Rabu, 26 Desember 2012

Bumerang Kenaikan UMK yang Fantastis





Untuk menghasilkan sebuah produk/barang siap jual, beragam komponen biaya yang harus ditanggung pelaku usaha/industri (foto : doc. pribadi)
Tahun 2012 hanya tersisa 5 hari lagi. Artinya setelah 5 hari ke depan kita telah memasuki tahun 2013 yang berarti mulai diberlakukannya upah minimum baru bagi para pekerja yang bekerja di sektor formal. Lalu sejauh mana kesiapan para pengusaha /pemilik industri untuk menjalankan aturan baru tersebut? Ternyata, tak semua pengusaha sanggup menjalankannya dan berupaya mengajukan penangguhan. Kalaupun sebagian menyanggupi, tapi dengan sejumlah prasyarat dan batasan, termasuk diantaranya membatasi rekrutmen pekerja untuk level pendidikan tertentu bahkan diikuti dengan rasionalisasi/ pengurangan pekerja besar-besaran.
Sepanjang sejarah UMK, memang baru kali inilah UMK naik secara fantastis sampai 4 - 5 kali lipat dari tingkat inflasi. UMK DKI Jakarta yang pertama kali ditetapkan dan kemudian memicu tuntutan di berbagai wilayah agar UMK disetarakan dengan DKI. Untuk DKI, kenaikan UMK mencapai 44%. Di kota tempat saya bekerja, Cilegon, yang Walikotanya menetapkan UMK sama besar dengan DKI, kenaikannya mencapai 49%, nyaris 50%. Ternyata itu belum seberapa, sebab di Bogor UMK naik sampai 70% karena menyamakan dengan Jakarta. Semua kenaikan itu baru sebatas kenaikan UPAH POKOK (basic salary) saja. Artinya, ada komponen upah lain yang sudah pasti ikut naik karena perhitungannya didasarkan pada upah pokok.
Selain upah pokok sebesar UMK, biasanya pekerja mendapatkan tunjangan makan dan transport yang dihitung sesuai jumlah hari kerja (kehadiran bekerja) dalam satu bulan. Selain itu, untuk pekerja yang bekerja dalam sistem shift (pergiliran kerja), maka ada uang shift yang dihitung sesuai jumlah hari shift petang dan shift malam. Disamping itu, jika mereka bekerja lembur, maka ada upah lembur yang besarnya dihitung dengan indeks lembur dikalikan jumlah jam lembur efektif, dimana pada 1 jam pertama dikalikan 1,5 kali indeks dan jam ke-2 sampai ke-8 dikalikan 2 kali indeks, sedang jam ke-9 sampai ke-11 dikalikan 3 kali indeks. Sebagai ilustrasi, seorang pekerja yang bekerja lembur 1 hari atau riilnya 8 jam, maka konversinya dihitung sebagai 15,5 jam. Lalu dikalikan indeks upah lembur yang besarnya1/173 dari UMK. Sekedar contoh, untuk kota Cilegon yang saat ini UMKnya Rp. 1.481.000,00 maka upah lembur sehari bisa mencapai Rp. 132.700,00. Jika pada 2012 nanti UMK menjadi Rp. 2.200.000,00 makalembur sehari saja upahnya Rp. 197.110,00. Itu baru lembur pada hari biasa. Jika lembur dilakukan pada hari libur, lebih besar lagi nominalnya.







Komponen upah yang diterimakan langsung kepada pekerja maupun yang diterimakan dalam bentuk benefit atau yang dicadangkan untuk diterimakan tahunan atau di akhir masa kerja, bukan hanya UMK saja. (foto : doc. pribadi)
Selain komponen upah yang diterimakan tiap bulan kepada pekerja (UMK, uang makan, transport, shift, lembur), sesuai UU pengusaha diwajibkan mengasuransikan pekerja pada program Jamsostek, minimal untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK). Secara umum, perusahaan yang tidak memiliki program asuransi kesehatan program pensiun sendiri, maka total premi Jamsostek yang harus dibayarkan adalah sebesar 10,89% dari UMK.
Selain Jamsostek, pengusaha juga diwajibkan membayarkan THR atau tunjangan hari raya keagamaan minimal satu kali UMK. Artinya, setiap bulan pengusaha mencadangkan 1/12 x UMK. Selain itu, untuk pesangon paska kerja, biasanya juga disisihkan satu kali gaji atau 1/12 x UMKsetiap bulan. Maka, jika kenaikan UMK mencapai 49% seperti di kota kami, total konsekwensi yang harus ditanggung pengusaha lebih dari itu. Sekedar gambaran nilai rupiahnya, tahun 2013 di kota kami UMK naik sebesar Rp. 719.000,00/bulan. Jika dihitung semua kewajiban pengusaha terhadap pekerja, maka kenaikannya bisa mencapai Rp. 1,1 jutaan. Itu belum termasuk uang shift dan uang lembur lho! Juga dengan asumsi uang makan dan transport tidak ada kenaikan sama sekali.
Itu sudah semuanya? Belum! Bagi perusahaan yang mewajibkan pekerjanya menggunakan seragam kerja, mereka juga wajib menyediakan pakaian seragam kerja umumnya 2 stel per tahun. Lalu untuk pekerjaan yang memerlukan alat pelengkap perlindungan diri, pengusaha juga wajib menyediakan APD (safety equipment) seperti helm, sepatu safety, earplug, masker, sarung tangan, kacamata las, dll., yang total nilainya bisa mencapai lebih dari 1 juta dalam setahun.
Katakanlah kita hanya menghitung kenaikan UMK + premi Jamsostek + penyisihan THR + paska kerja yang saya sebut di atas, dimana nilainya Rp. 1,1 juta/orang/bulan, maka jika suatu industri mempekerjakan 1000 orang, perusahaan itu harus menyediakan dana tambahan untuk upah saja Rp. 1,1 miliar/bulan. Kalau ada 10.000 pekerja, maka tambahannya Rp. 11 miliar/bulan. Bisa dibayangkan beban yang harus ditanggung pemilik industri. Semua ilustrasi di atas baru contoh untuk kota yang mengalami kenaikan UMK 49%. Bagaimana pula jika kenaikannya 70%?!
Karena itu, pantas saja jika sejumlah perusahaan menjerit dan langsung menyatakan tak mampu membayar. Di kota kami, sebuah perusahaan yang memiliki pekerja 80.000 orang, langsung angkat tangan. Dengan perhitungan seperti di atas, konsekwensi yang harus mereka sediakan mencapai Rp. 88 M/bulan! Belum lagi uang shift dan lembur. Dengan cara apa akan menutup kebutuhan dana sebanyak itu dalam sebulan?! Menaikkan harga jual?! Kira-kira, masih logiskah kenaikan harga produknya jika didongkrak sedemikian tingginya? Apakah nanti produknya akan mampu bertahan di pasaran? Apa konsumen mau membeli produk yang harganya naik gila-gilaan? Pada industri padat karya, kenaikan upah tenaga kerja saja sudah menyentuh COGS (cost of goods sold). Ambil saja contoh pabrik rokok yang pekerjanya puluhan ribu. Akan dijual berapa rokok nanti?




Jika upah tenaga kerja sudah menyentuh titik harga jual produk, apakah bukannya alarm menanti kebangkrutan dunia usaha? Kenaikan harga yang melonjak akan melumpuhkan daya beli meski upah dinaikkan (foto : doc. pribadi)
Jika pengusaha memilih opsi kenaikan harga jual produk, maka bukan tak mungkin barang-barang buatan China dan Korea yang dikenal murah akan makin membanjiri pasar Indonesia dan produk dalam negeri akan makin kalah bersaing bahkan mati kutu di negeri sendiri. Tapi langkah apa lagi yang bisa dilakukan jika biaya tenaga kerja saja meningkat antara 44 - 70%? Padahal, dalam suatu industri yang menghasilkan dan menjual produk, biaya yang dikeluarkan bukan hanya biaya tenaga kerja (labor cost) saja. Ada biaya bahan baku dan bahan penunjang, ongkos produksi, biaya over head (listrik, air, telepon, perawatan gedung dan instalasi pabrik, administrasi, dll.), juga biaya pemasaran dan penjualan, ongkos iklan, biaya penyimpanan (pergudangan) dan biaya distribusi.
Maka sudah bisa dipastikan kenaikan UMK akan memicu kenaikan harga jual barang. Kenaikan harga produk industri tak akan sendiri, efek dominonya akan berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa lain, termasuk harga bahan pangan. Kalau terjadi kenaikan harga, maka yang terkena dampaknya bukan hanya mereka yang bekerja di sektor formal saja, tapi semua masyarakat. Kalau sudah begini, apakah akan ada artinya kenaikan upah yang sebegitu tingginya? Bagi mereka yang bekerja di sektor formal yang upahnya naik, mungkin akan impas saja jadinya. Lalu bagaimana dengan mereka yang bekerja mandiri/wirausaha kecil-kecilan? Yang jadi tukang becak, pengojek, pemulung, jual pulsa pinggir jalan, tukang batu, pekerja serabutan, yang tidak tercover oleh UMK? Bukankah mereka makin megap-megap saja mengejar kenaikan harga kebutuhan hidup sementara penghasilannya tidak naik.
Pekerja di sektor formal pun belum tentu bisa tenang menikmati kenaikan ini. Sebab beberapa perusahaan sudah ancang-ancang melakukan penghematan dengan cara rasionalisasi pekerja alias pengurangan. Mereka akan memangkas jumlah pekerjanya terutama mereka yang dinilai kurang produktif (sering sakit, sulit di-upgrade ketrampilannya, dll.) serta yang tingkat pendidikan di bawah SMA/sederajat. Di Indonesia, jumlah pekerja tamatan SD dan SMP masih banyak, sebab angka putus sekolah masih tinggi. Perusahaan retail seperti jaringan Alfamart dan sejenisnya, bahkan sudah ancang-ancang untuk tidak lagi menerima pekerja lulusan SMA dan hanya akan merekrut lulusan sarjana saja. Kenapa begitu?
Selama ini, dengan UMK yang sekarang saja pekerja lulusan SMA take home pay-nya bisa mencapai 2 jutaan lebih per bulan. Jika nanti UMK menjadi Rp. 2,2 juta/bulan, maka penghasilannya bisa jadi hampir Rp. 3 jutaan sebulan. Ini sudah menyamai gaji sarjana. Melubernya jumlah sarjana dari banyak perguruan tinggi swasta, membuat lulusan S1 tak lagi punya posisi tawar tinggi. Jangan salah, saat ini banyak sarjana fresh graduate yang terpaksa mau digaji Rp. 2 - 2,5 juta per bulan dari pada tak dapat kerja. Kalau UMK naik, maka gaji sarjana akan “tersundul” upah buruh yang sebagian cuma lulusan SMP dan SMA/sederajat. Maka, rencana sejumlah perusahaan untuk tak lagi mempekerjakan lulusan SMA dan lebih memilih merekrut sarjana kalau harus membayar gaji sama, merupakan ancaman baru bagi kelangsungan peluang kerja lulusan SMA. Dan itu tak bisa dianggap sepele, sebab pekerja lulusan SMP dan SMA jumlahnya jutaan di Indonesia.


Sebuah komentar testimonial di forum diskusi di detik.com (screen shoot made by Ira)
Sebuah BUMN mengeluhkan, jika UMK naik, maka upah pekerja outsourcing di perusahaan mereka akan jauh mengalahkan pekerja tetap yang statusnya adalah karyawan langsung BUMN itu. Ironis sekali, sebabkenaikan upah karyawan yang sudah berstatus pegawai tetap itu hanya 5% sedang upah buruh naiknya malah 50% alias 10x lipat! Kecemburuan sosial akan makin tinggi, sebab “tuan rumah” upahnya kalah dengan buruh.
Maka, inilah bumerang yang kembali melesat ke arah pelemparnya : PHK/ pengurangan pekerja, lebih dahsyat lagi ancaman menutup usaha bagi perusahaan padat karya yang pekerjanya puluhan ribu orang, pembatasan peluang kerja bagi lulusan SMA, kenaikan harga barang dan jasa, pengangguran di mana-mana, pekerja sektor informal dan pengangguran makin miskin karena tak mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan. Sudahkah Pemerintah - dalam hal ini Menaker dan para kepala daerah - berpikir jauh dan menimbang berbagai aspek dampak dari kebijakan ini?

Bagaimana dengan pekerja sektor informal yang upahnya tak diatur dengan UMK? Bukankah ke depan hidup akan makin berat bagi mereka? (foto : doc. pribadi)
Sebab di beberapa daerah, penetapan UMK cenderung bersifat politis karena kebijakan populis dari Walikota/Bupati/Gubernur. Semisal di Cilegon, semual KHL tahun 2013 ditetapkan Rp. 1.579.315,00 sehingga UMK 2013 yang dihitung 112% dari KHL menjadi Rp. 1.769.000,00 atau naik 20% dari UMK tahun 2012. Ternyata, entah apa pertimbangannya, Walikota menuruti begitu saja tuntutan buruh untuk menyamakan dengan UMK DKI  Rp. 2,2 juta/bulan, tanpa mempertimbangkan keberatan dari pelaku industri. Padahal, kalau industri tutup karena tak mampu bayar, bukankah pemerintah juga yang kelimpungan menghadapi kenaikan pengangguran dan tingkat kriminalitas?
Investasi pun akan mandeg, yang skala besar maupun kecil, sama-sama merasa berat. Yang skala besar mempekerjakan ribuan orang akan merasa berat karena magnitude kenaikan upah akan sangat tinggi. Yang skala kecil dan menengah akan megap-megap karena modal dan omzetnya memang tidak besar. Ambil contoh perusahaan X yang omzetnya hanya Rp. 10 M/tahun, pekerjanya hanya 100 orang. Kalau nanti mereka harus menyisihkan Rp. 3 juta/orang/bulan untuk labor cost, maka sebulan mencapai Rp. 300 juta, setahun menjadi Rp. 3,6 M. Belum biaya material dan ongkos produksi serta pemasaran dan distribusi produknya. Apa masih bisa mengantongi untung atau justru buntung? Kalau demikian, tak salah jika pelaku UKM lebih memilih mendepositokan saja modalnya yang tak seberapa, ketimbang tiap bulan harus nombok untuk membayar upah pekerja. Orang berusaha tak sekedar menyediakan lapangan kerja bagi orang lain, tapi juga ingin untung bukan?
Pekerja mandiri seperti ini yang menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri, tak akan mampu mentargetkan kenaikan penghasilan untuk mengejar laju kenaikan harga pasca kenaikan upah yang sangat tinggi (foto: doc. pribadi)
Misalkan anda punya dana Rp. 200 jutaan, lalu membuka usaha toko roti dan kue rumahan yang mempekerjakan 30-an orang dalam 2 shift kerja. Katakanlah anda cukup memanfaatkan dapur dan garasi samping rumah atau sekedar menyewa ruko kecil. Roti produksi anda dijual langsung di outlet sendiri, dititipkan di toko-toko dan dijajakan keliling komplek-komplek perumahan. Dengan UMK baru, anda harus menyediakan Rp. 90 jutaan untuk upah tenaga kerja. Sudah hampir separuh modal anda habis bukan? Lalu berapa rupiah anda akan menjual roti/kue agar usaha anda bertahan dan tidak merugi? Belum lagi kalau ada kenaikan harga tepung, gula, telur, dll. Salahkah jika akhirnya anda memilih menutup saja usaha itu atau memperkecil skalanya agar cukup hanya mempekerjakan sanak keluarga sendiri? Fenomena macam inilah yang akan mewarnai dunia usaha tahun 2013 nanti. Dampak dari sebuah kebijakan populis tanpa kajian mendalam dan mempertimbangkan banyak aspek. Bagi anda yang gajinya tak ikut naik seperti UMK, bersiaplah untuk pusing memikirkan tingginya inflasi yang bakal tak terkejar. Semoga saja masih ada jalan keluar yang masuk akal.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/12/27/bumerang-kenaikan-umk-yang-fantastis-519156.html








Tidak ada komentar:

Posting Komentar