Pernah makan di KFC? Pertanyaan yang ga perlu dijawab sebenarnya.. Sama saja seperti saya nanya: pernah minum coca cola? Tujuan saya bukan menanyakan itu.. Coba perhatikan, apakah pemilik KFC itu nongkrong nungguin usahanya?
Beberapa teman saya, memilih menjadi pengusaha, bukan karena sekedar ingin menjadi kaya.. Kalau sekedar ingin menjadi kaya, semua bidang lain bisa menjadi kaya.. Pegawai kaya? Banyak. Lihat saja Gayus Tambunan.. (hush! koq Gayus yg dijadikan contoh?). Atau lihat para pegawai lain yang sudah mencapai posisi yang tinggi di perusahaannya.. Cukup banyak pegawai yang berpenghasilan bersih di atas 20 juta per bulan, sehingga bisa kita kategorikan kaya..
Wirausaha kaya? Banyak. Dokter spesialis yang kaya bertaburan di seluruh Indonesia.. Artis apalagi. Banyak yang penghasilannya puluhan juta, bukan per bulan, tapi per jam.. Eh, sebentar, memangnya apa bedanya pengusaha dengan wirausaha?
Menurut Robert Kiyosaki, pengusaha dan wirausaha sama-sama tidak bekerja di bawah perintah orang lain.. Mereka sepenuhnya bekerja untuk dirinya sendiri.. Perbedaannya? Setahun. Maksudnya?
Pengusaha, jika ia berhenti total bekerja selama setahun, maka usahanya akan tetap berjalan, bahkan mungkin makin maju.. Sementara wirausaha, tidak. Jika wirausaha bekerja, ia dapat pemasukan. Jika ia berhenti bekerja, maka pemasukannya juga berhenti. Jadi sebenarnya mudah saja untuk mengukur, apakah kita masih termasuk wirausaha, atau sudah masuk kelompok pengusaha.. Coba besok pagi kemas-kemas, kemudian pergi wisata keliling Indonesia, kemudian akhirnya menetap di Papua untuk belajar memanah.. Lalu sambil memakai koteka, coba kita kembali ke rumah setahun kemudian, dan tinjau usaha kita.. Kalau ternyata usaha kita ambruk, dan rumah kita sudah dipasang plang rumah ini dijual oleh bank untuk bayar utang, berarti kita masih masuk kelompok wirausaha..
Nah, inilah salah satu daya tarik pengusaha: pensiunnya.. Beda dengan pegawai, di mana saat pensiun, penghasilan sering kali terpotong menjadi kurang dibawah setengah gaji, sementara mereka sudah terbiasa dengan gaya hidup bergaji penuh selama puluhan tahun. Tidak heran saya cukup sering melihat para pensiunan pegawai yang pusing memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang akhirnya malah menggantungkan hidup pada anak-anaknya.. Saya rasa, hidup di bawah belas kasihan orang lain, walaupun itu anak kita sendiri, tidaklah sehat.. Anak-anak kita kelak, sudah punya tanggung jawab sendiri, untuk menghidupi keluarganya..
Nah pertanyaannya, bagaimana caranya pindah dari wirausaha menjadi pengusaha, sehingga penghasilan kita tetap, atau bahkan meningkat, walau kita sudah berhenti bekerja? Jawabnya cuma satu: sistem.
Saya punya langganan bakso, dari sejak tahun 90an sampai sekarang.. Dari sejak pertama saya kali makan di sana, sampai sekarang puluhan tahun kemudian, yang saya temui tetap sama: lokasi sama, besar warung tetap sama, tidak punya cabang, bahkan sang pemilik masih tetap nongkrong di meja kasir yang sama, hanya saja sudah bertambah tua.. Saya cukup heran: baksonya enak, warungnya selalu ramai, harganya masuk akal, pelayanannya cukup bagus, dan sudah cukup terkenal di Medan, kenapa sepertinya tidak ada perkembangan? Pernah saya iseng tanya ke bapak tua pemiliknya: “Kenapa ga dikembangkan usahanya pak? Minimal buka cabang satu lagi?” Bapak itu menjawab dengan senyuman lebar khasnya: “Walah mas, ngurus satu aja sudah habis waktu saya.. Mana sanggup saya ngurus dua warung sekaligus?”
Lha, kembali ke awal cerita ini: memangnya para pemilik KFC itu kerjanya nongkrong di warung KFCnya? Saya yakin ada beberapa cabang yang dimiliki pemilik yang sama.. Pertanyaannya: kenapa usaha KFC bisa berkembang terus, walau tidak ditongkrongi, sementara usaha bakso bapak itu tidak berkembang sama sekali? Saya tidak bisa membayangkan seorang pengusaha, yang mempunyai 50 tempat usaha dengan berbagai jenis usaha yang berbeda di seluruh Indonesia, harus keliling-keliling nongkrongin 50 tempat usaha sekaligus.. Kenapa ada orang yang bisa punya banyak perusahaan, sementara ada orang yang kehabisan waktu hanya untuk mengurusi satu warung? Sekali lagi jawabnya sederhana: sistem.
Sistem, dalam bahasa awam, adalah sekumpulan hal-hal kecil yang distandarkan, yang jika dilakukan, akan membentuk kinerja.. KFC, sudah punya aturan standar yang jelas.. Kadang kita menyebutnya sebagai SOP (Standard Operating Procedure). Mulai dari cara melayani konsumen, pembukuan, tata interiornya, cara melatih pegawai, berapa lama ayam digoreng dan dalam suhu berapa derajat, bahkan sampai arah menyapu lantainya, semua sudah distandarkan.. Semua cabang KFC mempunyai sistem yang sama, dan semua sudah melalui riset yang mendalam.. Bahkan sampai pilihan warna kursi dan mengapa KFC menggunakan kaca tembus pandang sebagai dinding, semua melalui riset.. Sehingga, siapapun yang diberi tugas memimpin cabang tersebut, cabang tersebut tetap bisa berjalan dengan baik.. Sistemnya juga dibuat sedemikian rupa, sehingga potensi kecurangan pegawai juga bisa diminimalisir..
Itulah yang perlu kita lakukan jika ingin menjadi pengusaha: membentuk sistem. Tidak mudah? Iya. Kita harus meluangkan waktu untuk menemukan standar yang tepat untuk semuanya di dalam usaha kita, sama seperti KFC, lalu mengcopynya ke cabang yang baru.. Itupun belum tentu langsung berhasil, karena cabang yang baru berarti menemui masalah yang baru.. Semua usaha waralaba, seperti KFC dan Indomaret, terus menerus menyempurnakan sistemnya, sehingga diharapkan mampu menjawab masalah apapun yang muncul di cabang manapun.. Sehingga di beberapa negara, ada aturan bahwa sebuah jenis usaha baru boleh diwaralabakan setelah lima tahun berdiri.. Setelah lima tahun, diharapkan sistemnya sudah mapan, sehingga tidak ada pembeli hak waralaba yang dirugikan karena sistem yang masih coba-coba..
Dan, lebih dari itu, membentuk sistem berarti kita harus mampu untuk berbagi wewenang dan rezeki kepada orang lain.. Kita harus mampu mengikhlaskan cabang-cabang usaha kita dipimpin oleh orang lain, dan mengikhlaskan sebagian keuntungan untuk menggaji orang lain untuk mengawasi cabang-cabang kita.. Tapi coba renungkan, mana yang lebih baik, punya satu toko dengan penghasilan 20 juta rupiah, atau punya 10 toko dengan penghasilan masing-masing 5 juta rupiah? Tanpa kemauan dan kemampuan untuk berbagi, maka kita akan sulit sekali untuk sekedar mengembangkan 2 toko, apalagi sampai 10 toko..
Lalu kenapa kita harus susah payah membentuk sistem, kalau usaha kita sudah berhasil membuat kita kaya? Kenapa kita harus menginvestasikan uang, tenaga dan fikiran, jika sekarang saja usaha kita sudah cukup maju? Jawabnya mudah: kita tidak pernah tahu berapa lama kita diberi waktu oleh Tuhan berkarya di dunia ini.. Di zaman di mana banyak orang kena stroke atau penyakit jantung di usia 30an, bagaimana kita bisa berharap kita akan hidup selamanya? Jika suatu saat kita sakit keras dan tidak mampu bekerja lagi, atau bahkan meninggal, bagaimana nasib usaha kita? Atau pertanyaan yang lebih tajam: bagaimana nasib keluarga kita, yang mungkin menggantungkan hidupnya terhadap penghasilan kita? (apalagi jika kita adalah pegawai).. Banyak sekali wirausaha yang dikendalikan penuh oleh kebijakan pemiliknya, dimana sang pemilik adalah sistem itu sendiri, sehingga di saat pemiliknya meninggal, sistemnya ikut berpulang, dan akhirnya usahanya ikutan menutup mata..
Akhirnya, jika kita ingin meninggalkan warisan yang berharga untuk penerus kita, mari kita bentuk sistem.. Kita bisa memilih membangun sistem sendiri, atau membeli hak waralaba dari perusahaan-perusahaan yang sistemnya sudah mapan.. Yang manapun pilihan kita, ingatlah, bahwa semua susah payah itu demi masa tua kita, dan demi masa depan anak cucu kita..
Membangun usaha tanpa sistem seperti mendorong batu besar di jalan rata. Kita mendorong, batunya jalan. Kita berhenti, batunya berhenti.
Membangun usaha dengan sistem, seperti mendorong batu besar di sebuah tanjakan. Lebih berat dan lebih sulit, bahkan jika kita berhenti di tengah tanjakan, batu besar itu akan menggelinding dan melindas kita. Tapi jika kita teruskan sampai puncak tanjakan, batu itu akan terus meluncur turun, dengan atau tanpa kita..
sumber:
http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/01/01/pegawai-vs-pengusaha-bagaimana-cara-pensiun-521378.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar