Renungan Akademik di Tengah Volatilitas
Sofian
Di tengah zaman yang digerakkan oleh data dan algoritma, kita kerap merasa seolah kecerdasan dapat diproduksi secara cepat. Namun realitasnya lebih getir: tumpukan informasi tidak otomatis membuat organisasi atau individu menjadi lebih bijak. Kesalahan yang sama berulang, keputusan yang keliru dipertahankan, dan struktur berpikir yang usang terus memandu arah, tanpa pernah kita gugat.
Dalam lanskap seperti inilah buku Essential Readings in Management Learning—diedit oleh Christopher Grey dan Elena Antonacopoulou—muncul bukan sekadar sebagai kumpulan teori manajemen, melainkan seruan epistemologis untuk meninjau ulang cara kita memahami pengetahuan. Buku ini memaksa kita bertanya: apakah yang kita sebut “tahu” benar-benar merupakan pengetahuan yang teruji, atau hanya kebiasaan berpikir yang tidak pernah kita refleksikan?
Buku ini sesungguhnya adalah ajakan untuk menatap cermin: bukan melihat bayangan yang ingin kita lihat, tetapi menelisik retakan-retakan halus yang menunjukkan betapa rapuhnya kerangka pengetahuan yang selama ini kita anggap mapan.
Salah satu gagasan paling kuat dari buku ini terletak pada perbedaan antara perbaikan dangkal dan transformasi sistemik. Kita terbiasa dengan Single-Loop Learning—ketika kesalahan muncul, kita mengubah tindakan, tetapi jarang mempertanyakan mengapa tindakan itu diambil sejak awal.
Ibarat cermin yang pecah, kita hanya menggantinya, tanpa pernah memeriksa apakah bingkai cerminnya memang sesuai atau justru keliru sejak awal.
Dalam konteks organisasi—baik pendidikan, pemerintah, maupun korporasi—situasi inilah yang membuat masalah berulang. Ketika budaya kerja stagnan, ketika pola kepemimpinan tidak adaptif, dan ketika kebijakan tidak menjawab realitas lapangan, penyebabnya jarang bersifat personal. Ia justru berakar pada struktur pemikiran yang melekat dan tak pernah dipertanyakan.
Maka, organisasi pembelajaran harus berani memasuki wilayah Double-Loop Learning: merombak asumsi, norma, dan keyakinan yang menuntun tindakan. Proses ini sering menyakitkan, tetapi inilah inti dari pengetahuan sejati—meninjau ulang lensa yang kita gunakan untuk membaca dunia.
Buku ini juga meruntuhkan anggapan bahwa pengetahuan yang bernilai adalah pengetahuan yang tertata rapi, statis, dan sepenuhnya terencana. Sebaliknya, ia mengangkat martabat Emergent Learning—pengetahuan yang lahir dari percakapan, negosiasi, konflik gagasan, dan pengalaman sosial.
Pengetahuan, dalam pandangan ini, adalah arus, bukan deposit; ia mengalir, berubah, dan tumbuh melalui interaksi.
Komunitas praktisi, ruang diskusi informal, bahkan momen reflektif di tengah tekanan pekerjaan adalah “laboratorium hidup” tempat pengetahuan diciptakan, bukan sekadar dikutip. Dalam dunia yang volatil, individu membutuhkan kemampuan menjadi navigator, bukan sekadar pengguna peta lama. Ia perlu membaca angin, menafsirkan gelombang, dan menciptakan rute baru ketika situasi berubah.
Inilah dimensi ilmu pengetahuan yang paling relevan dengan masa kini: pengetahuan yang berwujud narasi, intuisi, dan pengalaman empiris yang hidup—bukan sekadar data yang beku.
Di bagian yang paling filosofis, buku ini menegaskan peran Pedagogi Kritis. Pengetahuan yang tidak dipertanyakan adalah pengetahuan yang rawan menjadi alat hegemoni, melanggengkan ketidakadilan dan bias tanpa kita sadari.
Mengevaluasi teori, model manajemen, kurikulum, atau kebijakan bukanlah sikap sinis; itu adalah wujud kejujuran intelektual. Pertanyaan seperti “Siapa diuntungkan?” dan “Apa yang disembunyikan?” adalah bagian integral dari proses belajar yang dewasa.
Pada akhirnya, buku ini mengantar kita pada konsep complicated understanding—kesadaran bahwa persoalan besar seperti etika AI, keberlanjutan, atau kesenjangan sosial tidak pernah punya jawaban sederhana. Membaca kompleksitas adalah bagian dari spiritualitas seorang pembelajar: merangkul misteri, mengakui batas, dan memaknai ilmu bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai cermin untuk memahami diri dan peran kita di dunia.
Di ujung perjalanan gagasannya, Essential Readings in Management Learning menegaskan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang hidup. Ia tumbuh, berdenyut, dan menagih keberanian untuk diuji ulang. Organisasi yang cerdas bukanlah yang memiliki data paling banyak, tetapi yang paling berani mengakui kesalahan cara berpikirnya.
Kemampuan melakukan pembelajaran lingkaran ganda, merangkul pembelajaran yang muncul, dan mempraktikkan kritik yang jujur adalah inti dari kecerdasan kolektif. Dalam dunia yang berubah cepat, pengetahuan lama sering kali tidak lagi memadai—dan kebijaksanaan lahir dari kesiapan untuk berubah.
Dan mungkin, dalam keberanian menatap cermin dengan jujur, organisasi dan individu akhirnya menemukan ruang baru untuk tumbuh—lebih lentur, lebih sadar, dan lebih manusiawi.
Sumber: Youtube

Tidak ada komentar:
Posting Komentar