Mengikuti acara semacam ini sungguh tanpa dipikir terlebih dahulu, hanya iseng mengisi waktu luang karena untuk sementara pengangguran sebagai mahasiswa tingkat akhir yang menunggu mulai penelitian dengan kegiatan bermanfaat. Pikirku diawal ini hanya acara seminar biasa yang disajikan pihak kemahasiswaan IPB. Pas masuk ke auditorium yang disulap menjadi studio tv agak kaget, nah loh kok banyak kamera dan orang-orang pake earphone sibuk? Dingdong… kompas TV? Lah kan (kata temen gw) di tiket ada bacaan kompas TVnya, tiketnya Cuma diambil dan disimpen sih, ga dibaca..hehe, pantesan audience diminta memakai almamater segala, terus ga nyangka lagi itu pejabat kampus ada semua dalam acara talk show, ada rector, dekan fakultas, pakar pertanian, ekonom dan lain-lain. Ternyata gw kesasar ke acara keren nih, narasumbernnya keren semua dan wawasan yang didapat pastinya berbobot.
Acar dimulai pukul 10 lewat 5 menit, sebelum acara dimulai ada sambutan dari rector IPB, menyanyikan lagu Indonesia raya dan lagu mars IPB (ga masuk TV ini mah). Setelah ritual awal (sambutan dan nyanyi) ada pengarahan dari pihak kompas TV tentang jalannya acara.
Tema yang diangkat tentang riset ketahan pangan. Tema ini jelas sangat pas dibawakan di IPB, berhubung kampus ini merupakan kampus pertanian terbesar di Indonesia yang banyak berperan dalam bidang pertanian.
Pangan merupakan hal yang sangat krusial, pangan merupakan pilar ketahanan nasional dan pembangunan untuk sector lain. Pangan juga merupakan hak asasi manusia, dan jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi berarti ada pelanggaran hak asasi oleh negara dan ini tertuang dalam Undang-undang. Bahkan presiden RI 1 menyatakan bahwa pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa.
Salah satu bahan pangan yang paling popular tentu saja adalah beras. Masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan beras, semua orang di negeri ini makan nasi. Bahkan ada guyonan bahwasannya kalau belum makan nasi itu belum makan, walaupun sudah makan roti, kue atau buah. Makan ya nasi, kalau bukan nasi ya bukan makan namanya.
Tingginya konsumsi beras dalam negeri tidak sebanding dengan ketersediaan beras dalam negeri, sehingga terjadi defisit. Konsumsi beras nasional mencapai angka 125,3kg/kapita/tahun, jumlah konsumsi yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketersediaan yang kurang menimbulkan permasalah ekonomi yang cukup pelik karena otomatis akan menaikan harga beras. Rakyat menjerit karena harga beras yang tinggi. Impor menjadi solusi sementara untuk keadaan demikian, tapi tidak bisa selamannya tergantung dengan import. Pada tahun 2009 indonesia melakukan import beras sebesar 5juta ton. Konsep ketahanan pangan merujuk kepada kemandirian Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mecapai ketahan pangan, salah satunnya melalui riset dan teknologi. Salah satu solusi dengan melakukan diversifikasi beras dengan bahan pangan lain yang ketersediaannya melimpah seperti singkong. IPB menawarkan solusi lain berupa pembuatan beras analog yang berpotensi baik bagi kesehatan. Beras analog adalah beras yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar sperti singong atau sagu yang dibentuk menjadi beras dan dimasak sama seperti beras. Namun lagi-lagi masyarakat Indonesia hanya makan jika yang dimakan adalah nasi, selain itu ya bukan makan namanya.
Diskusi dimulai dengan mengidentifikasi masalah-masalah pangan mulai dari sempitnya lahan pertanian, masalah teknologi, pendanaan, infrastruktur dan masalah politik pertanian.
Setiap tahun sebanyak 1,5% lahan pertanin turun akibat pemukiman penduduk. Produktifitas padi di Indonesia (bogor) sudah mencapai 5ton/hektar, lebih tinggi dari thailand. Peningkatan produktifitas merupakan solusi untuk mencapai ketahanan pangan, disaat lahan pertanian Indonesia semakin menurun. Menurut hasil diskusi, jika Indonesia mampu meningkatkan produktifitas 6-7ton/hektar saja kondisi pangan nasional akan stabil. Peningkatan produktifitas hanya dapat dicapai dengan terus melakukan riset dan pengembangan teknologi pertanian.
Riset dilakukan agar dapat menghasilkan suatu temuan untuk meningkatkan produktifitas baik secara genetic, teknik budidaya, biotek, ataupun temuan lainnya. Persoalan riset saat ini adalah masalah keseriusan pemerintah dalam pendaan. Total anggaran riset hanya sebesar 0,07%, padahal UNESCO menyarakan anggaran sebesar 0,2% untuk riset. Sehingga perlu adannya investasi untuk keperluan riset. Sementara pemerintah enggan memeberikan dana yang besar untuk riset, swasta juga sebagai penikmat hasil-hasil riset juga tidak mau susah payah mengeluarkan dana investasi untuk keperluan riset.
Rendahnya pendanaan riset nasional untuk perguruan tinggi atau badan-badan riset lainnya disinyalir karena rendahnya gairah politik pertanian di perguruan tinggi. Hanya menerima dan di suruh dan tidak berusaha memperjuangkan anggaran dengan melobi pemerintah atau pembuat kebijakan. Dahulu, politik pertanian mungkin tidak terlalu penting karena ada pak harto (Presiden RI 1) yang senang dan focus ke pertanian, sehingga beliaulah yang memperjuangkan pertanian dan menghandle politik riset. Namun, untuk saat ini hanya sedikit orang yang peduli dan mau memperjuangkan pertanian dalam tataran kebijakan. Artinya, sector pertanian kekurangan SDM politik.
Selain persoalan pendanaan, adanya missing link juga perlu diatasi untuk mengefektifkan proses pencapaian ketahan pangan nasional. Missing link terjadi saat hasil-hasil riset entah siapa yang akan mengembangkan atau mengimplementasikannya. Banyak hasil riset yang dihasilkan perguruan tinggi, namun hasil riset tersebut hanya tersimpan rapi dalam lemari perpustakaan. Padahal riset tersebut dilakukan bukan tanpa dana dan tenaga. Pemerintah belum focus dalam menindaklanjuti (menyediakan jembatan) hasil-hasil riset yang berpotensi dapat membantu pemecahan masalah ketahanan pangan nasional. Masih belum ada...
sumber:
opini, Een nuraeni, 31/01/2003, kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar