Rabu, 02 Januari 2013

Pembangunan Inklusif

Tidak perlu pula kita menutup mata bahwa dalam satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil telah membawa Indonesia masuk ke peringkat negara berpendapatan menengah dengan ciri-ciri penghasilan USD3.000 per kepala.

Masih perlu syarat untuk memenuhi negara berpendapatan menengah atas (USD3.000-USD6.000). Indikator lainnya, juga seiring dengan kenaikan penghasilan masyarakat, di antaranya menurunnya angka pengangguran terbuka mendekati enam persen dari semula sekira sembilan persen di 2000, berkurangnya angka kemiskinan mendekati 12 persen yang semula sekira 16 persen pada 2000. Memang banyak juga yang menyangsikan dampak dari kenaikan penghasilan masyarakat tidak diiringi dengan pemerataan penghasilan.

Dalam rentang waktu yang sama angka ketimpangan pendapatan masyarakat dari ukuran indeks gini naik dari sekira 0,3 menjadi 0,4 pada 2012. Ketimpangan pembangunan daerah juga meningkat jika diukur melalui Indeks Williamson. Ketimpangan infrastruktur ekonomi dan kemajuan sumber daya manusia antara Jawa dengan luar Jawa. Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian masih jauh tertinggal. Tapi ketimpangan juga terlihat di dalam pulau-pulau utama.Di Sumatera, terpusat kemajuan pembangunan pada daerah timur Sumatera dibandingkan dengan wilayah barat Sumatera.

Kalimantan Timur jauh meninggalkan daerah Kalimantan lainnya. Daerah dan rumah tangga yang tertinggal dari segala segi membutuhkan pembangunan inklusif. Kemajuan capaian hasil-hasil pembangunan lambat, terutama pada rumah tangga marginal serta penduduk yang tinggal pada daerah yang secara geografis tidak beruntung, di antaranya daerah tertinggal, terpencil, perbatasan (Galciltas), serta pulau-pulau dan pesisir.

Dalam konsepsi pembangunan inklusif, selain pembangunan infrastruktur, ekonomi, pembangunan kesehatan dan pendidikan memerlukan strategi khas. Strategi yang dapat menjamin keterjangkauan yang dirasakan oleh kelompok rumah tangga yang tinggal di daerah itu. Agenda yang mesti mendapatkan perhatian khusus menjelang berakhirnya target capaian Millennium Develompment Goals(MDGs). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa tidak selalu ketertinggalan disebabkan soal keuangan.

Propinsi NAD dan Papua,dua contoh provinsi yang di dalamnya dana alokasi khusus (DAK) dan penambahan daerah otonomi khusus (DOK) yang relatif lebih banyak ternyata digunakan untuk kepentingan memenuhi biaya rutin dan recurrent cost, di samping tingkat korupsi yang juga tinggi.

Pembiayaan yang begitu besar selama lima tahun terakhir untuk daerah yang selama ini tertinggal tidak saja mudah untuk mengatasi ketertinggalan, tetapi juga catching up dengan daerah lain mengingat desain dari pembangunan dan prioritas mesti disesuaikan dengan persoalan pembangunan daerah setempat sehingga format pembangunan mesti dilakukan berbeda dengan daerah yang selama ini bercirikan normal.

Format Pembangunan Inklusif

Pembangunan inklusif membutuhkan upaya untuk mendeteksi akar masalah yang tidak dapat digeneralisasi sama dengan daerah lain dalam kondisi normal. Wilayah dan rumah tangga yang mendiami daerah yang berkarakter tertinggal, terpencil, perbatasan, pulau-pulau di pesisir memerlukan restorasi dari akar masalah tematik yang ditemukan.

Setidaknya pembangunan inklusif yang lebih terfokus untuk mengatasi ketertinggalan dapat ditujukan pada pembangunan pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan ekonomi. Pertama, pada bidang pendidikan persoalan utama ditemukan pada sulitnya mencapai akses akan pelayanan pendidikan, apalagi peningkatan kualitas. Pembangunan pendidikan selama ini sebaiknya dikoreksi dengan lebih mendayagunakan sumber daya yang ada dengan mempertajam penyediaan pendidikan layanan khusus (Mudjito, Harizal dan Elfindri, 2012).

Diperlukan penanganan khusus agar keberlangsungan pendidikan anak-anak yang mendiami daerah tematik disesuaikan pula dengan menyiapkan masa depan agar dengan pendidikan mereka mampu semakin mandiri. Kedua, pada bidang kesehatan, penyediaan layanan kesehatan pada daerah tematik mestilah meramu tiga hal. Meningkatkan keterjangkauan layanan dan teknologi kesehatan, saat bersamaan meningkatkan akses akan input kesehatan dan kampanye tingkah laku yang kondusif terhadap hidup bersih dan gizi seimbang.

Jika selama ini penyediaan layanan kesehatan pada puskesmas serta unit pelayanan lebih rendah pada tingkat komunitas, pada pembangunan inklusif kesehatan diperlukan pula pelayanan yang terintegrasi antara pendidikan dan pelayanan kesehatan. Ketiga, apalagi pada aspek kependudukan, angka kelahiran relatif masih tinggi. Selain pasangan usia subur (PUS) memiliki pendidikan rendah, capaian ekonomi rendah,angka ketidakterjangkauan PUS yang ingin mengatasi kelahiran masih cukup tinggi di kisaran 11-12 persen, konfirmasi dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012.

Jangkauan akan kepastian program Keluarga Berencana pada daerah sulit adalah suatu yang besar manfaatnya dalam jangka panjang. Keempat, infrastruktur desa, seperti pasar dan jalan, juga perlu dilakukan pemetaan saat bersamaan dengan pembangunan ekonomi. Sudah saatnya penataan pembangunan ekonomi pada daerah terbelakang dilakukan secara terfokus. Desentralisasi dan pemekaran daerah baru tampaknya belum prima menjangkau daerah tematik, kecuali program yang secara terpusat dilahirkan.

Hingga kini belum terdata seberapa banyak daerah yang secara geografis tidak layak dipertahankan untuk hidup penduduk, khusus jika dilihat dari efisiensi penyediaan infrastruktur seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi. Pengosongan daerah yang tidak layak dengan sistem transmigrasi lokal masih memungkinkan untuk diusulkan ulang. Pembangunan inklusif dengan terobosan-terobosan khas memerlukan renungan, rumusan, dan tindakan yang progresif hendaknya.

ELFINDRI
Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas (Koran SI/Koran SI/ade
sumber:
http://economy.okezone.com/read/2013/01/02/279/740087/pembangunan-inklusif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar