Selasa, 05 Februari 2013

Belajar Dari Muhammad SAW Seorang Penggembala

Dalam mengarungi kehidupan, setiap manusia mestinya memiliki program masa depan yang akan diupayakan dalam mencapainya. Kerja merupakan salah satu tema sentral Islam dan telah banyak dibicarakan oleh para pakar dan ilmuwan. Jika dahulu, mayoritas orang memandang bahwa bertani, berdagang dan bernelayan adalah simbol kerja bagi bangsa dan masyarakat yang telah mencapai taraf hidup elit, adapun zaman sekarang, mayoritas orang berpandangan bahwa direktur perusahaan, karyawan bank dan aparat pemerintahanlah simbol kerja bagi elit masyarakat.


Seorang petani tidak akan pernah merasakan hasil panen dari usaha taninya, jika dia tidak mengatur dan mengolah pertaniannya. Begitu juga dengan seorang direktur perusahaan, tidak akan pernah mendapat laba keuntungan yang besar dari usaha perusahaannya, jika dia tidak mengerti bagaimana memanage perusahaannya. Demikian konsep manajemen kerja yang selalu menjadi persoalan kita. Kondisi masyarakat muslim Indonesia saat ini sangat memprihatinkan jika dilihat dari sisi semangat kerja. Kalau saja masyarakat muslim memperhatikan perjuangan Rasulullah Saw dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka akan ditemukan sebuah teladan yang semestinya menjadi contoh bagi mereka.
 
15 abad yang lalu di tanah Hijaz, dapat kita bayangkan bagaimana suasana, situasi dan kondisi masyarakat yang tidak dapat dibandingkan dengan sekarang. Tanah yang gersang dan padang pasir yang luas tidak menjadi hambatan mereka saat itu untuk meningkatkan taraf kehidupan. Untuk menaklukkan alam yang demikian kering dan adanya tuntutan keluarga untuk tampil bekerja, maka bermunculan bentuk-bentuk kerja kasar, yang akhirnya membentuk kepribadian kasar dan watak keras kepala masyarakat Arab saat itu. Selain usaha berdagang ke berbagai negeri, masyarakat Arab memilih usaha beternak sebagai pemenuhan terhadap tuntutan kehidupan. Kondisi dan situasi alam yang memaksa masyarakat Arab untuk beternak melahirkan sosok-sosok penggembala yang lihai dan terampil mengayomi hewan gembalaannya. Masyarakat Arab saat itu, tidak merasa malu untuk menggembalakan hewan ternaknya atau hewan ternak orang lain. Kondisi seperti inilah, membentuk semangat kerja dan kekerasan watak bangsa Arab saat itu.

Demikian juga dengan kehidupan Rasulullah Saw. Ketika kakeknya Abdul Mutthalib merasa ajalnya sudah dekat, maka ia mengumpulkan putra-putranya. Kepada mereka ia menyerahkan dan membagi-bagi tugas pekerjaan mengurus kepentingan penduduk Makkah dan kaum pendatang, yang berziarah ke kota suci itu. Ia risau memikirkan nasib hari depan cucu kesayangannya yang akan ditinggalkan, hidup sebatang kara di dunia ini, tanpa harta, tanpa ayah-ibu dan tanpa saudara. Karena itulah, ‘Abdul Mutthalib mewanti-wanti sembilan orang puteranya,  supaya sungguh-sungguh memperhatikan nasib cucunya, putra Abdulllah yang telah wafat mendahului mereka. 

Beberapa saat ‘Abdul Mutthalib berfikir, siapakan di antara putra-putranya itu yang hendak diberi kepercayaan penuh mengasuh Muhammad Saw. Akhirnya ia mengambil keputusan memilih Abu Thalib. Abu Thalib bukanlah putra sulung ’Abdul Muthalib, bukan pula yang terkaya di antara saudaranya-saudaranya. Namun, walau begitu, dialah yang lebih dimuliakan dan dihormati orang-orang Quraisy. Karenanya, tidak aneh kalau ‘Abdul Mutthalib memilihnya sebagai orang yang akan diserahi tugas mengasuh cucu kesayangannya. Kepadanya ‘Abdul Mutthalib berpesan supaya mengasuh, menjaga dan melindungi Muhammad Saw, dengan hati-hati dan memandang beliau sebagai anak kandungnya sendiri. 

Di bawah naungan dan asuhan Abu Thalib beserta istrinya, Fatimah binti Asad. Muhammad Saw sama sekali tidak merasa hidup terasing dalam pergaulan sehari-hari, dan tidak merasakan kemalangan hidup sebagai anak yatim yang tidak berharta. Fatimah binti Asad sendiri demikian hati-hati dan sangat kasih serta sayangnya kepada beliau Saw. hingga pada musim paceklik berat, yang mengakibatkan banyak orang mati kelaparan, ia lebih mengutamakan makanan bagi beliau Saw dan tega membiarkan anak-anaknya sendiri kelaparan. Demikian besar kasih sayang Fatimah binti Asad kepada putra asuhannya itu, sejak masih kanak-kanak hingga dewasa. Muhammad Saw sendiri, tidak pernah melupakan budi baik dan jasa-jasa Fatimah binti Asad, yang dengan perlakuannya itu, beliau lupa akan kemalangan nasib ditinggal wafat ayah, ibu dan datuknya. Ketika isteri Abu Thalib itu wafat, beliau Saw menangisinya dan sambil mengucurkan airmata beliau berkata : “Hari ini, ibuku wafat!”. Beliau Saw mengkafani jenazah Fatimah binti Asad dengan jubah beliau sendiri, bahkan turun ke dalam liang lahat dan berbaring di samping jenazahnya. Ketika seorang sahabat bertanya mengenai perlakuan yang tidak biasa diberikan kepada orang lain itu, beliau menjawab : “Dia ibuku, ia membiarkan anak-anaknya sendiri lapar dan memberi makan kepadaku, selama hidup di bawah naungannya aku tidak pernah merasa malang sebagai anak yatim”. 

Dengan inayah dan perlindungan Allah Swt, sejak usia kanak-kanak hingga dewasa Muhammad Saw bersih sama sekali dari kotoran adat istiadat buruk jahiliyah. Ibnu Ishaq mengetengahkan sebuat riwayat yang diterimanya dari Muhammad ibn al-Hanafiyah dan berasal dari ayahnya (Imam Ali ibn Abi Thalib r.a) yang mengatakan sebagai berikut, “aku mendengar sendiri Rasulullah Saw, berkata : aku tidak pernah tertarik oleh perbuatan yang lazim dilakukan orang-orang jahiliyah kecuali 2 kali, namun dalam dua kali itu, Allah Swt menjaga dan melindungi diriku. Ketika aku masih bekerja sebagai pengembala kambing bersama teman-temanku, pada suatau malam, kukatakan kepada seorang dari mereka : “awasilah kambing gembalaanku ini, aku hendak masuk ke kota Makkah untuk turut bergadang seperti yang biasa dilakukan oleh kaum pemuda”. Ia menjawab : “Baiklah !”. Aku kemudian pergi. Setiba di Makkah kudengar bunyi rebana dan seruling dari dalam sebuah rumah yang sedang menyelenggarakan pesta. Ketika kutanyakan kepada seseorang  yang berda di dekat rumah itu, ia menjawab, bahwa, itu pesta perkawinan si fulan dengan si fulanah. Aku lalu duduk hendak mendengarkan, tetapi kemudian Allah Swt, membuatku tertidur dan tidak mendengarkan apa-apa. Demi Allah, aku baru terbangun dari tidurku setelah disengat oleh panas matahari. Aku lalu segera kembali menemui temanku. Ketika ia bertanya apa yang aku lakukan tadi malam, kepadanya kuceritakan apa yang terjadi pada diriku pada malam itu…”. 

“Pada malam yang lain terjadi pula peristiwa yang sama”. Demikian Imam Ali ibn Abi Thalib ra meriwayatkan apa yang didengarnya sendiri dari Rasulullah Saw yang kemudian menegaskan : “Demi Allah, sejak itu aku tidak pernah mengulang hal-hal tersebut, hingga tiba waktu Allah Saw mengaruniakan kenabian kepadaku”. 

Dikala Muhammad Saw masih kanak-kanak, kendati belum mencapai usia remaja, beliau sudah rajin bekerja. Beliau lebih menyukai pekerjaan mengembala kambing, karena dengan pekerjaan itu beliau dapat bergaul langsung dengan anak-anak kaum miskin yang tidak biasa menyombongkan diri seperti orang-orang jahiliyah, yang gemar membangga-banggakan kehormatan, kekayaan dan lain sebagainya. Ketika itu, beliau Saw bekerja sebagai pengembala kambing kepunyaan orang-orang bani Sa’ad, bersama saudara susuannya, anak lelaki Halimah As-Sa’diyyah. Pekerjaan itu, beliau rasakan ringan dan santai serta mendatangkan ketenteraman jiwa. Sambil mengembala kambing, beliau Saw leluasa menikmati keindahan gurun sahara, dan secara langsung dapat menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah Swt, melalui jagat raya ciptaanNya. Selain itu, juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada beliau, untuk menghadapkan diri bermunajat kepada Allah Swt di malam hening bermandikan cahaya bulan, teriring tiupan angin lembut, yang menggerakkan pepohonan dan tampak dari kejauhan. Lebih penting lagi,  karena pekerjaan pengembala kambing, memberikan pendidikian dan latihan jiwa kepada beliau Saw, seperti sabar, tabah, kasih sayang, serta menolong makhluk yang lemah. 

Tidaklah mengherankan, kalau pekerjaan mengembala kambing merupakan salah satu bentuk pendidikan yang diberikan Allah Swt, kepada para nabi agar mereka dengan rasa cinta kasih dapat memimpin makhluk yang sesat dan mengembalikan lagi ke dalam masyarakatnya. Ibnu Ishaq meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Saw pernah menjelaskan : “Setiap nabi pernah mengembala kambing”. Seorang sahabat bertanya : “apakah anda demikian juga, ya Rasulullah ?” beliau menjawab : “ia, aku juga !”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah menegaskan : “Musa As diangkat sebagai nabi dalam keadaan mengembala kambing, Daud As dianggat sebagai nabi dalam keadaan sedang mengembala kambing dan akupun diangkat menjadi nabi sebagai pengembala kambing juga!”.

Demikian besarnya hikmah sebagai seorang pengembala kambing. Bahkan hampir semua rasul dan nabi pernah bekerja sebagai pengembala kambing. Ada satu hikmah tersembunyi yang tidak pernah digali orang tentang pekerjaan nabi sebagai pengembala kambing. Watak dari kambing biasanya sering membuat kelompok-kelompok. Oleh karenanya, seorang pengembala mesti pandai melihat dan mengayomi kelompok-kelompok kambing tersebut. Menjadi seorang penggembala, bagi para rasul dan nabi Allah Swt merupakan wadah latihan dan kaderisasi bagaimana cara memimpin dengan benar dan baik. Jika seseorang telah mampu menundukkan hewan yang tidak berakal di bawah perintah dan larangannya, tentunya menjadi sangat mudah untuk mengatur dan mengurusi manusia yang sering disebut sebagai hewan yang berakal. 

sumber:
 http://pesantren.uii.ac.id/content/view/55/53/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar