Pengolahan dan pemasaran hasil pertanian diarahkan
untuk mewujudkan tumbuhnya usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan harga
yang wajar di tingkat petani, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka strategi yang perlu
ditempuh antara lain: (a) meningkatkan mutu produk dan mengolah produksi
menjadi bahan setengah jadi, (b) meningkatkan harga komoditi hasil pertanian
dan pembagian keuntungan (profit sharing) yang proporsional bagi petani, (c)
menumbuhkan unit-unit pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang dikelola
oleh kelompok tani/gabungan ketompok tani atau asosiasi tanaman pertanian, (d)
meningkatkan efisiensi biaya pengolahan dan pemasaran serta memperpendek mata
rantai pemasaran, (e) mengurangi impor hasil petanian dan meningkatkan ekspor
produk pertanian.
Upaya pengembangan pengolahan dan pemasaran produk pertanian yang akan dilaksanakan antara lain: (1) pengembangan dan penanganan pascapanen dengan penerapan manajemen mutu sehingga produk yang dihasilkan sesuai persyaratan mutu pasar, dalam kaitan tersebut diperlukan pelatihan dan penyuluhan yang intensif tentang manajemen mutu, (2) pembangunan unit-unit pengolahan di tingkat petani/gapoktan/asosiasi, (3) pembangunan pusat pengeringan dan penyimpanan di sentra produksi produk hasil pertanian, (4) penguatan peralatan mesin yang terkait dengan kegiatan pengolahan dan penyimpanan komoditi pertanian, antara lain alat pengering (dryer), corn sheller (pemipil), penepung, pemotong/pencacah bonggol, mixer (pencampur pakan), dan gudang, (5) penguatan modal, (6) pembentukan dan fasilitasi sistem informasi dan promosi, serta asosiasi komoditi pertanian, dan (7) pengembangan industri berbasis hasil pertanian produk dalam negeri.
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan agribisnis, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Daya saing komoditas Indonesia masih lemah, karena selama ini hanya mengandalkan keunggulan komparatif dengan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau bersifat natural recources-based dan unskilled-labor intensive.
Departemen Pertanian telah menetapkan 17 komoditas yang menjadi prioritas pembangunan pertanian lima tahun mendatang (2005 – 2010) yaitu: padi, jagung, kedelai, kelapa, cengkeh, tanaman obat, pisang, jeruk, bawang merah, angrek, sapi, kambing dan domba, unggas, kelapa sawit, karet dan kakao. Dari empat belas komoditas yang menjadi mandat prioritas Puslitbang/Balai Besar yang berada di bawah Badan Litbang Pertanian, teridentifikasi 7 komoditas yang memiliki prospek untuk dikembangkan agroindustrinya yaitu: padi, jagung, kelapa, cengkeh, pisang, jeruk dan hasil ternak.
Padi, pengembangan pascapanen beras lima tahun
mendatang masih di titik beratkan pada perbaikan kualitas gabah dan beras serta
pemanfaatan hasil samping dan limbahnya, karena produksi padi nasional sudah
terserap untuk kebutuhan pokok. Dari volume produksi padi nasional sebesar
51,85 juta ton pada tahun 2003, akan diperoleh hasil samping berupa beras patah
dan menir sebesar 12,30 juta ton (25 %) yang dapat dimanfaatkan untuk produksi
tepung beras, dan limbah sekam sebesar 1,36 juta ton (20%). Penggunaan sekam
umumnya untuk bahan bakar bata, campuran pembuatan bata, genteng, grabah dan
media tumbuh.
Bila produksi tepung beras diproyeksikan sebesar 1 persen dari total potensi beras patah dan menir yang tersedia, maka akan dihasilkan tepung beras sebesar 0,13 juta ton/tahun. Harga tepung beras Rp. 4000/kg, berarti nilai ekonomi produk tepung beras tersebut mencapai Rp. 520 milyar/tahun. Dari total potensi sekam sebesar 10,36 juta ton, bila diproyeksikan sebesar 10 % dapat dimanfaatkan untuk arang sekam, akan dihasilkan arang sekam sebanyak 0,62 juta ton/tahun (rendemen 60%). Harga arang sekam Rp. 750/kg, berarti nilai ekonomi produk arang sekam tersebut mencapai Rp. 465 milyar/tahun.
Untuk meningkatkan mutu beras dan gabah, dibutuhkan sarana dan prasarana penanganan pascapanen mulai dari panen, perontokan, pengeringan, penggilingan dan sarana penunjang. Dibutuhkan mesin perontok padi (Power thresher) sebanyak 336.852 unit (masa usia teknis 5 tahun) dengan biaya investasi Rp.2.56,- trilyun. Perlu dilakukan peremajaan alat penggilingan padi, yang jumlahnya saat ini mencapai 110.611 unit dengan usia alat 10 tahun, maka diperlukan biaya investasi sebesar Rp. 100,3 trilyun. Diperlukan mesin pengering padi sebanyak 110.611 unit dengan biaya investasi sebesar Rp. 3,37 trilyun. Kebutuhan lantai jemur seluruh Indonesia sebanyak 110.611 unit (kapasitas 5 ton/300m2, usia teknis 5 tahun) dengan biaya investasi sebesar Rp.2.21 trilyun. Total kebutuhan biaya investasi untuk kegiatan pascapanen padi dalam sepuluh tahun sebesar Rp. 188 trilyun.
Jagung, pemanfaatan teknologi pengolahan jagung berpeluang meningkatkan nilai komoditas jagung tidak hanya sebagai sumber pakan tetapi dapat diolah menjadi berbagai produk pangan yang bernilai ekonomi seperti corn-flake, pop-corn, tepung jagung, pati jagung dan minyak jagung. Pati jagung potensial mensubstitusi terigu maupun tapioka dari 20-100%. Jika pati jagung menggantikan 10% saja, maka diperlukan 0,3-1,0 juta ton pati jagung per tahun. Pascapanen jagung selama ini masih dkerjakan secara tradisional. Dengan teknologi yang ada (existing technology), maka diperlukan investasi teknologi baik untuk pengolahan jagung di sektor hulu maupun hilir. Untuk pengembangan industri pati jagung, dibutuhkan investasi mencapai Rp 80-160 miliar.
Jeruk, produksi jeruk nasional mencapai 1,6 juta ton (70-80 % jeruk siam) dengan nilai perdagangan sebesar Rp. 3,3 triliun, tetapi Indonesia masih mengimpor jeruk segar dan hasil olahannya seperti konsentrat dan instant jeruk dan flavor lemonen. Teknologi penanganan jeruk segar untuk ekspor masih sederhana, perlu ditingkatkan dengan membanjirnya jeruk impor dan meningkatnya tuntutan konsumen terhadap mutu jeruk segar. Teknologi pengolahan juicing perlu dikembangkan di Indonesiai untuk memanfaatkan kelebihan produksi jeruk, maupun untuk mengurangi jeruk kualitas rendah di segmen pasar jeruk segar.
Industri produk antara (pure juice dan konsentrat) yang dikembangkan tidak hanya menguntungkan industri hulu tetapi juga bisa memacu pertumbuhan industri hilir (sirup, jam, jeli, sari buah, dsb). Total kebutuhan investasi untuk pengembangan agroindustri jeruk hingga tahun 2010 mencapai 3,08 triliun rupiah.
Pisang, industri pengolahan pisang di Indonesia selain mampu memasok pasar domestik dan juga sudah mulai mengekspor. Namun terbatasnya daya serap pasar domestik dan persaingan pasar yang semakin ketat, sehingga kesinambungan industri pengolahan masih kurang lancar. Sebagai makanan, buah pisang dapat diolah mejadi beragam produk yang lezat antara lain, seperti : kripik, ledre, getuk jus, puree, sale, jam, dan pisang goreng/bakar. Buah pisang juga dapat diolah menjadi tepung, makanan bayi, cuka, cider (wine) dan sirup glukosa. Hampir sebagian besar produk ini sudah diproduksi skala komersial (UKM).
Bahan baku pisang merupakan faktor utama yang harus terjamin baik kuantitas maupun kontinuitas. Kebutuhan pisang untuk industri pengolahan skala rumah tangga (10-50 kg/hari), skala UKM kripik (100-120 kg/hari), sale (1,5-2 ton/bln), ledre (70-120 kg/hari), puree (300-500 kg/h) dan tepung (700-1000 kg/minggu). Skala besar, membutuhkan kapasitas + 10-12 ton pisang segar/hari. Untuk melayani pasar dalam negeri terutama pasar-pasar swalayan dan luar negeri, kultivar pisang yang disenangi adalah kelompok cavendish. Untuk memenuhi kebutuhan buah dan produk olahan pisang untuk ekspor pada tahun 2010 diperkirakan memerlukan areal pertanaman sekitar 5.000-6.000 ha atau dibutuhkan sekitar 5-7 perusahaan skala besar. Industri pengolahan pisang skala besar lebih diarahkan pada industri tepung (1,5-2 ton/minggu), puree (600 kg – 1,5 ton/hari) dan jam (1-2 ton/hari), karena untuk memproduksi produk-produk tersebut diperlukan peralatan khusus yang cukup mahal. Kebutuhan bahan baku diperkirakan mencapai 60.000 ton per tahun.
Kelapa, komoditas kelapa memiliki berbagai macam kegunaan baik untuk industri pangan maupun non-pangan. Pengembangan produk utama, produk turunan, dan produk samping dari kelapa ditujukan untuk mengejar perolehan nilai tambah domestik (retained domestic value added) secara maksimal. Dari pohon industri kelapa yang mempunyai prospek pasar meliputi nata de coco, minuman isotonik air kelapa, desiccated coconut, santan kelapa, virgin coconut oil, pakan ternak, arang tempurung, arang aktif, tepung tempurung kelapa, serat sabut kelapa, dan produk turunan (oleokimia) dari virgin coconut oil (minyak kelapa murni). Harga minyak kelapa murni sesuai standar CODEX Alimentarius di pasar internasional mencapai US $ 9 per kg, jauh di atas harga minyak goreng.
Air kelapa merupakan cairan yang mempunyai kandungan gizi, terutama mineral, yang sangat baik untuk tubuh manusia, sehingga air kelapa berpotensi dijadikan minuman isotonic drink. Permintaan terhadap produk santan kelapa dan desiccated coconut dimasa datang akan meningkat terutama untuk konsumsi dalam negeri, seiring dengan terjadinya perbaikan ekonomi domestik dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang lebih mementingkan segi kepraktisan.
Sebagian agroindustri kelapa dapat dikembangkan dalam skala industri kecil dan sebagian dalam industri besar. Beberapa jenis produk agroindustri kelapa dapat dikembangkan dalam bentuk kluster antara industri kecil dengan industri menengah seperti industri sabut kelapa (industri kecil) dengan industri finishing serat sabut kelapa (industri menengah), industri arang tempurung (industri kecil) dengan industri arang aktif (industri menengah). Agroindusti oleokimia dari kelapa merupakan industri teknologi tinggi, dan diproyeksikan akan dapat dilaksanakan lima tahun mendatang. Total kebutuhan investasi untuk pengembangan agroindustri kelapa selama 5 tahun diperkirakan mencapai Rp. 1,8 trilyun.
Cengkeh, produksi bunga cengkeh Indonesia sebagian besar (80-90%) diserap oleh industri rokok kretek, sisanya untuk industri rempah-rempah lokal dan diekspor. Potensi tanaman cengkeh yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah daun cengkeh (daun gugur) dan tangkai bunga. Produk olahan yang dapat dihasilkan dari bunga, daun dan tangkai bunga/gagang adalah (1) minyak cengkeh, (2) eugenol yang diisolasi dari minyak cengkeh dan (3) senyawa derivat dari eugenol. Produksi minyak cengkeh terutama menggunakan bahan baku daun gugur, telah lama dilakukan oleh pengusaha Indonesia. Skala usahanya umumnya skala Usaha Kecil Menengah (UKM) yang lokasi produksinya di sentra tanaman cengkeh terutama di Jawa dan Sulawesi Utara. Pasokan minyak cengkeh Indonesia ke pasar dunia sebesar 1.317 ton atau sekitar 60% kebutuhan dunia. Eugenol yang terdapat dalam minyak cengkeh merupakan bahan baku yang banyak dipakai dalam industri kesehatan gigi (obat kumur, pasta dan formulasi bahan penambal gigi), sebagian kebutuhan eugenol di dalam negeri masih diimpor. Untuk investasi agroindustri minyak cengkeh pada periode 2005-2010, diperlukan 600 unit pengolahan minyak cengkeh. Perkiraan biaya investasi setiap unit usaha penyulingan dengan kapasitas ketel suling 5.000 liter tersebut sebesar Rp. 158.000.000,- , dengan total kebutuhan investasi untuk 600 unit usaha adalah Rp. 94.800.000.000,-.
Hasil Ternak, produk olahan ternak yang cukup potensial dan prospektif dikembangkan di Indonesia adalah kulit samak dari sapi, kambing dan domba serta kulit bulu (fur) domba samak, dan bulu itik. Kebutuhan kulit dunia cukup tinggi, hal ini merupakan peluang dan prospek yang cukup besar bagi pengembangan industri penyamakan kulit (baik kulit sapi maupun domba dan kambing). Bulu unggas khususnya itik memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Peluang dan prospek itik untuk menghasilkan bulu (down feather/bulu halus, small feather, bulu kasar) cukup besar. Bulu itik yang halus (down feather) setelah mengalami prosesing mempunyai nilai jual ekspor yang tinggi yaitu sebesar 9-11 Euro per kg (1 Euro = Rp. 9.500
Sumber : Diposkan
oleh Mustafa
A. Tohan, SP., MP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar