Kamis, 03 Januari 2013

Sukses: 20% skill, 80% attitude!


Dalam suatu kesempatan di Nagoya, Jepang saya sempat bertemu salah satu executive Toyota Corp. Ketika saya bertanya, apakah yang paling anda perhatikan dalam menerima atau mempromosikan karyawan anda? Dengan lugas dia menjawab, “pertama Attitude, kedua, attitude, ketiga, attitude!” “kemudian baru skill”.  Jelasnya lebih lanjut. Saya agak surprise juga dengan jawabannya.  Kenapa attitude begitu penting?

Banyak lulusan baru (universitas) yang menyamakan antara “skill” mereka dengan gelar atau kualifikasi yang mereka miliki. Memang benar, apa yang anda telah pelajari dan apa yang dapat anda lakukan adalah berhubungan, tetapi ini tidak sama.

Suatu “skill” adalah kapasitas yang berkembang, kemampuan untuk memutuskan, kombinasi antara know-how, praktik, pengetahuan, dan kecerdasan.
Jangan menginterpretasikan skill secara sempit berdasarkan disiplin ilmu anda. Berpikirlah dalam kerangka transferrable skill atau multi-skill. Bagaimana ilmu pengetahuan dan kompetensi yang anda peroleh dari universitas bisa diterapkan ditempat kerja?

Skill seperti apakah yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan asing dalam menerima calon karyawan mereka? Walaupun sebenarnya hal ini bervariasi dari satu industri ke industri lain, atau satu pekerjaan dengan pekerjaan lain, tetapi ada beberapa nilai-nilai yang sama yang diinginkan oleh parusahaan ini terhadap karyawan mereka. Nilai akademis memang penting, tetapi itu bukan segalanya.


Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Pada proses recruitment karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skill-nya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirement-nya. Saat menerima karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skill-nya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutmen „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa: hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skill-nya yang baik.

Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.***


sumber:
kompasiana, opini..2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar