Transformasi Sang People Strategist: Menimbang Ulang Model Kompetensi SDM di Era AI dan Ledakan Data
Oleh: Sofian
Tak banyak fungsi organisasi yang berubah sedrastis Sumber Daya Manusia (SDM). Dari perannya yang dahulu identik dengan administrasi gaji, arsip personalia, hingga urusan “orang bermasalah”, SDM kini dihadapkan pada keharusan yang jauh lebih besar: menjadi people strategist yang menavigasi dunia kerja penuh turbulensi teknologi.
Ketika kecerdasan buatan (AI) mengotomasi pekerjaan yang dulu memakan waktu berhari-hari, dan ketika data karyawan dapat dianalisis detik per detik, pertanyaan fundamental pun muncul kembali: apakah model kompetensi SDM yang dibangun tiga dekade lalu masih relevan? Atau kita memerlukan cara pandang yang benar-benar baru?
Tulisan ini mengkaji ulang A Competency Model for Human Resources Professionals—sebuah model klasik yang pernah menjadi referensi internasional—dan kemudian menempatkannya dalam percakapan modern tentang AI, etika, dan masa depan organisasi.
Model Kompetensi SDM 1996 adalah tonggak. Ia memaksa organisasi mengakui bahwa SDM bukan sekadar fungsi pendukung, tetapi bagian dari inti strategi bisnis. Dua peran utamanya kala itu adalah Mitra Bisnis dan Agen Perubahan.
Model Awal tersebut bertumpu pada tiga dimensi filsafat ilmu:
1. Ontologi – Hakikat SDM sebagai Pemakna Nilai
3. Aksiologi – SDM sebagai Penjaga Etika dan Keadilan
Tekanan Baru: AI, Fleksibilitas Kerja, dan Krisis Kepercayaan
Pakar Kontemporer: SDM Kini Harus “Keluar Kantor” Dave Ulrich: SDM harus menjadi Strategic Positioner Dave Ulrich—salah satu pemikir SDM paling berpengaruh—menggeser fokus SDM dari “internal HR excellence” menjadi “market excellence”. “HR should not focus their discussion on HR but on helping an organisation succeed in the marketplace.”
SHRM BASK: Data dan Etika sebagai Pondasi Baru
Keduanya menegaskan bahwa profesional SDM masa kini bukan hanya pekerja kemanusiaan, tetapi juga ilmuwan sosial yang melek data.
Tiga Kompetensi Baru yang Menjadi Tulang Punggung SDM Masa Depan
Jika Model 1996 menekankan Business Partner dan Change Agent, maka SDM abad ke-21 memerlukan tiga kompetensi tambahan:
SDM dipandang bukan sebagai pelaksana teknis, melainkan sebagai aktor strategis yang menggerakkan kapasitas manusia demi nilai bisnis. Dengan kata lain, realitas SDM bukan pada sistemnya, tetapi pada manusia dan kompetensinya.
2. Epistemologi – Pengetahuan SDM adalah Pengetahuan yang Terus Berevolusi
Dokumen asli dengan tegas menyebutkan: “The role of HR practitioners is changing and will continue to evolve.” Ini adalah pernyataan epistemologis bahwa tidak ada satu pun kompetensi SDM yang final. Semua harus selalu diuji—selaras dengan dinamika sosial, psikologi kerja, dan perkembangan teknologi.
Fungsi SDM sejak awal dirancang sebagai posisi etis: memastikan praktik manajemen talenta tidak mencederai martabat manusia. Dalam konteks modern, dimensi aksiologis ini makin penting ketika algoritma dan AI mulai membuat keputusan tentang nasib seseorang.
Sejak pandemi Covid-19, paradigma kerja berubah drastis: kerja jarak jauh, hybrid working, jam kerja fleksibel, dan digitalisasi massal. Pada saat yang sama, AI—mulai dari resume parser, chatbot HR, hingga algoritma penilaian kinerja—mengambil alih banyak tugas manual.
Tekanan terhadap SDM kini datang dari tiga sisi: Teknologi yang berkembang lebih cepat daripada kebijakan organisasi. Ekspektasi karyawan, terutama Gen Z, yang menginginkan pengalaman kerja personal, cepat, dan bermakna. Tuntutan etika, ketika alat digital menyentuh ranah privasi dan bias.
Dalam lanskap yang semakin kompleks ini, SDM tidak bisa lagi sekadar mengimplementasikan model lama. Mereka memerlukan paradigma baru yang menggabungkan literasi teknologi, sensitivitas etis, dan kepemimpinan manusiawi.
Dengan kata lain, SDM harus memahami apa yang terjadi di luar: pasar tenaga kerja, tekanan kompetitif, perilaku pelanggan, bahkan regulasi. Tanpa perspektif luar ini, SDM hanya menjadi fungsi administratif yang dipoles jargon strategis.
SHRM, melalui model kompetensi terbarunya, menekankan dua kompetensi besar yang kini menjadi standar global: Critical Evaluation – kemampuan membaca data, melakukan analisis prediktif, dan membuat keputusan berbasis bukti. Ethical Practice & DEI – memastikan keadilan, inklusi, dan integritas tetap menjadi fondasi di tengah penggunaan AI.
Keduanya menegaskan bahwa profesional SDM masa kini bukan hanya pekerja kemanusiaan, tetapi juga ilmuwan sosial yang melek data.
Tiga Kompetensi Baru yang Menjadi Tulang Punggung SDM Masa Depan
Jika Model 1996 menekankan Business Partner dan Change Agent, maka SDM abad ke-21 memerlukan tiga kompetensi tambahan:
1. Digital & Analytical Literacy – SDM yang Melek Data dan AI
Profesional SDM modern harus memahami bagaimana teknologi dapat: menyaring ribuan CV dalam hitungan detik, memprediksi potensi resign berdasarkan pola perilaku, memetakan keterampilan karyawan secara otomatis, mengidentifikasi risiko kesehatan mental melalui pola komunikasi daring.
Ini bukan soal menggantikan manusia, tetapi memanfaatkan teknologi untuk menguatkan keputusan. SDM tidak lagi cukup menguasai Excel; mereka harus memahami: machine learning basics, data visualization, interpretasi analisis prediktif, bias algoritmik.
Di sinilah epistemologi SDM berubah: pengetahuan tidak hanya berasal dari pengalaman manusia, tetapi juga dari algoritma dan data besar.
2. Hybrid Leadership – Memimpin Ketika Karyawan Tak Lagi Satu Ruangan. Model kerja hibrida membuat kepemimpinan lebih kompleks: Bagaimana membangun budaya saat sebagian bekerja di kantor, sebagian di rumah? Bagaimana memastikan keadilan bagi mereka yang tidak sering muncul secara fisik? Bagaimana mengelola kelelahan digital? SDM harus menjadi Agen Perubahan yang mendorong: kolaborasi lintas lokasi, budaya kepercayaan dan otonomi, sistem penilaian yang mempertimbangkan konteks kerja digital.
3. Ethical Tech Stewardship – SDM sebagai Penjaga Etika Teknologi. Inilah kompetensi terpenting. Ketika AI mulai membuat keputusan tentang nasib seseorang, SDM berada di garis depan untuk memastikan: transparansi penggunaan data karyawan; pemantauan bias algoritmik dalam rekrutmen; penggunaan AI sebagai alat yang memanusiakan, bukan meniadakan manusia. Seperti diingatkan Yasser M. Syaiful (DTI-CX): “Teknologi bisa dibeli, tapi manusia perlu dikembangkan.”
SDM menjadi jembatan etis antara teknologi dan manusia.
Masa Depan SDM: Dari Mitra Bisnis Menjadi Value Agent
Di tengah disrupsi digital yang semakin kompleks, peran SDM tidak cukup hanya menjadi Mitra Bisnis. Mereka harus menjadi Agen Nilai (Value Agent)—pencipta nilai melalui kebijakan, analisis data, desain pengalaman karyawan, dan kompas moral organisasi.
SDM masa depan adalah kombinasi dari: Pemikir Strategis ala Dave Ulrich Analis Data Sosial ala SHRM BASK
Penjaga Etika di tengah gelombang teknologi
Dengan perpaduan inilah SDM dapat memastikan bahwa di masa depan, teknologi tidak menghilangkan sisi manusiawi pekerjaan, tetapi justru memperkuatnya.
Sumber Youtube

Tidak ada komentar:
Posting Komentar