyongsong
masa depan yang diimpikan.
Dari dimensi ini, budaya pembelajaran berkembang melalui penekanan
akan sense of mission and direction.
Tugas Organisasi adalah menetapkan misi dan visi yang mendorong
pembelajaran (Handy, 1992). Selanjutnya organisasi menciptakan iklim psikologis
yang aman bagi pembelajaran dengan menyediakan kesempatan untuk latihan,
memberikan dukungan dan dorongan untuk melakukan pembelajaran, memberikan
penghargaan atas usaha pada arah yang tepat, dan menetapkan norma-norma yang
melegitimasi kesalahan dan eksperimentasi (Schein, 1993).
Pustaka
Ryan, Stephanie. 1995. “Learning Communities: An Alternative to
the “Expert Model”, dlam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning
Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm.
279-291.Oregon: Productivity Press.
Marquardt, Michael & Reynolds, Angus. 1994. The Global
Learning Organization. NewYork: Richard D. Irwin.
Schein, E. H. 1992. Organisational Culture and Leadership,
Jossey Bass Publishers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar